Teori Film

Minggu, 31 Januari 2010

Mencari identitas Auteur film Nasional (draft#5. final draft)


Sebelumnya saya sangat berterimakasih kepada Rako Prijanto atas wacana dan dialognya, serta dosen pembimbing penulisan ini

I. Pendahuluan
Dalam film kritik pada era tahun 1950-an, berkembang teori Auteur menyatakan bahwa sutradara film harus mencerminkan bahwa visi kreatif pribadi, ia adalah sosok primer auteur dalam film, dan hukum auteur: mengisyaratkan bahwa kreator film/sutradara merupakan seniman dari karya film. Karena dalam beberapa kasus, produser film lah yang dianggap sebagai auteur untuk film-film yang telah mereka karyakan. Di bawah ‘hukum’ Uni Eropa, sutradara film akan selalu dianggap sebagai penulis atau salah satu penulis dari sebuah film, dan inilah yang berupaya diperjuangkan oleh para filmaker dan kritikus seperti New Wave Prancis.


Teori Auteur memiliki dampak yang besar pada kritik film sejak dirintis tahun 1954 oleh tokoh French New Wave François Truffaut, seorang sutradara dan kritikus film menilai "Auteurism" adalah metode analisis film berdasarkan karakteristik seorang sutradara film yang membuat dia diposisikan sebagai seorang auteur. Baik Auteur dan Auteurism teori dan metode analisis film sering dikaitkan dengan cara berfikir para kritikus New Wave dibawah label majalah film terkemuka Prancis, Cahiers du Cinema.

Teori auteur ini menarik bagi para cinephilia-penggemar film yang menulis untuk Cahiers du Cinema dan berpendapat bahwa film harus mencerminkan visi pribadi sutradara. Seperti studi kasus mereka dalam mengkampanyekan para sutradara film seperti Howard Hawks, Alfred Hitchcock dan Jean Renoir sebagai absolut Auteurs pada film film mereka.

Dalam perkembangannya, studi tentang Auteur semakin berkembang dan bertujuan menghadirkan atau mencari tokoh tokoh perfilman yang dianggap brilian dan layak disandingkan dengan sejarah cinema.
Isi dari pemaparan tulisan ini adalah sebuah studi kasus tentang seorang sutradara yang kemudian penulis akan mencari konsistensi tematik dan stylistik dari karya karya yang dihadirkan sutradara tersebut, dan dalam kasus ini penulis memilih seorang sutradara Indonesia (Rako Prijanto) dengan 9 karya filmnya (Layar Lebar Bioskop) untuk kemudian dijadikan sebagai studi kasus. Alasan penulis memilih Rako Prijanto, selain karena film filmnya selalu menggambarkan persoalan sosial dilihat dari kacamata anak muda, sumber materi dari pembahasan ini turut melibatkan objek dari observasi penulis dalam hal ini sutradara itu sendiri, sehingga data yang didapatkan langsung dari perbincangan dengan Rako akan diasimilasikan dengan materi studi Auteur, oleh karena tulisan ini merupakan salah satu kewajiban dalam mata perkuliahan ‘Kajian Film Sutradara’ dilingkungan Studi Kajian Media Film FFTV-IKJ.

I.1. Metode Analisis
Metode ini memberikan penggambaran analisa tulisan ini yang dimulai dari aspek paling luas (kontekstual), hingga pada analisis stylistik (mise en scene.)
A. Auteur dan Kontekstual.
Analisa konsistensi konteks yang terdapat dalam ke-9 film Rako.
B. Auteur dan Biografi.
Analisa masakecil Rako, yang secara sadar ataupun tidak sadar terdapat satu konteks besar pada semua film film Rako. Bahwa analisa biografi ini mempengaruhi kontekstual dan tematik.
C. Auteur dan Tematik
Menganalisa ke-9 tema film Rako, dan dari ke-9 tema tersebut terdapat satu tematik yang merangkum semua film film Rako, sebagai sebuah konsistensi.
D. Auteur dan Naratif.
Menganalisa struktur penceritaan ke-9 film Rako serta mencari konsistensi metode-cara Rako menyampaikan naratif-story dalam film filmnya
E. Auteur dan Stylistik.
Menganalisa aspek stylistik pada ke-9 film Rako, sehingga menghasilkan pemaparan konsistensi benang merah dari style yang digunakan dalam menyampaikan naratif, yang terdapat pada film film Rako.

II. Pembahasan.
A. Auteur dan Kontekstual.
Dalam analisa film film Rako secara kontekstual berbicara pada faktor subjektifitas sosial yang berarti bahwa seperangkat konsep, gagasan, struktur maupun formasi ideologis merupakan refleksi kegelisahan seorang author atau sutradara atas gejala social politik ditempat dia berada yang terkadang mengakibatkan polemik tertentu yang berujung pada terbentuknya pada peleburan dua visi yang bertolak belakang secara bertahap, seperti dalam film drama ataupun komedinya, polemik yang terjadi berdasar pada status atribut sosial dibalut penceritaan cinta yang menjadi alur utama, dari dua visi yang bertolak belakang inilah terjadi peleburan yang menjadi sebuah konsistensi dalam setiap karyanya, (bagaimana sikap anak muda dalam balutan status sosial).

Sehingga dalam wacana kontekstual Rako berbicara dengan kapasitas Author as social subject, dan dari pemaparan ini, penulis berasumsi bahwa keistimewaan film film yang dibesut oleh Rako Prijanto merupakan implisitas penjabaran multiculturalism kedalam kompleksifitas ruang film. Ia mengusung- demographic make-up, sebuah polesan status sosial tertentu yang dianggap bertolak belakang, atau melihat kembali budaya yang berusaha disingkirkan sebagai salah satu bentuk yang bisa menempati ruang didalam film. Melalui film, ia berbicara sebagai generasi muda dalam melihat keragaman kultur dan status yang dimiliki Indonesia, dengan berlatar bahwa Indonesia adalah negara multi etnis, ras, yang notabene terkadang menjadi konflik perpecahan, cara pandang dan bersikap. Dan saya menilai Rako melalui filmnya ingin memperlihatkan atribut atribut yang didiskriminasikan-yang dihilangkan, sehingga bisa diposisikan film filmnya merupakan pendukung multikultural dengan asumsi bahwa perpaduan sosial terlalu sering dimaknai telah dicapai dengan baik, padahal ada diskriminasi eksplisit terhadap kelompok minoritas budaya tertentu, dengan menjadikan media film sebagai sistem yang adil yang memungkinkan orang untuk benar-benar mengekspresikan siapa mereka di dalam suatu masyarakat, yang lebih toleran dan yang lebih baik untuk menyesuaikan isu-isu sosial, bahwa dalam masyarakat di mana setiap kelompok memiliki status yang relatif sama.

Resume kontekstual
Kata kunci: Multikulturalisme, sebagai aspek dari Author as social subject
Pembahasan: Mengapa penulis menyebutkan bahwa konteks demographic make-up multiculturalism menjadi sebuah konsistensi pada ke-9 film Rako.

Metode analisis: Studi psikoanalisa tentang biografi-masa kecil seorang seniman adalah pemicu awal yang telah ada dialam bawah sadar jauh sebelum seorang seniman mentreat- mentrigernya kedalam sebuah karya.
Dan untuk itu perlu saya uraikan biografi Rako sebagai bukti analisis terhadap asumsi saya dalam menjajaki studi film Auteur, yang pada tulisan ini saya mengangkat Rako Prijanto dan ke-9 filmnya. Karena steatment tematik saya selanjutnya adalah “berawal dari konteks multikulturalism akan membentuk konsistensi tematik dalam keseluruhan film, terlepas dari genre dan penuturan setiap film,” maka asumsi konsistensi tematik dalam film film Rako adalah Kaum muda marginal yang dihadapkan pada gaya hidup metropolitan, etnis dan kritik mitos. Tapi sebelum kita menuju pada konsistensi tematik, ada baiknya saya uraikan alasan mengapa saya menyebut kontekstual film Rako adalah ‘Author as social subject’ (demographic make-up multiculturalism,) melalui analisa biografi.

