Teori Film

Rabu, 28 Desember 2011

Treatment Teknik Visual. film, 'Suara iLalang.


IV.              Treatment Teknik Visual
Konsep visual berbicara tentang apa yang nantinya kita lihat lalu apa impact dari yang kita lihat, dalam treatment sinematografi hal ini mengacu pada dua hal yakni look dan mood..
Karakter visual yang akan dijabarkan disini lebih mengacu pada aspek yang terlihat untuk menciptakan look visual, penulis menjabarkan karakter visual ini kedalam beberapa aspek, sehingga nantinya penggambaran visual ini akan menjadi patokan atau acauan pada saat pengambilan gambar, dan aspek yang dimaksud antara lain:

A)    WARNA
Warna yang digunakan dalam film ini akan dikemas sesuai dengan corak karakter tokoh masing masing yang kami akan bagi kedalam tiga bagian,  yaitu


Tokoh Rasa;  Akan ditampilkan dengan warna hijau atau bernuansa hijau, baik dari setting ruang, property hingga suhu warna yang kami gunakan lebih mengarah pada area hijau. Yaitu sekitar 3700-4700 derajat Kelvin, suhu warna ini bisa dibilang berada pada range pertengahan spektrum warna pada gelombang cahaya yang dapat langsung dilihat oleh mata manusia. Penggunaan hijau disini lebih mengartikan kebimbangan tokoh Rasa yang melihat realita yang ada disekitarnya menjadi banyak pertanyaan dalam dirinya.
              
Disini kami menggunakan bahan baku jenis Day light 5600 derajat Kelvin, dengan penggunaan lampu yang akan kami turunkan suhu warnanya sehingga lampu daylight tersebut mengeluarkan suhu warna sekitar 3700-4700 derajat Kelvin. Dan untuk lebih menyolidkan lagi suhu warna yang kami telah kami capai akan dilakukan pada tahap post grade.

Tokoh Aisyah: Akan ditampilkan kedalam corak berwarna coklat, cenderung sephia, yang menjabarkan sosok yang melankolis, introvert,  dari penjabaran ini look yang ingin ditampilkan agar sesuai dengan karakter tokoh  adalah  warna warna dengan suhu rendah, oleh karena secara psikologis suhu warna tersebut mampu menghantarkan mood seperti pada karakter Siti.

Selain properti, setting ruang dan kostum, suhu warna ini akan kami angkat dengan penggunaan bahan baku Tungsten (3200 K) sehingga akan memudahkan kami mengangkat intensitas warna coklat terebut. Karena intensitas warna coklat berada disekitar 2500-3500 derajat Kelvin maka intensitas warna dari lampu yang kami gunakan akan berada diarea tersebut, agar gambar mentah yang kami buat sudah cukup solid sebelum masuk pada tahap full grade.
Tokoh Cut; Akan ditampilkan kedalam corak Biru- Bluish. Tokoh Cut adalah karakter yang rigid (kaku) trauma akan masa lalu, corak yang akan kami berikan pada karakter ini adalah warna warna dingin, sehingga efek yang diberikan melalui look semacam ini bisa sesuai dengan mood yang ingin dicapai.

Dalam pencapaiannya bahan baku yang digunakan adalah Tungsen (3200 K) dengan diasimilasikan pada cahaya atau lampu dengan suhu warna tinggi 5600 K, sehingga terjadi manipulasi warna yang tentunya telah menjadi pencapaian kami. Hal yang sama juga bila adegan yang diambil adalah interior dan adegan malam. Yang sedikit membedakan dengan phase (Rasa dan Aisyah)  sebelumnya adalah  properti dan setting pada ruang karakter Cut akan diberi sentuhan warna merah. Hal ini dimaksudkan untuk merlefsikan sesuatu yang glamour seperti pada sense tokoh Cut.

Penting untuk diketahui bahwa ketiga corak warna ini akan dimentahkan tingkat kesolidannya atau disaturated, yang kemudian secara perlahan mengikuti alur film warna warna tersebut akan menjadi solid kembali. Dengan bahasa teknisnya (scene 1-10 warna akan disaturated) dan (scene 11 – 16, warna akan berangsur angsur menjadi solid). Hal ini dimaksudkan atau berkaitan erat pada teks film yang dituangkan, sebuah permasalahan diawal sebaiknya memberikan pencerahan pada kesimpulannya.


B)     GAYA  PENCAHAYAAN
Secara umum gaya pencahayaan yang ingin dicapai ini adalah graduted tonality  yang kami artikan bahwa dalam satu frame area gelap dan terang akan lebih berimbang dan pencapaian ini berarti nilai range ekposure (exposure value) akan lebih bervariatif, hal ini dilakukan untuk menciptakan kesan kedalaman ruang khususnya pada adegan malam hari dan adegan didalam ruangan.
Pada siang hari, sumber pencahayaan akan bersumber dari matahari dan bila  adegan dalam ruangan bersumber dari jendela ataupun pintu, dan untuk malam hari bersumber dari lampu ruangan, dan kesemua aspek pencahayaan ini akan dikemas kedalam artificial light.
Untuk mencapai gaya pencahayaan tersebut maka lighting ratio yang dipergunakan dalam film ini adalah, untuk adegan malam hari menggunakan rasio 1:4, dan disiang hari menggunakan 1:3.
Dalam scene tertentu, gaya pencahayaan menggunakan Low-Key seperti pada scene mimpi

      201                    cliff8

                         0040SP-10142684                   2512659073_bd3075c267

C)    PEMILIHAN KAMERA, LENSA, dan BAHAN BAKU
Kamera.
Secara garis besar film ini menggunakan dua jenis kamera yaitu Digital SLR Canon 5D dan  Arri 3, 35 mm.
penggunaan Digital SLR disini sebagai treatment dari tokoh Rasa yang merupakan seorang fotografer. Sedangkan penggunaan 35 mm bertujuan untuk menghasilkan kualitas warna dan detil secara maksimal, selain sebagai pakem standard professional perfilman saat ini (meskipun saat ini, pakem ini mulai bergeser) baik dari segi estetik, teknis dan teknologi belum ada yang mampu menggeser kualitas dari celluloid 35 mm di era digital saat ini.

       Lensa.
Pemilihan lensa merupakan garda terdepan dalam menghasilkan sebuah image, untuk itu lensa yang digunakan dalam film ini adalah lensa fix, untuk menghasilkan persfektif, dan ruang tajam yang range lebih baik dibanding lensa variable, untuk itu kami memilih Ultra prime karena jenis lensa ini memiliki maksimal diafragma-t stop  hingga 1.8. sehingga sangat membantu kami ketika menggunakan ASA rendah.
Sedangkan pada digital SLR kami menggunakan lensa L series, karena tipe lensa ini memiliki bukaan difragma yang lebih besar meskipun dari jenis variable, dan juga memiliki sensor kecepatan yang sangat baik dalam menangkap cahaya, t-stop pada lensa jenis ini bisa mencapai 1.2. hal ini tentunya berpengaruh besar pada persfektif dan ruang tajam bila dibandingkan dengan jenis lensa digital yang lain.

 Bahan Baku
Dalam pemilihan bahan baku, penulis membutuhkan bahan baku yang dengan suhu warna rendah (3200°K) untuk malam hari dan 5600°K untuk siang hari. Kinerja bahan
baku disini akan didukung dengan pemilihan lampu yang sesuai dengan karakter dari suhu warna bahan baku  yang akan digunakan. Penggunaan lampu day light untuk siang hari dan tungsten untuk malam hari, namun tidak beberapa adegan malam akan menggunakan lampu day light untuk memberi suasana berbeda.

