Teori Film

Minggu, 25 Oktober 2009

Tranformasi Hollywood: Third World Cinema (acakadut)



I. Pendahuluan.

Perang dunia 1 diakui tidak memberikan dampak yang baik untuk perkembangan dunia, namun perang tersebut menjadi landasan histories Golden Age of Hollywood yang kemudian menjadi salah satu sejarah penting perfilman dunia. Hollywood dalam beberapa decade telah menjadi patron untuk perfilman dunia. Secara tidak sadar, mesin industri hiburan terbesar ini telah mematok standarisasi untuk film yang diakui bermutu.

Standarisasi, sayangnya bertolak belakang dengan apa yang menjadi tujuan utama mengapa Hollywood di bangun yaitu menyebarkan ‘The American Dreaming’ ke seluruh penjuru dunia melalui film-film produksinya. Kebebasan, kebebasan dan kebebasan menjadi tujuan utamanya.


Liberalisasi menjadi catatan penting dalam pembuatan film-film ala Hollywood, dimana kebebasan menjadi keniscayaan tema setiap produk Negara adidaya, Amerika. Akhirnya standarisasi yang diterapkan Hollywood membatasi kebebasan-kebebasan yang menjadi tujuan awalnya. Kedigdayaan amerika menjadikan industri hiburan ini sebagai agen dalam mencitrakan dirinya. Lihat saja bagaimana film-film Hollywood menggambarkan kekutan amerika. Tak ada film Hollywood yang menggambarkan kekalahan amerika. Liberalisme dan capital yang besar menjadikan hollywwod sebagai pusat perfileman dunia.

Perang dunia juga sangat mempengaruhi ideology dunia yang di dominasi oleh dua blok yang menjadi musuh bebuyutan. Lepas dari perang dunia 1 dimana liberalisme mengalahkan sosialis dari blok timur, Hollywood mendapatkan posisi strategis dalam dunianya. Perannya menjadi agen capitalism barat membuatnya merajai dunia perfilman.

Karenanya banyak yang berpaling dan berusaha mencari alternatif diluarnya. Maka bermunculanlah Production House dengan label indie. Jangan membayangkan indie di Amerika sama dengan indie di Indonesia. Kalau di Indonesia indie identik dengan pekerjaan amatiran. Sayangnya, kekuatan capital yang dimilikinya menjadikan Hollywood semakin kokoh pada status dominasinya.

Bagi eropa, perang dunia II membawanya menjadi pemegang tongkat estafet di dunia perfilman. Italian Neo-realisme yang di pelopori Federico Fellini, Vittorio De Sica dan Roberto Rossellini berhasil meninggalkan kenyamanan yang di tawarkan film-film Hollywood. Mereka turun kejalanan mengambil gambar dan membuat film yang berhasil mengejutkan dunia seperti Bicycle Thieves dan 'La Strada'. Di prancis sendiri, gaya Italian neo-realisme ini telah menginspirasi para filmmaker dalam berkarya. Bahkan beberapa bioskop di sana menawarkan lebih banyak film genre ini ketimbang produksi-produksi Hollywood.

II. Munculnya ‘Dunia Ketiga’.
Pasca Modernism dan Pasca Kolonialisme tak bisa dipisahkan dari ‘world cinema’ dikarenakan adanya keterkaitan secara historiografi yang pada prosesnya membentuk karakter dan bentuk tekstural dari konsep sinema tersebut. Kedua factor ini berdampak pula pada sinema dunia, dan mempelopori munculnya sinema dunia ketiga atau ‘Third Cinema’.

Pasca modernisme merupakan manifestasi, bukti nyata suatu budaya hasil dari suatu era yang disebut pasca modern yang mana ditandai dengan pergeseran dari ekonomi industri berkekuatan tenaga kerja manusia menuju ke ekonomi informatika oleh komputerisasi dan elektronik (yang merupakan dampak langsung dari globlalisasi). Aliran pasca modernisme ini cenderung bersifat merubah, mengganti gaya yang telah ada sebelumnya (deskontruksi), yang antara lain berfungsi memposisikan ulang unsur artistik dan estetika suatu konsep budaya. Sedangkan pasca kolonial terfokus pada mempelajari akibat dari sisa kejayaan suatu pemerintahan-kekaisaran, serta menyelidiki hubungan antara kekuasaan masa itu dengan kondisi sosial politik saat ini. Menurut Edward Said yang menuangkan gagasannya dalam teks ‘Orientalism’, dunia Barat memelihara sebuah fantasi tentang belahan dunia Timur yang dianggap sebagai tempat terbelakang dan berbahaya, serta penuh dengan sensualitas terpendam, eksotis, dan misterius. Hal ini dimaksudkan untuk membedakan pihak dunia Barat yang beradab dan superior dari pihak dunia Timur.
Teori ‘Eurocentrism’ meyakini bahwa Eropa adalah pusat dunia dan kebudayaannya jauh lebih unggul dari kebudayaan lainnya yang semakin memperkuat klaim pihak dunia Barat.

Dalam manifestonya ‘Towards a Third Cinema’, Sutradara dari Argentina, Fernando Solanos dan Octavio Getino mengklasifikasikan film menjadi tiga bagian, yaitu:
First cinema (bertujuan komersil dan disupport oleh studio studio besar Hollywood).
Second Cinema (Art cinema Eropa berikut dengan sinema Auteurs-nya).
Dan Third Cinema (sinema yang bernafaskan revolusioner dan anti Kolonial dan Imperialism).
Istilah ‘Third Cinema’ muncul sebagai sebuah counter culture terhadap film film Hollywood. Gerakan ini diawali oleh sineas sineas Amerika Latin yang membuat film film bertema alternative yang berbudget rendah, yang kemudian berkembang dalam dunia akademisi sebagai sebuah upaya pencarian format film yang mengangkat tema oposisi, otherness, dan alterity. Film film ‘Third Cinema’ adalah film film mengenai ketidaknyamanan segala problema kehidupan dan perjuangan masarakatnya

Semangat revolusi Iranpun akhirnya membuat peta sendiri dalam industri perfileman dunia. Kebangkitan intelektual pada 1950-an dan 60-an di Negara Khomeini ini menghasilkan Iran New Wave, sebuah pendekatan humanistik yang dalam pembuatan film fiksi dengan gaya dokumenter seperti yang dilakukan oleh Abbas Kiarostami, Mohsen Makhmalbaf dan Majid Majidi.