B. Auteur dan Biografi.
Rako Prijanto lahir di Magelang, Jawa Tengah, 4 Mei 1973. Seorang sutradara film Indonesia. Ia mengawali karir dengan menjadi asisten sutradara Rudy Soedjarwo dan Riri Riza.

(Berikut ini beberapa kutipan tanya jawab saya dengan Rako)

Masa kecilnya dihabiskan di Balikpapan dan Magelang, tinggal dengan bibinya, oleh karena ayahnya seorang perwira polisi yang sering berpindah tugas, (bokap gw mesti Polisi tapi liberal banget!dan selalu on mode, baik film, lagu dan fashion). Sempat bersekolah di SD Tarakanita, yang kebanyakan teman temannya dari etnis China.. Kebanyakan waktu kecilnynya dihabiskan bermain dilaut disawah dan sungai. Menurutnya ada hal lucu yg sering ia lakuin ketika kecil, yakni; bila ada tamu berkunjung kerumahnya, pasti dengan tiba tiba Rako kecil telah berdiri di depan mereka (tamu) dan langsung bernyanyi, selain sering mengikuti dandanan grup band Kiss, tokoh Superman, hingga karakter The Deer Hunter. Semenjak kecil kenal dengan film, dan hampir setiap hari slalu tidur malam hanya untuk menonton film serial favoritnya Bonanza, Six Million Dolar Man, dll.

Berikut ini beberapa kutipan yang diutarakan oleh Rako Prijanto semenjak pertama kali mengenal film:
Gw (Rako) suka ngayal menanam kitab silat buatan sendiri di kebun orang dan gw berpura-pura nemuin kitab kung-fu tersebut beberapa hari kemudian. Di era tersebut serial silat hongkong juga hampir semuanya gw tonton. Film yg gw tonton pertama kali adalah Spartacus... Kelas satu SMP, bokap beliin gw hadiah ultah video 8 dan gw selalu eksperimen bikin film sama teman teman gw. Film yg paling gw suka adalah Bonanza suka karena ada satu karakter gw lupa namanya (pokoknya adik mereka yang paling kecil dan yang paling gw suka dia pakai pistol dua kanan dan kiri).. keren, gayanya cool banget! Film di saat gw remaja sangat booming dan sangat menonjolin tekhnik, sepertiya mereka berlomba-lomba dengan tekhnik. Gw cuma nonton film film Hollywood dan Hong kong, Prince Lea (star wars) dengan bikini gold-nya, sangat berkesan hahahaha...kalo film Indonesia jarang banget, paling G 30 SPKI, lupus, dan Cabo, (‘Catatan si Boy’).
Masa kacil gw yg selalu dikelilingi orang orang dewasa yang suka ngeguyon-ngelawak, seperti sepupu gw, kakak gw dan gw selalu nonton Srimulat di Taman Ria Remaja setiap malam Jumat hehehe... oh ya juga wayang orang Bharata di Senin (pasar) kalo gw lagi libur ke Jakarta bareng Bokap...

Diantara semua karya filmnya mana yang paling berkesan menurut mas Rako?
Ungu Violet (karna film pertama gw dan proses bikinnya sangat bener), Merah itu cinta (gw mencoba mengartikan eksperimental di film ini) dan Tri Mas Getir (film yang nggak penting tapi skripnya unik) hehehehe... ok Yunus Patawari… semoga berguna...

Filmograph
1) Ungu Violet (2005) 6) Krazy Crazy Krezy (2008)
2) D'Bijis (2007) 7) Benci Disko (2009)
3) Merah Itu Cinta (2007) 8) Preman In Love (2009)
4) Tri Mas Getir (2007) 9) Maling Kutang (2009)
5) Oh My God (2008)

Resume analisis biografi
Dari kejadian masa kecil inilah tertanam pemicu yang mentriger karya karya Rako hingga saat ini, yang menjadikan film film nya sebagai medium untuk merepresentasikan perpaduan social issue. Salah satu contoh ia memasukkan warga negara indonesia keturunan – semisal diskriminasi etnis Cina. Mungkin tak ingin kesulitan lagi seperti dimasa kecilnya untuk mendapatkan nuansa Mandarin dalam medium film sehingga ia mengaplikasikan bentuk ini kedalam film, menariknya adalah Rako mengaplikasikan nuansa etnis ini secara konsisten pada semua filmnya.

Pointers 1:
- Masa kecil berpindah pindah tempat.
- Waktu di SD teman bermainnya dari etnis China.
Disini saya beranggapan bahwa Rako tanpa sepengetahuannya mulai mengenal konsep Kulturalisme-multikultur, dan mungkin ada banyak pertanyan pertanyaan dari dirinya yang belum sepenuhnya terjawab dan akan mengalir kedalam bawah sadar Rako kecil. Dan bukankah dengan berpindah pindah tempat, seseorang akan mengetahui banyak hal, kebudayaan, kelas sosial, ras. Teman berbeda etnis, meniru sesuatu yang tidak ada pada dirinya adalah point saya mengartikan multikultur.

Pointers 2:
- Kelas satu SMP dapat hadiah kamera video 8.
- Film Hollywood dan Hongkong
- Srimulat dan Wayang Bharata.
Disini saya beranggapan Rako mulai mengenal media visual dan kekuatan dibalik media visual. Pemicu dalam bawah sadar mulai diasah (di-create) menjadi sebuah medium sendiri dengan referensi medium-media lain.

Pointers 3:
Karakter idola:
- Over Confidance (obsesi-meniru, rock star, film star, perform didepan tamu, dan kitab silat)
- Band Kiss, tokoh Superman, The Deer Hunter, Six Million Dolar Man. Karakter Prince Lea dalam film Star Wars dengan bikini gold-nya
- Film yang pertama kali ditonton: Spartacus, Film favorit: Bonanza.

Disini terlihat ketertarikan masalah costum make-up dan aksi. Sangat lumrah jika masa kecil segala sesuatu yang asing atau yang tidak ada pada diri kita itu menarik, point ini lebih mengacu pada stylistik di film. Meskipun aspek style dalam film merupakan sebuah kolaborasi team, namun pengambil keputusan adalah sutradara. Tidak ada seniman selain sutradara dalam Auteur theory.

Untuk lebih mudahnya bagaimana Rako mengaplikasikan point ini kedalam film, saya hanya bisa menganjurkan untuk bisa melihat stylistik (make-up costum) dalam film Rako, seperti scene dalam film:
• Ungu Violet: Adegan pemotretan Kalin didaerah gunung kapur, perhatikan ekstras dan kostumnya.
• Tri Mas Getir: Adegan penculikan pada press conference
• Kostum gorilla film Maling Kutang
• Poster film ‘d Bijis’.

Contoh ini hanya sebagai perumpamaan saja, dan mungkin ada yang lebih specifik lagi bila dikaitkan dengan point yang diuraikan diatas. Untuk penguraian lebih lanjut akan dibahas pada topik ‘Auteur dan stylistik-mise en scene.’