Bahan baku yang akan kami gunakan adalah ASA rendah (50 D) untuk siang untuk menghasilkan gambar yang clean dan ASA tinggi (320T)  untuk malam hari agar detil cahaya mampu terekam dengan baik dan area shadow diminimalisir agar tetap pekat dan tidak terjadi grain. Oleh karena itu, dengan kriteria diatas penulis menggunakan bahan baku dengan jenis Kodak Vision 3, 500T.

Pemilihan bahan baku ini dipilih karena karakter dari produk ini sangat baik merekam detail darkest dan brightest area. Exposed latitude yang tinggi dan detail warna yang pekat sangat menjaga skin tone tetap natural tanpa saturation contaminations.
Selain itu jenis Vision 3 ini dihadirkan oleh karena perkembangan proses digital-telecine, sebab film yang akan kami proses akan menuju pada proses data telecine, sehingga jenis ini dianggap mampu menghadirkan kualitasnya meskipun melewati proses digital, artinya dengan Vision 3 kemungkinan grainy pada film ASA tinggi mampu direduksi atau dinetralisirpada saat telecine, dan hal inilah yang kurang dimiliki pada jenis Vision 2, sehingga memunculkan Vision 3.

III.2. Komposisi
Fungsi komposisi dalam film adalah bagaimana menempatkan setiap elemen dari mise en scene sesuai dengan porsi atau kebutuhan elemen tersebut dalam area frame, yang pastinya akan berhubungan dengan alur penceritaan. Oleh karena wujudnya termasuk unapear maka komposisi dalam hal ini akan sangat menunjang pembentukan mood didalam film.
Berikut beberapa penjabaran penulis dalam menata komposisi didalam film ini;

A)Komposisi Kamera.
Komposisi kamera akan selalu menjaga keseimbangan freme agar selalu terlihat sesuai dengan elemen elemen lain yang ada dalam freme. Komposisi akan menempatkan subyek pada interaksinya terhadap ruang gerak, memperlihatkan ruang, waktu dan peristiwa.
Position on center akan sebisa mungkin dihindari dengan penempatan rule of third.

B) Aspek ratio
Film ini menggunakan format 1 : 1.85. Seiring perkembangan teknologi release akhir dari film ini akan diproyeksikan ke format full HD, sehingga tidak terjadi reduksi gambar.

C) Type of Shot
Tipe shot yang dipakai disini berperan sebagai penjalin sebuah adegan sertauntuk menciptakan dinamisasi. Penggunaan close-up akan mendominasi dibanding tipe shot yang lain, oleh karena dengan close-up penonton akan diarahkan langsung pada inti dari permasalahan setiap karakter.
Close up disini juga berperan sebagai keterbatasan ruang dari permasalahan karakter.

D) Angle
Pengambilan eye level lebih banyak dipergunakan untuk lebih menampilkan kesan kesamaan tidak ada yang lebih mendominasi, selain penggunaan high angle lebih untuk menyampaikan ketidakberdayaan tokoh .

E) Gerak Kamera

NOTE:::: kalo ada yang kurang atau lebih.. silahkan dirubah…..
namanya juga planning

Konsep Sinematografi 'Suara Ilalang'


I)       Sinematografer Steatment;
Film menjadi seni yang terakhir (seni ketujuh) dalam peradaban manusia oleh karena ia mampu menampilkan dan menyatukan  kompleksifitas ide  dari berbagai kreator kedalam medium film. Oleh karena kompleksifitas inilah film bisa berbicara dalam lingkup sosial atau film adalah media sosial,  singkatnya, ketika ketika menyampaikan sesuatu kepada pihak yang lain  maka terjadilah interaksi sosial.
Film mampu memberikan pengaruh kepada penontonnya bahkan peradaban manusia sekalipun sama seperti seni murni yang lain. Steatment ini memang sudah bukan kosakata baru dalam dunia sinema, namun hal inilah yang mengacu saya sebagai Sinematografer untuk tertarik dan terlibat dalam pembuatan film TKA yang berjudul ‘Suara Ilalang’.  Dan  pertanyaan yang kemudian muncul dalam benak saya adalah, seberapa jauh kerangka Sinematografer membentuk ‘pengaruh’ didalam film ini? Hal inilah yang sekiranya perlu untuk didiskusikan bersama dengan Sutradara, Penulis, Art Director, Editor, yang nantinya penulis akan melampirkannya pada bab Sinematografer Treatment.
Mengutip perkataan sutradaraa film ini “Story dalam film ini menjadi alat saya untuk menyampaikan tujuan yang saya miliki.  Tujuan saya adalah menemukan apa yang tersembunyi di balik pilihan seorang muslimah mengenakan pakaian berjilbab”. Disini Sinematografer mengharfiahkan bahwa secara garis besar teks film ‘Suara Ilalang’ memberikan gambaran begitu banyak perbedaan bahkan dengan  pemahaman yang sama sekalipun akan kerap muncul perbedaan.  Perbedaan memang terkadang menghasilkan ketidaksamaan tujuan, namun disini  saya  akan mencoba melirik sebuah  persfektif  (persefektif karakter dalam cerita)  bahwa  didalam cerita film ini terdiri dari tiga karakter tokoh yang berbeda yang meskipun  berlatar pada  berbagai kesamaan, seperti;  status gender yang sama, status lingkungan dan akidah yang sama.
Dalam penguraian  teks diatas, saya mengemukakan kata kunci, yaitu perbedaan yang didasari atas karakter masing masing tokoh (Rasa, Siti dan Cut). Dan  dari ketiga perbedaan teks karakter tersebut,  akan saya jadikan acuan untuk membentuk sebuah konsep dan treatment, khususnya dalam area kerja seorang Sinematografer
Berbicara tentang area kerja seorang Sinematografer, maka kita berada dalam area Syle sebuah film. Style disini bisa diartikan sebagai teknik filmaker dalam memberi makna dalam filmnya. Disinilah peran mise en scene dalam sebuah teks  film untuk dikreate sehingga mampu memberi makna bagi penonton film ataupun bagi naratif film.

II)  Analisa Skenario
Dalam skenario ini secara konkrit menghadirkan latar kejadian yang real,  disebuah  pemukiman dimana ketiga tokoh, Siti, Rasa dan Cut berinteraksi  secara sosial dengan konflik masing masing yang melandasi plot penceritaan.  Dari persfektif  sinematografi, penonton film  akan diarahkan untuk berada dalam tiap tiap situasi masing masing karakter tokoh. Telah disebutkan pada bab sinematografer steatment, bahwa kata kunci ‘teks perbedaan karakter tokoh’  dan interaksinya menjadi benang merah sinemtografer untuk dikonversi kedalam pembentukan style film.
Dan sebagai Penata Fotografi dalam film ini dihadapkan pada bagaimana menciptakan asimilasi look dan mood yang sesuai dengan kejadian tersebut kedalam nuansa penceritaan didalam film. Dan pandangan Penata Fotografi dalam skenario ini adalah:

-          Dari analisa karakter tokoh Rasa  menjabarkan sosok yang ambivert yang ingin mengetahui banyak hal, karakter yang bimbang dengan logika pemikiran yang kuat. Phase look warna pada karakter Rasa akan dikemas pada suhu warna yang sedang (3500-4500 K) yang berarti berkesan hijau yang tidak pekat.

-          Dari analisa karakter Siti,  menjabarkan sosok yang melankolis, introvert,  dari penjabaran ini look yang ingin ditampilkan agar sesuai dengan karakter tokoh  adalah  warna warna dengan suhu rendah, oleh karena secara psikologis suhu warna tersebut mampu menghantarkan mood seperti pada karakter Siti.

