Teori Film

Rabu, 19 Juni 2013

LaGaligo (1)

LA GALIGO 12apr13.
Membaca I La Galigo ibarat meraba sastra dalam gulita. Syair I La Galigo lahir di Luwu, sebelah Utara Teluk Bone, pada umumnya dianggap sebagai tanah asal orang Bugis, yang mengisahkan tentang Dunia Atas, Dunia Tengah dan Dunia Bawah. Tak diketahui kapan pertama kali kisah ini ditulis, namun Dunia meyakini kisah ini lebih dahulu muncul sebelum Mahabharata.

 Dengan mengesampingkan yang aneh-aneh, syair I La Galigo menggambarkan kehidupan istana raja-raja Bugis terdahulu kala.I La Galigo bukanlah suatu puisi rakyat, dia adalah suatu kesenian istana, yang dipelihara dan dilestarikan, terutama dilingkungan kerajaan. Dia mengisahkan kehidupan orang orang besar di bumi. Kemudian I La Galigomenjadi kisah yang disucikan, dimanfaatkan oleh masarakat.


 Dimasa syair I La Galigo diciptakan, pastilah merupakan jaman dengan kehidupan sastra yang menggairahkan masarakat Luwu. Pengaruh Islam (di kerajaan Bone menjadikan penggemar seni sastra telah langka. Pemikiran Barat yang membaca I La Galigo sebagai Roman, tidaklah terdapat didalamnya banyak keindahan buah fikiran, akan tetapi nilai karya ini bagi orang Bugis tidaklah dipekemkan dengan hal2 tersebut. 

 Seni Sanjak I La Galigo adalah suatu Realisme yang oleh lagu (metrum) dan tradisi dituang dalam bentuk bentuk tertentu, tidak menutup kemungkinan nilai Religius.

 Karya ini merupakan suatu gambaran tentang pandangan keagamaan dan tradisi adat istiadat orang Bugis dalam kurun wktu tertentu akan sejarah mereka yang tertulis, yang dibukukan oleh mereka sendir melalui berbagai aspek kehidupan (sastra, lagu, religiutas) mereka sendiri dan tidak pernah dilakukan oleh suku suku lain di Nusantara. Batara Guru diturunkan-diutus dari langit Sang Pencipta memnerima Guru ri Selleng dan Permainsurinya di depan istana, “sambut dan bawa mereka kedalam dengan segala upacara kebesaran’ sabda Sang Pencipta kepada dua orang dayang dayang istana (dunia Atas).

 Sang Pencipta mengemukakan keingininnannya didepan majelis kepada Guru ri Selleng dan istrinya untuk mengisi Dunia Tengah dengan penghuni. Selanjutnya, Sang Pencipta bertanya, ‘putera yang manakah yang baikuntuk dikirim kelak ke Dunia Tengah? Akhirnya Batara Guru menjadi kesepakatan semua Majelis Langit untuk diturunkan ke Dunia Tengah. 

Sang Pencipta menyuruh Batara Guru masuk untuk mandi upacara. Berbagai sanak famili merasa terharu akan kepergian Batara Guru ke Dunia Tengah, sementara Guru ri Selleng dan Sinaungtoja akan segera kembali ke Dunia Bawah.. Sang Pencipta mengirim pesan kepada Batara Guru, bahwa siang telah berlalu dan ia harus pergi. Sang Pencipta memberikannya sekapur sirih yang telah dikunyah, dililitkan keris dipinggangnya, mahkota dikepalanya, gelang serta cincin Datu Palinge. Ia herus membawa tumbuhan jenis tertentu beras pemuja dan sebagainya. 

Pada pertengahan perjalanan kebawah ia harus meremas gunung, mengelompokkan hutan, membentasngkan bukit, menggali lembah, menghamparkan lautann menata danau, menarik sungai, membelah daratan, membuat kelokan kelokan kali, melubang gua, menciptakan pusaran air. Terjadilah berbagai gejolak alam…’ Dan memnyembalah sekarang tiga kali pada Langit dan Dunia Bawah’ sabda sang Pencipta. Sambil menangs Batara Guru menyembah ‘ Kehendakmulajah yang beralku Tuanku! Kawinkanlah aku! Sang Pencipta; jagalah hidupmu sebagai manusia bukan sebagai dewa.


 Kemudian Sang Pencipta meletakkan putranya kedalam sebatang ‘bambu betung’ lalu diikatnya erat lalu diturunkan melalui pelangi yang direntangkan. Sangkabatara diperintahkan mengumpulkan seluruh penghuni Langit, mahluk halus yang jahat, pengawal Langit, bintang Luku, bintang Selatan, dan bintang Ayam Jantan (kalajengking), yang kesemuanya harus turut dalam perjalanan Batara Guru kebumi. (bersambung)

Sabtu, 01 Juni 2013

my masterpiece -3 (strukturalist VS poststrukturalist)



BAB II
METODE  STATISTICAL STYLE ANALYSIS
Metode statistik merupakan jembatan penghubung antara ilmu-ilmu sosial dengan penelitian kuantitatif (Positivisme). Statistik digunakan untuk mengukur fenomena-fenomena sosial ke dalam grafik-grafik angka untuk kemudian dijadikan parameter yang telah ditentukan yang diambil dari sampel.
Berbeda dengan  kajian sosial lainnya, statistik dalam analisis style tidak akan menempatkan film sebagai sebuah fenomenologi. Statistik dalam analisis style pada  penelitian ini digunakan untuk menghitung parameter formal sutradara, dalam hal ini adalah shot.
Untuk itu perlu kiranya penulis mengurai tentang teori Statistical Style Analysis atau  Stylometry yang ditawarkan oleh Barry Salt, serta faktor apa saja yang melatar belakangi teori ini hadir dan bagaimana bentuk praksis dari teori ini diterapkan.