Pointers 4:
- Anak muda Jobless karena terobsesi jadi anak Band, dan bisa dibilang gagal.
Point ini adalah salah satu alasan tematik saya yang menyebutkan ‘Anak Muda Margin,’ dalam ke-9 filmnya, secara tidak langsung Rako berbicara tentang dirinya sendiri melalui karakter dalam filmnya. Hal ini beralasan dengan melihat konsistensi karakter utama dalam film Rako: Anak muda yang memiliki jiwa seni, (Fotografer, Musisi, Dancer, Beladiri, Entertainer, dan tatto.) Adapun kategori ‘anak muda’ disini saya artikan ‘belum menikah’.
1) Ungu Violet: Lando (anak muda) dengan skill fotografi (seni), karakter ini menjadi margin oleh karena status sosial-latarnya tidak diugkapkan atau tidak penting, belum lagi penyakit yang dialaminya menjadikan dirinya sebagai sosok yang tidak berguna.
2) D’bijis: Damon sang gitaris, karakter ini menjadi margin karena status sosial-latarnya tidak diugkapkan/tidak penting, dan tatto yang sering mendapat respon negatif dari masarakat.
3) Merah itu Cinta: Arya dengan latar fotografer, dengan statusnya sebagai gay.
4) Tri Mas Getir: Ciang Fek pemain Wushu sekaligus figuran film, dengan status etnis China
5) Oh My God: Ipin dengan skillnya bernyanyi dengan latar sosial kurang mampu.
6) Krazy Crazy Krezy: Tino urban dari Jogja, sengaja datang ke Jakarta untuk menebus kegagalan Ayahnya dalam sebuah Industri Musik.
7) Benci Disko: Setiawan berlatar dancer-disco berstatus banci.
8) Preman in Love: Sahroni sang preman dengan tatto disekujur tubuh.
9) Maling Kutang: Sugeni berlatar ‘badut keliling’ yang gagal dalam segala hal.
Sehingga dari pemaparan tersebut dengan jelas terlihat Rako berbicara tentang anak muda yang belum menikah dengan kata kunci: Marginal: (merujuk ke kelompok bawahan, kelompok sosial minoritas.) Dan jika lebih lanjut kita cermati secara psikologis merupakan karakter yang rapuh dengan status sosial: Urban, kelas bawah, minoritas.

Dari beberapa pointers biografi ini, maka alasan kontekstual (demographic make-up multiculturalism) yang saya sebutkan sebelumnya paling tidak memberikan sedikit gambaran bahwa alam bawah sadar diwaktu kecil adalah pemicu kreativitas seorang seniman, sementara hal hal yang bersifat refrensi (film, buku,) dimana seseorang telah sadar melakukan hal tersebut (biasanya kita bilang seniman mencari ilham-referensi) lebih bersifat mentriger saja (pengalaman masa kecil dalam bawah sadar tersebut dikemas atau diangkat kepermukaan) bukan sebagai pemicu awal, dengan pointers sebagai berikut:
- Bukankah masa kecil adalah masa dimana keinginan harus terpenuhi, masa ingin mengetahui segala hal tanpa kita tahu dari mana, kepada siapa, fungsinya apa, bagaimana sejarahnya, baik atau buruk, dsb. Karena tanpa kita tahu akan menjadikan masa kecil adalah masa mulai berfikir, menelaah sesuatu dan akan terpendam dalam memori bawahsadar (dan akan menjadi pemicu) yang setiap saat akan keluar ke alamsadar setelah kita mengetahui apa yang kita tidak tahu (masa dewasa).

C. Auteur dan Tematik.
Keistimewaan film film yang dibesut oleh Rako Prijanto merupakan implisitas penjabaran multikulturalisme sebagai salah satu payung besarnya kedalam kompleksivitas ruang film. Ia mengusung polesan status sosial tertentu yang dianggap bertolak belakang, atau melihat kembali budaya yang berusaha disingkirkan. sebagai salah satu bentuk yang bisa menempati ruang didalam film. Melalui film, ia berbicara sebagai generasi muda dalam melihat keragaman kultur dan status yang dimiliki Indonesia, dengan berlatar bahwa Indonesia adalah negara multi etnis, ras, dll, yang notabene sering menjadi konflik perpecahan, cara pandang dan bersikap. Hal ini dapat terlihat dari konsistensi tematik dan karakter dalam film filmnya.

Dari point ini saya mengasumsikan ada nilai implisit, Rako secara tidak langsung berbicara bahwa film sebagai kritik sosial ditengah perkembangan kehidupan urban dalam metropolitan, dan Ia berbicara dengan kapasitasnya sebagai generasi muda ditengah tuntutan film harus mendedikasikan sesuatu pada masarakat dan tuntutan menghindari pemborosan dalam konteks produksi, artinya dedikasi terhadap masarakat bukanlah sesuatu yang mahal mengingat film adalah ‘barang mahal’. Pemaparan inilah yang menjadi pemicu saya dalam mengkaji konsistensi ke-9 film Rako sebagai ‘auteur’ , yang akan saya uraikan nantinya kedalam beberapa aspek (konsistensi tematik, naratif, stylistik), termasuk biografi sutradara yang secara tidak langsung bisa menjadi pemicu bawah sadarnya dalam mentreat setiap karyanya. Dan untuk membuktikan konsistensi tematik dalam film film Rako, maka penulis akan menguraikan tematik dengan mengeksplore elemen elemen seperti: setting, karakter, konflik dan plot, untuk mencari konsistensi tematik tersebut.
Analisis

1. Ungu Violet: Bercerita tentang pengorbanan Lando (Rizki Hanggono), seorang fotografer yang menjadikan Kalin (Dian Sastro) menjadi super model. Sebuah insiden mengakibatkan Kalin kehilangan penglihatan, hingga pengorbanan seorang etnis Cina membuat Kalin kembali mendapatkan penglihatannya.
Lando: sebagai karakter anak muda, morbid (mengidap penyakit,) yang merasa gagal dalam segala hal.
Kalin: sebagai karakter urban yang menjelma menjadi super-star.
Etnis China: sebagai sosok yang terpinggirkan, tetapi tidak dalam hal pengorbanan.

2. D’BIJIS: Bercerita tentang sekelompok anak Band ‘the Bandits’ yang terpecah oleh kematian sang vokalis yang mengkomsumsi drugs, hingga muncul sosok Asti (Rianti Cartwright) sebagai bidadari penyelamat.
Damon (Tora Sudiro): sebagai gitaris yang membutuhkan ‘pegangan/pandangan’ untuk kembali bangkit dari keterpurukannya. Pertemuannya dengan Asti menghadirkan hal ini.
Asti: sebagai adik dari mendiang vokalis ‘the bandits’, karakter yang paling kuat secara prinsip untuk membuktikan kekuatan dan kebutuhan perempuan ditengah ‘dunia lelaki’ yang depresi karena kegagalannya.
Gendro (Indra Birowo): kehidupannya mewakili kaum urban di kota metropolitan, seorang pengangguran dan selalu berselisih dengan istrinya, oleh karena faktor ekonomi.
Bule (Garry Iskak): Kegagalan ‘the Bandits’ menjadikan ia sebagai kaum minoritas yang tersingkirkan. Statusnya sebagai homosexual membuat ia kehilangan keluarga, namun tidak dalam segala hal.
Soljah: Karakter dengan berlatar etnis China, dan merupakan kunci terakhir dalam membentuk kembalinya eksistensi ‘the Bandits’, ditengah pertentangan personil yang lain

3. Merah Itu Cinta: Bercerita tentang emosional Raisha (Marsha Timothy) sejak kematian Rama, tunangannya. Emosional tersebut semakin berlarut ketika muncul Aria (Garry Iskak) yang merupakan pasangan gay dari Rama datang dengan perasaan yang sama.
Raisha: karakter yang sangat depresi secara psikologi akibat kehilangan seseorang yang menjadi pegangan hidupnya, karakter ini berbicara tentang kemapanan dalam kesendirian tanpa perlu backround status. Profesi Raisha adalah Pianist.

Aria: berperan sebagai gay yang mencari arti ‘cinta’ itu sendiri sepeninggal Rama yang merupakan pasangannya dan tidak lain dari tunangan Raisha sendiri. Profesi Aria adalah seorang fotografer lepas.
Fani (Inong): statusnya sebagai pelacur yang kerap didiskriminasikan, namun cara pandangnya lebih cemerlang dalam melihat dunia ini.

4. Tri Mas Getir: Bercerita tentang tiga orang figuran film dengan latar yang berbeda. Ketiganya adalah murid dari perguruan kungfu yang berencana menculik Katrina (Titi Kamal) seorang aktris idola, untuk mempertahankan perguruan mereka dari hutang.
Ciang Fek (Tora Sudiro): karakter etnis China yang selalu ingin populer dan penuh dengan mimpi, kematian kakeknya menuntut dia harus mempertahankan perguruannya.
Sugeng (Indra Birowo): karakter yang penuh dengan permasalahan suami dan istri, pandangan hidupnya semakin sempit ketika dia diramal akan tanggal kematiannya.
Ujang (Vincent Rompies): karakternya penuh konflik dengan ayahnya, keinginannya untuk menaklukkan Katrina pujaan hatinya dihadapkan pada restoran Padang warisan keluarganya.

5. Oh, My God: Bercerita tentang Ipin (Desta) seorang siswa yang terdiskriminasi dari pergaulan dan menjadi bahan cacian teman teman sekolahnya yang berstatus ningrat, populaer dan mapan secara ekonomi. Ternyata bukan hanya ia saja merasakan hal tersebut, ia pun menggalang kekuatan dari sesama teman yang terdiskriminasikan untuk membuat perubahan, semua ini dilakukan karena perasaan cinta terhadap Tiara (Revalina) siswi populer yang merupakan saingannya, sekaligus panutannya.
Ipin: berasal dari keluarga kurang mampu sehingga ia selalu telat untuk masuk sekolah, karena umurnya, ia menjadi bahan tertawaan teman teman sekolahnya yang menyebut dirinya ‘kaum ningrat’. Kebiasan Ipin adalah bernyanyi.

Tiara: Siswi dengan karakter idaman siswa pria ada pada dirinya, populer, cerdas, kaya, dsb, namun terkesan penurut oleh sikap Ibunya (Maia Estianty) dan pacarnya Marco (Ringgo) yang sangat Borguis. Pandangannya berubah ketika Tiara mengenal Ipin.
Marco: Karakter jagoan kelas yang selalu mengintimidasi siswa yang tidak ‘berkelas’.

6. Krazy Crazy Krezy: Bercerita tentang persahabatan tiga tokoh dengan latar yang berbeda, Tino, Farid dan Sonny keakraban dan persahabatan yang diawali karena ketiganya jobless dan yang harus hidup di metropolitan Jakarta.

Tino (Vincent Rompies): berasal dari Jogja, sengaja datang ke Jakarta untuk menebus kesalahan Ayahnya yang gagal dalam sebuah Industri Musik di Jakarta.
Farid (Pierre Andre): penipu ulung dari Kuala Lumpur yang melarikan diri dan mencari peruntungan. Di Jakarta dia tinggal bersama teman wanitanya yang ternyata telah menipunya habis-habisan dan membawanya ke dalam masalah yang lebih besar
Sonny (Tora Sudiro): seorang aktor yang gigih berusaha untuk menjadi bintang terkenal

7. Benci Disko: Bercerita tentang kehidupan Hamdan seorang clubbing-disco, ia menjelma menjadi poligami hingga lahirlah karakter Harim dan Setiawan yang memang tak pernah akur, hingga keduanya dihadapkan pada wasiat sang ayah.
Harim (Tora Sudiro): berlatar dari etnis Arab, faktor ekonomi membuatnya menjadi pelaut sebelum ia kembali untuk menjalankan wasiat ayahnya.
Setiawan (Vincent): berlatar dari etnis China, faktor ekonomi membuatnya menjadi banci, hanya dari faktor ekonomi ia selalu unggul dari saudara tirinya, Tora.

8. Preman in Love: Bercerita tentang kehidupan Sahroni yang hanya meresahkan masarakat kampung, perasaan cinta menghampirinya ketika seorang gadis yang berprofesi sebagai guru datang kedesanya untuk mengajar. Cintanya pada sang gadis (Rini) yang tak lain anak dari kepala desa mendapat rintangan ketika Vincent seorang poligami bergelar Raden Mas menjadi saingannya.
Sahroni (Tora Sudiro) : karakter Sahroni menggambarkan sosok yang tidak punya sikap, pengangguran, kaum bawah pada masarakat desa, Ia memiliki ‘sikap’ ketika cinta menghampirinya.
Raden Mas Pono (Vincent Rompies): Karakter ningrat yang memiliki segalanya, untuk mendapatkan apapun.
Rini (Fanny Fabriana): Gadis desa anak pak Lurah yang menyelasaikan studinya di kota.

9. Maling Kutang: Bercerita tentang Sugeni, seorang pemuda yang harus mendapatkan kembali kutang kesayangan nenek yang merupakan peninggalan sang kakek dari tangan Syamsul untuk kelanggengan usaha.
Sugeni (Arie Untung): merupakan karakter pekerja keras, namun kerja kerasnya belum membuat ia mandiri seperti yang diiginkan oleh sang nenek.
Syamsul (Indra Birowo): karakternya adalah sosok yang sangat didominasi oleh istrinya, penurut dalam segala hal, termasuk kepercayaan mistis untuk meraih sukses.
Resume Tematik
Konsistensi karakter: Anak muda yang memiliki jiwa seni, (Fotografer, Musisi, Dancer, Beladiri, Entertainer).
Secara psikologis: Karakter yang rapuh. Status sosial: Urban, kelas bawah.
Konsistensi tema dalam film Rako antara lain mencakup:
- Perempuan lebih ‘kuat’ dari lelaki. Perempuan adalah kekuatan.
- Yang lemah menjadi kuat, yang kuat menyadari kelemahannya. (closure film)
- Pengaruh kota-metropolitan. (setting).
- Setiap yang bernyawa memiliki hasrat-cinta. Sex menyimpang adalah sikap.
- Multigender
- Pengaruh kebudayaan mitos Jawa dan tradisi China .

Kata kunci
Metropolitan: Pusat populasi besar, aglomerasi urban (metropolitan melahirkan pemukiman urban).
Marginal: merujuk ke kelompok bawahan, kelompok sosial minoritas.
Konsistensi Tematik: Kaum muda marginal yang dihadapkan pada gaya hidup metropolitan, kekuatan etnis (keunggulan etnis lain) dan kritik mitos.