-          Tokoh Cut dari film ini adalah karakter yang rigid (kaku) trauma akan masa lalu, corak yang akan kami berikan pada karakter ini adalah warna warna dingin, sehingga efek yang diberikan melalui look semacam ini bisa sesuai dengan mood yang ingin dicapai

Dari penjabaran analisa karakter diatas, elemen sinematografi  telah memberikan berbagai corak dari ketiga karakter didalam film ini. Begitupun dengan elemen elemen yang lain dalam sinematografi, seperti; komposisi, angle, tata cahaya, dsb, akan tetap mengaplikasikan karakter tokoh sebagai pemicu dalam menata mise en scene di film ini.  Dan untuk lebih detilnya akan kami paparkan pada BAB 4 ‘Treatment Visual’.

III.  Konsep Visual Mise en scene
Sederhananya  Sinematografer ingin membuat formula dimana  visual atau gambar mengikuti konstruksi cerita, bahwa   style mise en scene akan menunjang atau mengikuti   bentuk teks naratif, agar tidak saling tindih dan  berdiri sendiri.
Dari teks cerita film ‘Suara Ilalang’  berbicara tentang keseharian Tiga orang tokohnya ditahun 2009, dari bentuk ini,  maka secara garis besar konsep style akan kami bagi tiga elemen secara garis besar (sesuai dengan karakter tiga tokoh), ketiga bentuk inilah yang nantinya akan dibuat

Kamis, 22 Desember 2011

Perlunya Pendekatan Kuantitatif dalam analisa (style) Film


Tidak adanya metode yang baku dan tetap dalam analisis film menjadikan disiplin ini menjadi domain penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif dimaksudkan untuk mengungkapkan gejala secara holistic-kontekstual melalui pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrumen kunci. Proses dan makna yang dihasilkannya akan cenderung bersifat deskriptif dan interpretatif karena menggunakan analisis dengan pendekatan induktif yang bersifat subjektif. 

Oleh karena itu, hasil penelitian maupun kajian film tidak dapat diterapkan secara keseluruhan untuk satu kasus yang sama. Sebab interpretasi terhadap suatu objek dalam hal ini film akan sangat bergantung pada pengalaman, pengetahuan/pendidikan, ekspektasi, latar budaya dan sosial ekonomi peneliti, sebuah konsekuensi menempatkan peneliti sebagai tolak ukur penelitian.

Minggu, 18 Desember 2011

Analisa Style berbasis Sains


             perlunya pendekatan sains dalam sinema dirasa perlu dalam analisa film, tulisan ini merujuk pada buku 'Film Style Technology & History analysis' 3rd edition, Starword London 2009 by Barry Salt,  halm 5 - 33.                            

Teori Film Lama, Teori Film Baru.

Sebelum kita masuk kedalam pokok bahasan utama , ada baiknya saya paparkan terlebih dahulu tentang kerangka dasar teori umum deskripsi dan analisa film.  Namun sebelum itu saya akan mencoba mengajukan beberapa argumen dan bantahan mengenai teori teori film terdahulu yang kurang memuaskan. Kritikan saya (Barry Salt) terbagi atas 2 bagian, yakni: 

Senin, 28 November 2011

PERJALANAN TEORI FILM DAN KOMPLEKSITAS REALITAS

tulisan ini adalah kelanjutan dari Analisa genre religi terhadap film film Chaerul Umam, dan untuk menganalisanya digunakan metode statistik Barry Salt. sebelum masuk kepada analisa film melalui statitistik ada perlunya jika diuraikan terlebih dahulu sejarah dan konsp konsep kritik dan analisa film yang berkembang hingga saat ini...
Perjalanan Teori Film
Meski masih terbilang baru sebagai kajian akademik, teori mengenai film bisa dikatakan sama tuanya dengan medium film itu sendiri. Kajian film mulai terbentuk antara dekade tahun 1960 dan 1970, ketika itu cara menonton kritis menjadi perbincangan di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Teori film saat ini memiliki cakupan konsep yang berbeda-beda dan saling melengkapi satu sama lain dalam rangka mendekati film sebagai objek studi tersendiri.

Dalam mempelajari film baik secara teoritis maupun metodelogis, ada tiga aktifitas penting yang membingkainya, yaitu : (1) teori film, (2) kritisisme film, dan (3) sejarah film. Namun secara garis besar kajian film dapat dipelajari melalui dua pendekatan yang membentuk teori-teori film yang berkembang hingga saat ini. Yang pertama adalah wacana formal-estetik yang menitikberatkan pada aspek formal dari film sebagai sebuah art form dan yang kedua adalah wacana kritik yang menitik-beratkan pada aspek sosio-kultural-ideologis yang terkandung dalam sebuah film[1].

 
II.1.1. Teori Film Klasik : Wacana Film Sebagai Seni
Pendekatan yang pertama melahirkan apa yang kini dikenal sebagai teori film klasik yang berkembang sejak awal abad 20 (sekira tahun 1915-an hingga 1960-an). Teori  ini menganggap penting dan mencoba membahas tentang ontologi sinema. Bagi teori film klasik, pertanyaan tentang asal-muasal sinema dan posisi sinema dalam bidang seni merupakan pertanyaan penting.  Teori film klasik mencoba untuk memberi nilai spesifik sinema[2]. Bagi teori film klasik, sinema harus dilihat ontologinya: apakah sinema/film itu, apakah dia seni, apa yang membuatnya bisa disebut seni, dan apakah tujuannya.

Gerakan ini merupakan bentuk pembangkangan para teoritisi dari kelompok Rusia terhadap praktek industrialisasi film ala pabrik seperti yang dilakukan studio-studio besar seperti Hollywood. Kelompok ini ingin memperlakukan film sebagai ‘lebih dari sekedar hiburan’. Mereka punya cara pandang sendiri dalam melihat sinema, film dan segala macam kegiatan produksinya bagi mereka adalah aktifitas seni.

Kelompok ini bukan hanya terdiri dari para pembuat film tapi juga kritikus, filsuf, dan teoritis; pada periode inilah teori film berkaitan erat dengan mazhab formalisme Rusia yang juga mendedikasikan diri pada proses pembuatan sinema secara teknis (film technique). Dalam wacana formalisme, film harus selalu dinilai dari kegunaan artistiknya[3].

Teori film klasik melahirkan dua tradisi besar, yaitu formalisme dan realisme. Tradisi formalis muncul pertama kali melalui tulisan Hugo Munsterberg di tahun 1916 (The Photoplay:A Psychological Study) dan mencapai kematangan dalam teori-teori Sergei Eisenstein (1898-1948). Sebaliknya, tradisi realis dimulai oleh karya Siegfried Kracauer di tahun 1947 (From Caligari to Hitler:A Psychological History of the German Film) yang disusul oleh karya seminal, Theory of Film:The Redemption of Physical Reality pada tahun 1960[4]
 
                 A. Formalisme : film sebagai seni murni
Sergei Eisenstein, Lev Kuleshov, Dziga Vertov, dan Rudolf Arnheim merupakan  beberapa teoritisi yang intens mempromosikan wacana ‘film sebagai seni’  dalam tradisi teori film klasik. Arnheim dan Eisenstein adalah teoritis pertama yang menganalisa bagaimana film melahirkan makna dan sekaligus hubungannya dengan bentuk-bentuk seni. Seni yang dikatakan  oleh Gotthold Lessing[5] haruslah terbukti benar dan sesuai dengan sifat yang mendasarinya. Film bisa menjadi seni yang sejati bilamana ia menemukan sifat dasarnya sendiri.  

