Teori Film

Selasa, 16 November 2010

Sebuah Analisis Berbasis Subjektif : Apa Yang Menarik dari ‘Penganten Sunat’?

Yang Mendominasilah Yang membuat Sketsa.

Kalau berbicara tentang hiburan, jelas film ini sangat menghibur, Aksi aming dan Duo The Virgin cukup mewakili subjek2 yang terdominasi ‘mungkin’ dari karakter skenario yang dikembangkan. Tidak gampang memerankan karakter Srimpi dalam ‘Penganten Sunat’ oleh sosok setenar Dara, yang bisa dibilang punya image tersendiri didunia musik.

Karakter ini begitu menggoda, sexy, semacam ada kesan yang agak negatif (pleasure) bila kita melihat beberapa aksi dari tokoh ini, namun sebaiknya anda melihat dulu latar dari keseluruhan cerita, mengapa tokoh ini menjadi menarik dan berhak menjadi protagonist didalam cerita. Salah satu pisau bedah pertamanya adalah melalui Setting_Latar cerita.

Rabu, 13 Oktober 2010

tidak ada wacana baru dalam '3 hari untuk selamanya'


I. PENDAHULUAN


I.a. Latar Belakang.
Film sebagai produk kebudayaan merupakan cermin realitas dari sosiokultur yang merupakan bagian dari gagasan yang dimiliki oleh pembuat film (author). Karenanya secara politis film tidak selalu dikaitkan sebagai sarana hiburan komersil belaka tetapi lebih sering dipandang sebagai agen dalam menyebarkan gagasan pembuatnya/film maker. Ia menjadi penting dikarenakan mampu menghadirkan subjektivitas individu bahkan menjadi identitas sebuah negara dan bangsa. Dalam kajiannya, film memiliki makna tunggal. Makna yang telah ditentukan oleh pembuatnya, dengan kata lain penonton digiring hanya pada satu gagasan yang ingin disampaikan oleh sutradara melalui element-element yang terdapat pada film tersebut seperti narasi, tokoh., Plot, dll.

Senin, 19 Juli 2010

Film Expo Asia Bangkok-2010. #1



Sebenarnya cukup membanggakan bisa berpartisipasi di ajang sebuah Film Festifal bertaraf Internasional, namun tidak pentinglah membicarakan kebanggaan tersebut. Yang penting bisa makan, ada Bini ada Anak itu sudah cukup.

Film Expo Asia (FEA 2010) di Bangkok merupakan sebuah rangkaian acara yang bisa dibilang pertama kali diadakan di ajang film festifal, karena semua peserta yang ada harus mempresentasikan ide mereka sebelum terpilih untuk bisa mengikuti rangkaian acara ini. Tercatat ada 99 tim (50 negara) yang berhak mendapat kehormatan untuk membuat film pendek di Thailand, dan Indonesia sendiri diwakilkan 2 kontestan. Oleh karena ajang ini adalah ajang bagi para pelajar film, maka Kami (Bajing-Say) mengatasnamakan IKJ sebagai institusi, sedangkan tim sebangsa berasal dari Jogja (UGM-ISI).

Selasa, 08 Juni 2010

FILM ‘ROMAN PICISAN’ DALAM ARENA CULTURAL STUDIES. #3


I. Pendahuluan


I.a. Latar Belakang
Teori Naratif didalam sebuah mekanisme film terkadang membawa kita kepada suatu pemahaman makna yang berujung pada kesimpulan universal dari sebuah penuturan visual. Kesimpulan universal yang saya maksud disini yaitu pemahaman yang telah dipaparkan dari sang pembuat film (author) kepada penontonnya. Artinya, secara tidak langsung penonton akan diarahkan untuk menemui teks pembuat film yang dibalut dengan naratif-cara bertutur, sehingga dengan hal ini penonton mau tidak mau akan memposisikan dirinya kepada identifikasi teks dari author tersebut, dan hal yang paling gampang diidentifikasi adalah karakter- lakon dari cerita. Dengan demikian, penonton akan menciptakan sudut pandang, ia akan melibatkan diri dengan memunculkan karakter, seperti karakter yang mendapat simpati dan respect dari identifikasi penonton dalam hal ini disebut protagonist , begitu pula dengan sebaliknya tercipta karakter antagonist yang seolah tidak mendapat respek dan simpati dari penonton, dan umumnya kedua bentuk ini merupakan porsi penting dalam hal bertutur, meskipun dalam beberapa bagian ada pula karakter yang dialihkan, sulit diidentifikasi oleh penonton. Hal hal inilah yang saya maksud sebagai formula dalam teori Naratif yang bertujuan mengarahkan penonton untuk mendapatkan kode kode teks yang telah dirancang oleh sutradara-pembuat film, dengan efek yang telah diuraikan diatas bahwa penonton akan berpihak pada protagonist dan mengalihkan antagonist.