D. Auteur dan Naratif.
Secara keseluruhan, pola dari struktur naratif ke-9 film Rako menggunakan ‘struktur Hollywood klasik’, dan merupakan bentuk naratif yang paling umum digunakan dalam menuturkan sebuah cerita. Perpaduan antara hubungan sebab akibat yang logis menjadi sebuah kunci utama disamping kejelasan ruang waktu. Tokoh-tokoh dalam cerita dibuat sedemikian rupa lengkap dengan goal, need, desire yang ingin dicapai. Sehingga akan terlihat dengan jelas mana tokoh yang berkarakter protagonis dan mana tokoh yang berkarakter antagonis. Hingga nanti pada akhir dari cerita akan diperoleh sebuah ending sebagai penutup cerita dimana tokoh telah mendapatkan sebuah keadaan, apakah segala goal, need, desire yang diinginkan tersebut tercapai atau tidak. Dalam menganalisis konstruksi naratif dalam film Rako jelas terlihat elemen elemen dibawah ini yang merupakan bentuk dari penuturan Struktuk Hollywood Klasik:
1. Cerita adalah narasi, atau sebab-akibat sebagai pemicu dari rangkaian peristiwa.
2. Struktur 3 babak, ketiga bagian ini bertujuan antara lain agar karakter bisa diidentifikasi, penggambaran situasi-set yang merupakan agen kausal dengan keinginan atau tujuan tertentu.
3. Unsur style sangat menentukan bagaimana film disusun secara berkesinambungan dengan unsur-unsur cerita, set, adegan, gambar, suara, dsb.
4. Sebuah plot adalah urutan tindakan dalam urutan kronologis. Dan bila plot berkembang (sub-plot) tetap akan merujuk pada kesinambungan cerita utama (goal, need, desire).
5. Karakter/tokoh memiliki sifat tertentu dan bereaksi terhadap situasi tertentu sebagai agen tindakan dan keputusan.
6. Protagonis adalah tokoh sentral, aktif, orientasinya mempunyai tujuan dengan motivasi positif. Sementara antagonis adalah bertentangan dengan karakter sentral upaya untuk memecahkan masalah.
7. Kontinuitas/prinsip kesinambungan adalah elemen yang sangat memanjakan naratif, bertujuan untuk menceritakan alur yang konsisten, realisasi ruang dan waktu. Aplikasi keteknisnya antara lain: eye line match, linear 180 derajat, reverse shot, cut to countuinity, etc. Fungsinya untuk mengkonstruksi bawah sadar agar kesan realita dalam film narative tidak terganggu, artinya aspek sinematik kamera dan perekaman suara tidak boleh menarik ‘perhatian’ diluar naratif.
‘Cinema Hollywood Klasik’
‘Cinema Hollywood klasik’ adalah suatu istilah yang telah diciptakan oleh David Bordwell, Janet Staiger dan Kristin Thompson dalam studi mereka. Sinema Hollywood klasik digunakan dalam sejarah film yang merujuk pada visual dan suara untuk membuat rangkaian gambar bergerak dan cara distribusi-produksi yang digunakan dalam industri film Amerika antara tahun 1910-an dan 1960-an. Dalam studi ini para penulis menganalisa secara acak dari 100 film Hollywood 1917-1960, dengan kesimpulan bahwa selama periode ini gaya sinematik yang ‘khas’ dikembangkan dan mereka sebut gaya Hollywood klasik, dan menyatakan bahwa gaya ini telah menjadi paradigmatis karena dominasi global sinema Hollywood. Klaim yang paling kontroversial dari mereka adalah bahwa para pembuat film pada dasarnya di mana pun menghadapi dua pilihan Entah mereka jatuh ke dalam gaya Hollywood klasik dan mengikutinya, atau mereka memberontak, melawan dan mencoba untuk secara sadar menumbangkan norma-norma gaya tersebut/ diluar bentuk struktur Hollywood classik, semisal Art cinema Narration.

Setelah penjabaran aspek aspek apa saja yang terdapat pada gaya naratif ‘Struktur Hollywood Klasik’ maka pada point selanjutnya penulis akan menelusuri ke-9 film Rako dalam konteks naratif (apa yang diceritakan?) serta stylistik (bagaimana cara menceritakannya), dengan berpegang pada aspek aspek naratif Hollywood klasik yang telah diuraikan diatas, (Kausalitas, struktur 3 babak, ruang dan waktu, karakter dan plot serta kontinuitas.)


IV.a. Pembahasan Film.
IV.a.1. Kausalitas
Dalam film ‘Ungu Violet’ terlihat hubungan sebab-akibat yang jelas, seperti
1) Konflik terjadi karena penyakit Lando yang memvonis hidupnya tidak akan lama lagi, sementara Kalin terlanjur mencintainya.
2) Cinta yang terjalin antara Lando dan Kalin akibat keduanya sering bertemu di halte bus, yang kemudian berlanjut pada hubungan yang serius.
3) Lando dipecat dari pekerjaannya akibat kedisiplinan waktunya.
4) Akibat serpihan kaca dalam sebuah kecelakaan menyebabkan Kalin buta.
5) Kalin mendapatkan penglihatannya setelah seseorang mendonorkan matanya.
6) Karena penyakitnya Lando ingin menjauhi Kalin, dsb.
Dalam film lain juga diuraikan aspek kausalitas ini seperti pada film:
1. (d’bijis) Konflik terjadi karena keinginan Asti untuk kembali menghadirkan the Bandits, band fenomenal dimasa kakaknya (Bonnie sang vokalis) masih hidup.
2. (d’bijis) Bonnie sang vokalis meninggal karena drugs dan penyakitnya
3. (Tri Mas Getir) Konflik muncul akibat Ciang Fek dan perguruannya terlilit utang.
4. (Tri Mas Getir) Sugeng bercerai dengan istrinya karena faktor biologis.
5. (Merah itu Cinta) Kematian Rama menghancurkan masadepan Raisha.
6. (Merah itu Cinta) Emosi Raisha memicunya untuk bunuh diri.
7. (Merah itu Cinta) Raisha menjadi tegar karena pengalamannya dengan Arya
8. (OH My God) Konflik muncul ketika Ipin yang digambarkan minoritas-margin berusaha melawan yang mayoritas-borguis.
9. (OH My God) Ipin jatuh cinta pada Tiara karena ia cantik, kaya dan pintar.
10. (Benci Disco) Setiawan dan Harim membenci disko karena kehidupannya melarat karena sang Ayah yang notabene maniak disko.
11. (Benci Disco) Harim menjuarai kompetisi disko karena ia mampu menguasai jurus disko dalam kitab keramat milik ayahnya
12. (Preman in Love) Konflik terjadi ketika Sahroni sang preman jatuh hati pada gadis yang menjadi incaran Raden Mas Pono.
13. (Preman in Love) Sahroni dicap preman karena ia tidak memiliki pekerjaan dan sering menyusahkan penduduk.
14. (Maling Kutang) Konflik terjadi karena Sugeni menghilangkan kutang kesayangan nenek yang merupakan hadiah dari kakeknya.
15. (Maling Kutang) Sugeng dan istrinya adalah karakter yang selalu menghalangi Sugeni untuk mendapatkan kutang tersebut.
Dalam semua film Rako, aspek kausalitas dipaparkan sangat jelas, meskipun ada beberapa bagian yang dikemas secara hiperbolik (seperti scene toilet dalam film ‘Preman in Love’, scene Sugeni mengejar kutang dalam ‘Maling Kutang’, scene Suhu meninggal karena makan rendang dalam ‘Tri Mas Getir’, dll) namun secara keseluruhan cerita dalam film Rako mengacu pada kausalitas yang jelas. Untuk beberapa bagian cerita yang saya sebut dikemas secara hiperbolik lebih mengacu kepada kepentingan genre (komedi), stylistic sutradara untuk memperkuat karakter tertentu, hingga kepada spontanitas sutradara untuk memberi warna tersendiri pada setiap filmnya.

