Teori Film

Rabu, 28 Desember 2011

Treatment Teknik Visual. film, 'Suara iLalang.


IV.              Treatment Teknik Visual
Konsep visual berbicara tentang apa yang nantinya kita lihat lalu apa impact dari yang kita lihat, dalam treatment sinematografi hal ini mengacu pada dua hal yakni look dan mood..
Karakter visual yang akan dijabarkan disini lebih mengacu pada aspek yang terlihat untuk menciptakan look visual, penulis menjabarkan karakter visual ini kedalam beberapa aspek, sehingga nantinya penggambaran visual ini akan menjadi patokan atau acauan pada saat pengambilan gambar, dan aspek yang dimaksud antara lain:

A)    WARNA
Warna yang digunakan dalam film ini akan dikemas sesuai dengan corak karakter tokoh masing masing yang kami akan bagi kedalam tiga bagian,  yaitu


Tokoh Rasa;  Akan ditampilkan dengan warna hijau atau bernuansa hijau, baik dari setting ruang, property hingga suhu warna yang kami gunakan lebih mengarah pada area hijau. Yaitu sekitar 3700-4700 derajat Kelvin, suhu warna ini bisa dibilang berada pada range pertengahan spektrum warna pada gelombang cahaya yang dapat langsung dilihat oleh mata manusia. Penggunaan hijau disini lebih mengartikan kebimbangan tokoh Rasa yang melihat realita yang ada disekitarnya menjadi banyak pertanyaan dalam dirinya.
              
Disini kami menggunakan bahan baku jenis Day light 5600 derajat Kelvin, dengan penggunaan lampu yang akan kami turunkan suhu warnanya sehingga lampu daylight tersebut mengeluarkan suhu warna sekitar 3700-4700 derajat Kelvin. Dan untuk lebih menyolidkan lagi suhu warna yang kami telah kami capai akan dilakukan pada tahap post grade.

Tokoh Aisyah: Akan ditampilkan kedalam corak berwarna coklat, cenderung sephia, yang menjabarkan sosok yang melankolis, introvert,  dari penjabaran ini look yang ingin ditampilkan agar sesuai dengan karakter tokoh  adalah  warna warna dengan suhu rendah, oleh karena secara psikologis suhu warna tersebut mampu menghantarkan mood seperti pada karakter Siti.

Selain properti, setting ruang dan kostum, suhu warna ini akan kami angkat dengan penggunaan bahan baku Tungsten (3200 K) sehingga akan memudahkan kami mengangkat intensitas warna coklat terebut. Karena intensitas warna coklat berada disekitar 2500-3500 derajat Kelvin maka intensitas warna dari lampu yang kami gunakan akan berada diarea tersebut, agar gambar mentah yang kami buat sudah cukup solid sebelum masuk pada tahap full grade.
Tokoh Cut; Akan ditampilkan kedalam corak Biru- Bluish. Tokoh Cut adalah karakter yang rigid (kaku) trauma akan masa lalu, corak yang akan kami berikan pada karakter ini adalah warna warna dingin, sehingga efek yang diberikan melalui look semacam ini bisa sesuai dengan mood yang ingin dicapai.

Dalam pencapaiannya bahan baku yang digunakan adalah Tungsen (3200 K) dengan diasimilasikan pada cahaya atau lampu dengan suhu warna tinggi 5600 K, sehingga terjadi manipulasi warna yang tentunya telah menjadi pencapaian kami. Hal yang sama juga bila adegan yang diambil adalah interior dan adegan malam. Yang sedikit membedakan dengan phase (Rasa dan Aisyah)  sebelumnya adalah  properti dan setting pada ruang karakter Cut akan diberi sentuhan warna merah. Hal ini dimaksudkan untuk merlefsikan sesuatu yang glamour seperti pada sense tokoh Cut.

Penting untuk diketahui bahwa ketiga corak warna ini akan dimentahkan tingkat kesolidannya atau disaturated, yang kemudian secara perlahan mengikuti alur film warna warna tersebut akan menjadi solid kembali. Dengan bahasa teknisnya (scene 1-10 warna akan disaturated) dan (scene 11 – 16, warna akan berangsur angsur menjadi solid). Hal ini dimaksudkan atau berkaitan erat pada teks film yang dituangkan, sebuah permasalahan diawal sebaiknya memberikan pencerahan pada kesimpulannya.