Selasa, 25 Mei 2010

FILM ‘ROMAN PICISAN’ DALAM ARENA CULTURAL STUDIES. #2


Ralat draft#1: dalam draft#1 saya mencoba untuk menghilangkan-mengaburkan nilai historical dalam menganalisa film ‘Roman Picisan’, karena anggapan saya adalah penafsiran dari nilai historis paling tidak telah dipahami-didentifikasi penonton, dengan kata lain pembahasan yang ingin saya ungkapkan dari sisi lain seperti discourse dalam film ini, politik (dalam artri ‘kepentingan;). Namun hal tersebut mendapat tanggapan dari dosen saya (Seno G A), oleh karena film Roman Picisan tersebut sangat kental akan nilai historis yang dilekatkan pada tiap karakternya, sehingga peran nilai historical tersebut perlu dijadikan sebagai latar, dengan bahasa lain bahwa tidak mungkin-akan sulit jika menafsir sebuah film tanpa mengulas konstruksi popular (elemen historis) yang ada dalam pengertian penonton.

Selasa, 18 Mei 2010

FILM ‘ROMAN PICISAN’ DALAM ARENA CULTURAL STUDIES#1



A. Culture sebagai tools, Film sebagai media.
Dalam beberapa uraian analisis, sering diungkapkan ‘film adalah budaya’ dalam bentuk lain diuraikan ‘film merupakan bagian dari budaya’, dalam penilaian saya pemahaman tersebut sering dilontarkan dengan hanya menyajikan satu sisi/ sisi luarnya saja, yaitu aspek historical yang meliputi nilai historis suatu masarakat, komunitas ataupun negara, sehingga pemahaman yang akan menanggapinya akan selalu berpatokan bahwa budaya/culture merupakan hasil dari nilai historis tersebut. Selian itu aspek bahasa sering dijadikan sebagai makna tunggal dalam pemahaman culture/ budaya. Di Indonesia makna harfiah culture diartikan sebagai budaya, yang berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, dari asallkata buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Penilaian diatas seutuhnya memang benar, dan hal inilah yang menjadikan berbagai pemahaman tersebut memiliki muatan yang bersifat selektif, dan mau tak mau bersifat selektif, mengapa?

Kamis, 13 Mei 2010

WHAT IS POPULAR CULTURE?



An introduction to CULTURAL THEORY AND POPULAR CULTURE
(second edition) John Storey.1.

WHAT IS POPULAR CULTURE?
Dalam uraian ini Culture didefinisikan bermuatan estetika yang kemudian perkembangannya akan bermuatan politik Kebudayaan dalam Cultural Studies didefenisikan sebagai politically melebihi estetika. Object dari study dalam Cultural Studies bukan berarti Culture dalam pengertian awam.2

Jumat, 07 Mei 2010

“THEORIES AND METHODS CULTURAL STUDIES & THE STUDY OF POPULAR CULTURE” (John Storey, Edinburgh University 1996)



Tujuan dari buku ini dibagi kedalam dua bagian:
1) untuk memperkenalkan pada akademisi dan untuk memikat para pembacanya tentang Study of Contemporary Popular Culture.
2) Untuk menyiratkan pemetaan akan perkembangan CultureStudies menyangkut berbagai range diskusi terhadap teori dan metode dalam Study Popular Culture.