IV.a.2. Aspek Ruang dan Waktu
1) Ungu Violet : Menggambarkan metropolitan Jakarta (kehidupan pemukiman padat, bus-way, dunia modelling, dsb), yang dikemas dengan look yang dingin jauh dari kesan Jakarta sehari hari, kesemua bentuk ini dikemas dengan nuansa realis.
Waktu (film time) dalam penceritaan berjalan linear atau berjalan kedepan, sehingga terjadi kesinambungan dalam aspek ruang dan waktu yang realistis.
2) D’BIJIS: Menggambarkan metropolitan Jakarta (life style, dunia musik rock, dsb)
Waktu penceritaan berjalan linear, hal ini terlihat dari karakter Asti saat kecil di era 80an, hingga Asti dewasa.
3) Merah Itu Cinta: Berlatar pemukiman dipinggiran kota Jakarta (pemukiman disekitar rel kereta, lokalisasi), yang dikomparasikan dengan keindahan pantai, supermarket, museum, dan ruang balet, tak jauh berbeda dengan ‘ungu violet’, look pada film ini jauh pada kesan logika Jakarta, dengan nuansa yang sepi dan kelam.
Waktu penceritaan berjalan linear, hal ini terlihat dari karakter Rama sebelum meninggal, kehadiran Aria hingga Raisha yang tegar menghadapi kenyataanya.
4) Tri Mas Getir: Berlatar keragaman etnis di Jakarta (Padang, China, Ambon, Jawa) yang berkontradiksi dengan dunia entertaint, mafia dan hukum.
Waktu penceritaan berjalan linear yang mengacu pada plot utama (karakter Ciang Fek) .
5) OH My God: Berlatar kehidupan siswa disekolah dan dilingkungan Jakarta yang dihadpkan pada status sosial.
Waktu penceritaan berjalan linear dengan sudut pandang Ipin sebagai karakter utamanya.
6) Krazy Crazy Krezy: Berlatar kehidupan metropolitan dan kaum urban (kehidupan kost diJakarta)
Waktu penceritaan berjalan linear, berangkat dari tiga sudut pandnag tokoh sebagai latar yang kemudian menjadi satu dalam sebuah konflik
7) Benci Disco: Berlatar kehidupan malam diera 80an (discotik), yang menghadirkan latar sosial dan etnis (China, Arab-Betawi)
Waktu penceritaan berjalan linear yang diawali oleh sudut pandang Hamdan di tahun 80an yang kemudian seiring waktu menghadirkan karakter Setiawan dan Harim (anak Hamdan) sebagai dampak sosial diera 2000.
8) Preman in Love: Berlatar kehidupan pedesaan yang mengadopsi kehidupan metropolitan (Rini sebagai gadis yang berpendidikan kota)
Waktu penceritaan berjalan linear melalui sudut pandang Sahroni sebagai karakter utama
9) Maling Kutang: Berlatar kehidupan kaum Urban, pemukiman padat penduduk dengan berbagai etnis dan budaya dimasa sekarang.
Waktu penceritaan berjalan linear melalui dua sudut pandang (kehidupan Sugeni dan pasangan Sugeng beserta istrinya.

IV.a.3. Struktur tiga babak
Struktur tiga babak dalam Hollywood klasik memiliki muatan:
1) Opening story: Memberikan informasi tentang karakter, sifat dan aksi tokoh yang akan diidentifikasi oleh penonton. Opening bisa juga berfungsi sebagai latar permasalahan, informasi waktu ataupun era dan keadaan sebuah situasi.
2) Middle/development story: Konflik muncul karena keinginan-desire dari karakter (protagonis) yang tidak sejalan dengan keinginan karakter lain (antagonis) ataupun situasi dalam ruang cerita. Dengan konflik tersebut plot semakin berkembang karena karakter utama akan menempuh berbagai cara-aksi agar maksud dan tujuannya tercapai.
3) Ending/Closure story: Sebab dari tindakan-aksi ini akan menimbulkan akibat atau kondisi tertentu yang akan menuju penyelasaian masalah, penyelesaian ini bisa sejalan dengan keinginan penonton ataupun sebaliknya.
Analisa struktur 3 babak:
Metode inilah yang menjadi patokan untuk menganalisa struktur cerita pada film film Rako Prijanto. Analisa struktur tiga babak dalam film film Rako:
Ungu Violet: Bercerita tentang pengorbanan Lando (Rizki Hanggono), seorang fotografer yang menjadikan Kalin (Dian Sastro) menjadi super model. Sebuah insiden mengakibatkan Kalin kehilangan penglihatan, hingga pengorbanan seorang etnis Cina membuat Kalin kembali mendapatkan penglihatannya.
Opening
• Lando seorang fotografer yang setiap saat memotret dimana saja.
• Lando digambarkan tidak takut pada kematian (scene ketika Lando menghadapi pencopet bus), karena penyakit ajalnya telah divonis melalui diagnosa Dokter.
• Kalin seorang gadis biasa dan mandiri, bekerja sebagai karyawati bus-way.
• Lando menjalin hubungan dengan Kalin.
Middle/ development
• Karena usaha Lando, Kalin menjadi model superstar.
• Lando dipecat dari pekerjaannya, penyakitnya kian memburuk
• Karena aktifitas Kalin, keduanya jarang bertemu.
• Penyakit Lando mengisyaratkan Ia tak patut bersama Kalin.
• Karena Lando, Kalin mendapat kecelakaan hingga ia buta.
Closure
• Kalin sembuh dari kebutaan. Penyakit Lando semakin buruk.
• Kalin dan Lando diceritakan tetap bersama.
D’BIJIS: Bercerita tentang sekelompok anak Band ‘the Bandits’ yang terpecah oleh kematian sang vokalis yang mengkomsumsi drugs, hingga muncul sosok Asti (Rianti Cartwright) sebagai bidadari penyelamat.
Opening
• Band the Bandits tampil didepan penggemarnya, Damon sang gitaris tidak suka dengan kelakuan (mabuk sebelum tampil) Bonnie sang vokalis.
• Penonton rusuh, Damon menyelamatkan Asti kecil dari kerusuhan dipanggung.
• The Bandits bubar, Asti beranjak dewasa.
Middle/ development
• Asti mencari Damon untuk kembali membentuk formasi the Bandits.
• Asti dan Damon mencari Gendro (drumer), Bule (bassis).
• Sulit untuk meyakinkan Soljah (keyboardist) yang telah depresi.
• Tidak ada sosok vokalis, Damon dianggap terlalu idealis, konflik internal muncul.
• Gendro meyakinkan Soljah, Damon mengakui kesalahannya.
Closure:
• Asti meyakinkan trauma the Bandits 20 tahun yang lalu. Asti menjadi vokalis.
• The Bandits meraih mimpinya. Dan semua happy.
Merah Itu Cinta: Bercerita tentang emosional Raisha (Marsha Timothy) sejak kematian Rama, tunangannya. Emosional tersebut semakin berlarut ketika muncul Aria (Garry Iskak) merupakan pasangan gay dari Rama datang dengan perasaan yang sama.
Opening
• Raisha menjalin Cinta dengan Rama
• Rama meninggal dalam kecelakaan.
Middle/ development
• Aria muncul dalam kehidupan Raisha
• Raisha menyadari akan masalalu kekasihnya Rama dengan Aria.
Closure
• Aria dan Raisha memilih sikap masing masing
• Raisha lebih tegar tanpa kehadiran Rama dan Aria.
TRI MAS GETIR: Bercerita tentang tiga orang figuran film dengan latar yang berbeda. Ketiganya adalah murid dari perguruan kungfu yang berencana menculik Katrina (Titi Kamal) seorang aktris idola, untuk mempertahankan perguruan mereka dari hutang
Opening
• Ciang Fek, Sugeng dan Ujang memiliki problem kehidupan masing masing.
• Ciang Fek bermimpi jadi artis terkenal, Ujang jatuh cinta dengan Artis terkenal.
Middle/ development
• Perguruan Ciang Fek terlilit utang.
• Ciang fek, Sugeng dan Ujang sepakat menculik Katrina
Closure
• Aksi mereka meyebabkan terbongkarnya sebuah sindikat-konspirasi.
• Ujang gagal mendapatkan Katrina, Ciang Fek terlepas dari utang, dan Sugeng kembali akur dengan istrinya.
Oh, My God: Bercerita tentang Ipin (Desta) seorang siswa yang terdiskriminasi dari pergaulan dan menjadi bahan cacian teman teman sekolahnya yang berstatus boerju.
Opening
• Ipin seorang siswa yang kerap menjadi bahan ejekan disekolahnya. Mendiang ayahnya menjadikan ia terobsesi menjadi penyanyi.
• Tiara seorang siswi cantik, pintar dan kaya memiliki tanggal kelahiran yang sama dengan Ipin.
Middle/ development
• Karena ulahnya, Ipin bisa mengenal Tiara, namun perkenalannya merupakan sebuah permusuhan.
• Ipin tidak merasa sengang dengan kelakuan Tiara dan pacarnya (Marko) yang sering mengintimidasi teman temannya.
Closure
• Ipin dan teman temannya mengadakan perlawanan terhadap Tiara dalam ajang pemilihan ketua Osis
• Tiara menyadari kekeliruannya, keduanya menjadi lebih akrab.
Benci Disko: Bercerita tentang kehidupan Hamdan seorang clubbing-disco, ia menjelma menjadi poligami hingga lahirlah karakter Harim dan Setiawan yang memang tak pernah akur, hingga keduanya dihadapkan pada wasiat sang ayah.
Opening
• Hamdan merefleksikan pesona kehidupan malam kedalam kehidupan berumahtangganya. Akibatnya ia memiliki anak dari tiap wanita yang berbeda.
• Harim dan Setiawan merupakan anak Hamdan, keduanya membenci sikap ayanya yaitu disko.
Middle/ development
• Sepeninggal sang Ayah, Harim dan Setiawan mendapatkan wasiat agar mencarikan pemuda yang jago disko untuk adik perempuannya.
• Harim dan Setiawan terpaksa mempelajari gerakan disko untuk melanggengkan keinginan sang adik untuk bisa mendapatkan jodoh.
Closure
• Ditengah pertikaian mereka, wasiat sang ayah yang pada intinya menginginkan meraka akur melalui sebuah buku wasit disko, menjadikan persepsi negatif atas ayah mereka menjadi kabur. Mereka membuktikan dengan memenangkan turnamen tersebut.
Preman in Love: Bercerita tentang kehidupan Sahroni yang hanya meresahkan masarakat kampung, perasaan cinta menghampirinya ketika seorang gadis yang berprofesi sebagai mahasiswi (Rini) datang kedesanya untuk mengajar.
Opening
• Sahroni adalah pembuat onar dikampungnya, hal ini menjadikan ia lebih dekat dengan anak anak dibanding dengan pemuda dikampungnya.
• Raden Mas Pono adalah seorang juragan ningrat yang selalu memproklamirkan harta benda untuk mendapatkan keinginannya termasuk perempuan.
Middle/ development
• Aksi preman sahroni menyebabkan ia bisa mengenal Rini, ia merasa jatuh cinta
• Namun kedekatannya dengan gadis pujaan mendapatkan hambatan dari R. Pono.
• Hal ini menjadikan ayah Rani membuat sayembara (Pilkades), yang mempertemukan Sahroni dan R. Pono.