II. 1. Perkembangan Analisis Style
Setelah perang dunia pertama, film mendapat ‘kekuasaan’ penuh sebagai media massa yang berpengaruh. Kekuatan propaganda melalui medium film sangat efektif sehingga banyak kelas-kelas tertentu menggunakannya sebagai alat penyampaian gagasan/ide sampai mempertahankan kekuasaan.
Saat itu style film tidak lagi dipahami sebagai apa yang tampak dari  visualisasi semata. Hal ini sejalan dengan  kritik Andre Bazin yang merupakan seorang tokoh Realisme dalam tradisi  klasik yang menyebutkan bahwa kehadiran film bersuara pada masa itu memberi keleluasaan film-maker membuat ciri khas dalam filmnya dengan melakukan eksperimen-eksperimen style. Seperti memberi stempel personal dalam proyek film yang disebut dengan style sutradara[1]. Teori ini yang selanjutnya berkembang menjadi Auteur/Author Theory. Dialektika style film Bazin ini terdiri dari ajaran estetika standar di mana esensi film tidak lagi dilihat melalui kapasitas film bisu melalui kemampuannya yang hyper-style seperti yang terdapat pada Ekspresionisme Jerman (seperti; setting yang ruang yang dibuat miring, tidak simetris, pencahayaanyang over-contrast, contoh film The Cabinet of Dr. Caligari) maupun  dinamisasi abstrak seperti yang terdapat pada Soviet Montage, (benturan dua shot menghasilkan atau memproduksi makna, seperti pada film The Battleship Potemkin )
Bazin juga berpendapat bahwa tahun 1950-an merupakan puncak dari perdebatan tentang style film. Perkembangan teknologi film menguatkan kepercayaannya bahwa long take, camera movement, depth of field dan istilah-istilah teknis lainnya sudah tidak relevan lagi sebagai standarisasi style. Ia menyebutnya sebagai akhir dari evolusi style. Selanjutnya dialektika style akan menemukan versi barunya yang lebih masuk akal pada estetika naratif film itu sendiri, sesuatu yang tidak ditemukan pada film-film bisu[2].
Tumbuh kembangnya cultural studies juga mempengaruhi kajian sinema diera 1960-an mempengaruhi cara pandang penelitian tentang film terutama menyangkut style film. Pada periode ini film dipandang secara sosial dan  ideologis. Modus yang digunakan selalu mencari tahu siapa atau apa yang berada di balik semua produksi kultural termasuk sinema.
Cultural studies sebagai bagian dari tradisi kritis Marxisme selalu mencurigai produk kultural seperti film pasti digunakan oleh satu atau beberapa pihak dalam masyarakat untuk meraih atau mempertahankan kepentingan politis-ekonomis tertentu[3]. Maka analisis style pada periode ini hadir untuk membongkar ideologi dan agenda politis di balik sebuah film.
Seperti yang diprediksi Andre Bazin, bahwa style film akan dilihat melalui estetika narasinya bukan lagi pada penggunaan teknis pembuatan atau visualisasi film. Style film tidak lagi sebatas apa yang tampil dalam visual sinema melainkan alat untuk mengungkap realitas yang berada di balik sinema tersebut.
Menurut Bazin, film dengan bantuan teknis merupakan ‘fenomena idealis’. Baginya sinema pada dasarnya adalah sebuah realita yang dimediasi oleh mekanik kamera. Selanjutnya penelitian/kajian tentang film kemudian selalu dikaitkan dengan realitas yang ditampilkannya. Sebagai contoh, teknik dissolve dalam film sering didefinisikan sebagai perpindahan memori pemain atau gambar pistol dalam film selalu diidentikkan sebagai sesuatu yang maskulin. Dari sini analisis style berkembang menjadi satu disiplin dalam kajian sinema dan mencakup beberapa teori-teori film yang hingga kini masih digunakan dalam kajian sinema.
Bahasa sederhannya adalah  Andre Bazin mengkritik apa yang dilakukan tokoh-tokoh Formalisme klasik seperti Sergei Eisenstein, di mana mereka telah menciptakan ‘realitas palsu’ dengan memanipulasi materi film, sehingga Bazin menilai sisi teknis sudah ketinggalan jaman untuk membicarakan  dan  menganalisis film, apalagi setelah masuknya film bersuara, yang terpenting baginya adalah konsep naratif dan realitas atau cara bertutur dalam menampilkan realitas.
Pemahaman akan konsep naratif  inilah yang terus berkembang di era 1950-an. Pada era tersebut dua arus pemikiran pengetahuan kuat mempengaruhi hampir seluruh sektor keilmuan termasuk kajian film. Aliran Structuralist dan Post-Structuralist sedang gencar-gencarnya berdialektika. Apa yang kita pahami sebagai grand theory di kajian film merupakan bagian dari kedua tradisi ilmu tersebut, termasuk cultural studies.
Sebelum masuk pada inti kritik dan pemikiran Barry Salt, ada baiknya kita melakukan review kembali terhadap perkembangan analisis film ke belakang. Hal ini sebagai gambaran bagaimana posisi dan peta  pemikiran Barry Salt dalam teori film.