Rudolf Arnheim dalam bukunya Film as Art yang diterbitkan tahun 1932 menyebutkan bahwa film bisa meraih statusnya sebagai ‘seni’ ketika film punya esensinya sendiri dan terbukti berbeda dengan esensi seni yang lain, seperti seni rupa dan teater. potensi estetis film justru terletak pada keterbatasan mediumnya; ketika film terbukti tidak bisa menghadirkan kenyataan sehari-hari sepersis aslinya, maka disitulah film bisa menggali potensi kreatifnya sendiri.
Namun dengan ceroboh Arnheim menyimpulkan bahwa keistimewaan yang dimiliki oleh film adalah bahwa ia tidak berwarna dan tidak bersuara, juga tidak memiliki aspek tiga dimensi, namun bisa menggambarkan kontinuitas ruang dan waktu terutama oleh macam film naratif. Tentu saat itu ia luput mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa dicapai film melalui teknologi.

Berbeda dengan Arnheim yang bereaksi cukup keras dengan hadirnya film berwarna dan bersuara karena menganggap film akan kehilangan sisi artistiknya, teoritis macam Eisenstein dan Kuleshov lebih mendalami kemungkinan dimana film bisa disusun oleh beberapa shot untuk melahirkan makna tertentu, fenomena yang kemudian dikenal dengan teknik montage. 

Eisenstein mengeksploitasi kemungkinan editing sampai pada taraf yang tidak terduga. Sementara Kuleshov mengembangkan kemungkinan montage berupa konstruksi makna yang berbeda tergantung pada urutan shot yang dihadirkan kepada pemirsa. Dalam istilah perfilman masa kini, konstruksi makna ini akhirnya dikenal dengan sebutan “Efek Kuleshov”. 

Terlepas dari bagaimana film dapat dilihat sebagai seni murni, keberadaan formalisme sebagai pondasi awal dari teori film memberi kesadaran bahwa keterbatasan film dalam menangkap realitas justru memungkinkan film untuk memanipulasi fungsinya dari sekedar media perekam menjadi alat pencerita yang kuasa menyedot penonton kedalam dimensi yang sama sekali berbeda.


B. Realism : Menggugat Keterbatasan Film
Masih pada era yang sama, estetika formalisme yang terletak pada montage dan ketak-tercukupan film dalam merekam realitas dibantah oleh tradisi realisme yang memperluas pembahasan mengenai film pada topik-topik yang lebih luas seperti proses representasi dan realitas sosial. Realisme pertama kali dicetuskan oleh kritikus film Prancis André Bazin. Ia berpendapat bahwa kekuatan terbesar sinema justru terletak pada kemampuannya menghadirkan kembali realitas sebagaimana aslinya.

Tradisi intelektual Bazin dipengaruhi oleh tradisi fenomenologi Bergson, eksistensialisme Jean Paul Sartre dan Personalisme[6]. Pada prakteknya Bazin lebih mengandalkan direct recording process atas mise-en-scene sebagai teknik pengambilan gambar sinematik sebuah film. Ia menganggap bahwa deep focus dan long take marupakan cara untuk menggapai derajat realisme tertinggi. Menurutnya film tidak memiliki keterbatasan dalam merekam realitas, satu hal yang bertentangan dengan tradisi film sebelumnya.

Realism Bazin berpandangan teknik montage merupakan bentuk pemaksaan sutradara dalam menyusun sebuah totalitas shot-shot yang bersifat fragmentaris. Dalam konteks ini, montage akan merusak realitas dengan cara menyusun shot-shot hanya untuk menimbulkan efek atau ide tertentu. Sementara, penganut realisme ingin menjaga kontinyuitas temporal dan kesatuan spasial dimana hal ini merupakan posisi ontologis daripada estetis film. 

Mazhab realis tidak pernah menggunakan montage untuk merubah atau menambah realitas film[7], bahkan Bazin selalu mengkritik montage karena mengkhianati kenyataan dan membohongi penonton. Struktur naratif realisme menghormati durasi sebenarnya dari peristiwa dan tidak memotong-motongnya. Konsep durasi Bazin diambil dari terminologi Bergson tentang durée. Menurut Bergson, untuk mengalami kenyataan dengan sebenar-benarnya, kita harus masuk ke dalam fluks (perubahan terus-menerus) itu sendiri. Durasi adalah sesuatu yang kita tangkap dengan kebebasan penuh, kesadaran diri, dan otentisitas[8].

Kajian Bazin terhadap film-film Orson Welles kurang lebih menjadi manifestasi awal teori auteur dalam sejarah kajian film. Ia mengadopsi tradisi kesenian lain (sastra) ke dalam film. Teori Auteur mencari bentuk keselarasan dalam karya-karya seorang sutradara. Apabila terdapat konsistensi keselarasan dalam karya-karya itu, maka si pembuat film layak mendapat gelar ‘auteur’, sama derajatnya dengan seniman atau sastrawan. 

Pada periode ini pula, muncul genre theory, bentuk analisis sinematik yang diadaptasi dari pendekatan telaah seni sastra. Para kritikus Cahiers du Cinema menggunakan genre theory dalam mendefinisikan film kriminil gelap Amerika Serikat sehingga melahirkan istilah film noir.

 Selanjutnya artikel kritis di jurnal Cahiers du Cinema menjadi pelopor dari aliran neorealisme (1952) Italia. Di mana arus ini ikut ditandai dengan lahirnya sebuah gerakan sineas muda di Prancis sekira tahun 1958 dan 1964.  French new wave memperkenalkan style film ala avant garde[9] yang beranggaran rendah.
 
Gerakan ini memiliki prinsip yang berbeda 180º dari sinema klasik Prancis yang menitik beratkan film pada kekuatan narasi yang ketat yang digambarkan oleh Godard sebagai estetika deterministik plot yang menindas penonton. Mereka bahkan selalu mengingatkan bahwa film hanyalah urutan gambar yang bergerak, bagaimanapun bagusnya cahaya dan bayangan yang dihasilkan. Pada akhirnya french new wave sebagai sinema Eropa modern memfokuskan diri pada teknik sebagai style film itu sendiri.[10]

II.2. Teori Film Modern ; ‘Mengorek‘ Kekuatan Sosial-Ideologis Film
Teori film modern populer sepanjang tahun 1970-1980-an, tidak terlepas dari kuatnya pengaruh cultural studies pada dekade tersebut. Mazhab ini memandang film sebagai sistem yang terstruktur dan tertutup. Juga sebagai ilusi dari realitas. Dari sudut epistemologi, aliran ini memandang hidup secara ideologis. Estetikanya adalah: “bagaimana sebuah film menciptakan makna yang tersembunyi. 

Secara intrinsik mempelajari film memang penting dan mungkin, meskipun terkadang harus dianalisis lewat wacana seni dan estetika yang lebih luas – lintas teori –. Hal ini justru untuk menempatkan film sebagai objek kesenian lengkap dengan karakteristik formalnya sendiri. Pendekatan ini berupaya untuk melihat film secara sosial dan ideologis, menganalisa apa yang menjadi representasi dalam film baik dari segi style maupun narasinya, lalu mencari pola hubungannya dengan konsep sosial-politis (biasanya yang dianut oleh peneliti film itu sendiri). 

Modus yang digunakan selalu mencari tahu siapa atau apa yang berada di balik semua produksi kultural. Cultural studies sebagai bagian dari tradisi kritis marxisme selalu mencurigai produk kultural seperti film pasti digunakan oleh satu atau beberapa pihak dalam masyarakat untuk meraih atau mempertahankan kepentingan politis-ekonomis tertentu[11]

Tradisi ini banyak dipengaruhi oleh paham Gramscian dan Althusserian yang dipadukan dengan konsepsi Adorno mengenai ‘industri. Sekali film dilihat sebagai produk kultural, maka ia akan selalu tampak sebagai gejala modernitas, yang tak pernah bisa lepas dari kapitalisme, industrialisme, budaya urban, dan massa yang tersentralisasi[12].

