Teori Film

Jumat, 28 Oktober 2011

Analisa Barry Salt terhadap teori film kontemporer (Marxisme Althusser, Semiotik Metz dan Psikoanalisa Lacan),

Tulisan ini berisikan bantahan bantahan teori film kontemporer yang menurut Salt terlalu mengandalkan Imaginasi dalam esensinya ataupun intuisi pribadi sehingga estetika terkesan kelanjutan dari kosmetika.

Marxisme dan Althusser

50 tahun terahir ini, sejarah telah menjadi saksi atas terpurukny Marxisme yang menitik beratkan pada pemerataan kelas yang merujuk pada kesejahteraan rakyat umum dengan total kendali pemerintah pusat dan keunggulan sistem Kapitalis dalam persaingan global. Hal ini sangat berdampak besar pada peta sosio politik dan budaya dunia dan sedikit banyak telah mempengaruhi  sejarah perkembangan  sains dan filosofi.

Berbekal dari sedikit catatan tambahan  yang dia masukkan kedalam teori Marxisme, Louis Althusser mengklaim bahwa konsepnya telah memberikan konstribusi penting  pada perkembangan teori film Prancis dewasa ini.
Mengupas lebih jauh tentang peranan Althusser dalam ranah filosofi, Salt membeberkan sederet kejanggalan buah pikiran Althusser yang tertuang dalam essaynya Lenin and Philosophy (New Left Books, 1971), yang antara lain berisikan pernyataan kontroversialnya tentang rumusan teori  Ernst Mach yang dianggap tidak memiliki andil penting dalam perkembangan filosofi modern, walaupun dalam kenyataannya komunitas the Vinnese Logical Positivists  secara terang terangan bahwa Mach sebagai the founding father  komunitas mereka, dan kalangan pemerhati filosofi mendeteksi pengaruh Mach yang besar terhadap teori  karya filsuf lainnya seperti, Russel. Wittgenstein serta William James.


Rabu, 26 Oktober 2011

Linguistik Louis Hjelmslev and Semiotika Eco Umberto


Linguistik dan Film
Ketertarikan para cendekiawan Prancis pada sistem Linguistik yang dikembangkan oleh Saussure dan Hjelmslev yang berawal pada 1970-an, kini telah menurun drastis, dan yang tersisa saat ini hanyalah beberapa terminologi usang/ ungkapan teknis semu  yang sesekali dilontarkan  untuk membuat terkesan khaylak intelektual Prancis termasuk (mahasiswa- mahasiswa DO). Konon, katanya ilmu Linguistik tidak hanya mampu membedah  ‘bahasa’ namun juga bisa mempelajari bentuk serta elemen komunikasi.

Barry Salt merasa tidak perlu untuk membahas hal ini secara lebih detil, oleh karena memang kegagalan linguistik   telah terbukti dan diakui oleh beberapa kalangan, baik cendikiawan/ akademisi maupun masarakat awam, yang mana kegagalan ini telah cukup dijelaskan oleh Jonathan Culler dalam bukunya Stucturalist Poetics.

Selasa, 18 Oktober 2011

maaf, tulisan anda saya TOLAK !!!



I.I. Latar Belakang
“ Hal yang paling empiris dalam film adalah style terutama yang berada dalam kendali sutradara[1]
(Eisentein dalam mise en shot[2])
Film style dikenal sebagai teknik film maker atau sutradara dalam memberi makna atau nilai tertentu dalam filmnya. Hal ini dapat mencakup semua aspek dalam membuat film: sound, mise-en-scene, dialog, sinematografi, ekspresi, dll.  Banyak teknik yang dapat digunakan seiring majunya teknologi pembuatan film berimplikasi pada tidak pernahnya suatu film menggunakan satu teknik tunggal.
Namun kondisi historis membatasi sutradara  secara teknis, seperti yang terjadi pada era film bisu dimana sutradara kesulitan mensinkronkan dialog pada film hingga ditemukannya teknologi film bersuara pada 1920an.  Sebelum tahun 1950an, film hanya hitam putih kini sutradara memiliki lebih banyak pilihan shoot dalam hitam putih ataupun berwarna.
Otoritas sutradara dalam menentukan teknik  mana yang digunakan menyebabkan style film berbeda. Sependapat dengan Eisentein,  Jhon Gibbs menyatakan bahwa salah satu yang paling  jelas terlihat dalam style sebuah film adalah  mise en scene yang secara harfiah dijelaskan olehnya  sebagai segala sesuatu yang terlihat dalam scene (layar). [3] Inilah yang menyebabkan film tampak berbeda meski berasal dari satu naskah yang sama.
Pada perkembangannya penelitian tentang style film menghadirkan klasifikasi style yang  menjadi identitas komunal para film maker dari satu daerah  dalam  jangka waktu tertentu. Seperti Ekspresionisme Jerman, Neorealisme Italia, dan Montage di Uni Soviet.
Klasifikasi ini merupakan  hasil  penelitian film dengan menggunakan analisis style yang merupakan pendekatan  kualitataif, seperti analisis style menggunakan teori semiotika, naratif, psikoanalisa, dll.
Di Indonesia, setidaknya hingga memasuki tahun 2000an, pendekatan kualitatif masih mendominasi penelitian film. Padahal, sebagai sebuah disiplin ilmu  analisis/kajian film dapat menerapkan dua pendekatan penelitian baik kualitatif maupun kuantitatif.
Penelitian kualitatif dimaksudkan untuk mengungkapkan gejala atau fenomena secara kontekstual melalui pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrumen kunci.
Karena menempatkan penulis/peneliti sebagai instrumen utama, maka penelitian kualitatif bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Sayangnya hasil penelitian kualitatif tidak dapat diterapkan secara holistik (menyeluruh) atau tidak dapat digeneralisir untuk kepentingan penelitian yang lainnya sebab metode ini tidak bertitik tolak dari sampel.