II.1.1. Pengaruh Structuralist.
Kuatnya pengaruh cultural studies pada era 1960-an  membangkitkan studi tentang film dengan ontologi yang jauh berbeda dari tradisi film klasik. Sejak saat itu film dilihat sebagai industri budaya, dan didiskusikan sebagai situs penting bagi produksi subjektifitas individu bahkan identitas nasional.
Tradisi strukturalis dalam kajian film banyak dipengaruhi oleh pemikiran dua tokoh utama yaitu Ferdinand de Saussure dan Claude Lévi-Strauss. Ferdinand de Saussure (1857–1913) merupakan tokoh linguistik. Structuralist,  sebagai sebuah bentuk  analisis sosial mengadaptasi dua ide dasar dari karya Saussure.
1.      Terfokus  pada  relasi antara teks dan praktik kultural, di mana tata bahasa yang memungkinkan memproduksi makna.
2.      Pandangan bahwa makna senantiasa merupakan hasil dari aksi resiprokal (perubahan yang saling mempengaruhi) antara teks dan praktik kultural dipelajari sebagai analogi terhadap bahasa.
       Dengan kata lain, teks dan praktik kultural dipahami sebagai analogi terhadap bahasa. Strukturlah yang memungkinkan hadirnya makna. Strukturalisme bertugas mengeksplisitkan aturan dan konvensi (langue) yang menentukan produksi makna (parole)[4].

Sementara Claude Lévi-Strauss (1908 – 2009) adalah seorang antropolog berkebangsaan Prancis. Inti dari pemikiran Lévi-Strauss adalah mitos,  ia menyatakan bahwa di dalam luasnya heterogenitas mitos dapat ditemukan struktur yang homogen. Dengan kata lain mitos bekerja seperti bahasa dan tugas antropologi menemukan ‘tata bahasa’ yang mendasari aturan dan regulasi yang memungkinkan mitos terstruktur berdasarkan oposisi biner.
Menurut Lévi-Strauss mitos mempunyai fungsi sosio-kultural yang sama dalam masyarakat. Tujuannya adalah membuat dunia bisa dijelaskan, untuk menyelesaikan persoalan-persoalan dunia dan kontradiksi-kontradiksi[5], dengan kata lain, mitos menyediakan model logis yang sanggup mengatasi kontradiksi.
Pemaparan  keduanya dipublikasikan dalam buku Sixguns And Society karya Will Wright. Dalam buku Sixguns And Society, Will Wright menggunakan metode strukturalisme dalam menganalisis film Koboi Hollywood sebagai mitos untuk menunjukkan bagaimana mitos bekerja dari sebuah masyarakat. Secara khusus ia mencoba menunjukkan bagaimana film Koboi menghadirkan konseptualisasi mengenai keyakinan sosial Amerika yang sederhana secara simbolik[6].



II.1.2. Pengaruh Post-Structuralist.
Munculnya  gerakan menonton film secara kritis melahirkan sebuah studi baru dalam disiplin ilmu sosial, bersamaan dengan itu berbagai pendekatan digunakan untuk mengkaji dan menganalisisi film. Post-Structuralist, hadir hampir bersamaan dengan tradisi Structuralist yang menjadi ‘rival’nya. Post-Structuralist menolak gagasan yang pada akhirnya menentukan makna teks atau praktik budaya adalah struktur. Bagi para penganut  Post-Structuralist,  makna senantiasa berada dalam proses dan aliran kemungkinan-kemungkinan yang tidak ada hentinya.
Arus utama pemikiran Post-Structuralist berada pada teori dekonstruksi-Derrida. Jacques Derrida 1930–2004) adalah seorang filsuf Prancis, pemikirannya banyak dipengaruhi oleh Nietzshe dan phenomenology Husserl dan Heidegger. Dekonstruksi-Derrida hadir untuk membongkar oposisi biner-linguistik Saussure dalam Structuralist.
Oposisi biner ini adalah inti dari sistem perbedaan, Oposisi biner dalam linguistik ini berjalan seiring dengan hal yang sama dalam tradisi filsafat Barat, seperti: makna/bentuk, jiwa/badan, transendental/imanen, benar/salah, maskulin/feminin, idealisme/ materialisme, lisan/tulisan. Oposisi biner pada Structuralist memiliki hirarki, di mana salah satu dari oposisi selalu dianggap lebih superior dibandingkan yang lain. Hirarki inilah yang ditolak oleh Derrida.[7]
       Teori Dekonstruksi Derrida adalah sebuah metode pembacaan  teks. Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut. Menurutnya  setiap anggapan selalu kontekstual: anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu  kepada makna final.  Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu cenderung untuk melepaskan  teks dari konteksnya.  Dengan metode dekonstruksi, Derrida ingin membuat kita kritis terhadap teks[8].
Inilah sebabnya mengapa filsafat Derrida begitu berlandaskan pada teks, dan mengapa istilah-istilah kuncinya selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa atau apa yang ia cari untuk didekonstruksi.
Dalam kajian budaya, dekonstruksi-Derrida memberi pengaruh penting. Berkat dekonstruksi Derrida, sebuah makna-meaning tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang mutlak, tunggal, universal, dan stabil, tetapi makna selalu berubah. Klaim-klaim kebenaran absolut, kebenaran universal, dan kebenaran tunggal, yang biasa mewarnai gaya pemikiran filsafat sebelumnya, semakin digugat, dipertanyakan, dan tidak lagi bisa diterima.
Dekonstruksi-Derrida juga mempengaruhi teori film dan analisis film secara tidak langsung, melalui wacana sosio-ideologis yang berkembang setelahnya termasuk analisis tekstual film atau yang lebih dikenal dengan Semiotika film yang diprakarsai oleh Christian Metz, serta beberapa analisis film populer lainnya seperti Psikoanalisis Lacan.
II.2.  Kritik Analisis di Luar Konteks Film (Lahirnya Neo-Formalisme)
Masuknya teori-teori Structuralist dan Post-Structuralist  dalam kajian sinema menempatkan film sebagai bahasa atau setidaknya sebagai gejala yang serupa dengan bahasa, karenanya analisis sinema memola film sebagai teks untuk lebih jauh menemukan makna (meaning) dari pola-pola tekstual hasil pembongkaran kemungkinan-kemungkinan wacana yang ditawarkan dalam sinema. Dengan arti lain, sejak munculnya linguistik dan semiotik film selalu dianalisis secara tekstual, setidaknya ini mulai terasa sejak tahun 1970-an.
Kritik atas analisis teks dalam kajian film pertama kali dicetuskan oleh Victor F Perkins. Menurut Perkins sinematisasi film sangat jauh berbeda dengan visualisasi yang dipahami dalam dunia sastra. Karenanya dibutuhkan kajian yang melihat film melalui jendela yang paling ontologis di mana film harus dikaji tanpa ada kaitan dari disiplin ilmu dan seni yang lain.
Ia kemudian kembali pada tradisi Formalis era klasik, di mana kajian analisisnya lebih menitik beratkan pada konvensi teknis-Eisenstein dan kekuatan  naratif-Bazin. Bagi Perkins kedua teori ‘ortodoks’ tersebut sebenarnya mampu menarik film sebagai sebuah potensi seni menuju praktek ilmiah. Munculnya kritik Perkins dianggap sebagai awal lahirnya aliran baru dalam teori film, aliran yang disebut sebagai Neo-Formalisme.
Setidaknya ada tiga point utama kritik Neo-Formalisme terhadapa teori analisis film sebelumnya atau lebih dikenal dengan grand theory. Hal ini diungkap oleh David Bordwell, Tiga point tersebut adalah[9] :
1.      Teori analisis film yang ada cenderung membangun doktrinasi terhadap hasil yang ditawarkan. Praktek kultur dalam kajian film membatasi dirinya pada grand theory yang hanya membahas ras/kelas/gender tertentu untuk menemukan faktor kausalitas dan secara sah menggunakan intuisi sebagai penjelasan fungsional.
2.      Teori analisis film yang ada cenderung menggunakan penalaran yang monoton. Analisis film yang ada sesungguhnya bukan teori yang menawarkan metodelogi analisis melainkan hanya berisi kebiasaan-kebiasaan berpikir atau  penalaran yang rutinitas, meski telah berlangsung selama tiga dekade.
3.      Teori analisis film yang dikemukakan dangkal riset. Terkonsentarsi pada interpretasi dan konteks film, grand theory seperti yang telah disebut pada point pertama hanya membahas mengenai sesuatu yang tidak empiris dan abstrak. Sesuatu yang sulit untuk dilakukan riset secara mendalam.

