Teori Film

Jumat, 18 Desember 2009

bantuin praktika...(konsepsinematografi)

PRAKTIKA LIA
KONSEP SINEMATOGRAFI


KONSEP SINEMATOGRAFI
I. Analisa Skenario.
Dalam skenario ini secara konkrit menghadirkan latar kejadian yang real, bahwa gempa di Sumatera melandasi plot penceritaan. Sehingga dari persepsi ini, secara tidak langsung penonton akan diarahkan untuk berada dalam situasi tersebut dengan mengasimilasikan kejadian tersebut (gempa) didalam pembentukan style film. Dan tugas filmaker-lah untuk mengarahkan cerita dan bagaimana cara menceritakan cerita dari skenario atau cerita tersebut.

Selasa, 15 Desember 2009

Unthinking Eurocentrism


Diera kontemporer seperti ini, Eurocentrism menjadi perdebatan hangat dalam kurun dekade terakhir, topik ini menjadi hangat diperbincangkan dan diperdebatkan, baik dalam ruang lingkup media maupun institusi-akademisi, apakah pendekatan semacam Eurocentrism, colonialism, multiculturalism merupakan suatu keterkaitan yang selalu merujuk pada aspek historis Eropa, atau hanyalah pendekatan yang dangkal berdasarkan angan angan, mengingat konstribusi dan dominasi Eropa dalam hal ilmu pengetahuan.

Minggu, 13 Desember 2009

Analisa Gaze ‘Belahan Jiwa’


Teori Film Kontemporer

Kata Pengantar
Tulisan ini dibuat untuk memenuhi kewajiban tugas dalam kelas kajian film kontemporer, Jurusan Kajian Film Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta. Disini penulis memilih persfektif pscychoanlysa film theory dalam mengkaji gaze dalam film Belahan Jiwa. Dengan rincian isi materi sebagai berikut:

I. PENDAHULUAN
Sigmund Freud, Jacques Lacan, Laura Mulvey menggali ketidaksadaran unconscious dalam mengembangkan psikoanlisa. Freud mengembangkan teori ini dalam praktiknya sebagai metode pengobatan neurosis, Lacan menilai psikoanalisa sebagai kemunculan konsep subyektifitas manusia, yang berakar pada bahasa maupun alam bawah sadar semua saling berhubungan. Alam bawah sadar terstruktur layaknya bahasa dan diproduksi dengan cara yang kurang lebih sama dengan subyek melalui bahasa. Subyek adalah subyek yang berbicara, dan karena bahasa, ia memberikan makna kepada diluar subjek, artinya bahasa tidak bersifat netral, maka hubungan individu manusia dengan individu lainnya tidak pernah bersifat netral (ada subjek ada objek).

Mengkaji Film Film Rako Prijanto draft#3.


Ceremony
Julukan ‘Auteur’ dikenal di era 1950an diberikan kepada sutradara yang memiliki konsistensi tema pada style dan tema pada karyanya. Kritikus ‘Auteur’ menilai bahwa pakar perfilman bekerja secara kolektivitas team, namun tanggung jawab sepenuhnya tetap berada pada kekuatan sutradara dari pra hingga pasca produksi. Oleh karenanya seorang ‘Auteur’ dianggap mampu mempertahankan idealismenya dan menjalankan konsistensi pada style dan temanya, walaupun bekerja dalam aturan studio/rumah produksi yang terkadang bersifat membatasi.

Selasa, 24 November 2009

Cinta sama dengan Cindolo na Tape

CINTA = Cindolo na Tape...

Ini sedikit bincang bincang kita diluar Kineforum...) banyak film yg diawali berjudul 'CINTA' setidaknya ada tiga film indie yang cukup dilirik, (ada film dari IKJ, ada dari Bandung dan Makassar)... ketiga film tersebut diramu dengan sangat rapi dan serius (nya-indie)... terlepas semua itu, saya pribadi menyenangi komedi (drama komedi), teman akrab yang duduk disamping saya cukup kaget juga melihat film 'cindolo na tape', dan mungkin kalo ada angket khusus untuk film terfavorit dalam klas non-eksebisi, saya yakin film ini terfavorit...