Wacana film sebagai produk kultural-ideologis merupakan identifikasi unsur politik representasi dalam film yang dipengaruhi oleh ilmu semiotika – salah satu varian dari ilmu linguistik – yang muncul pada tahun 1970-an. Peneliti film saat itu menyandarkan penelitiannya pada ajaran-ajaran linguistik Ferdinand de Saussure dan konsepsi semiotika Charles Sanders Pierce. 

Mereka berpendapat bahwa film lebih dari sekedar seni, film adalah fenomena linguistik. Dengan demikian terbuka kemungkinan baru untuk menjawab pertanyaan ‘Apa sebenarnya film itu?’ (dalam terminologi semiotika) dan bagaimana ia bekerja dalam sistem secara keseluruhan. Pelopor pemikiran ini yang paling berpengaruh adalah Christian Metz.

Pengaruh Marxis dalam periode ini sangat kental. Jika sebelumnya kajian tentang film banyak meminjam teori dari bidang seni lain –terutama sastra dan teater – maka pada periode ini paham marxis selalu melakukan ‘penetrasi’ terhadap teori-teori yang digunakan membahas film. Salah satu yang cukup populer adalah psikoanalisa Freudian yang oleh Jacques Lacan digabungkan dengan paham Marxisme[13]

Salah satu contoh dari hasil analisis berbasis psikoanalisis-Marxian ini dapat dilihat pada teori aparatus yang salah salah satunya diprakarsai oleh Jean-Louis Baudry. Baudry melihat bahwa cinematic apparatus (teknik seperti editing, camerawork dan proyeksi ke layar) sebagai perangkat ideologis semata. Ia bahkan menganalogikan film dengan mimpi seperti halnya Freudian psikoanalisis yang memberikan perhatian pada mimpi sebagai dobrakan dari represifitas alam bawah sadar kita (unconciousness). Namun konsep ini segera dibantah oleh beberapa kritikus, yang paling getol adalah Nöel Carroll.

Nöel Carroll menyebut Lacan –dengan teorinya – telah melakukan mistifikasi film[14]. Menurutnya penggabungan teori – psikoanalisis dan marxis – tersebut hanya akan menghambakan film pada ‘kekuatan sosial-ideologis yang tak kelihatan’ (unwitting instructor of political ideology)[15]. Carroll memberikan contoh tentang film-film hollywood dalam kacamata teori Lacan akan selalu dinilai mengusung nilai-nilai kapitalistik yang tentunya negatif berdasarkan ukuran Marxisme. Ditambah teori psikoanalisa yang digunakan akan segara mendiagnosa bahwa film-film tersebut mencerminkan kondisi masyarakat yang sedang sakit.

Akhirnya, interpretasi film melalui teropong psikoanalis-Marxis bersifat patologis dan negatif. Film akan terbaca sebagai bentuk hasrat yang direpresi oleh kelas berkuasa sehingga memunculkan penyakit dalam bentuk sinema. Film hanya akan dianggap sebagai pasien, lalu para teoritisi film bertindak sebagai psikiater.[16]

Pada periode ini kritikus film cenderung ingin membongkar agenda setting politik yang tersembunyi di balik sebuah medium film. Hal ini banyak diadopsi oleh para feminis, poskolonialis, dan teoritisi queer cinema yang selanjutnya diamini oleh paradigma posmodernisme sebagai gelombang teori yang datang belakangan.

Meskipun posmodernisme tidak punya kerangka teoritis yang baku, tapi tetap memandang film merupakan penanda (signifier) ideologi yang sedang berkuasa. Para posmodernis selalu berusaha mencari apa yang tersembunyi, melihat film dengan seksama lalu membicarakan isinya.

II.3. Teori Film Kontemporer ; Neoformalisme Dan Teori Kognitif  

Dalam teori film kontemporer setidaknya ada 2 hal yang menjadi catatan penting, yaitu kembalinya paham formalisme baru (neoformslism) dan masuknya pendekatan kognitif dalam teori film. Teori film kontemporer melihat film sebagai suatu sistem terbuka, estetika film kini mengarah pada cinematic poetics sebagai ontologinya.

Munculnya kerangka neoformalisme dalam kajian film hadir nyaris bersamaan dengan tenarnya semiotika strukturalis dalam kajian film tahun 1960-an. Banyaknya karya-karya Viktor Skhlovsky serta beredarnya kembali esai-esai Eisenstein memicu kegiatan kritik film untuk berjalan paralel dengan tradisi new criticism yang dimiliki kajian sastra. Hal ini juga menimbulkan ketertarikan untuk mengkaji kembali formalisme Rusia muncul di Barat.

Neoformalisme sama sekali tidak keluar dari ‘pakem’ sebelumnya, metode ini tetap dan masih tertarik pada kajian artistik film itu sendiri; bahasa sinematik, aspek naratif, gaya konstruksi, dan relasi antara konstruksi formal dari film dengan pengalaman (psikologis) penonton film itu sendiri. Victor F. Perkins lewat bukunya Film as Film (1972) yang pertama kali memperkenalkan neoformalisme meski ia bersikeras menolak kaitan disiplin ilmu lain dalam membahas film. Ia mencari celah agar kita bisa menganalisa film dari sudut pandang yang paling ontologis. Selanjutnya neoformalisme dikembangkan oleh para ilmuwan film dari Universitas Wisconsin-Madison, seperti David Bordwell dan istrinya Kristin Thompson pada tahaun 1980-an.

Asumsi-asumi neoformalis berkerja didasari pada dua hal: cinematic poetics dan historical poetics. Kedua konsep ini diadopsi kedalam konteks dimana film diproduksi lewat sebuah mode praksis yang akhirnya berpengaruh pada interaksi gaya dan naratif dan berujung pada film secara keseluruhan. Dalam pendekatannya, neoformalis menganggap bahwa ada kesenjangan antara sebuah persepsi film dan semiotik, juga perbedaan antara bentuk alur dan konstruksi cerita. Dua hal yang diabaikan oleh pendekatan terdahulu yang dikalaim sebagai ‘Grand Theory’  seperti semiotika, hermeneutika, psikoanalisa Lacan dan poststrukturalisme.

Historical poetics/cinematic poetics/neoformalis dan pendekatan film kognitif menghindari pencatutan a priori atas film. Mereka senantiasa menggali bukti baik dari dalam film itu sendiri (unsur yang terkandung dalam gaya penyampaian dan naratif) atau konteks historis dimana film itu dibuat. Lewat pendekatan kognitif, bukti-bukti empiris bisa mengiringi studi sinema menyangkut hubungannya dengan alam pikiran dan respon penonton (seperti emosi, ketegangan, identifikasi dan kenyamanan) selama menonton. Melalui perspektif ini, kita bisa membangun pengetahuan yang lebih sehat, konstruktif, dan berguna mengenai sinema yang hingga kini masih memesona para penontonnya dari semua belahan dunia.

Menurut Bordwell menonton film bukanlah merupakan pengalaman yang komplet. Penonton tidak akan disuapi secara otomatis oleh total keseluruhan cerita yang disampaikan, atau disebut fabula[17] dalam bahasa formalis Rusia, sehingga penonton menggunakan schemata untuk mengorganisir informasi lewat plot yang diberikan. Schemata adalah konsep yang diadopsi Bordwell dari psikologi kognitif yang intinya adalah sebuah sistem pengorganisiran informasi kedalam kategori-kategori yang akan dipergunakan kembali ketika kita menemukan situasi baru dengan informasi baru pula agar proses pemahaman kita terhadap situasi dan informasi baru tersebut menjadi lebih mudah. Dalam konteks menonton film, schemata berfungsi sebagai sebuah mekanisme psikologis yang berusaha menjelaskan proses penarikan kesimpulan dan komprehensi cerita ketika kita menonton film-film naratif.