Sehingga untuk mengakomodir hal tersebut diperlukan adanya teori-teori tertentu dalam konteks yang tepat dibanding menggunakan teori yang sama dalam semua konteks. Neo-Formalisme sendiri memiliki dua arus besar pemikirin, yaitu: David Bordwell dengan aliran cognitifism  dan Barry Salt dengan aliran scientific realism.

a.    Neo-Formalisme David Bordwell
Asumsi-asumsi Neo-Formalisme Bordwell berkerja dengan didasarkan pada dua hal: cinematic poetics dan historical poetics. Kedua konsep ini diadopsi ke dalam konteks di mana film diproduksi lewat sebuah mode praksis yang akhirnya berpengaruh pada interaksi gaya dan naratif serta berujung pada film secara keseluruhan.
Pada perkembangannya Bordwell kemudian memperkenalkan pendekatan film kognitif yang ia adaptasi dari teori psikologi kognitif . Ia memperkenalkan konsep schemata sebagai sebuah sistem pengorganisiran informasi ke dalam kategori-kategori yang akan dipergunakan kembali . Ketika kita menemukan situasi baru dengan informasi yang baru pula maka  proses pemahaman kita terhadap situasi dan informasi baru tersebut menjadi lebih mudah.
Dalam konteks menonton film, schemata berfungsi sebagai sebuah mekanisme psikologis yang berusaha menjelaskan proses penarikan kesimpulan dan komprehensi cerita ketika kita menonton film-film naratif.
Prinsip schemata ini bertentangan dengan psikoanalisa-Marxisme-Lacanian-Althusserian-Post-Structuralist yang menganggap alam bawah sadarlah yang menggiring penonton film menemukan makna. Schemata merupakan proses berpikir sadar seseorang mengkomparasi pengetahuan-pengetahuan yang dimilikinya dengan apa yang ditonton sehingga penarikan makna berlangsung tidak serumit seperti pada  psikoanalisa.
Meski tidak sepakat pada grand theory  namun Bordwell masih mentolerir point ketiga dari kritiknya sendiri. Point yang menyebutkan bahwa interpretrasi dalam analisis film menjadikan kajian sinema hanya menerapkan riset yang dangkal. Dalam bukunya Making Meaning (1989), Bordwell menyebut bahwa  post theory  merupakan dasar perhatian dalam analisis dan pemaknaan meaning ditemui melalui interpretasi. Menurut Bordwell  interpretasi dalam kritik film merupakan sugesti dan alternatif dalam program kajian sinema.

b.        Neo-Formalisme Barry Salt
Arus kedua dalam Neo-Formalisme dimotori oleh Barry Salt dengan aliran sciencetific realism yang diperkenalkannya dalam buku Film Style and Technology : History and Analysis. Berbeda dengan Bordwell yang masih mentolerir penggunaan interpretasi dalam kajian film, Salt bahkan menghindarinya demi mendapatkan pendekatan yang seilmiah/objektif mungkin.
Dalam teorinya, Salt menitik beratkan pada pentingnya menghormati kaidah-kaidah ilmiah/sains ke dalam penelitian sinema. Pada pendekatannya, Salt memijakkan dirinya pada paradigma Positivisme (penelitian kuantitatif) sesuatu yang masih asing dalam kajian sinema, di mana sebelumnya kajian sinema didominasi oleh paradigma kritis yang berada dalam ranah penelitian kualitatif.
Teori film yang muncul di era kontemporer sebagai sebuah disiplin ilmu, hanya berisi motede-metode interpretasi yang erat kaitannya dengan konsep instuisi. Menurut Salt teori film seharusnya masuk dalam teori praksis karenanya interpretasi tidak cukup digunakan untuk memahami film.
Banyak yang menganggap teori Barry Salt mengembalikan tradisi Formalisme Eisentein, namun yang membedakannya adalah teori Barry Salt memiliki persamaan ciri dengan  teori-teori yang lahir pada masa Post-Structuralist  di mana estetika dan efektivitas phenomenologi diabaikan untuk mengeksplorasi produksi makna teks sebagai aset strategi diskursif. Tetapi yang membedakannya dengan Post-Structuralist  adalah tingkat validitas analisisnya
Oleh karena skripsi ini mengadaptasi pemikiran Barry Salt maka lebih lanjut akan diuraikan –siapa Barry Salt-  dan seperti apa teori yang ditawarkan serta kritik yang dilontarkan.