Senin, 23 November 2009

Resume BAB 1-6. BUKU REMAPPING WORLD CINEMA

Referensi
Chaudhuri Shohini, Contemporary World Cinema, Edinburgh University Press, hal 1-12. (bab Introduction)

Persepsi yang mengatakan bahwa Hollywood merupakan titik episentrum dari kancah perfilman dunia mungkin dapat dibenarkan bila hal ini ditinjau dari sudut pandang Imprialisme, dan komersial. Pengaruh lintas budaya Amerika terhadap ‘world cinema’ melalui dominasi ekonomi dan sosio-kulturnya menyebabkan Hollywood menjelma menjadi kiblat perfilman dunia. Pesatnya arus globalisasi serta kemajuan teknologi dalam industri perfilman kian mempertajam dampak Amerikanisme kedalam sendi sendi infrastruktur ‘world cinema’ yang meliputi dataran Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Amerika Latin. Namun seiring berjalannya waktu, industri perfilmana non-Hollywood ini mampu berkembang menciptakan identitas tersendiridan mempunyai ciri khas eksotisme yang tidak dimiliki film film Hollywood.

Rabu, 18 November 2009

Embodying virtue a Buddhist perspective

Resume ‘Embodying virtue a Buddhist perspective’. Lecturer : Bang Matius Ali.


Jika ada agama yang akan memenuhi kebutuhan ilmu pengetahuan modern, itu adalah ajaran Buddha.” (Albert Einstein, 1939).

Kecenderungan dunia seni cenderung bertolak belakang dengan pemikiran ‘agama, ketuhanan’ pada umumnya, karena adanya dogma dogma dalam agama yang mengabsolutkan, menabukan bahwa (sesuatu yang relative tidak akan mungkin melebihi sesuatu yang absolute) ‘dunia tuhan’ tak akan pernah mampu dipecahkan oleh pemikiran manusia, sedangkan dalam seni, cenderung berfikir untuk menjadikan seorang pencipta karena adanya dunia ide-pikiran dalam jiwa manusia yang dinilai sebagai konsep ide yang absolut dan sangat diistimewakan para seniman, untuk bagaimana mengembangkan ide dan pemikiran dari realitas menjadi sebuah bentuk yang rasional. Lebih jauh pemikiran essensialism-modernlah yang terkesan membaurkan nilai absolute dan relative kedalam konteks yang sama, menerapkan konsep agama dalam konteks rasionalitas, sehingga ajaran ataupun agama yang tidak memiliki konsep ketuhanan dianggap salah.
Hal diatas ini bukan merupakan ketentuan benar atau salah, tetapi bagaimana kita menempatkan teks-ide (relative dan absolute) sesuai dengan konteksnya.

Selasa, 17 November 2009

‘Identity’ of Middle Eastern

Dalam dekade terakhir, studi penelitian Timur Tengah dan reset karya-karya yang dihasilkan berfokus pada dampak masa lalu kolonial di internal dan eksternal politik, sosial, budaya, dan keadaan ekonomi negara-negara Timur Tengah kontemporer. Sebuah studi fokus khusus adalah masalah wacana Barat tentang Timur Tengah, tentang adanya atau kurangnya pembentukan identitas nasional. Sebagian besar negara-negara di Timur Tengah mengalami masalah-masalah mendasar di atas identitas nasional mereka. Lebih dari tiga-perempat abad setelah disintegrasi Kekaisaran Ottoman, negara negara di jazirah ini umumya tidak mampu untuk mendefinisikan, dan mempertahankan identitas nasional yang bersifat inklusif dan representatif.
Seperti yang diungkapkan Larbi Sadiki dalam The Search for Arab Democracy: Discourses and Counter-Discourses (2004), bahwa Timur Tengah saat ini dihadapkan pada masalah identitas nasional dan hal ini dapat ditelusuri dan mengkaji kembali ke (study) imperialisme dan kolonialisme.

Rabu, 04 November 2009

‘Authorship-Auteur’.(historian)




Authorship merupakan ‘teori cinema’ yang telah lama dikenal dan berkembang, teori ini semakin berkembang sebagai aktualisasi dan tanggapan terhadap film, Hollywood, dan sinema dunia selama kurang dari 7 dekade. belakangan ini, sehingga dirasakan perlu adanya kontekstualisasi atas berbagai wacana yang berkenaaan dengan institusi yang mendukung konsep tersebut. Dalam pelaksanaannya, kajian ilmiah tentang Authorship menitikberatkan tentang pentingnya seorang sutradara dalam menyalurkan kreatifitas seni serta visinya pada penciptaan sebuah karya film.