Konsep yang ditawarkan Brodwell ternyata menjadi tonggak penting lahirnya pendekatan baru dalam teori film yang dikenal dengan ‘pendekatan film kognitif’. Dimensi yang ditawarkan Brodwell mengintegrasikan cara memahami narasi yang terkandung dalam sebuah film atau karakteristik dari genre (movement) film tertentu seperti Soviet Montage Cinema (Eisenstein dkk) atau French New Wave (Godard, Truffaut dan Rohmer).

Bersama rekannya Noël Carroll, mereka intens memperkenalkan pendekatan barunya. Noël Carroll dalam bukunya Mystifying Movies: Fads and Fallacies in Contemporary Film Theory, menolak pendekatan psikoanalisa-Lacan karena dianggap akan menjadikan film sekedar mitos. Meski teori psikoanalitik-marxis-semiotik saat ini masih mendominasi kajian film, mereka menawarkan alternatif pendekatan yang mereka sebut sebagai ‘Kognitivisme’.

Aliran kognitif tidak terlepas dari perkembangan ilmu psikologi yang ‘menyusup’ masuk kedalam kajian seni dan sastra sepanjang lima belas tahun terakhir[18] yang dikenal dengan ‘psikologi evolusioner’ (evolutionary psychology). Psikologi revolusioner telah menjadi alat bantu para kritikus sastra maupun film dalam memetakan pola aktifitas manusia ketika sedang bergumul dengan pengalaman naratif. Psikologi dan biologi evolusioner membantu para ilmuwan dalam memahami fungsi, meminjam istilah Terrence Deacon, ‘aesthetic faculty’ searah dengan sejarah kaum Homo sapiens.

Joseph D. Anderson dalam bukunya The Reality of Illusion menjelaskan bahwa proses mengakses film berbanding lurus dengan persepsi ekologis manusia sebagai makhluk yang dipandang senantiasa bergerak oleh lingkungannya[19]. Dimana dengan memahami dan menggali psikologi dan biologi evolusioner tersebut, fenomena alam pikiran seperti emosi, kenyamanan, metarepresentasi, dan hubungannya dengan kajian film dan sastra seperti identifikasi, ketegangan dan keterkejutan, bisa dijelaskan dengan cara menelusuri evolusi otak manusia[20]

Inti dari pemahaman Anderson adalah bahwa pengalaman menonton film merupakan suatu ilusi dimana kerja otak manusia –sebagai mamalia- telah mengalami tipuan sehingga apa yang tampak di layar akan disangka sebagai realitas, disini letak ilusi film. Tipuan ini bekerja melalui sistem penginderaan manusia yang dikontrol oleh satu prinsip organisasi yang disebut veridicality. Prinsip veridicality kurang lebih menekankan bahwa persepsi manusia akan dunia haruslah berada semirip mungkin dengan perkiraan manusia itu sendiri akan dunia (yang dalam hubungannya dengan seni visual, tidak berdasar pada tujuan, melainkan hasil)[21] bahkan seringkali manusia mengalami ilusi dalam kondisi sadar[22].

Anderson merujuk pada teknologi 3-D, dimana gambar diproyeksikan pada medium dua dimensi, lalu ditayangkan di hadapan manusia. Manusia akan berkali-kali menerima ilusi bahwa sesuatu tengah bergerak kearahnya dan sebagainya, padahal sebenarnya tidak. Sinema bisa menghadirkan ilusi yang bersifat paradoksal terhadap prinsip penginderaan manusia atas realitas.[23]

II.4. Statistik Dalam Teori Film : Objektif, Terukur Dan Sistematis
Sepanjang perjalanan teori film, kita dapat melihat bagaimana persepsi dan interpretasi menjadi tujuan utama dalam menentukan apa sebenarnya film itu? Baik secara ontologi maupun epistemologis. Seolah-olah, ketika film tidak mampu dipersepsikan ataupun diinterpretasi oleh penonton maka film tersebut kehilangan eksistensinya.

Hal inilah yang belakangan menjadi konsentrasi seorang sejarahwan yang juga kritikus film berkebangsaan Australia, Barry Salt (1933) sejak tahun 1980-an. Film haruslah memiliki eksisitensi yang sama bagaimanapun bentuk narasi, teknik maupun editing yang digunakannya sebab film merupakan satu entitas yang empiris. Mengkaji film berdasarkan persepsi dan interpretasi hanya akan memetakan film menjadi dua kelas; yang bagus/baik dan yang jelek/buruk seperti yang dilakukan oleh teori auteur yang dipopulerkan oleh Andrew Sarris[24]

Prinsip dasar teori Auteur Sarris menggunakan tolak ukur dari seberapa besar peran/ pengaruh sutradara dipandang dari sudut style, kreatifitas maupun psikologis dalam menyumbangkan nilai estetik kedalam karya filmnya. Apabila peran/ pengaruh sutradara tersebut sangat menonjol, maka ia layak disebut  sebagai seorang Auteur. Dan menurut Sarris, gelar Auteur yang disandang sutradara tersebut akan cenderung melekat terus meskipun beberapa filmnya tidak menampilkan kriteria tersebut. Teori ini akan menjadikan sebuah film  Auteur lebih berharga  dibanding dengan karya film Non-Auteur. Satu hal yang nilai Salt sangat subjektif dan jauh dari kaidah ilmiah[25].

Sayangnya hal ini juga menimpa teori-teori film yang sudah ada. Setidaknya ada 3 hal yang menjadi kelemahan teori-teori tersebut menurut Salt : (1) ketidak-konsisten-an teori-teori tersebut dalam menginterpretasi film, (2) Tidak adanya rumusan/ kriteria yang pasti, (3) Subjektif / kriteria tergantung dari intepretasi sang kritikus.

Bagi Barry, memasukkan teori dari disiplin ilmu lain kedalam kajian film seperti tidak menjadi masalah selama teori tersebut dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah pada disiplin ilmu dasarnya. Berbeda dengan Perkin yang menolak total teori lain dimasukkan kedalam kajian film. Namun salt memberikan kecermatan dan ketelitian yang ketat sebagai catatan dalam mengadopsi teori lain dalam mengkaji film sebab memasukkan teori-teori yang terbukti gagal di disiplin ilmunya kedalam kajian film merupakan hal yang sia-sia baginya.

Ia mencontohkan teori psikoanalisa yang banyak diadaptasi dalam teori film yang secara nyata minim tingkat kesuksesannya dalam penyembuhan pasien gangguan mental[26]. Sehingga tidak ada alasan baginya untuk mempercayai teori tersebut. Meski dengan tegas ia nyatakan bahwa ia meyakini tentang keberadaan the Unconscious Mind (alam bawah sadar manusia) yang dicetuskan oleh Sir Francis Galton, ilmuan pendahulu Sigmun Freud, hanya saja Salt merasa teori Freud tidak memuaskan dan bukanlah medium yang tepat mengkaji interpretasi film.

Meski harus diakui ketentuan dasar kajian interpretasi film maupun media seni lain yang ’legal’ merupakan polemik yang tidak berkesudahan disebabkan oleh  cara pandang  para individu dalam mengartikan  makna atau simbol dalam tampilan sebuah visual film atau karya seni lainnya. Masing-masing kritikus film, sineas dan para pelaku film memiliki motif agenda, ekspektasi, maupun latar belakang  sosio ekonomi serta budaya sendiri dalam mengambil sikap  yang berkenaan dengan proses interpretasi sinema.