II.3. Biografi dan Pemikiran Barry Salt
Sebelum masuk lebih jauh membahas tentang bagaimana teori dan aplikasi Statistical Style Analysis, ada baiknya penulis memaparkan tentang biografi singkat Barry Salt sebagai pencetus teori tersebut. Hal ini setidaknya akan memudahkan kita memahami mengapa teori tersebut hadir, sebab bisa dikatakan pendekatan yang digunakan Barry Salt dalam teorinya merupakan sesuatu yang tidak lazim di dunia kajian film, yakni metode pendekatan kuantitatif. Pendekatan Salt dalam analisis filmnya juga terbilang baru dalam ranah kajian akademis di Indonesia sehingga biografi ini menjadi awal perkenalan kita pada Statistical Style Analysis.
Barry Salt lahir pada 15 Desember 1933, di Melbourne, Australia. Ia mendapatkan gelar Doktor di bidang fisika teoritis ditahun 1960-an di University of London. Setelah mendapat gelar tersebut ia sempat mengajar fisika dan mate-matika pada beberapa universitas di London. Pada tahun yang sama ketertarikannya pada film membuatnya masuk ke London School of Film Technique. Sebelumnya sekitar tahun 1955 and 1956 Salt merupakan anggota klub film klasik sekaligus penari di Ballet Guild Company of Melbourne.[10]
Salt bekerja secara profesional sebagai cameraman untuk beberapa film termasuk dokumenter sebelum akhirnya memutuskan untuk mengajar teknik pembuatan film dan sejarah film di beberapa institusi di London seperti Slade School di University Collage Londondan Royal Collage of Art. Sampai sekarang ia masih mengajar di London Film School, di antara kesibukannya tersebut ia kini juga menjabat sebagai supervisi studio produksi film 35mm dan menyutradarai beberapa film di studionya tersebut.
Metode  Statistical Style Analysis  yang dikembangkan merupakan tesis yang diajukannya ketika masih di London School of Film Technique tahun 1968. Satu hal yang ia sinergiskan dengan latar belakang intelektualnya di bidang sains (fisika dan mate-matika). Menurutnya, sains, pandangan realitas dan dunia nyata merupakan hubungan pararel dengan teknologi. Inilah yang menjadi dasar pikirannya dalam bukunya Film Style and Technology : History and Analysis. Baginya sulit memisahkan pembahasan tentang sejarah perkembangan style-film tanpa menghubungkannya dengan teknologi[11].
Pandangan Barry Salt tersebut banyak mendapat kritikan sebab tidak memiliki pendekatan teori yang tepat. Karena itu, Salt berusaha menyusun kerangka konseptual yang jelas tentang teorinya, dalam  hal ini Ia menggunakan sains. Sebelumnya ia menjelaskan bahwa dengan sains maka pendekatan yang ia gunakan akan lebih stabil di mana peneliti harus memiliki kesepahaman konsep dan metode umum yang digunakan dalam penelitian.
Hal yang esensial dalam sains adalah adanya kesinambungan  antara teori, praktek dan observasi/pengamatan. Dengan kata lain sains merupakan paradigma pengetahuan yang objektif sebab hasilnya akan selalu sama di manapun. Satu hal yang luput dari sekian banyak teori yang membahas tentang film.
Salt melihat, teori-teori film sebelumnya sangat sulit dipahami, tidak rasional, tidak logis, dan penuh dengan manipulasi verbal. Ia merujuk pada psikologi, linguistik, antropologi dan sosiologi yang diserap masuk ke dalam teori film. Meski disebut sebagai ‘human science’ Salt melihatnya sebagai lelucon yang mengada-ada, sesuatu yang berbeda dengan sains murni.
Barry Salt mendudukan pendekatan sainsnya tersebut ke dalam filsafat materialisme –bukan merujuk pada marxist film theory – namun lebih kepada physicalism minded. Karenanya Salt selalu menggunakan material film sebagai objek penelitian. Untuk itu hanya diperlukan satu syarat untuk teori yang ingin dicapainya, yaitu pada hasil penelitian yang dilakukan harus menghasilkan informasi baru yang pasti tentang style film dan tidak akan berubah untuk jangka waktu yang lama[12].
Meski diakuinya bahwa studi tentang film tidak dapat menjadi sains murni, namun pendekatan ilmiah secara umum dapat digunakan, di sinilah pentingnya melakukan penelitian yang valid tentang film. Saat ini Barry Salt telah mengembangkan program komputer sebagai alat database untuk mengukur style film dalam statistik semacam program SPSS (Statistical Package for the Social Sciences) yang Ia beri nama Cinemetrics Movie.[13]