Minggu, 01 November 2009

‘1306 kata’ tentang Film Cindolo na Tape ‘CINTA’

(bukan maksud pitikana kanai)


Kutipan wawancara Francois Truffaut, byCharles Thomas Samuels
"EncounteringDirectors" Paris, 1-3 September, 1970
Samuels: Apakah ada kritik yang anda kagumi, dan bila diposisi sebagai sutradara apakah itu berguna?:
Truffaut: Tidak ada filmaker suka kritik, tidak peduli betapa baiknya (kritik) mereka kepada filmker. Faktornya berbagai macam, filmaker selalu merasa bahwa kritikus tidak mengatakan cukup tentang filmaker, atau para kritikus tidak mengatakan hal-hal yang baik terhadap sesuatu yang menarik bagi filmaker, atau mereka berkata terlalu sering membicarakan hal-hal yang baik dan menarik tentang filmaker lain. Karena aku adalah seorang kritikus, saya mungkin kurang bergairah sebagai kritikus dibanding sebagai sutradara. Meskipun demikian, saya tidak pernah mempertimbangkan kritikus secara berlebih dalam menanggapi film saya. Tetapi sikap masyarakat, bahan publisitas, promosi-iklan: semua hal-hal ini sama pentingnya dengan kritikus.

Film Cindolo na Tape ‘CINTA’
Film anak anak Makassar yang disutradarai oleh Rusmin Nuryadin ini membuat saya pribadi bertanya, sudah berapa banyak film pendek yang telah dirampungkannya sebelum menyelesaikan film terbarunya ‘CINTA’ Cindolo na Tape, entah sudah berapa film, tapi yang jelas pertama kali menonton film ini, kaum Nasionalis akan bilang ‘betapa kayanya ragam dan budaya bangsa ini’ hanya melalui bahasa, kekaguman itu muncul, yah hanya melalui bahasa yang menjadi salah satu kekuatan medium film, film as language.

Mengkaji Film Film Rako Prijanto, draft#2.


Mengkaji Film Film Rako Prijanto, draft#2.
RALAT draft#1: film ‘Merah itu Cinta’ meraih 7 nominasi dalam ajang penghargaan Piala Citra Festival Film Indonesia 2007.

Mencari Konsep Estetik yang mendominasi film film Rako Prijanto
Karena ‘auteur’/ seniman dalam sebuah karya film adalah sutradara dan bukan pada penulis skenario, produser, dkk. (kata: Formalism Rusia dan New Wave Prancis)

Menurut salah seorang penggagas kritik sinema, Foucault, aktifitas Authorship (sutradara) dalam menjalankan proses kreatif serta visinya seringkali bersebrangan dengan asas tematik dan estetik yang telah tertanam pada bentuk komersialism, kebudayaan, sehingga penggunaan rasionalitas yang evaluative sebaiknya dapat dikembangkan untuk dapat mencapai keseimbangan antara kebebasan artistic dan ‘kewajiban kapitalisme’ (pemegang modal-PH). Situasi ini secara tidak langsung melahirkan wacana wacana baru, bahwa sikap realistis dalam rasionalitas memang hal yang dibutuhkan, termasuk profesi sutradara.

Minggu, 25 Oktober 2009

Tranformasi Hollywood: Third World Cinema (acakadut)



I. Pendahuluan.

Perang dunia 1 diakui tidak memberikan dampak yang baik untuk perkembangan dunia, namun perang tersebut menjadi landasan histories Golden Age of Hollywood yang kemudian menjadi salah satu sejarah penting perfilman dunia. Hollywood dalam beberapa decade telah menjadi patron untuk perfilman dunia. Secara tidak sadar, mesin industri hiburan terbesar ini telah mematok standarisasi untuk film yang diakui bermutu.

Standarisasi, sayangnya bertolak belakang dengan apa yang menjadi tujuan utama mengapa Hollywood di bangun yaitu menyebarkan ‘The American Dreaming’ ke seluruh penjuru dunia melalui film-film produksinya. Kebebasan, kebebasan dan kebebasan menjadi tujuan utamanya.

Konsep Kritik (Authorship dan Hollywood)




Authorship merupakan ‘teori cinema’ yang telah lama dikenal dan berkembang, teori ini semakin berkembang sebagai aktualisasi dan tanggapan terhadap film, Hollywood, dan sinema dunia selama kurang dari 7 dekade. belakangan ini, sehingga dirasakan perlu adanya kontekstualisasi atas berbagai wacana yang berkenaaan dengan institusi yang mendukung konsep tersebut. Dalam pelaksanaannya, kajian ilmiah tentang Authorship menitikberatkan tentang pentingnya seorang sutradara dalam menyalurkan kreatifitas seni serta visinya pada penciptaan sebuah karya film.

