Teori Film

Minggu, 25 Oktober 2009

Tranformasi Hollywood: Third World Cinema (acakadut)



I. Pendahuluan.

Perang dunia 1 diakui tidak memberikan dampak yang baik untuk perkembangan dunia, namun perang tersebut menjadi landasan histories Golden Age of Hollywood yang kemudian menjadi salah satu sejarah penting perfilman dunia. Hollywood dalam beberapa decade telah menjadi patron untuk perfilman dunia. Secara tidak sadar, mesin industri hiburan terbesar ini telah mematok standarisasi untuk film yang diakui bermutu.

Standarisasi, sayangnya bertolak belakang dengan apa yang menjadi tujuan utama mengapa Hollywood di bangun yaitu menyebarkan ‘The American Dreaming’ ke seluruh penjuru dunia melalui film-film produksinya. Kebebasan, kebebasan dan kebebasan menjadi tujuan utamanya.

Konsep Kritik (Authorship dan Hollywood)




Authorship merupakan ‘teori cinema’ yang telah lama dikenal dan berkembang, teori ini semakin berkembang sebagai aktualisasi dan tanggapan terhadap film, Hollywood, dan sinema dunia selama kurang dari 7 dekade. belakangan ini, sehingga dirasakan perlu adanya kontekstualisasi atas berbagai wacana yang berkenaaan dengan institusi yang mendukung konsep tersebut. Dalam pelaksanaannya, kajian ilmiah tentang Authorship menitikberatkan tentang pentingnya seorang sutradara dalam menyalurkan kreatifitas seni serta visinya pada penciptaan sebuah karya film.

Selasa, 20 Oktober 2009

Mengkaji Film Film Rako Prijanto (draft1)


Director as Auteur
Tulisan ini merujuk pada satu nama sutradara yang dipilih oleh penulis, untuk kemudian karya karya sutradara tersebut dikaji secara tekstual. Apakah diantara sederet karya karya yang dihasilkan oleh sutradara tersebut memiliki konsistensi tema dan style begitu pula akan originalitas idealismenya.

Julukan ‘Auteur’ dikenal di era 1950an diberikan kepada sutradara yang memiliki konsistensi tema pada style dan tema pada karyanya. Kritikus ‘Auteur’ menilai bahwa pakar perfilman bekerja secara kolektivitas team, namun tanggung jawab sepenuhnya tetap berada pada kekuatan sutradara dari pra hingga pasca produksi. Oleh karenanya seorang ‘Auteur’ dianggap mampu mempertahankan idealismenya dan menjalankan konsistensi pada style dan temanya, walaupun bekerja dalam aturan studio/rumah produksi yang terkadang bersifat membatasi.
Adalah Rako Prijanto seorang sutradara muda Indonesia yang lebih dikenal sebagai sutradara komedi saat ini (6 dari 8 filmnya bergenre komedi). Selain dari hal tersebut, kekuatan dari sutradara ini adalah konsistensinya yang sangat

Golden Section

(Analisa Kerangka Pemikiran , dan Teori sebuah Frame)



Latar Belakang
Tulisan ini berisikan penjabaran dari mata kuliah Sinematografi yang dibawakan oleh Bapak Arif Pribadi ,Beliau mengantarkan sebuah materi bertema FRAMING , bagaimana kita membentuk sebuah frame hingga bisa lebih berfungsi , kiat diberikan sebuah kerangka pikiran (Golden Section) untuk melihat sebuah pola dari sebuah elemen sederhana dalam style sinematografi ini, untuk melihat mengapa muncul yang namanya freme serta keterkaitannya dengan sinematografi serta ilmu ilmu yang lain terutama dengan keterkaitan Sinematografi dan matematika. karena berbicara mengenai freme berarti kita dihadapkan pada bentuk bentuk simetri yang akan membentuk sebuah sudut geometri sehingga muncul dimensi ruang , yang kemudian teori ini akan di terapkan didalam bahasa visual .

Golden Section

(Analisa Kerangka Pemikiran , dan Teori sebuah Frame)

Latar Belakang
Tulisan ini berisikan penjabaran dari mata kuliah Sinematografi yang dibawakan oleh Bapak Arif Pribadi ,Beliau mengantarkan sebuah materi bertema FRAMING , bagaimana kita membentuk sebuah frame hingga bisa lebih berfungsi , kiat diberikan sebuah kerangka pikiran (Golden Section) untuk melihat sebuah pola dari sebuah elemen sederhana dalam style sinematografi ini, untuk melihat mengapa muncul yang namanya freme serta keterkaitannya dengan sinematografi serta ilmu ilmu yang lain terutama dengan keterkaitan Sinematografi dan matematika. karena berbicara mengenai freme berarti kita dihadapkan pada bentuk bentuk simetri yang akan membentuk sebuah sudut geometri sehingga muncul dimensi ruang , yang kemudian teori ini akan di terapkan didalam bahasa visual .