II.4. Lahirnya Statistical Style Analysis
Kritik Salt terfokus pada teori-teori interpretasi film baik yang berada dalam ranah cultural studies bahkan  konsep kognitif Bordwell, bahwa kedua konsep tersebut sama saja menghasilkan  interpretasi yang  subjektif, sarat akan manipulasi verbal, dan tidak teruji secara empiris. Kelemahan utamanya adalah  persepsi atau interpretasi yang digunakan sebagai alat dalam menganalisa yang diragukan objektifitasnya.
Dalam pendekatan ilmiah (Positivisme) interpretasi atau subjektifitas dalam penelitian  tidak memiliki bukti empirik yang dapat mendukung kebenaran hipotesis. Sehingga hasil yang ditemukan hanyalah berupa asumsi-asumsi yang dapat sewaktu-waktu dibantahkan bahkan dimentahkan kembali. Inilah yang coba diklarifikasi oleh Salt dan membuat teorinya sangat berbeda dengan Bordwell, meski keduanya sepakat bahwa pemaknaan bukan berasal dari intuisi. Salt mengkritik analisis  yang bersifat interpretatif, bahwa teori teori tersebut :
·         Tidak Memiliki Metode/Rumusan Yang Pasti
Objek penelitian ilmu sosial pada dasarnya berhubungan dengan interpretasi terhadap realitas. Bahwa penemuan makna ditemukan melalui pengalaman karenanya setiap orang memiliki interpretasi sendiri tentang realitas.
Ketika analisis film mengadaptasi ini, maka yang bermain adalah intuisi, yang akan melibatkan pengalaman seseorang  dari bentuk-bentuk seperti religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Sehingga pendekatan ini tidak memiliki sandaran yang tetap atau rumusan  yang  pasti . Hal tersebut sangat berpengaruh pada hasil penelitian yang tidak sama, bahwa  satu objek  akan berbeda dengan menggunakan pendekatan yang sama.
·      Ketidak Konsistenan Interpretasi
Sekali lagi pemaknaan yang mengandalkan intuisi dan pengalaman peneliti membuat kita terjebak pada pandangan subjektif yang labil. Sebuah tanda maupun teks seringkali memiliki makna yang ambigu. Beberapa bahkan terkekang  dalam  faktor  budaya yang sangat dinamis.
Ketika seorang kritikus film menggunakan intuisi pribadinya ke dalam proses interpretasi, maka yang terjadi adalah  kita sebagai penikmat film akan kian tersudut  pada pengembangan wawasan dan terjebak sistem analisa yang sangat subjektif. Ketidak konsistenan interpretasi dalam penelitian film dapat dilihat dari dua hasil kajian mengenai film Young Mr. Linclon, karya John  Ford.
Dalam artikelnya di Cahiers du Cinema, Jonathan Rosenbaum dan Bruce Kawin menyebutkan bahwa sorot tajam tatapan mata Mr. Linclon diartikan sebagai ‘castrating’ (pengebirian) sementara bila dipandang dari sudut  psikoanalisa  seperti yang dikutip oleh Peter Wollen dalam artikel lainnya, sorot mata tajam tersebut  dimakanai sebagai ‘phallus’ (penis) yang identik dengan power (kekuasaan)  dan dominasi pria, serta mewakili simbol pemerkosaan[14].
Di sini terlihat jelas kontras perbedaan interpretasi di mana satu sisi visualisasi tatapan  mata Mr. Linclon diartikan sebagai bentuk  ketidakberdayaan (kelemahan karakter sang protagonis yang dikebiri) sedangkan sisi lain tatapan mata  tajam yang sama dimaknai sebagai keangkuhan  maskulinitas
·         Subjektif  dan Tidak Terukur
Penelitian kualitatif cenderung menggunakan teks yang bersifat subyektif. Realitas yang dipelajari dikonstruksikan sesuai dengan nilai sosial yang ada, oleh karenanya pemaknaan realitas sesuai dengan pemahaman peneliti. Penelitian kualitatif memiliki jalinan variabel yang kompleks dan sulit untuk diukur.
Hal ini pula yang menyebabkan sulitnya menghitung tingkat validitas hasil penelitian kualitatif, sebab hasil penelitian tersebut tergantung kuat atau lemahnya  argumentasi yang digunakan peneliti
Faktor-faktor inilah yang melatar belakangi Barry Salt melontarkan kritikannya. Bahwa kelemahan paling mendasar dalam menggunakan persepsi dan interpretasi dalam menganalisis film hanya akan memetakan film menjadi dua kelas; yang bagus dan yang buruk seperti yang dilakukan oleh teori auteur yang dipopulerkan oleh Andrew Sarris[15]. Sehingga, sutradara auteur pasti lebih unggul dibanding sutradara yang bukan auteur.