Di asia, India dan jepang memiliki gelombang sendiri dalam dunia film. India di tahun 70-an berhasil membuat film dengan anggran yang rendah tapi dengan cerdas berhasil mensuksekan film-film produksi mereka. Sutradara seperti Shyam Benegal, Adoor Mrinal Sen dan Gopalakrishnan berhasil menciptakan sinema komersil dengan low budget.

Jepang berada pada titik persinggungan yang unik di peta perfileman dunia. Kedua tokoh perfileman negri sakura ini, Akira Kurosawa dan Yasuziro Ozu berhasil menciptakan bentuk lain dari film-film yang mendominasi di tahun 1940-an. Akira Kurosawa yang cenderung di pengaruhi Hollywood dalam berkarya sementara Yasuziro Ozu dan Mikio Naruse mengembangkan gaya khas mereka sendiri yang keluar dari patron Hollywood. Ketiganya menjadi tokoh yang sangat mempengaruhi gaya film-film generasi selanjutnya.

Film-film Hollywood yang banyak menawarkan hyper realita, karena di dukung dengan penguasaan teknologi dan modal yang sangat besar kini mendapat persaingan yang kuat dengan munculnya neo-realisme yang ditawarkanoleh Negara-negara eropa dan bahkan oleh Negara yang mereka sebut dunia kedua.

Ironisnya, ketika film-film dengan anggaran rendah ini berhasil menembus pasaran Amerika Hollywood dihadapkan pada kenyataan akan pentingnya mendukung para bakat baru dalam dunia perfileman. Maka lahirlah aliran baru di tubuh industri ini yang dikenal dengan 'New Hollywood' di awal 70-an, dengan sutradara seperti Martin Scorsese, Francis Ford Coppola dan Steven Spielberg.

Wajah dunia perfileman pun berubah. Dominasi Hollywood mulai goyah. Perayaan akan kebebasan ‘american dreaming’ menjadi boomerang bagi hegemoni Hollywood sendiri. Maka pertarungan tidak melulu mengenai modal dan ideology apa yang membonceng di belakangnya.

Memang tak ada yang bebas nilai di dunia ini namun apa yang di tawarkan Hollywood tentang pahlawan super dan ledakan-ledakan dahsyat serta penggambaran Negara super power; Amerika cukup menjenuhkan.

Dunia kini lebih terpikat pada gambaran realistis dan sisi kemanusian yang jarang ditampilkan di film-film Hollywood. Dalam istlah yang ditawarkan cinema jepang ‘bahkan pahlawanpun bisa menangis’ tampaknya lebih mewakili sisi humanis kita ketimbang kebutuhan akan pahlawan yang serba bisa.

Pada akhirnya; kajian world cinema membawa kita pada istilah yang sulit di definisikan. Mendepak Hollywood dalam kajiannya tampak tidak cukup arif melihat kejayaan dan sejaran perfilman jelas tak bisa lepas dari industri hiburan terbesar di dunia ini. Mungkin film-film yang telah berhasil mendorong majunya perkembangan dalam pembuatan film dengan kecerdasan dan kreativitas dapat digolongkan dalam kategori World Cinema. Siapapun yang membuatnya dan dari PH manapun produksinya.

III. Kesimpulan Sementara.
Konstribusi ‘Third Cinema’ bisa kita lihat dalam dua hal. Pertama: ‘Third Cinema’ menuntut dan menyajikan adanya kontekstualisasi socio-political dalam sebuah cara baru dan berbeda, unsure ini menjadi jauh lebih penting ketimbangkemunculan ‘Third Cinema’ sebagai sebuah reaksi balas atas sinema Hollywood. Kedua: kemunculan ‘Third Cinema merupakan sebuah langkah awal dan langkah penting dalam rangka upaya untuk mengalihkan konsepsi film Euro-American sebagai kiblat perfilman.

Rasanya tidak perlu ada kategorisasi terpisah tentang cinema, sebab sifat baku pembuatan film komersial di seluruh dunia sama saja. World cinema semestinya menjadi istilah yang inklusif sehingga karya komersial, tapi kreatif para pembuat film seperti Capra atau Hitchcock menemukan tempat yang layak dalam daftar nama World Cinema. Dizaman sekarang ini, konsep kontemporer ‘world cinema’ dipergunakan untuk mengkaji dinamika produksi perfilman berikutdistribusinya beserta efeknya pada sosio-ekonomik baik nasional, regional maupun global.

Penghargaan yang diberikan seperti Cannes, Berlin, Venice dan Toronto pun baiknya tidak terkendala pada pengidetifikasian world cinema.. Film yang baik, menghibur, mencerahkan dan serta provokatif dari sisi kemanusiaan merupakan kebutuhan seluruh umat manusia bukan untuk golongan tertentu. Sebab tujuan bersama adalah menciptakan dunia yang lebih baik.

Reference:
Remapping world cinema : identity, culture and politics in film / edited by Stephanie Dennison and Song Hwee Lim Imprint London ; New York : Wallflower Press, 2006
‘World Cinema’ (Lecturer: Dr. Seno G.A)
and nisa....

1 komentar: