Teori Film

Senin, 16 Desember 2013

Independent dan Metafora_Analisis Sagarmatha

Menonton 90 menit di bioskop tidak lah cukup untuk membahas film ini. Sebenarnya ada banyak hal yang tak bisa ditampung ditulisan ini, (Seperti karakter Shila selaku penulis, dan Kirana selaku Fotografer. Buku versus  kamera,  sangat menarik untuk dibahas) dan Penulis akan selalu menang. 
 


                                                    
                                             
                              tips; jangan serius amat baca tulisan ini.


Tulisan kali ini membahas film Sagarmatha yang diproduksi oleh Sinema Kelana. Ada dua point yang ingin dibahasa dalam tulisan ini, 
1. Apakah Sagarmatha film Independent? Bisakah disebut seperti itu, sementara pemerannya adalah seorang bintang dan tayang di XXI. 
2. Membaca text yang gagal, akan melahirkan metafora.
 
 


                                                                    kru Sagarmatha 




 Kesimpulannya dulu ya.

Ketika berbicara Independent, maka kita berbicara tentang bisnis, dalam ranah film itu berarti distribusi. Seperti apa film itu di distribusikan.

Tambahan lain adalah, Independent merupakan semangat atau spirit para pembuatnya. That’s it, dan tidak ada hubungannya dengan kreativitas teknis. 

Independent, seharusnya dan tidak mungkin mengarah pada aspek sinematic/ style/ teknis dalam suatu film. Jangan berbicara Independent ketika memasuki ranah teknis. (kalau mau coba, silahkan. Buat gelar S3 oke tuh). Saya kira pengertian Independent cukup berada di ranah distribusi saja atau kedalam bentuk spirit saja. 
Konsep Indie jangan masuk ke ranah teknis, agak naïf sih memang jika menyinambungkan aspek teknis kedalam konsep independent. namun paling tidak perlu untuk dipahami, 

sedikit penggambaran; jika Tipe shot semisal (Close Up. Long Shot, Medium CU,dll) adalah sebuah abjad, maka kita bisa memastikan anda tidak bisa terlepas dari tatanan bahasa film bekerja, atau Close up= do, Medium Close Up= re, maka tetap saja dia tidak bisa independent, mengapa demikian?? karena elemen tersebut berkembang dan dikembangkan oleh sistem studio, sementara Independent lahir menolak sistem tersebut, karenanya pakem pakem teknis dalam film tidak bisa dikaitkan dengan konsep Independent.. (ngerti gak? bingung ya?? mayan  bahan buat S2 atau S3 film) 


                             

 XXI dan Sagarmatha (akrab nih)


Independent adalah, semangat. Semangat bagi filmaker untuk tetap berada dijalurnya, dan menjaga konsistensinya tersebut. Perkara ini bukanlah hal yang mudah. Sehingga wajarlah kiranya, jika filmaker Independent sedikit memiliki pesona dibanding yang lainnya, bisa jadi karena parfum yang digunakan berbeda. Apakah mampu tim Sagarmatha berada pada level ini? 


Terlepas dari kelebihan dan kekurangan dari Sagarmatha, sisi pembelajarannya adalah mereka (Tim dan proses kerja) menawarkan sesuatu yang berbeda, bahwa tak mesti ada label untuk bisa tampil di 21, tak mesti teknologi mutakhir untuk bisa ke-XXI. Jikalau dulu penilaian tentang XXI atau 21 adalah kompleksi borjuis, maka Sagarmatha menolak itu, memberikan semangat bagi mereka yang silau terhadap kompleksi XXI. 

Gambarannya mungkin seperti ini, ‘’nggak mesti makan Chocolatos film lu bakal tampil di bioskop’’ (taukan filmnya…ya Ainun Habibie.. film kaya gitu kok masuk nominasi Citra..sapa yang goblok coba?? Masa wasit lagi…)


Sagarmatha, Film Indie? 

Sebelum flm ini release, Sagarmatha telah digembar gemborkan sebagi film indie yang sukses dipasaran bioskop tanah air. Apakah betul film ini Indie? Atau apakah sebenarnya arti Indie (baca; Independent, bukan India). 

ketika anda mengatakan film ini adalah indie, maka perlu dipertegas bahwa independent itu apa?? Apakah semangat kerja anda yang indie atau film anda benar benar independent (terlepas dari cara ‘sistem studio’ bekerja) sederhanya, sisi mananya yang Indie? Teks film nya kah?, atau hanya jalur distribusinya saja yang Indie.