II.5. Statistical Style Analysis;  Pendekatan Kuantitatif Dalam Analisis Film
Menurut Salt kajian film yang ideal harusnya meneladani aspek-aspek positif yang ada  pada sains yang lebih stabil dan mapan, meski diakuinya bahwa kajian film sulit menjadi sains murni. Namun hal ini akan menghindari para peneliti terjebak dalam retorika spekulatif. Sebab masing-masing kritikus film, sineas dan para pelaku film memiliki motif agenda, ekspektasi, maupun latar belakang  sosio ekonomi serta budaya sendiri dalam mengambil sikap  yang berkenaan dengan proses interpretasi sinema.
Ketika seorang kritikus film menggunakan intuisi pribadinya ke dalam proses interpretasi, maka yang terjadi adalah  kita sebagai penikmat film kian tersudut  pada pengembangan wawasan dan terjebak sistem analisa yang sangat subjektif.
Karena itu Barry Salt menyerukan pentingnya seorang reviewer/ kritikus film untuk lebih mempertimbangkan aspek teknis ke dalam rumusan interpretasi filmnya. Hal ini yang menurut Salt menjadi kekurangan yang menonjol dikalangan kritik akademis saat ini.
Berpegangan pada aspek konstruktif dalam  memformulasikan  rumusan teori filmnya, Salt kemudian menggunakan metode analisis dan evaluatif yang seobjektif mungkin dalam menelaah lebih dalam tentang berbagai unsur dalam sinema. Metode analisis dipandang perlu demi menguji seberapa  tinggi tingkat akurasi rumusan teori yang digunakan, demikian juga halnya dengan metode evaluatifnya.
Salt menggunakan  statistik dalam  perhitungan style, yang  difungsikan sebagai alat dalam  menjumlah data kemudian merepresentasikan data tersebut sebagai aturan dasar yang bersifat tetap atau final. Dalam analisis style, statistik digunakan menganalisa atau lebih tepatnya mengukur-style. Statistical Style Analysis sendiri secara spesifik memiliki tiga tujuan standar, yaitu:
1.      Menawarkan analisis style dengan menggunakan pendekatan kuantitatif.
2        Menghindari sengketa teks.
3        Untuk mengidentifikasi kronologis film ketika adegan atau urutan komposisi tidak jelas atau tidak runut.[16]
Dengan memasukkan statistik sebagai alat analisanya, Salt berhasil menghindari hubungan style dan tema sebuah film, bahwa style dalam film lebih dari sekedar kepentingan estetika semata.
Statistik sendiri dikenal sebagai jembatan penghubung antara ilmu-ilmu sosial dengan penelitian kuantitatif (Positivisme). Statistik digunakan untuk mengukur fenomena-fenomena sosial ke dalam grafik-grafik angka untuk kemudian digeneralkan. Namun alih-alih menggunakan fenomena sosial, Statistical Style Analysis sama sekali tidak ditujukan untuk pengamatan perilaku dan konstruksi sosial masyarakat.  Ia  malah kembali pada tradisi Formalisme klasik di mana objek penelitiannya terfokus pada material film itu sendiri. Dan statistik digunakan Salt untuk menghitung aspek style  sebuah film.
Salah satu tujuan yang ditawarkan dalam Statistical Style Anlysis adalah penggunaan  pendekatan  kuantitatif dalam analisis style. Seperti yang diketahui, teori-teori film sebelumnya baik yang klasik maupun yang modern sama-sama menggunakan pendekatan kualitatif dalam penelitiannya. Di mana Penelitian kualitatif dimaksudkan untuk mengungkapkan gejala atau fenomena secara kontekstual melalui pengumpulan data dari latar alami objek dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrumen kunci.
Karena menempatkan penulis/peneliti sebagai instrumen  utama,  maka penelitian kualitatif bersifat deskriptif dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Sayangnya hasil penelitian kualitatif tidak dapat diterapkan secara holistik (menyeluruh) atau tidak dapat digeneralisir untuk kepentingan penelitian yang lainnya sebab metode ini tidak bertitik tolak dari sampel[17].
Kurangnya minat menggunakan pendekatan kuantitatif dipengaruhi oleh stigma dehumanisasi yang dilakukan pada metode tersebut. Stigma ini hadir dikarenakan metode penelitian kuantitatif mereduksi pengalaman-pengalaman manusia ke dalam angka-angka statistik semata tanpa melihat keunikan manusia sebagai individu yang memiliki perbedaan satu sama lain.
Namun hal tersebut dibantah Barry Salt, menurutnya penelitian film yang ideal harus menempatkan film sebagai mana film adanya. Bukan melakukan manipulasi terhadap hasil penelitian film tersebut. Hasil penelitian dengan pendekatan kualitatif seperti, semiotik,  linguistik ataupun psikoanalisis  menurut Salt hanya menggambarkan film/dunia sebatas kata-kata sedangkan kata sendiri memiliki banyak keterbatasan[18].
Ia juga menganggap analisis style tidak hadir untuk menghakimi siapa dan apa yang ada di balik sebuah film sebab style merupakan unsur empiris dalam film yang dapat dihitung secara matematis dan sistematis tanpa harus melakukan manipulasi baik verbal maupun psikis pada hasil akhirnya
Barry Salt menitik beratkan kajiannya pada kaidah ilmiah yang logis, rasional dan objektif. Meski dianggap melakukan dehumanisasi, baginya penelitian film tidaklah semudah sekedar menonton film lalu memindahkan pengalaman tersebut dengan dukungan teori-teori manipulatif.
Analisis style kuantitatif di sini melibatkan metode statistik dengan tujuan utamanya adalah mengumpulkan jumlah dan frekuensi data parameter formal sutradara  kemudian diwakilkan ke dalam grafik, dan presentase variabel.
Menurut Salt menggunakan perasaan mungkin dengan mudah dapat mengidentifikasi perbedaan style beberapa sutradara, namun bila diamati secara detail, ide tersebut sangat meragukan. Dengan melakukan pengamatan dan membandingkan secara statistik maka bisa jadi kita mendapatkan hasil yang berbeda bisa pula menghasiklan hasil yang sama namun yang membedakannya adalah akurasi data yang tentunya lebih pasti dan stabil.