Buku ini bukan untuk membuat elaborasi pemetaan (yang sah) terhadap Cultural Studies, tetapi stidaknya tujuan buku ini lebih mengarahkan kedekatan antara sebuah signifikasi dan konstribusi terhadap perkembangan Cultural Studies, yang dikaitkan dengan kemunculan Study Contemporary Popular Cultur. Dengan harapan buku ini menjadi provider yang bisa digunakan untuk memperkenalkan teori dan metode yang dapat digunakan akademisi dalam praktisnya dan juga menjadi sudut pandang bagi para kritikus untuk menjadikan hal ini menjadi lebih familiar dengan prosedur dan aturan aturan dari Cultural Studies.

Kamis, 29 April 2010

Sesi ke 7


Wacana/ discourse itu ideologis.
Kita-subjek yang memberi makna terhadap sebuah discourse.
Contoh: morse bermakna bagi seorang subjek, kita yang memberi makna, tetapi morse tersebut ada maknanya buat kita karena kita mengenal sesuatu tentang morse tersebut dalam konteks sebuah wacana. Jadi kita memberi makna dan itu berdasarkan apapun yang kita kenal dari morse tersebut. Wacana ini bisa dikenal oleh setiap orang bisa tidak.

Jumat, 23 April 2010

Ideology (sesi ke-enam dengan Seno GA)

Relasi antara discourse, ideology, dan meaning dalam Cultural Studies

Wacana/discourse adalah himpunan gagasan dan konstruksi budaya yang membentuk kita sebagai sosial subject dalam tatanan konstruksi sosial dan itu menentukan cara kita memandang dan berfikir, hal inilah yang membentuk salah satu aspek dari makna/ meaning. Artinya makna/ meaning tersebut tergantung pada bagaimana cara kita atau subjek memandang sesuatu hal, perkembangannya akan memunculkan wacana dominan dan wacana perlawanan, tentulah hal ini merupakan sesuatu yang bermuara ideologis, oleh karena didalam kajian budaya tidak ada sesuatupun yang tidak memiliki muatan ideologis, karena segala hal tidak ada yang tidak bermakna, dan dalam semua pemaknaan terdapat sebuah kepentingan. Oleh karena berbicara kepentingan (politis) maka ia berada dalam ranah Cultural Studies.

Jumat, 16 April 2010

cultural studies dictionary



Pembahasan mengenai Kajian Budaya akan selalu berujung pada muatan politis, suatu wilayah pendidikan yang multidisipliner atau bahkan pascadisipliner yang mengaburkan batasan batasan dirinya sendiri dengan disiplin ilmu lain. Meski demikian, oleh karena kajian budaya tidak ingin diberi cap sebagai ‘serba bisa apapun juga’ maka kajian budaya berusaha membedakan dirinya sendiri melalui politik yang dilakukannya.
Kajian budaya secara konsisten mengklaim memusatkan perhatiannya pada isu isu kekuasaan, politik, dan kebutuhan perubahan sosial. Dengan demikian Kajian budaya berisikan sekumpulan teori dan pendiriran politik,

Selasa, 13 April 2010

ideology, Hegemony, Power, Discourse, Interpretrasi























Pembahasan tentang politik kebudayaan pada tahun 1970 dan 1980an banyak menggunakan kerangka kosakata yang diambil dari Antonio Gramsci. Meskipun karya karya Gramsci ditulis sebelum karya karya Althusser namun alasan popularitas Gramsci menawarkan pendekatan yang lebih fleksibel dan praktis untuk memahami karakter dan cara kerja Kajian budaya. Pemikirannya bisa dibilang terpicu dari Marxist (bahwa gagasan gagasan yang dominan dalam masarakat manapun selalu merupakan gagasan gagasan kelas penguasa), pemikirannya selalu lebih mengajak berfikir diluar kelas penguasa atau politik, lebih tepatnya masuk kedalam budaya popular sebuagai situs pergulatan ideologis, bahwa tiap individu pemilik akal sehat yang dihadapkan pada budaya popular dimana setiap orang mengatur kehidupan dan pengalaman mereka. Hal ini merupakan salah satu pemikirannya ketika ia mengkaji mengapa para petani dan kaum buruh di Italia begitu cepat dan kuatnya memilih Fasisme.