Secara umum dapat digambarkan dua kutub yang saling berlawanan dalam pengaplikasian interpretasi film.
·        Yang pertama adalah, pandangan ekstrim  yang menolak sama sekali  keberadaan kajian interpretasi film yang sah (Barry Salt menganggap pandangan ini sebagai lelucon belaka, karena dibalik  penolakan mereka atas keabsahan sebuah kajian  interpretasi mereka tetap memberikan  analisa/ kritik pada film)
·        Kedua, merupakan pandangan konservatif  yang jauh lebih toleran terhadap beraneka ragam variasi dalam  kajian film, dimana unsur-unsur sinema seperti, konteks, narasi, visi dsb menjadi faktor pertimbangan.
    Dengan berpatokan pada konsep konservatif ini, maka muatan religi yang terkandung dalam sebuah film religius bila dikaji dari persfektif keagamaan oleh sosok sutradara yang ‘tidak beragama’ akan dianggap tidak sah.

Ketika seorang kritikus film menggunakan intuisi pribadinya kedalam proses interpretasi, maka yang terjadi adalah  kita sebagai penikmat film akan kian tersudut  pada pengembangan wawasan dan terjebak sistem analisa yang sangat subjektif. 

Pada akhirnya Barry Salt menyerukan pentingnya seorang reviewer/ kritikus film untuk lebih mempertimbangkan aspek teknis, yang antara lain  melibatkan depth of field, editing, shot selection, dsb kedalam rumusan interpretasi filmnya. Hal ini yang menurut Salt menjadi kekurangan yang menonjol dikalangan kritik akademis saat ini.

Berpegangan pada aspek konstruktif dalam memformulasikan rumusan teori filmnya, Salt kemudian menggunakan metode analisis dan evaluatif yang seobjektif mungkin dalam menelaah lebih dalam tentang berbagai unsur dalam cinema. Metode analisis dipandang perlu demi menguji seberapa  tinggi tingkat akurasi rumusan teori yang digunakan, demikian juga halnya dengan metode evaluatifnya.

Menurutnya kajian sinema yang ideal harusnya meneladani aspek-aspek positif yang ada  pada sains yang lebih stabil dan mapan seperti biologi dan fisika, yang mana terdapat kesamaan baik dalam esensi maupun metode pengajaran  baik di Inggris, Rusia, Amerika serta China. Bukannya malah terbuai dengan retorika spekulatif.

Meski menurutnya kajian film tidak memilki kapasitas untuk dapat tumbuh dan kemudian berkembang menjadi sains murni dikarenakan sifat dasar  dari kajian itu sendiri yang cenderung bersifat eksperimental, inovatif, serta kental dengan aroma kompleksifitas. Singkat kata, tidak ada aturan baku yang mengatur nilai nilai estetika yang terkandung didalam medium sinema, sehingga bisa dikatakan estetika dalam sinema seakan akan bersifat sebagai alat kosmetik belaka.

Analisa film versi Barry Salt terbagi atas tiga unsur, yaitu :
1)      Berdasarkan Konstruksi teknisnya (jenis kamera yang digunakan, ukuran lensa, angle, editing, art direction dan tata ruang)
2)      Style (executive and artistic decision) sang sutradara. Dimana menurut Salt faktor kedua ini lebih banyak diabaikan dalam perumusan teori film dewasa ini.
3)      Dan yang terahir dan relatif kurang signifikan dari dua faktor diatas adalah film dapat dianalisa dengan mengukur seberapa besar tingkat respon dari penonton.

Sedang dalam kriteria evaluasi film, Barry mengklasifikasikan 3 aspek utama yaitu; (1) Originalitas, (2) Pengaruh film tersebut dengan film lainnya dan (3) seberapa besar visi dan pengaruh kreatif sang filmaker terpenuhi dalam film garapannya.

Sama seperti mereka yang membawa strukturalisme, formalisme, psikoanalisa maupun semiotik ke dalam analisa film, Barry memperkenalkan kepada kita suatu metodelogi yang cukup asing dalam dunia kajian sinema, statistik. Sama seperti metode semiotik strukturalism, pendekatan yang digunakan Barry mengabaikan pertanyaan mengenai estetika dan efektivitas phenomenologi untuk mengeksplorasi produksi makna teks sebagai Aset strategi diskursif. Ia bahkan memperlakukan teks secara ‘kasar’ dengan merobeknya manjadi averege shot lenghts, camera movements, shot types, dll)[27].

II.5. Statistik ; Pendekatan Baru  Dalam Analisis Style
Obsesi Barry Salt untuk menggunakan metode penelitian film yang lebih sistematis, terukur dan lebih objektif ia temukan dalam penelitian kuantitatif. Analisis style kuantitatif di sini melibatkan statistik baik secara deskriptif dan inferensial[28]. Tujuan utamanya adalah mengumpulkan jumlah dan frekuensi data parameter formal sutradara  kemudian diwakilkan ke dalam grafik, persentase, dan rata-rata panjang tiap shot (ASL). 

Pendekatan statistik dalam penelitian film  memberikan hasil secara visual angka-angka yang lebih jelas dan sistematis, dalam hal ini Barry Salt dengan berani menyebut metode penelitian film dengan pendekatan statistik merupakan  Scientific realism[29]. Statistical style analysis sendiri secara spesifik memiliki 3 tujuan standar, yaitu:
1.      Menawarkan analisis style dengan menggunakan pendekatan kuantitatif.
2.      Menghindari sengketa teks yang berkaitan dengan atribut kepenulisan
3.      Untuk mengidentifikasi kronologis film ketika adegan atau urutan komposisi tidak jelas atau tidak runut.[30]

Menggunakan perasaan mungkin dengan mudah dapat mengidentifikasi perbedaan style beberapa sutradara seperti ’Fritz Lang cenderung menggunakan long shot seperti film Renoir’ dengan asumsi bahwa sang sutradara lebih menyukai long shot., Namun bila diamati secara detail idea tersebut sangat meragukan, dengan melakukan pengamatan dan membandingkan secara statistik menunjukkan bahwa hal itu tidak semudah menonton satu atau dua film yang dianggap bagus[31].

Statistical style analysis  sendiri merupakan kritik terhadap teori mise-en-scene, di mana keduanya sama-sama menggunakan material film sebagai bahan atau objek analisisnya.  Dengan memasukkan statistik sebagai alat analisa, Statistical style analysis berhasil menghindari hubungannya antara style dan tema sebuah film, sesuatu yang menjadi fokus pada teori mise-en-scene yang ’mati-matian’ membantah asumsi bahwa tampilan scene dalam sebuah film (gerakan kamera, tata cahaya, dll) hanya keperluan estetika semata[32]. Analisis style dalam pendekatan statistik menunjuk satu set pola terukur yang secara signifikan menyimpang dari norma kontekstual film.

Tujuannya adalah mengindetifikasi style individu sutradara dengan mengumpulkan data parameter formal secara sistematis terutama yang berada dalam kendali langsung sutradara seperti :
Duration of the shot (termasuk  panjang rata-rata per-shot, atau  Average shot length/ASL)
Shot scale
Camera movement.[33]

Penghitungan dapat dilakukan dengan mengukur panjang pita film atau durasi pada film yang menggunakan cakram digital (CD) selang satu menit atau 100-ft pada film 35mm. pada kenyataannya Barry hanya mengumpulkan shot yang muncul dalam 30 menit film yang dianalisanya. Menurutnya shot-shot yang muncul 30 menit awal film merupakan repsentasi sampel film tersebut. Namun belakangan, keputusan menghitung shot seluruh film dilakukan agar skala shot lebih akurat. 