Closure
• Dengan bantuan teman teman ciliknya, Sahroni mendapatkan antusias masarakat.
• Sahroni memenangkan Sayembara dan berhak menyanding gadis idamannya.
Maling Kutang: Bercerita tentang Sugeni, seorang pemuda yang harus mendapatkan kembali kutang kesayangan nenek yang merupakan peninggalan sang kakek dari tangan Syamsul untuk kelanggengan usaha.
Opening
• Sugeni seorang pemuda gagal dalam berusaha, sedangkan syamsul adalah pasangan muda yang memulai untuk berusaha (toko kelontong).
• Tanpa kesengajaan, Sugeni menghilangkan kutang kesayangan milik neneknya.
Middle/ development
• Syamsul dan istrinya meyakini bahwa kutang tersebut adalah kutang keramat yang mampu menjadikan toko mereka laris, namun hal yang dinginkan jauh dari perkiraan.
• Sugeni yang terus mengincar kutang neneknya dari tangan keluarga Syamsul selalu gagal.
Closure
• Kematian nenek Sugeni menjadikan dirinya merasa bersalah, namun hal inilah yang menjadikan dirinya lebih bersikap.
• Sementara Syamsul dan istrinya dengan pengalaman kutang yang dianggapnya keramat justru merugikan mereka.
Resume Naratif:
Struktur naratif menggunakan pola Struktur Hollywood Klasik, hal ini terlihat dari ke-9 film rako menggunakan elemen elemen dari pola ini, dengan menyimpulkan bahwa:
• Cerita berlangsung karena adanya narasi kausalitas sebagai pemicu dari rangkaian peristiwa.
• Identifikasi tokoh dengan jelas. (babak 1/opening)
• Menghadirkan konflik, tokoh utama dilanda krisis. (babak 2/ development)
• Cerita mengalirkan suspense. (babak 2/ development)
• Cerita menuju klimaks dan anti klimaks. (babak/3 closure)
• Plot selalu berkembang (babak 2/ development) dan merupakan kronologis dari plot utama (goal, need, desire).
• Protagonis adalah tokoh sentral, aktif, namun terkadang orientasi dan motivasinya tidak positif, sehingga muncul tokoh ke-2 yang menjadikan tujuan protagonis menjadi positif.

E. Auteur dan Stylistik
Analisa ini akan mencari sebuah konsistensi style-gaya yang khas seorang sutradara dalam menuturkan naratif, dan untuk mengelaborate unsur naratif menjadi bentuk visual maka peran style film (film style-Stylistic system) yang berperan kuat untuk menunjang konsep naratif yang dihadirkan. Stylistik sistem merupakan elemen-elemen yang dapat diterima oleh indera-indera manusia, ex: setting, sinematografi, editing, dan suara, elemen ini yang menjadikan film menjadi bentuk yang kita lihat di layar, yang membedakan film dengan karya-karya seni lainnya. Stylistic system adalah sebuah sistem yang mempunyai makna tertentu yang ingin disampaikan filmmaker dari sebuah naratif film. Tanpa elemen-elemen dari stylistic system ini, film telah menempatkan dirinya di tempat yang khusus keluar dari tulisan sastra atau pementasan teater. Dengan kata lain, film-film itu disusun sedemikian rupa sehingga penonton tidak sadar ada konstruksi. Praktek ini menonjolkan konstruksi sebuah film benar-benar bergantung pada sistem yang kompleks akan kode visual.

Berbicara stylistik didalam film, berarti kita berbicara tentang “apa yang terlihat dan bagaimana cara memperlihatkan sebuah naratif,” tujuan adalah telling a story. Sehingga dengan demikian, pokok penting untuk menganalisa hal ini mengacu pada konsep mise en scene. Mise en scene, merupakan konsep teater yang diadopsi kedalam film, yang dinilai sebagai sebuah analisis dramaturgi klasik yang berusaha memberi tanda pada teks (naskah) drama dan menghadirkannya di atas panggung pertunjukan diubah menjadi praktik pemaknaan teatrikal yang memberi ruang bagi teks drama menjadi teks pertunjukan atau cara bereksperimen di atas panggung, dengan kata lain mise en scene didalam film berfungsi sebagai sistem penandaan yang hadir secara bersamaan atau berlawanan dalam ruang dan waktu tertentu di hadapan penonton.