Rabu, 24 Maret 2010

Hari ini dengan Seno G.A


Cultural Studies.
Mengenai ‘kebudayaan’ dalam konteks cultural studies memiliki muatan yang bersifat selektif, dan mau tak mau bersifat selektif, mengapa? Kebudayaan atau konsep kebudayaan/culture merupakan bidang yang sangat majemuk, setiap kita bisa mengartikan makna dari kebudayaan tersebut, oleh karena kebudayaan tidak menunggu dideskripsikan oleh para teoritikus atau siapapun, sehingga kajian budaya dianggapa sebagai bidang multidisipliner, dan hal ini yang terkadang menyulut perdebatan, beda argumentasi, bahkan konflik.
Menurut Williams. R seorang pakar Cultural Studies melalui (keywords. London. 1983) menguraikan bahwa konsep tersebut adalah sebuah alat yang memiliki nilai dan seharusnya berguna bagi kita. Sehingga penggunaan dan maknanya akan terus bergeser seiring konteks perubahan jaman dan isu sosial, sehingga bagi kita adalah: apa yang kita harapkan bisa ‘dilakukan’ dari para pemikir konsep tersebut, dan seyogyanya, yang kita pertanyakan bukanlah ‘apa’ itu kebudayaan? Melainkan bagaimana dan untuk apa bahasa kebudayaan tersebut digunakan. Pemikiran inilah yang coba dikembangkan dalam mengartikan ‘kebudayaan’ dalam spektrum Cultural Studies, oleh karena begitu majemuknya konsep ini yang bisa bertautan dengan

Minggu, 07 Maret 2010

WACANA & IDEOLOGI

Hubungan antara wacana dan ideologi menjadi problematik, karena Foucault menghindari penggunaan kata ideologi berdasarkan tiga alasan : (1) menyetujui ideologi sebagai kesadaran palsu, berarti setuju terdapat kebenaran di luar kerangka diskursif, yang bagi Foucault tidak mungkin, karena segala pengetahuan berada di dalam formasi diskursif; (2) ideologi mengacu kepada subyek sebagai sumber makna, yang juga telah ditolaknya, karena subyek tidak independen, tapi merupakan konstruksi hubungan-hubungan kuasa; (3) kuasa-kuasa terhubungkan dan membentuk formasi diskursif melalui suatu proses yang tidak sederhana, karena kuasa tidak dilihat secara negatif, melainkan produktif, yakni bahwa kuasa adalah hubungan-hubungan itu sendiri, sebagai suatu interaksi kompleks, sehingga tidak ada satu kuasa dominan sepenuhnya. Artinya, bagi Foucault, pandangan ideologis yang melihat dikhotomi konflik sebagai yang menindas dan yang tertindas tersingkirkan.

montage (buat bahan presentasi)


Sebuah film yang baik tidak terlepas dari sebuah bentuk fisik-medium, yang berarti elemen tersebut terletak pada isi materi dalam film, sehingga film tersebut menjadi bermutu dan mempunyai soul. Montage digunakan oleh Eisenstein sebagai alat untuk dapat memisahkan film dengan realita dan menjadikannya sebagai sebuah karya seni yang otonom.
The shot is a montage cell) film memiliki materi dasar sama seperti semua bentuk di dunia ini, Eisenstein tidak menganggap frame sebagai meteri dasar dari film, karena sifatnya yang mikroskopik dan cara kerjanya yang lebih kecil dari pada meteri dasar seni lainnya, materi dasar untuk film yang dimaksud Eisenstein adalah sebuah shot, independent shot.

Jumat, 12 Februari 2010

TWO TYPES OF FILM THEORY (iseng aja)

Artikel oleh Brian Henderson ini merupakan titik awal penting yang mengevaluasi ulang teori film oleh eisnstein dan Bazin. Pengkajian teori film ini membuka jalan bagi terciptanya pemahaman yang lebih mendalam tentang mengapa teori film saat ini lebih cenderung mengembangkan alternative-alternatif teori sinema secara keseluruhan dan berusaha bergeser dari aspek interaksi antara kenyataan dengan gambar visual menuju ke interaksi antara subyek visual dengan visual diatas. Pada akhirnya inti dari artikel ini adalah tindak lanjut penyelidikan atas definisi dari teori film itu sendiri dan penerapannya sebagai bentuk murni sebuah teori.