Mungkin anda pernah mendengar istilah independent film? Mungkin anda bisa memberikan defenisi tersendiri, namun disimpulkan secara garis besar melaui berbagai macam sumber, bahwa indie atau film Indie adalah sesuatu yang berada dilur jalur/ pakem… untuk kata ‘ jalur/ pakem’ bermakna sangat kompleks. Silakan dinalisa sendiri, (jalur apa??, pakemnya siapa??dll) 


Mengapa Indie film Lahir, mungkin hal yang lebih baik dianalisis dari pada problematika diatas, sehingga pembaca bisa menyimpulkan sendiri apakah Sagarmatha merupakan jejeran film Indie. Didunia film, Konsep independent merupakan sebuah bentuk perlawanan terhadap Konsep yang sudah mapan, disini saya mengartikan Hollywood, karena sejarah perfilamn dunia tak mungkin terlepas dari kata ‘kemapanan Hollywood’ Di negeri asalnya Amerika Serikat, jaringan sinema dikuasai oleh para studio besar, semisal Universal Pictures, Paramount Pictures dll. Mereka inilah yang juga bertindak sebagai distributor-distributor utama peredaran film di Amerika Serikat maupun di seluruh dunia lewat jaringan yang dipunya. 


Lalu bagaimana karya karya yang tidak mampu bersaing pada sistem distribusi atau selera industri ‘Hollywood’? atau bagaimana nasib filmaker yang kalah pamor? Dalam konteks film merupakan seni modern, problema filmaker yang tidak mengikuti selera Hollywood tersebut melahirkan distribusi sendiri, karya-karya yang berada diluar jaringan utama itulah yang kemudian mencoba menciptakan jalur distribusi baru. Dan inilah yang mereka sebut sebagai jalur Independent, yang bebas terhadap banyak kepentingan, semisal aspek birokratis, label industri, dsb. 


Lalu bagaimana dengan Indonesia? Terus terang kita tidak memiliki ruang ruang tersebut, Mindset filmaker kita umumnya menganut, XXI, Blitz, dsb. Kemunculan Kine-Forum sebagai salah satu ruang buat dunia film masih terus teruji Tiadanya jalur utama, membuat otomatis tak ada yang namanya jalur independent di negeri ini. Kalupun ada, bisa dibilang ‘keIndie-indiean. Karena tak bisa dipungkiri bahwa aroma dengan label Independent itu lebih memikat. Orang orang sudah terlalu bosan dengan sesuatu yang mainstream. 

Dan anda para pelaku filmaker seharusnya menghindari kata kata seperti ini; 'kita kembalikan saja ke penonton, terserah penonton yang menilai', terlalu clise kalimat ini buat seorang filmaker.
Ini bukan jaman dimana film buat penonton saja, saya kira eranya sudah berbeda dan harus ada yang membedakan anda dengan orang yang mengajarkan film kepada anda.




                                           Playmaker ada ditengah 


Setelah menonton film Sagarmatha dengan durasi sekitar 90 menit, saya ingin berpendapat bahwa jika cru film Sagarmatha ini adalah sebuah keseblasan, maka playmaker dari film ini ada pada diri si penata visual (Anggi Frisca), kenapa? 

Saya seakan mendapatkan kosakata baru dalam kamus belajar film. Maksud saya begini, adalah lumrah jika gambar harus selalu mendukung cerita, pelajar film khususnya mahasiswa 
Sinematografi diajarkan pada hal tersebut (gambar mendukung cerita), namun saya merasakan hal lain di Sagarmatha, mungkin terlalu naif jika mengatakan; sudah bukan jamannya gambar mendukung cerita, ia juga bisa menyelamatkan element film yang lain. 

 Mungkin ini jaman dimana kekuatan visual bisa menyelamatkan element film yang lain. Itulah yang saya rasakan pada kekuatan visual di Sagarmatha, Ia (gambar) menjadi penyelamat ketika banyak elemen dianggap gagal dalam keutuhan seluruh elemen film.
                             
                                                 Abdul Manaf (jaket Biru) 

 Lalu ada Abdul Manaf selaku produser film ini, bisa dibilang sosok inilah yang menjadi ujung tombak akan jebolnya film Sagarmatha di XXI, meskipun difilm ini ada 3 orang produser, tetapi Abdul Manaf bisa disebut ujung tombak karena ia langsung turun kelapangan dari mulai pra-syuting hingga pasca, bahkan samapai tahap distribusi dan eksebisi orang inilah yang paling didepan (harusnya sih gitu, kan gak tau juga kerjanya ngapain. hehe)
                                            
                       

            
                              

                          Emil Heradi


Namun terlepas apapun itu Man of the Match dari film Sagarmatha adalah Emil Heradi, sang sutradara. Gak perlu dibahas juga sih, namanya juga sutradara. Apapun yang ada ditulisan ini sebenarnya untuk mengurai isi kepala sang director, seperti apa pemikiran yang ia gunakan. Mau dibilang gagal atau dibilang sukses itu kan tergantung dari selera pasar-an. Karena bisa jadi selera si sutradara tidak sesuai denga selera pasar-an.