Ekspresi figur
Dengan melihat ke-9 film Rako, penulis memiliki anggapan bahwa konsep mise en scene yang mendominasi dalam film Rako memiliki muatan sikap kritis terhadap teori-teater klasik, bila teater klasik memandang audiensnya sebagai mob, yang harus disentuh dan hanya dapat disentuh melalui emosi mereka, maka penilaian saya adalah konsep pengadeganan Rako meyakini bahwa penonton merupakan kumpulan individu individu yang mampu berfikir dan berargument serta membuat penilaian terhadap apa yang berlangsung didalam sebuah adegan. Sekilas pandangan ini mengadopsi konsep Brechtian (Bertolt Brecht) yang menilai gaya dramatis klasik hanya mendukung cara pandang fetistik dalam kehidupan sehari hari. Dalam hal ini, Brecht memberikan dua catatan kritis:
1) Teater klasik berupaya memberi kesan bahwa apa yang terjadi diatas pentas merupakan kejadian dari hidup nyata. Brecht meyakini bahwa kesan natural (pengadeganan) yang ditampilkan diatas panggung hanya akan mengukuhkan sikap tidak kritis dari penonton terhadap horizon problem sosial.

Penilaian saya jika dikaitkan dengan film Rako, dalam aspek ini ada nilai nilai yang diterjemahkan (point 1) kedalam pengadegan film Rako. Bila menilai karakter karakter yang ada di film Rako, ex: Syahroni, Sugeni, Sonny, Harim, dsb. Maka kita-penonton disajikan sebuah pemahaman karakter yang over-confidance dan jauh dari kesan natural, hal ini sangat beralasan jika kita mengkaitkan fungsi dari ‘kesan natural’ seperti yang dikemukakan Brecht. Dengan kata lain, eksplorasi karakter yang berlebihan-over-confidance, justru untuk menciptakan sikap kritis dari penonton bukan untuk melarutkan penonton dalam situasi kejadian nyata

2) Brecht mengkritik secara keras cara tanggap empatetik yang dibuat oleh teater klasik yang ditanamkan dalam penontonnnya. Ia beranggapan bahwa fokus perhatian pada perasaan perasaan yang ada dalam penonton memainkan peranan ideologi yang berpihak pada kelas yang berkuasa. Hanya teater yang bersikap kritislah yang mampu memerangi secrecy yang secara diam diam digunakan oleh para status quo untuk mempertahankan kekuasaannya. Maka, teater Brecht mengklaim perlunya kesesuaian dengan kepentingan kelas proletar atas dasar pendekatan rasional.

Disini saya beranggapan bahwa pendapat Brecht tersebut yang bila dikaitkan kedalam dunia cinema, maka kita akan dihadapkan pada pemilik modal-penguasa (status quo) yang menjadikan film sebagai sebuah kepentingan kelas, jika yang dimaksud Brecht adalah propaganda atau film propaganda, maka ke-9 film Rako tidak berbicara dan tidak memiliki muatan ini. Esensi pengadeganan yang terdapat dalam film Rako menurut pandangan saya bila dikaitkan dengan kritik Brecht terhadapat teater klasik hanya sebatas pada penciptaan kesan, bukan pada aspek socio-politik, seperti halnya Brecht menterjemahkan Marxism dalam mengecam kapitalis. Namun pada aspek lain diluar konsep pengadeganan yang dikembangkan Rako, bisa saja terdapat unsur yang dikemukakan Brecht dalam ranah teks-ideologi.

Setting, make-up costum..
Penggunan setting make-up costum, dalam film Rako secara pasti berkorespondensi dengan realita, dengan kata lain penggunaan elemen ini mengacu pada ‘realisme konvensional’ seperti yang dikemukakan Konstantin Sergeyevich Stanislavsky, (1865-1938) akan fungsi atribut yang mendukung realisme . Elemen kostum menjadi daya tarik sendiri dalam film film Rako, hal ini menjadi keterkaitan tersendiri akan kehidupan kecil Rako, bahwa kekaguman mampu diinterpretasikan melalui kostum, peranan kostum dalam film Rako tidak hanya sekedar mencerminkan atribut status sosial.

Secara garis besar, penggunaan stylistik dalam film film Rako lebih menterjemahkan pemaparan Struktur Hollywood Klasik, meskipun ada beberapa bagian dari materi film yang keluar dari aturan baku Hollywood Klasik, namun bagi penulis hal tersebut bukan menjadi sesuatu yang premier dan mendominas dalam membentuk konsistensi style dan tematik dalam film Rako. Artinya, seorang filmmaker dapat memanipulasi format ini untuk menciptakan sebuah atmosfer yang ingin disampaikan sesuai garis besar konteks naratifnya. Studi ini tidak bertujuan untuk menciptakan suatu aturan baku akan suatu bahasa film, atau memberikan makna yang pasti. Tapi ingin mengutarakan bahwa tiap style dalam film adalah ekspresi dari seorang filmmaker sebagai seorang manusia dimana ia dapat menceritakan sebuah naratif dalam film dengan stylistik masing-masing sebagai suatu kesatuan yang utuh.

Resume stylistik
• Episentrum untuk dramatisir adegan dan suspense melibatkan gerak kamera.
• Peranan kostum sebagai penyajian gagasan lebih bersifat untuk menyimpulkan, bukan menampilkan suatu bagian dari kehidupan real atas cara pandang yang umum kedalam frame.
• Kecenderungan menggunakan fast cutting (fast cutting to introduce a character)
• Akting yang over-confidance, spontan yang mengandalkan improvisasi. gaya bicara deklamatoris untuk menciptakan sikap kritis
• Penceritaan dari point of view orang ke 3.
• Penciptaan depth of field
• Bahasa sangat menonjol sehingga terkesan verbal untuk menghindari narasi.
• Penggunaan musik untuk sesaat menghentikan atau mengalihkan aksi.
• Editing klasik, No shots stands alone.

III. Kesimpulan
Tulisan ini mengkampanyekan film film Rako Prijanto dengan melihat auteur theory sebuah konstruksi konsistensi melalui beberapa analisis:
- Dalam wacana kontekstual Rako berbicara dengan kapasitas Author as social subject, berbicara pada factor subjektifitas social yang berarti bahwa seperangkat konsep, gagasan, struktur maupun formasi ideologis merupakan refleksi kegelisahan seorang author atau sutradara atas gejala social politik ditempat dia berada yang terkadang mengakibatkan polemic tertentu yang berujung pada terbentuknya pada peleburan visi.
- Dalam analisis biografi, saya beranggapan bahwa Rako tanpa sepengetahuannya mulai mengenal konsep Kulturalisme-multikultur, Rako mulai mengenal media visual dan kekuatan dibalik media visual. Pemicu dalam bawah sadar mulai diasah (di-create) menjadi sebuah medium sendiri dengan referensi medium-media lain, terlihat ketertarikan masalah kostum-make up dan aksi, yang memunculkan aksi over-confidance, dan melaui filmnya ia berbicara tentang dirinya sendiri melalui karakter dalam film.
- Dalam analisis tematik, film filmnya berbicara tentang kaum muda marginal yang dihadapkan pada gaya hidup metropolitan, kekuatan etnis dan kritik mitos.
- Dalam analisis struktur naratif, ke-9 filmnya menggunakan struktur Hollywood klasik. Kausalitas ruang dan waktu, identifikasi, konflik sangat menjadi penting dalam penuturan naratif didalam filmnya.
- Dalam analisis mise en scene, ia berfungsi sebagai bentuk fiksi yang jelas terlihat dan diciptakan dalam film dan sebagai wadah dalam menciptakan dunia baru untuk meyakinkan penonton bahwa dunia yang diciptakan dalam film itu banar-benar ada terlepas dari nuansa personifikasi dari seorang kreator.

Referensi:
• Buckland Warren. Film Studies: The Director as Auteur, p 51-57.
• Crofts Stephen, The Oxford Guide to Film Studies, bab 7: Authorship and Hollywood, Oxford University Press:1998.
• Greg Soetomo, Krisis Seni, hlm 104, Pustaka Filsafat, Jogjakarta, 2003.
• www.wikipedia.org
• www.cinema.com.

0 komentar:

Posting Komentar