II.6. Metode Analisis
A. Average shot length/ASL
Konsep ASL merupakan panjang dari film dibagi dengan jumlah shot di dalam film, yang dapat dinyatakan sebagai panjang fisik yang sebenarnya dari film atau lebih dikenal sebagai durasi.  Sebelumya untuk film yang menggunakan celluloid/film bisu dimana kecepatan proyektor mempengaruhi durasi  Salt menggunakan satuan feet yang diambil dari panjang pita. Namun hal ini menimbulkan persoalan ketika perbandingan dilakukan dengan film-film yang dibuat pada masa yang berbeda. Untuk itu Salt mengganti satuan ASL menjadi detik, mengingat akurasi persentase kecepatan proyektor pada film bisu hanya memiliki perbedaan yang sangat kecil.

Dalam penghitungan statistiknya, Salt merekomendasikan beberapa cara untuk memilih interval waktu yang digunakan dalam menghitung ASL, yaitu :
1.      Gunakan interval waktu per satu menit atau 60 detik pada film dalam cakram digital (CD) atau 100-ft pada film 35mm.
2.      Lakukan perhitungan jumlah tipe shot dalam angka (misalnya 50 tipe shot) kemudian hitunglah jumlah shot dari keseluruhan tipe shot yang ada.
3.      ASL atau panjang rata-rata shot didapat dari perhitungan interval waktu keseluruhan scene dalam film. Kemudian hitunglah jumlah shot seluruhnya.  Jika scene berlangsung 2 menit (120 detik) dan jumlah shot setiap scene adalah 12 maka ASLnya adalah 10detik (ASL = durasi scene : jumlah shot)

B.Scale Shot
Pada mulanya Salt mendapatkan skala shot kebanyakan dari data-data untuk ASL (scene dan jumlah shot) dan hasil persentase terbalik dari potongan angle yang diambil dari 30 menit panjang film atau setidaknya 200 shot. Namun kriteria tersebut tidak memuaskan dengan range error mencapai lebih 10%. Karenanya distribusi skala shot sekarang diambil dari keseluruhan panjang film. Adapun tipe shot yang dihitung adalah : 

1.      Extreme Close Up (ECU)
2.      Close Up (CU)
3.      Medium Close Up (MCU)
4.      Medium Shot (MS)
5.      Medium Long Shot (MLS)
6.      Long Shot (LS)
7.      Very Long Shot (VLS)

C. Camera Movement
Tren menggunakan gerak kamera yang luas munChaerul Umaml pada akhir abad ke-12 dan masih berlangsung hingga memasuki periode film bersuara. Hal ini memunChaerul Umamlkan perbedaan antara jumlah shot dengan gerak kamera (Camera Movement). Perdebatanpun muncul tentang apakah gerak kamera merupakan salah satu bagian dari style sutradara dimana gerak kamera tidak menampakkan kerja-kerja sutradara didalamnya melain kerja cameraman.

Namun menyadari bahwa gerak kamera berada dalam kewenangan sutradara dalam hal ini kamera bergerak sesuai keinginan sutradara dan lebih jauh melihat kedekatan kerja antara sutradara dan cameraman yang lebih dibanding kru lainnya, dalam hal ini jika sutradaramemutuskan untuk tracking shot maka eksekusi berada pada operator kamera dibanding lighting cameraman

Alasan tersebutlah yang membuat Salt menyimpulkan bahwa camera movement merupakan bagian dari style sutradara. Adapun penghitungan skala camera movement mencakup:
1.      Pan
2.      Tilt
3.      Pan With Tilt
4.      Track
5.      Track With Pan
6.      Crane



DAFTAR PUSTAKA

Salt, Barry, Film Style and Technology : History and Analysis, London: Starword Publishing, 2003
Salt, Barry, Moving Into Pictures. London : Starword Publishing, 2006
Thomas Elsaesser & Warren Buckland, Studying Contemporary American Film, London : rnoldpublishers, 2002
Kristanto, JB, Katalog Film Indonesia 1926-2005, Jakarta : Penerbit Nalar, 2005
David Bordwell & Kristin thompson, Film Art : An Introduction. Mc Graw-Hill: 1993 Fourth edition.
Salim, Agus, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006
Gibbs, John. Mise-en-scène. United Kingdom: Wallflower Press, 2002.
Arikunto, Suharsimi,  Manajemen Penelitian, Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2009
Bungin, Burhan, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Jakarta : Kencana,2010
Surakhmad, Winarno, Dasar dan Teknik Research; Pengantar Metodologi Ilmiah,  Bandung : Tarsito, 1978
Jurnal ‘Jejak Film Bihari’, Bandung : PPDP-FFI 2008
Biran, H. Misbach Yusa, Apa-Siapa Orang Film Indonesia, Jakarta : Depertemen Penerangan Republik Indonesia & Sinematek, 1979
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke Tiga, Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional & Balai Pustaka, 2005



[1] Richard Dryer, “Introduction to Fim Studies,” dalam The Oxford Guide to Film Studies
[2] John Hill dan Pamela Church Gibson (ed.), The Oxford Guide to Film Studies, Oxford University Press, 1998.
[3] Ibid 1
[4] J. Dudley Andrew, The Major Film Theories:An Introduction, Oxford University Press, 1976, bagian Bibliografi.
[5] Gotthold Ephraim Lessing (1729 –1781), seorang filsuf, kritikus seni dan penulis kebangsaan Jerman. Ia dikenal sebagai sejarawan teater yang pertamakali memperkenalkan dramaturgi.
[6] Ian Aitken, European Film Theory and Cinema:A Critical Introduction, Edinburg University Press, 2001
[7] André Bazin, What is Cinema? Vol.I, bagian The Virtues and Limitations of Montage.
[8] Ian Aitken, ibid
[9] A.O. Scott, Living for Cinema, and Through It, New York Times, June 25, 2025,
[10] Pier Paolo Pasolini, Heretical Empiricism, Garzanti : 1972
[11] Richard Dryer, ibid hal 6
[12] Ibid hal 8
[13] Joseph D. Anderson, The Reality of Illusion: An Ecological Approach to Cognitive Film Theory, Carbondale: Southern Illinois University Press, 1996
[14] Nöel Carroll, Mystififying Movies: Fads and Fallacies in Contemporary Film Theory, New York: Columbia University Press, 1988.
[15] Joseph D. Anderson, ibid
[16] Joseph D. Anderson, ibid
[17] Fabula adalah istilah yang berasal dari Formalisme Rusia sebagai narratology atau yang menggambarkan konstruksi narasi
[18] Brian Boyd, Joseph Carroll, dan Jonathan Gottschall, Evoluton, Literature and Film: A Reader, New York: Columbia University Press, 2010
[19] Joseph D. Anderson, The Reality of Illusion
[20] Ibid Joseph D. Anderson
[21]Ibid Joseph D. Anderson
[22] Anderson membedakan ilusi dengan bermimpi (pengalaman kontra-veridikal yang terjadi saat tidak sadar) atau halusinasi (pengalaman kontra-veridikal yang dipengaruhi obat-obatan), ilusi muncul ketika manusia tepat berada pada titik kesadarannya
[23] Ibid Joseph D. Anderson
[24] Andrew Sarris merupakan kritikus film yang  mempopulerkan teori Auteur di USA melalui bukunya The American Cinema: Directors and Directions 1929-1968 (1968).
[25] Barry Salt, London, Film Style and Technology : History and Analysis,: 2003
[26] The Effects  of Psychotherapy, S. Rachmann, Pergamon Press : 1971
[27] ????
[28] ibid????
[29] Scientific realism merujuk pada pengertian Stanley Kubric; sesuatu yang di dalamnya benar-benar terdapat sesuatu yang bisa diteliti/diukur.
[30] Thomas Elsaesser & Warren B, Studying Contamporary American Film; A Guide To Movie Analysis Oxford University Press, 2002
[31] Dolozel and Bailey, Statistics and Style, Elsevier, 1969
[32] ibid 21
[33] ibid21