Mengulas Teks

 Setelah penayangan Sagaramtha 28 nov 2013, adabegitu banyak tanggapan mengenai film ini, tentunya ada yang suka dan ada yang tidak. Dari sekian banyak tanggapan, banyak yang mempermasalahkan tentang konsep Naratif (cara bertutur) dari penulis Skenario, Damas Cendekia. 

Dalam sebuah forum terbuka di Insitut Kesenian Jakarta, seorang Dosen fakultas Film, mengutarakan kekecewaanya terhadap konsep cerita yang diusung, Statement apa yang ingin di ungkapkan film ini??? Konon, saking kecewanya ia meninggalkan gedung bioskop sebelum filmnya selesai.

 Identifikasi yang gagal melahirkan metafora

  Konsep bercerita film ini meskipun dibuat acak, tentang dua orang perempuan yang bla bla bla. Dari konsep penceritaan, tidak ada yang baru dari Sagarmatha, alibi saya menyimpulkan konsep penceritaan menjadi boomerang akan gagalnya indetify penonton. Ya, penonton terlambat mengidentifikasi alur yang disajikan.. mengapa penonton terlambat mengidentifikasi penceritaan?? Dari mana kita mengetahuinya??.. sekedar alibi, jika ada penonton (lebih dari dua deh) yang keluar dari bioskop sebelum film usai, bisa jadi identifikasi mereka terhadap penceritaan terputus tau no sign, sehingga buat apa bertahan dibioskop jika identifikasi naratif gagal. Usaha suture editing untuk membantu penonton mengidentifikasi naratif, bisa jadi terlambat, alias telat. 

Memang kemampuan setiap penonton dalam menalar cerita tidak bisa disamakan, lalu bagaimana tips jitu menonton film ini? Untungnya saya menganut beberapa tips dalam memahami penceritaan atau konsep bercerita yang ‘rumit’, salah satunya adalah; ‘Jika Naratif tak mampu berjalan dengan baik, maka biarkanlah metofora hadir untuk memberikan makna’. Melalui metafora visual akan membangun intelegensi seorang penonton untuk bisa memahami sebuah teks.

Jika anda tetap kesulitan menafsirkan metafora dalam film maka sebaiknya buat pertanyaan sendiri lalu menjawabnya sendiri, tentunya melalui teks film. 

Misalnya, tentang pertanyaan mengenai statement apa yang ingin disuguhkan di Sagarmatha? Untuk menjawabnya, penonton seharusnya mencari jawaban didalam film itu sendiri. 

Dalam film Sagarmatha (kalo gak salah adegan flashback di gunung Merapi, sebelum Kirana meninggal) ada dialog yang mengutarakan bahwa; ‘suatu saat kita sendiri’.  
 Sehingga bisa disimpulkan meskipun secara sepihak bahwa pernyataan/statement dari pembuat film disini adalah ‘Suatu saat kita sendiri’, atau bisa dipersempit lagi tentang ‘kesendirian’ atau mungkin berbicara tentang diri sendiri. 


Dari pendapat subjektif disini kita bisa mencocokkannya dengan ‘pernyataan pembuatnya’. Agar tercipta keselarasan saja, oleh karena meskipun kita tidak selaras dengan pembuatnya, itu hal yang biasa dalam berapresiasi. Disini saya ingin mengutip ‘status facebook’ Anggi Frisca yang juga Penata Fotografi Sagarmatha yang ditulis di tanggal 6 desember 2013.  


Manusia kelak akan sendiri. 
Prosa Dalam sebuah kehidupan, selalu ada pertanyaaan dan jalan mana yang harus dipilih? 
Dan dalam pencarian nya, terkadang kita tidak benar benar tepat memilih nya. 
Ketidak tepatan menjadikan keragaman pengalaman manusia berproses. 

Manusia dipenuhi dengan kondisi kondisi yang tidak diketahui nya, satu detikpun didepan nya, manusia tidak pernah tau apa yang terjadi, 
manusia juga hanya mampu mengingat segelintir ingatan masa lalu nya,
ingatan masalalu yang indah, 
masalalu yang pahit, 
pengalaman masa lalu menjadikan sebuah bentuk karakter dalam diri manusia itu sendiri. 

Manusia seperti Semesta di dalamnya, selalu ada perubahan dan siklus berubah,
 pada wanita siklus perubahan itu menjadikan dia ada di titik extreme,
 dia bisa menjadi wanita yang keras namun dia juga bisa menjadi wanita yang sangat lembut. 
dua karakter ini menjadi sosok sebuah kehidupan antara langit dan bumi. 
Mereka selalu bermain di dalam fikiran fikiran nya, keras seperti Batu dan lembut seperti tetes embun yang menyejukan. 
Semesta tidak pernah memberi jawaban yang pasti akan sebuah kehidupan, begitupun manusia, 
tidak pernah tau pasti apa yang menjadi Tujuan hidupnya.

 pengantar hari ini, lihat lebih dekat dan kenali diri. -SAGARMATHA-  


Banyak Adegan/dialog yang menggurui.

Sebelumnya saya ingin menggaris bawahi katakata ‘menggurui’ sering terdapat dalam review film, agak sulit juga sih sebenarnya mengganti kata ini untuk lebih ideal dalam menganalisis. 
 Intinya, ada orang yang tidak suka digurui karena bisa jadi adegan itu meyentuh sisi pribadinya. Ada pula orang yang tidak suka digurui oleh karena bisa jadi ia sudah tahu atau mungkin lebih faham sehingga tidak tepat sasaran. 

Kebanyakan penonton akan merasa jenguh jika merasa digurui atau diceramahi melalui dialog dialog film. Adegan yang paling saya ingat adalah, ketika adegan Kirana mendapatkan ucapan selamat ulang tahun sesaat sebelum mereka tertidur. 

Hal yang saya tangkap adalah kita perlu identitas, identitas yang lahir dari sebuah kesepakatan sosial, namun Sagarmatha menolak itu. Bagi saya adegan ini bisa dibilang menggurui (perhatikan seksama dialognya), dialognya cukup menggelitik otak, khususnya bagi Jones (jomblo nestapa). Adegan ini berdurasi cukup panjang sehingga pesan dalam adegan ini sangat vital dalam sebuah rentetan adegan film. Adegan ini memorable, saya ingin berkata bahwa rangkain dialog adegan ini, pasti ada di halaman 1 draft sipenulis sebelum jadi skenario.




Adegan ini dikemas cukup menarik, yakni dialog sesaat sebelum tidur. Bisa dipastikan sesaat anda sebelum tidur maka yang muncul dibenak anda sebelum tidur adalah 90% tentang konsep masadepan, konsep identitas tentang siapa anda. 10% sisanya mungkin tentang desire, bokep, cabul (hahah gaknyambung)

 Adegan yang paling sangat risih buat saya pribadi adalah adegan ketika mereka berdua berjalan dan membahasa tentang fotografer legend, Kevin Carter peraih Pulitzer bergengsi di AS. 

 Pertanyaan mendasar disini adalah apa korelasi adegan tersebut dengan adegan yang lain?

 Belum lagi dialog dialog tentang fotografi dan konsep film membuat kening agak berkerut, senyum gak enak.

 Namun kembali lagi kepada tips jitu menonton film yang sulit dicerna, yaitu dengan menciptakan pertanyaan ataupun jawaban yang dikaitkan dengan sebuah teks/adegan. Adegan yang saya maksud diatas cukup memunculkan berbagai pertanyaan karena dialog yang mengisi adegan tersebut terlalu edukatif. 

Sehingga saya membuat suatu pertanyaan seperti ini; Akan dikemas seperti apakah bahasa sinematic dari Sagarmatha??? Nah, untuk menjawabnya silakan mengamati dialog dari adegan Kirana dan Shila ketika membahas fotografi Burung Bangkai karya Kevin Carter. Atau bisa jadi adegan ini semacam premis kecil tentang bentuk kematian yang berkaitan dipenghujung cerita. Who knows?


                                                   

             Mungkin foto ini yang dimaksud, (maaf kalo salah)





 Tata Visual yang memukau 
Jikalau banyak yang menyayangkan konsep penceritaan bahkan pengadeganan film ini kacau-balau, seperti yang dituliskan cinetariz.blogspot, adalah sebuah kewajaran. Bisa jadi si penulis blog tidak menikmati film melalui elemen penceritaan dan adegan. 