II. 6. Statistical Style Analysis; Teori Praksis.
Teori Praksis yang dimaksud di sini adalah  penerapan  sebuah metode ke dalam  bentuk  kongkrit yang diawali dari memilah sampel, mengkonstruksinya menjadi sebuah data, menganalisa, lalu mengevaluasi data. Hal ini bertujuan agar hasil analisis data yang didapatkan  adalah hasil yang akurat, teruji  dan sistematis. Bentuk tindakannya dalam skripsi ini akan diurai pada bab IV, di mana film sampel yang telah ditentukan yang akan diolah menjadi sebuah variabel data yang berujung pada evaluasi data tersebut.
 Barry Salt  menilai bahwa  melalui  suatu konstruksi pola yang terukur, style seorang sutradara  dapat terdeteksi melalui  parameter formal yang diterapkan ke dalam filmnya. Ia merepresentasekan parameter formal tersebut  ke dalam grafik batang dan persentase. Parameter formal yang dimaksud di sini adalah wilayah kerja dari sutradara yang bisa diuji secara empiris.
Seperti yang dikemukakan Eisenstein sebelumnya bahwa style adalah yang paling empiris dalam film dengan  shot sebagai satuannya  maka elemen dari shot inilah yang kemudian diolah menjadi data mentah, Salt menkonstruksi data-data ini ke dalam bentuk diagram, grafik, dan persentase, dan dari hasil pembacaan atas parameter tersebut bisa memberikan gambaran tentang style seorang sutradara.
   Metode teori praksis ini akan digunakan oleh penulis untuk menganalisa  empat sampel dari film Chaerul Umam seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun lebih lanjut penulis akan mengurai elemen apa saja yang nantinya akan dianalisa.
Dengan mengaplikasi Stylometry dari Barry Salt, maka penulis memilih elemen shot sebagai parameter yang digunakan. Adapun elemen shot yang dimaksud adalah;
A.      Average Shot Length
Konsep Averege Shot Length (ASL) merupakan panjang dari film dibagi dengan jumlah shot didalam film, yang dapat dinyatakan sebagai panjang fisik yang sebenarnya dari film atau lebih dikenal sebagai durasi.  Sebelumya untuk film yang menggunakan bahan baku  celluloid  dan film bisu, digunakan satuan  feet yang diambil dari panjang pita celluloid, namun hal ini menimbulkan persoalan di mana kecepatan proyektor film mempengaruhi durasi film. Untuk itu Barry mengganti satuan ASL menjadi detik, ketika perbandingan dilakukan dengan film-film yang dibuat pada masa yang berbeda atau format yang berbeda seperti format video ataupun digital.
Dalam penghitungan statistiknya, Barry merekomendasikan beberapa cara untuk memilih interval waktu yang digunakan dalam menghitung ASL, yaitu :
1.        Gunakan interval waktu per satu menit atau 60 detik pada film dalam cakram digital (CD) atau 100-feet pada film 35mm.
2.        Lakukan perhitungan jumlah tipe shot dalam angka (misalnya 50 tipe shot) kemudian hitunglah jumlah shot dari keseluruhan tipe shot yang ada.
3.        ASL atau panjang rata-rata shot didapat dari perhitungan interval waktu keseluruhan scene dalam film. Kemudian hitunglah jumlah shot seluruhnya.  Jika scene berlangsung 2 menit (120 detik) dan jumlah shot setiap scene adalah 12 maka  ASLnya adalah 10 detik.
ASL =
Jumlah Durasi
Jumlah Shot
Secara sederhana ASL didapatkan melalui rumus berikut :



B.  Shot Scale atau Type of Shot
Pada mulanya Barry mendapatkan skala shot kebanyakan dari data-data untuk ASL (scene dan jumlah shot) dan hasil persentase terbalik dari potongan angle yang diambil dari 30 menit panjang film atau setidaknya 200 shot. Namun kriteria tersebut tidak memuaskan dengan range error mencapai lebih 10%. Karenanya distribusi skala shot sekarang diambil dari keseluruhan panjang film. Adapun tipe shot yang dihitung adalah :
1.   Big Close Up (BCU)
2.   Close Up (CU)
3.   Medium Close Up (MCU)
4.   Medium Shot (MS)
5.   Medium Long Shot (MLS)
6.   Full  Shot (FS)
7.   Long Shot (LS)
C. Camera Work-Movement
Tren menggunakan gerak kamera yang luas muncul pada penghujung era film bisu hingga memasuki periode film bersuara. Hal ini memunculkan perbedaan antara jumlah shot dengan gerak kamera (camera movement). Perdebatanpun muncul tentang apakah gerak kamera merupakan salah satu bagian dari style sutradara di mana gerak kamera tidak menampakkan kerja-kerja sutradara didalamnya melain kerja Cameraman.
Namun menyadari bahwa gerak kamera berada dalam kewenangan sutradara dalam hal ini kamera bergerak sesuai keinginan sutradara, maka bahwa camera movement merupakan bagian dari style sutradara.
Adapun penghitungan skala camera movement mencakup :
1.    Pan
2.    Tilt
3.    Track
4.    Crane
5.    Zoom
Dengan menerapkan ketiga elemen tersebut, diharapkan nantinya bisa memberikan hasil yang konkrit melalui data yang diperoleh, untuk lebih lanjut pemaparan tentang  pengaplikasian serta analisis dari parameter tersebut akan diurai pada bab III.


[1] Bordwell, David On The History of Style film, hal. 47
[2] Ibid 5
[3] Dyer, Richard The Oxford Guide to Film Studies, hal.  8
[4] Storey, Jhon Cultural Studies and  The Study of Popular Culture Hal.  70
[5] Ibid Hal.  71
[6] Ibid Hal 9
[7] Stam, Robert Film Theory; An Introduction, hal 179
[8] Ibid, Stam Robert, Hal 181
[9] David Bordwell merupakan praktisi dan sejarawan film pencetus aliran kongnitifisme dalam analisis film juga didapuk sebagai pengikut aliran Neo-Formalisme.
[10] Salt, Barry, Film Style and Technology : History and Analysis, hal. 1
[11] Ibid 14
[12] Ibid 14, Hal 2
[13] http://www.cinemetrics.lv/
[14] Salt, Barry: History and Analysis: The Interpretation of Films, ha. 13
[15] Sarris, Andrew merupakan kritikus film yang  mempopulerkan teori Auteur di USA melalui bukunya The American Cinema: Directors and Directions 1929-1968 (1968).

[16] Elsaesser, Thomas & Warren B, Studying Contamporary American Film; A Guide To Movie Analysis, Hal. 103
[17] Salim, Agus, Teori dan Paradigma Penelitian Sosial, Hal. 85
[18] Salt, Barry: History and Analysis: The Interpretation of Films,Hal. 2