B)     GAYA  PENCAHAYAAN
Secara umum gaya pencahayaan yang ingin dicapai ini adalah graduted tonality  yang kami artikan bahwa dalam satu frame area gelap dan terang akan lebih berimbang dan pencapaian ini berarti nilai range ekposure (exposure value) akan lebih bervariatif, hal ini dilakukan untuk menciptakan kesan kedalaman ruang khususnya pada adegan malam hari dan adegan didalam ruangan.
Pada siang hari, sumber pencahayaan akan bersumber dari matahari dan bila  adegan dalam ruangan bersumber dari jendela ataupun pintu, dan untuk malam hari bersumber dari lampu ruangan, dan kesemua aspek pencahayaan ini akan dikemas kedalam artificial light.
Untuk mencapai gaya pencahayaan tersebut maka lighting ratio yang dipergunakan dalam film ini adalah, untuk adegan malam hari menggunakan rasio 1:4, dan disiang hari menggunakan 1:3.
Dalam scene tertentu, gaya pencahayaan menggunakan Low-Key seperti pada scene mimpi

      201                    cliff8

                         0040SP-10142684                   2512659073_bd3075c267

C)    PEMILIHAN KAMERA, LENSA, dan BAHAN BAKU
Kamera.
Secara garis besar film ini menggunakan dua jenis kamera yaitu Digital SLR Canon 5D dan  Arri 3, 35 mm.
penggunaan Digital SLR disini sebagai treatment dari tokoh Rasa yang merupakan seorang fotografer. Sedangkan penggunaan 35 mm bertujuan untuk menghasilkan kualitas warna dan detil secara maksimal, selain sebagai pakem standard professional perfilman saat ini (meskipun saat ini, pakem ini mulai bergeser) baik dari segi estetik, teknis dan teknologi belum ada yang mampu menggeser kualitas dari celluloid 35 mm di era digital saat ini.

       Lensa.
Pemilihan lensa merupakan garda terdepan dalam menghasilkan sebuah image, untuk itu lensa yang digunakan dalam film ini adalah lensa fix, untuk menghasilkan persfektif, dan ruang tajam yang range lebih baik dibanding lensa variable, untuk itu kami memilih Ultra prime karena jenis lensa ini memiliki maksimal diafragma-t stop  hingga 1.8. sehingga sangat membantu kami ketika menggunakan ASA rendah.
Sedangkan pada digital SLR kami menggunakan lensa L series, karena tipe lensa ini memiliki bukaan difragma yang lebih besar meskipun dari jenis variable, dan juga memiliki sensor kecepatan yang sangat baik dalam menangkap cahaya, t-stop pada lensa jenis ini bisa mencapai 1.2. hal ini tentunya berpengaruh besar pada persfektif dan ruang tajam bila dibandingkan dengan jenis lensa digital yang lain.

 Bahan Baku
Dalam pemilihan bahan baku, penulis membutuhkan bahan baku yang dengan suhu warna rendah (3200°K) untuk malam hari dan 5600°K untuk siang hari. Kinerja bahan
baku disini akan didukung dengan pemilihan lampu yang sesuai dengan karakter dari suhu warna bahan baku  yang akan digunakan. Penggunaan lampu day light untuk siang hari dan tungsten untuk malam hari, namun tidak beberapa adegan malam akan menggunakan lampu day light untuk memberi suasana berbeda.

Bahan baku yang akan kami gunakan adalah ASA rendah (50 D) untuk siang untuk menghasilkan gambar yang clean dan ASA tinggi (320T)  untuk malam hari agar detil cahaya mampu terekam dengan baik dan area shadow diminimalisir agar tetap pekat dan tidak terjadi grain. Oleh karena itu, dengan kriteria diatas penulis menggunakan bahan baku dengan jenis Kodak Vision 3, 500T.

Pemilihan bahan baku ini dipilih karena karakter dari produk ini sangat baik merekam detail darkest dan brightest area. Exposed latitude yang tinggi dan detail warna yang pekat sangat menjaga skin tone tetap natural tanpa saturation contaminations.
Selain itu jenis Vision 3 ini dihadirkan oleh karena perkembangan proses digital-telecine, sebab film yang akan kami proses akan menuju pada proses data telecine, sehingga jenis ini dianggap mampu menghadirkan kualitasnya meskipun melewati proses digital, artinya dengan Vision 3 kemungkinan grainy pada film ASA tinggi mampu direduksi atau dinetralisirpada saat telecine, dan hal inilah yang kurang dimiliki pada jenis Vision 2, sehingga memunculkan Vision 3.