Namun yang perlu digaris bawahi adalah, dari sekian banyak film yang kita tonton sejak kecil hingga saat ini, kita selalu disuguhkan film atau cerita yang meyenangkan dan mengalir, dengan penceritaan yang berkesinambungan dari A ke B lalu ke C, dst, hingga kita menikmatinya.

Formula seperti itulah yang kita telan selama puluhan tahun menikmati film. Lalu muncul film yang tidak mengikuti pola yang selama puluhan tahun kita anut. Secara sadar, wajarlah kiranya jika identifikasi kita akan mengalami gangguan, sehingga akan berpengaruh dalam hal kita menanggapi film yang tidak biasa kita telan. Saya kira hal tersebut sangat berpengaruh dalam alam bawah sadar seseorang, oleh karena film juga bekerja di area tersebut. 

Namun terlepas apapun itu saya pribadi secara garis besar tidak menyukai cara bercerita Sagarmatha, bisa jadi saya telah terbiasa selama puluhan tahun menikmati film yang popular saja, tidak seperti Sagarmatha, yang kental berbeda dengan film-film popular saat ini. Sehingga mungkin perlu puluhan tahun untuk dicekoki film semacam ini agar saya terbiasa dengan film seperti ini. 
                                                
Kalau tidak bisa menikmati isinya, lalu apa dong yang bisa menolong Sagarmatha agar bisa dinikmati??? Sagarmatha masih tertolong oleh kulitnya, yaitu Nepal dan Nadine Chandrawinata, keduanya menawarkan estetika tersendiri dalam Sagarmatha. Sagarmatha menawarkan India dan Nepal, tepatnya journey Himalaya. Sudah bukan rahasia umum jika Nepal-Himalaya merupakan tempat yang menawarkan Wisata Spiritual. Selain itu Sagarmatha menawarkan Nadine Chandrawinata.  Bisa dibayangkan jika sosok petualang sagarmataha adalah Laki2, atau mungkin si Bolang. 


 Belakang Himalaya-Nepal, tengah Nadine, depan Anggi dan canon 5D

Kita akan terkagum kagum melihat pameran visual Sagarmatha. Elemen yang satu ini (visual) memang sangat membantu bahkan menolong Sagarmatha dari identifikasi cerita yang saya rasa gagal. 

Perkara ini bukan sekedar menaruh kamera lalu semuanya terlihat indah, namun terlihat konsistensi kesederhanaan seperti yang diuraikan diberbagai media mengenai teknis Sagarmatha. 

Film ini menggunakan kamera DSLR Canon 5D, dengan menyajikan warna yang dingin yang selalu dibalut dengan highlights khususnya adegan-adegan di Himalaya, dalam disiplin sinematografi perpaduan ini sangat menarik. Agak sulit mencamtumkan gambar yang  dimaksud karena keterbatasan dan lain hal, semoga foto dibawah sedikit memberi gambaran, (meskipun Higlights yang dimaksud tidak terlalu terlihat)




 Terlepas dari kelebihan dan kekurangan dari Sagarmatha, sisi pembelajarannya adalah mereka (Tim dan proses kerja) menawarkan sesuatu yang berbeda, bahwa tak mesti ada label untuk bisa tampil di 21, tak mesti teknologi mutakhir untuk bisa ke-XXI. 

Jikalau dulu penilaian tentang XXI atau 21 adalah kompleksi borjuis, maka Sagarmatha menolak itu, memberikan semangat bagi mereka yang silau terhadap kompleksi XXI. 

Gambarannya mungkin seperti ini, ‘’nggak mesti makan Chocolatos film lu bakal tampil di bioskop’’ (taukan filmnya…ya Ainun Habibie.. film kaya gitu kok masuk nominasi Citra..sapa yang goblok coba?? Masa wasit lagi…) Sagarmatha telah memberikan apresiasi baru bagi perfilman nasional, tinggal kita menunggu apakah semangat Sagarmatha bisa konsisten di ranah film nasional. 

Semoga tak ada lagi film 'chocolatos'  dan terimakasih Sagarmatha. mengutip twitter penulis Sagarmatha, dalam gelap akan terlihat kerlipnya bintang... mudah2an ente paham maksudnya

Wassalam

Bahan bacaan lain;
http://bacaajasih.blogspot.com/2013/11/review-film-sagarmatha.html 
http://cinetariz.blogspot.com/2013/12/review-sagarmatha.html 
Foto diambil dari Sagarmatha Movie dan koleksinya Angie Angel (Art Director Sagarmatha)

1 komentar:

  1. Senang sekali mendapat komen dari kritikus eh...sori.. analisis kebanggaan kami

    BalasHapus