Selasa, 20 Oktober 2009

Mengkaji Film Film Rako Prijanto (draft1)


Director as Auteur
Tulisan ini merujuk pada satu nama sutradara yang dipilih oleh penulis, untuk kemudian karya karya sutradara tersebut dikaji secara tekstual. Apakah diantara sederet karya karya yang dihasilkan oleh sutradara tersebut memiliki konsistensi tema dan style begitu pula akan originalitas idealismenya.

Julukan ‘Auteur’ dikenal di era 1950an diberikan kepada sutradara yang memiliki konsistensi tema pada style dan tema pada karyanya. Kritikus ‘Auteur’ menilai bahwa pakar perfilman bekerja secara kolektivitas team, namun tanggung jawab sepenuhnya tetap berada pada kekuatan sutradara dari pra hingga pasca produksi. Oleh karenanya seorang ‘Auteur’ dianggap mampu mempertahankan idealismenya dan menjalankan konsistensi pada style dan temanya, walaupun bekerja dalam aturan studio/rumah produksi yang terkadang bersifat membatasi.
Adalah Rako Prijanto seorang sutradara muda Indonesia yang lebih dikenal sebagai sutradara komedi saat ini (6 dari 8 filmnya bergenre komedi). Selain dari hal tersebut, kekuatan dari sutradara ini adalah konsistensinya yang sangat

Golden Section

(Analisa Kerangka Pemikiran , dan Teori sebuah Frame)



Latar Belakang
Tulisan ini berisikan penjabaran dari mata kuliah Sinematografi yang dibawakan oleh Bapak Arif Pribadi ,Beliau mengantarkan sebuah materi bertema FRAMING , bagaimana kita membentuk sebuah frame hingga bisa lebih berfungsi , kiat diberikan sebuah kerangka pikiran (Golden Section) untuk melihat sebuah pola dari sebuah elemen sederhana dalam style sinematografi ini, untuk melihat mengapa muncul yang namanya freme serta keterkaitannya dengan sinematografi serta ilmu ilmu yang lain terutama dengan keterkaitan Sinematografi dan matematika. karena berbicara mengenai freme berarti kita dihadapkan pada bentuk bentuk simetri yang akan membentuk sebuah sudut geometri sehingga muncul dimensi ruang , yang kemudian teori ini akan di terapkan didalam bahasa visual .

Golden Section

(Analisa Kerangka Pemikiran , dan Teori sebuah Frame)

Latar Belakang
Tulisan ini berisikan penjabaran dari mata kuliah Sinematografi yang dibawakan oleh Bapak Arif Pribadi ,Beliau mengantarkan sebuah materi bertema FRAMING , bagaimana kita membentuk sebuah frame hingga bisa lebih berfungsi , kiat diberikan sebuah kerangka pikiran (Golden Section) untuk melihat sebuah pola dari sebuah elemen sederhana dalam style sinematografi ini, untuk melihat mengapa muncul yang namanya freme serta keterkaitannya dengan sinematografi serta ilmu ilmu yang lain terutama dengan keterkaitan Sinematografi dan matematika. karena berbicara mengenai freme berarti kita dihadapkan pada bentuk bentuk simetri yang akan membentuk sebuah sudut geometri sehingga muncul dimensi ruang , yang kemudian teori ini akan di terapkan didalam bahasa visual .

.Beliau mengatakan Sinematografi adalah Ilmu Exact namun masih ada toleransi toleransi idealis yang lebih bersifat menjaga estetika filmis untuk bisa menjabarkan keinginan Sinematografernya , Didalam Tulisan ini saya berusaha mencoba mengembangkan kembali materi “Golden Section “ tersebut dilihat dari berbagai sumber yang ada termasuk sejarahnya , serta kemunculan teori teori lain yang kemudian muncul dan berkembang didalam sinematografi .