.Beliau mengatakan Sinematografi adalah Ilmu Exact namun masih ada toleransi toleransi idealis yang lebih bersifat menjaga estetika filmis untuk bisa menjabarkan keinginan Sinematografernya , Didalam Tulisan ini saya berusaha mencoba mengembangkan kembali materi “Golden Section “ tersebut dilihat dari berbagai sumber yang ada termasuk sejarahnya , serta kemunculan teori teori lain yang kemudian muncul dan berkembang didalam sinematografi .

Kamis, 15 Oktober 2009

Kino Pravda

akulah mata. mata mekanis.
aku
sang mesin
menunjukkan padamu sebuah dunia
dengan cara yang cuma aku bisa melihatnya

kubebaskan diriku untuk sekarang dan selamanya
dari imobilitas manusia.
aku bergerak konstan.
kumendekat dan bertolak dari objek objek

aku merayap dibawahnya
aku bergerak disisi mulut kuda yang sedang menderap

aku jatuh dan bangkit bersama tubuh tubuh yang jatuh dan bangkit

inilah aku, sang mesin, bermanuver dalam gerak khaotis
merekam satu demi satu gerakan dalam kombinasi yang pelik..

Minggu, 11 Oktober 2009

Virtual reality















1.1. Latar Belakang
Perdebatan tentang realitas atau sesuatu yang nyata (being) mungkin telah berlangsung seumur dengan peradaban manusia. Modernitas telah memerangkap realitas pada rasional ilmiah yang ambigu, yang pada dasarnya lebih dari perkara interpretasi dan persuasif yang cenderung bersifat subyektif sebab pengetahuan ilmiah sama sekali bukanlah jiplakan atau foto kopi realitas, melainkan realitas hasil konstruksi manusia yang erat kaitannya pada paradigma atau pandangan dunia manusia itu sendiri. Pada akhirnya pandangan tentang realitas tidak lagi terkait pada kebenaran melainkan pada apa yang dapat diciptakan sebagai sesuatu yang benar-benar ada.

Sabtu, 10 Oktober 2009

Mise en Scene

Mise en scène didefinisikan sebagai sistem penandaan yang hadir secara bersamaan atau berlawanan dalam ruang dan waktu tertentu di hadapan penonton, karena Mise en scène merupakan suatu entitas struktural, yaitu suatu objek teoretis atau objek pengetahuan yang mengganti keberadaan seorang sutradara dan seniman pencipta lainnya.
Patrice Pavis, Theatre at the Crossroads of Culture (New York: Routledge, London, 1992), 24—29

Kajian Film Dunia

Lecturer: Dr. Seno.G.A.


Introduction;
Sinema Dunia Kontemporer
Persepsi yang mengatakan bahwa Hollywood merupakan titik episentrum dari kancah perfilman dunia mungkin dapat dibenarkan bila hal ini ditinjau dari sudut pandang Imprialisme, dan komersial. Pengaruh lintas budaya Amerika terhadap ‘world cinema’ melalui dominasi ekonomi dan sosio-kulturnya menyebabkan Hollywood menjelma menjadi kiblat perfilman dunia. Pesatnya arus globalisasi serta kemajuan teknologi dalam industri perfilman kian mempertajam dampak Amerikanisme kedalam sendi sendi infrastruktur ‘world cinema’ yang meliputi dataran Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Amerika Latin. Namun seiring berjalannya waktu, industri perfilmana non-Hollywood ini mampu berkembang menciptakan identitas tersendiridan mempunyai ciri khas eksotisme yang tidak dimiliki film film Hollywood.

Istilah ‘world cinema’ atau sinema dunia itu sendiri masih memicu perdebatan tentang apakah Hollywood termasuk didalamnya atau tidak, namun hal ini tidak menyurutkan langkah para pemerhati film untuk mempelajari secara lebih mendalam pengetahuan tentang film baik melalui kajian kajian sinematik yang bersinggungan dengan unsur estetika dan etika maupun teknik spesifikasi industri semisal editing, sinematografi, dan lainnya. Latar belakang budaya suatu daerah yang mencakup aspek sosio-historis, letak geografis, agama serta linguistik memainkan peran sebagai indikator sinematik yang sering kali dirujuk untuk menelaah perkembangan pergerakan perfilman suatu daerah, konteks regional.

Director as Auteur

Kajian Film Sutradara
Lecturer: Ale.

Sutradara sebagai ‘Auteur’
Julukan ‘Auteur’ diberikan kepada sutradara yang filmnya menunjukkan konsistensi pada style dan tema. Sebaliknya sutradara yang hasil karyanya tidak menunjukkan konsistensi pada style dan tema disebut ‘Metteurs en scene’ dan statusnya diturunkan hanya menjadi teknisi, bukan sebagai seniman-‘Auteur’. Menurut pakar film-kritikus, yang membedakan seorang ‘Auteur’ dengan seorang Metteur en scene’ adalah: Seorang Auteur’ mampu mengubah naskah scene-skenario yang sederhana menjadi karya film yang hebat (ada ideologi original), sedangkan seorang ‘Metteur en scene’ hanya bisa menghasilkan karya film yang biasa saja dari garapannya atas naskah skenario.