III.2. Komposisi
Fungsi komposisi dalam film adalah bagaimana menempatkan setiap elemen dari mise en scene sesuai dengan porsi atau kebutuhan elemen tersebut dalam area frame, yang pastinya akan berhubungan dengan alur penceritaan. Oleh karena wujudnya termasuk unapear maka komposisi dalam hal ini akan sangat menunjang pembentukan mood didalam film.
Berikut beberapa penjabaran penulis dalam menata komposisi didalam film ini;

A)Komposisi Kamera.
Komposisi kamera akan selalu menjaga keseimbangan freme agar selalu terlihat sesuai dengan elemen elemen lain yang ada dalam freme. Komposisi akan menempatkan subyek pada interaksinya terhadap ruang gerak, memperlihatkan ruang, waktu dan peristiwa.
Position on center akan sebisa mungkin dihindari dengan penempatan rule of third.

B) Aspek ratio
Film ini menggunakan format 1 : 1.85. Seiring perkembangan teknologi release akhir dari film ini akan diproyeksikan ke format full HD, sehingga tidak terjadi reduksi gambar.

C) Type of Shot
Tipe shot yang dipakai disini berperan sebagai penjalin sebuah adegan sertauntuk menciptakan dinamisasi. Penggunaan close-up akan mendominasi dibanding tipe shot yang lain, oleh karena dengan close-up penonton akan diarahkan langsung pada inti dari permasalahan setiap karakter.
Close up disini juga berperan sebagai keterbatasan ruang dari permasalahan karakter.

D) Angle
Pengambilan eye level lebih banyak dipergunakan untuk lebih menampilkan kesan kesamaan tidak ada yang lebih mendominasi, selain penggunaan high angle lebih untuk menyampaikan ketidakberdayaan tokoh .

E) Gerak Kamera

NOTE:::: kalo ada yang kurang atau lebih.. silahkan dirubah…..
namanya juga planning

Konsep Sinematografi 'Suara Ilalang'


I)       Sinematografer Steatment;
Film menjadi seni yang terakhir (seni ketujuh) dalam peradaban manusia oleh karena ia mampu menampilkan dan menyatukan  kompleksifitas ide  dari berbagai kreator kedalam medium film. Oleh karena kompleksifitas inilah film bisa berbicara dalam lingkup sosial atau film adalah media sosial,  singkatnya, ketika ketika menyampaikan sesuatu kepada pihak yang lain  maka terjadilah interaksi sosial.
Film mampu memberikan pengaruh kepada penontonnya bahkan peradaban manusia sekalipun sama seperti seni murni yang lain. Steatment ini memang sudah bukan kosakata baru dalam dunia sinema, namun hal inilah yang mengacu saya sebagai Sinematografer untuk tertarik dan terlibat dalam pembuatan film TKA yang berjudul ‘Suara Ilalang’.  Dan  pertanyaan yang kemudian muncul dalam benak saya adalah, seberapa jauh kerangka Sinematografer membentuk ‘pengaruh’ didalam film ini? Hal inilah yang sekiranya perlu untuk didiskusikan bersama dengan Sutradara, Penulis, Art Director, Editor, yang nantinya penulis akan melampirkannya pada bab Sinematografer Treatment.
Mengutip perkataan sutradaraa film ini “Story dalam film ini menjadi alat saya untuk menyampaikan tujuan yang saya miliki.  Tujuan saya adalah menemukan apa yang tersembunyi di balik pilihan seorang muslimah mengenakan pakaian berjilbab”. Disini Sinematografer mengharfiahkan bahwa secara garis besar teks film ‘Suara Ilalang’ memberikan gambaran begitu banyak perbedaan bahkan dengan  pemahaman yang sama sekalipun akan kerap muncul perbedaan.  Perbedaan memang terkadang menghasilkan ketidaksamaan tujuan, namun disini  saya  akan mencoba melirik sebuah  persfektif  (persefektif karakter dalam cerita)  bahwa  didalam cerita film ini terdiri dari tiga karakter tokoh yang berbeda yang meskipun  berlatar pada  berbagai kesamaan, seperti;  status gender yang sama, status lingkungan dan akidah yang sama.
Dalam penguraian  teks diatas, saya mengemukakan kata kunci, yaitu perbedaan yang didasari atas karakter masing masing tokoh (Rasa, Siti dan Cut). Dan  dari ketiga perbedaan teks karakter tersebut,  akan saya jadikan acuan untuk membentuk sebuah konsep dan treatment, khususnya dalam area kerja seorang Sinematografer
Berbicara tentang area kerja seorang Sinematografer, maka kita berada dalam area Syle sebuah film. Style disini bisa diartikan sebagai teknik filmaker dalam memberi makna dalam filmnya. Disinilah peran mise en scene dalam sebuah teks  film untuk dikreate sehingga mampu memberi makna bagi penonton film ataupun bagi naratif film.