Kamis, 15 Oktober 2009

Kino Pravda

akulah mata. mata mekanis.
aku
sang mesin
menunjukkan padamu sebuah dunia
dengan cara yang cuma aku bisa melihatnya

kubebaskan diriku untuk sekarang dan selamanya
dari imobilitas manusia.
aku bergerak konstan.
kumendekat dan bertolak dari objek objek

aku merayap dibawahnya
aku bergerak disisi mulut kuda yang sedang menderap

aku jatuh dan bangkit bersama tubuh tubuh yang jatuh dan bangkit

inilah aku, sang mesin, bermanuver dalam gerak khaotis
merekam satu demi satu gerakan dalam kombinasi yang pelik..

Minggu, 11 Oktober 2009

Virtual reality















1.1. Latar Belakang
Perdebatan tentang realitas atau sesuatu yang nyata (being) mungkin telah berlangsung seumur dengan peradaban manusia. Modernitas telah memerangkap realitas pada rasional ilmiah yang ambigu, yang pada dasarnya lebih dari perkara interpretasi dan persuasif yang cenderung bersifat subyektif sebab pengetahuan ilmiah sama sekali bukanlah jiplakan atau foto kopi realitas, melainkan realitas hasil konstruksi manusia yang erat kaitannya pada paradigma atau pandangan dunia manusia itu sendiri. Pada akhirnya pandangan tentang realitas tidak lagi terkait pada kebenaran melainkan pada apa yang dapat diciptakan sebagai sesuatu yang benar-benar ada.

Sabtu, 10 Oktober 2009

Mise en Scene

Mise en scène didefinisikan sebagai sistem penandaan yang hadir secara bersamaan atau berlawanan dalam ruang dan waktu tertentu di hadapan penonton, karena Mise en scène merupakan suatu entitas struktural, yaitu suatu objek teoretis atau objek pengetahuan yang mengganti keberadaan seorang sutradara dan seniman pencipta lainnya.
Patrice Pavis, Theatre at the Crossroads of Culture (New York: Routledge, London, 1992), 24—29

Kajian Film Dunia

Lecturer: Dr. Seno.G.A.


Introduction;
Sinema Dunia Kontemporer
Persepsi yang mengatakan bahwa Hollywood merupakan titik episentrum dari kancah perfilman dunia mungkin dapat dibenarkan bila hal ini ditinjau dari sudut pandang Imprialisme, dan komersial. Pengaruh lintas budaya Amerika terhadap ‘world cinema’ melalui dominasi ekonomi dan sosio-kulturnya menyebabkan Hollywood menjelma menjadi kiblat perfilman dunia. Pesatnya arus globalisasi serta kemajuan teknologi dalam industri perfilman kian mempertajam dampak Amerikanisme kedalam sendi sendi infrastruktur ‘world cinema’ yang meliputi dataran Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Amerika Latin. Namun seiring berjalannya waktu, industri perfilmana non-Hollywood ini mampu berkembang menciptakan identitas tersendiridan mempunyai ciri khas eksotisme yang tidak dimiliki film film Hollywood.

Istilah ‘world cinema’ atau sinema dunia itu sendiri masih memicu perdebatan tentang apakah Hollywood termasuk didalamnya atau tidak, namun hal ini tidak menyurutkan langkah para pemerhati film untuk mempelajari secara lebih mendalam pengetahuan tentang film baik melalui kajian kajian sinematik yang bersinggungan dengan unsur estetika dan etika maupun teknik spesifikasi industri semisal editing, sinematografi, dan lainnya. Latar belakang budaya suatu daerah yang mencakup aspek sosio-historis, letak geografis, agama serta linguistik memainkan peran sebagai indikator sinematik yang sering kali dirujuk untuk menelaah perkembangan pergerakan perfilman suatu daerah, konteks regional.

Director as Auteur

Kajian Film Sutradara
Lecturer: Ale.

Sutradara sebagai ‘Auteur’
Julukan ‘Auteur’ diberikan kepada sutradara yang filmnya menunjukkan konsistensi pada style dan tema. Sebaliknya sutradara yang hasil karyanya tidak menunjukkan konsistensi pada style dan tema disebut ‘Metteurs en scene’ dan statusnya diturunkan hanya menjadi teknisi, bukan sebagai seniman-‘Auteur’. Menurut pakar film-kritikus, yang membedakan seorang ‘Auteur’ dengan seorang Metteur en scene’ adalah: Seorang Auteur’ mampu mengubah naskah scene-skenario yang sederhana menjadi karya film yang hebat (ada ideologi original), sedangkan seorang ‘Metteur en scene’ hanya bisa menghasilkan karya film yang biasa saja dari garapannya atas naskah skenario.