Kamis, 04 Februari 2010

Dilema Subjek Kontemporer Dalam Film Virgin

BAB 1
PENDAHULUAN


I.1 Latar Belakang
Diera kontemporer seperti ini, Eurocentrism menjadi perdebatan hangat dalam kurun dekade terakhir, topik ini menjadi hangat diperbincangkan dan diperdebatkan, baik dalam ruang lingkup media maupun institusi-akademisi, apakah pendekatan semacam Eurocentrism merupakan suatu keterkaitan yang selalu merujuk pada aspek historis Eropa, atau hanyalah pendekatan yang dangkal berdasarkan angan angan, mengingat konstribusi dan dominasi Eropa dalam hal ilmu pengetahuan.

Minggu, 31 Januari 2010

Kesimpulan dari tulisan (mencari Identitas Auteur film Nasional)


A. Auteur dan Kontekstual.
Film film Rako dalam kontekstual berbicara Author as social subject, bahwa sutradara adalah subject dalam melihat dan merepresentasikan sebuah issue sosial, Faktor subjektifitas social tersebut melahirkan seperangkat konsep, gagasan, struktur maupun formasi ideologis yang merupakan refleksi kegelisahan seorang author atau sutradara atas gejala social politik ditempat dia berada yang terkadang mengakibatkan polemic tertentu yang berujung pada terbentuknya pada peleburan visi, polemik yang dihadapinya adalah multikultur.

Mencari identitas Auteur film Nasional (draft#5. final draft)


Sebelumnya saya sangat berterimakasih kepada Rako Prijanto atas wacana dan dialognya, serta dosen pembimbing penulisan ini

I. Pendahuluan
Dalam film kritik pada era tahun 1950-an, berkembang teori Auteur menyatakan bahwa sutradara film harus mencerminkan bahwa visi kreatif pribadi, ia adalah sosok primer auteur dalam film, dan hukum auteur: mengisyaratkan bahwa kreator film/sutradara merupakan seniman dari karya film. Karena dalam beberapa kasus, produser film lah yang dianggap sebagai auteur untuk film-film yang telah mereka karyakan. Di bawah ‘hukum’ Uni Eropa, sutradara film akan selalu dianggap sebagai penulis atau salah satu penulis dari sebuah film, dan inilah yang berupaya diperjuangkan oleh para filmaker dan kritikus seperti New Wave Prancis.

Minggu, 24 Januari 2010

konsistensi tematik film film Rako (draft#4)


C. Auteur dan Tematik.
Keistimewaan film film yang dibesut oleh Rako Prijanto merupakan implisitas penjabaran multikulturalisme sebagai salah satu payung besarnya kedalam kompleksivitas ruang film. Ia mengusung polesan status sosial tertentu yang dianggap bertolak belakang, atau melihat kembali budaya yang berusaha disingkirkan. sebagai salah satu bentuk yang bisa menempati ruang didalam film. Melalui film, ia berbicara sebagai generasi muda dalam melihat keragaman kultur dan status yang dimiliki Indonesia, dengan berlatar bahwa Indonesia adalah negara multi etnis, ras, dll, yang notabene sering menjadi konflik perpecahan, cara pandang dan bersikap. Hal ini dapat terlihat dari konsistensi tematik dan karakter dalam film filmnya.

Naratif dan stylistik film-film RAko (draft#4)

D. Auteur dan Naratif.
Secara keseluruhan, pola dari struktur naratif ke-9 film Rako menggunakan ‘struktur Hollywood klasik’, dan merupakan bentuk naratif yang paling umum digunakan dalam menuturkan sebuah cerita. Perpaduan antara hubungan sebab akibat yang logis menjadi sebuah kunci utama disamping kejelasan ruang waktu. Tokoh-tokoh dalam cerita dibuat sedemikian rupa lengkap dengan goal, need, desire yang ingin dicapai. Sehingga akan terlihat dengan jelas mana tokoh yang berkarakter protagonis dan mana tokoh yang berkarakter antagonis. Hingga nanti pada akhir dari cerita akan diperoleh sebuah ending sebagai penutup cerita dimana tokoh telah mendapatkan sebuah keadaan, apakah segala goal, need, desire yang diinginkan tersebut tercapai atau tidak.