II)  Analisa Skenario
Dalam skenario ini secara konkrit menghadirkan latar kejadian yang real,  disebuah  pemukiman dimana ketiga tokoh, Siti, Rasa dan Cut berinteraksi  secara sosial dengan konflik masing masing yang melandasi plot penceritaan.  Dari persfektif  sinematografi, penonton film  akan diarahkan untuk berada dalam tiap tiap situasi masing masing karakter tokoh. Telah disebutkan pada bab sinematografer steatment, bahwa kata kunci ‘teks perbedaan karakter tokoh’  dan interaksinya menjadi benang merah sinemtografer untuk dikonversi kedalam pembentukan style film.
Dan sebagai Penata Fotografi dalam film ini dihadapkan pada bagaimana menciptakan asimilasi look dan mood yang sesuai dengan kejadian tersebut kedalam nuansa penceritaan didalam film. Dan pandangan Penata Fotografi dalam skenario ini adalah:

-          Dari analisa karakter tokoh Rasa  menjabarkan sosok yang ambivert yang ingin mengetahui banyak hal, karakter yang bimbang dengan logika pemikiran yang kuat. Phase look warna pada karakter Rasa akan dikemas pada suhu warna yang sedang (3500-4500 K) yang berarti berkesan hijau yang tidak pekat.

-          Dari analisa karakter Siti,  menjabarkan sosok yang melankolis, introvert,  dari penjabaran ini look yang ingin ditampilkan agar sesuai dengan karakter tokoh  adalah  warna warna dengan suhu rendah, oleh karena secara psikologis suhu warna tersebut mampu menghantarkan mood seperti pada karakter Siti.

-          Tokoh Cut dari film ini adalah karakter yang rigid (kaku) trauma akan masa lalu, corak yang akan kami berikan pada karakter ini adalah warna warna dingin, sehingga efek yang diberikan melalui look semacam ini bisa sesuai dengan mood yang ingin dicapai

Dari penjabaran analisa karakter diatas, elemen sinematografi  telah memberikan berbagai corak dari ketiga karakter didalam film ini. Begitupun dengan elemen elemen yang lain dalam sinematografi, seperti; komposisi, angle, tata cahaya, dsb, akan tetap mengaplikasikan karakter tokoh sebagai pemicu dalam menata mise en scene di film ini.  Dan untuk lebih detilnya akan kami paparkan pada BAB 4 ‘Treatment Visual’.

III.  Konsep Visual Mise en scene
Sederhananya  Sinematografer ingin membuat formula dimana  visual atau gambar mengikuti konstruksi cerita, bahwa   style mise en scene akan menunjang atau mengikuti   bentuk teks naratif, agar tidak saling tindih dan  berdiri sendiri.
Dari teks cerita film ‘Suara Ilalang’  berbicara tentang keseharian Tiga orang tokohnya ditahun 2009, dari bentuk ini,  maka secara garis besar konsep style akan kami bagi tiga elemen secara garis besar (sesuai dengan karakter tiga tokoh), ketiga bentuk inilah yang nantinya akan dibuat

Kamis, 22 Desember 2011

Perlunya Pendekatan Kuantitatif dalam analisa (style) Film


Tidak adanya metode yang baku dan tetap dalam analisis film menjadikan disiplin ini menjadi domain penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif dimaksudkan untuk mengungkapkan gejala secara holistic-kontekstual melalui pengumpulan data dari latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrumen kunci. Proses dan makna yang dihasilkannya akan cenderung bersifat deskriptif dan interpretatif karena menggunakan analisis dengan pendekatan induktif yang bersifat subjektif. 

Oleh karena itu, hasil penelitian maupun kajian film tidak dapat diterapkan secara keseluruhan untuk satu kasus yang sama. Sebab interpretasi terhadap suatu objek dalam hal ini film akan sangat bergantung pada pengalaman, pengetahuan/pendidikan, ekspektasi, latar budaya dan sosial ekonomi peneliti, sebuah konsekuensi menempatkan peneliti sebagai tolak ukur penelitian.

Minggu, 18 Desember 2011

Analisa Style berbasis Sains


             perlunya pendekatan sains dalam sinema dirasa perlu dalam analisa film, tulisan ini merujuk pada buku 'Film Style Technology & History analysis' 3rd edition, Starword London 2009 by Barry Salt,  halm 5 - 33.                            

Teori Film Lama, Teori Film Baru.

Sebelum kita masuk kedalam pokok bahasan utama , ada baiknya saya paparkan terlebih dahulu tentang kerangka dasar teori umum deskripsi dan analisa film.  Namun sebelum itu saya akan mencoba mengajukan beberapa argumen dan bantahan mengenai teori teori film terdahulu yang kurang memuaskan. Kritikan saya (Barry Salt) terbagi atas 2 bagian, yakni: