Teori Film

Minggu, 11 Oktober 2009

Virtual reality















1.1. Latar Belakang
Perdebatan tentang realitas atau sesuatu yang nyata (being) mungkin telah berlangsung seumur dengan peradaban manusia. Modernitas telah memerangkap realitas pada rasional ilmiah yang ambigu, yang pada dasarnya lebih dari perkara interpretasi dan persuasif yang cenderung bersifat subyektif sebab pengetahuan ilmiah sama sekali bukanlah jiplakan atau foto kopi realitas, melainkan realitas hasil konstruksi manusia yang erat kaitannya pada paradigma atau pandangan dunia manusia itu sendiri. Pada akhirnya pandangan tentang realitas tidak lagi terkait pada kebenaran melainkan pada apa yang dapat diciptakan sebagai sesuatu yang benar-benar ada.

Peradaban modern dibangun dengan pondasi penemuan-penemuan baru dalam bidang sains dan teknologi. Hal ini tidak hanya berhasil mengubah wajah dunia namun juga perilaku manusia-manusia modern dan pandangannya tentang ralitas sejak abad ke-enam belas; abad yang dikenal dengan zaman revolusi ilmiah.
Kini perkembangan teknologi berkembang pesat menuju era komputerisasi dimulai sejak penemuan PC di tahun 1970-an. Hampir semua lini kehidupan dan profesi (pendidikan, militer, kesehatan, hiburan dll) tidak lepas dari penggunaan digital.
Penemuan mutakhir belakangan berhasil mengaburkan batas ruang dan waktu menegaskan dunia tengah berlari tunggang langgang. Ditambah kesadaran akan pentingnya informasi menjadikan teknologi informasi mengalami tarnsformasi luar biasa tidak hanya terbatas pada perangkat kasarnya saja. Internet dan televisi merupakan media informasi yang melesat cepat meninggalkan pendahulunya media cetak; Koran, majalah, tabloid dll) dan radio seiring perkembangan softwear dan beberapa perangkat lunak computer lainnya.

Kini peristiwa pelantikan presiden amerika terpilih Barrac Obama dapat dikabarkan dengan hitungan detik keseluruh penjuru dunia, masuk hingga ke pedalaman Kalimantan melalui layar telivisi dan internet. Menyapa seseorang di belahan bumi lainnyapun bukan lagi persoalan yang sulit dan memerlukan waktu dan biaya yang besar. Efisiensi dan efektifitas komunikasi era digital telah menjadikan internet merajai dunia informasi dan komunikasi dewasa ini. Interaksi via digital menimbulkan pola kebudayaan yang berbeda dengan realitas diluarnya. Dunia virtual telah membentuk budayanya sendiri menggiring masyarakatnya (user) dalam bahasa, perilaku, norma dan etika yang di sepakati pada ruang-ruang maya. 

Virtual reality merupakan terminology yang digunakan untuk realitas bentukan atau realitas buatan dalam dunia digital. Lebih lanjutnya, virtual reality dikenal sebagai teknologi simulasi. Simulasi yang menurut Baudrillard merupakan sesuatu yang meniru, mengkopi, menduplikasi atau mereproduksi sesuatu yang lain sebagai modelnya.

I.2 Rumusan Masalah
Kajian mengenai virtual reality – yang selanjutnya kita sebut VR – tidak lagi hanya sekedar wacana, perkembangan teknologi telah menghadirkan seperangkat media yang mampu mensimulasi kejadian-kejadian tertentu dan menghasilkan realitasnya sendiri – entah realitas buatan tersebut memiliki realitas eksternal maupun hanya sekedar realitas internal atau khayalan semata –.Tidak terbatas pada pengguna internet, kini VR merambah pada dimensi kehidupan yang lainnya. Berbagai profesipun mulai melirik kecanggihan komputer yang mampu menghasilkan VR untuk kemudahan pekerjaan mereka.

Namun seperti halnya produk-produk teknologi lainnya yang memberi dampak kemudahan, VR memiliki dampak diluar apa yang dibayangkan sebelumnya. VR sebagai artefak produk modernisme telah menjadi hasrat akan pencapaian sains terjauh manusia selama beberapa dasawarsa.

Selanjutnya pembuatan makalah ini bertujuan tidak lain untuk memahami apa sebenarnya VR dan mengupas sejauh mana dampak VR terhadap kehidupan manusia. Serta memahami interpretasi manusia modern – user VR – terhadap realitas itu sendiri mengingat VR sendiri merupakan penggabungan beberapa disiplin ilmu.


2. Pembahasan
2.1. Sejarah dan Perkambangan Virtual Reality
Kata virtual (virtus-latin) sendiri merujuk pada sesuatu tidak nyata, tetapi menampilkan kualitas yang sebenarnya. Menurut filsafat Gilles Deleuze, istilah virtual merujuk ke salah satu aspek dari realitas nonmaterial, tetapi memiliki realitas diluar dirinya. Konsep Deleuze mengenai virtual memiliki dua aspek; pertama, virtual merupakan efek yang dihasilkan dari interaksi kausalitas di tingkat materi, seperti gambar yang diproyeksi oleh monitor computer merupakan hasil interaksi ditingkat hardware. Kedua, virtual merupakan potensi yang siap digenapi menjadi actual.

Kata virtual yang diterapkan kedunia teknologi informasi dan computer menghasilkan banyak arti, simulasi realitas yang dibuat melalui proses komputerisasi di sebut virtual reality atau yang lebih popular dalam dunia internet adalah dunia maya.

Menurut Microsoft Computer Dictionary :
an adjective, as "a device or service that is perceived to be what it is not in actuality...The way in which a virtual device is actually presented or implemented is much different from the device or service the user experiences."

Dan menurut wikipedia :
Virtual reality is a technology which allows a user to interact with a computer-simulated environment, be it a real or imagined one.

Dengan kata lain VR merupakan teknologi yang memungkinkan sesorang berinteraksi dengan suasana, baik yang nyata maupun imajinasi yang di ciptakan computer simulasi. Computer simulasi adalah teknologi computer yang menyediakan alternatif realitas di luar fisik dunia nyata yang biasa disebut simulasi. Simulasi ini berasal dari informasi yang diperoleh dari data base computer. VR juga lebih familiar dengan Dunia Maya sebagai nama lainnya. Pengguna VR dapat berinteraksi dengan suasana buatan melalui sinyal yang diperoleh lewat perangkat computer seperti mause, keybord, wired glove dll. 

Awalnya VR dikenal dengan sebutan artificial reality (1970-an) terminology ini pertama kali di perkenalkan oleh Myron Kruege, tapi sebelumnya istilah realitas buatan telah lebih dulu diperkenalkankan oleh seorang actor dan sutradara asal Prancis, Antonin Artaud dalam bukunya The Theatre and Its Double (1938). Dalam bukunya Artaud menerangkan bahwa teater sebagai "la rĂ©alite virtuelle" dimana kekuatan khayalan diwujudkan menjadi sebuah karakter, benda, dan gambar yang nyata dengan bantuan bahan kimia kedalam pertunjukan drama. 

Selanjutnya istilah VR banyak digunakan dalam novel-novel sains fiksi, namun yang paling berjasa memperkenalkan konsep tentang VR adalah sebuah film Brainstorm dan The Lawnmower Man. Kemudian penciptaan sebuah realitas buatan melalui teknologi komputerisasi mulai berkembang di tahun 1990 di dorong oleh sebuah buku non fiksi Virtual Reality yang ditulis oleh Howard Rheingold.

Penemuan head mounted display system (HMD) oleh Ivan Sutherland, dan siswanya Bob Sproull (1968) dianggap sebagai alat komputerisasi VR yang paling sederhana. HMD memiliki keterbatasan dari segi garafis dan beban fisik (berat) yang harus ditenggung penggunanya.

Dengan ditemukannya softwear yang menggabungkan grafis, fotografi, dan animasi atau gambar bergerak. VR moderen di kembangkan oleh Jaron Lanier di akhir tahun 80-an dengan mendirikan perusahaan riset Visual Programming Languages (VPL) yang kemudian menciptakan goggles n' gloves systems pada decade yang sama.

Perkembangan selanjutnya mengenai VR kini mampu menampilkan visual yang mendekati realisme, ditambah bantuan audio dan sensor getaran membuat VR tampil lebih nyata. Di antara teknologi yang masih terbatas, pandangan dan pendengaran adalah dua indera yang terbaik dalam menjamin tampilan simulasi yang berkualitas tinggi dalam VR, itulah sebabnya dewasa ini VR menitikberatkan suasana pada kedua indra tersebut.

Dalam budaya popular belakangan VR banyak dilihat melalui konteks hiburan; games, film, internet, animasi, dan iklan merupakan ruang lingkup VR yang banyak ditampilkan. Dalam ranah hiburan sendiri VR dihasilkan oleh seperangkat teknologi animasi yang dikenal dengan CGI atau Computer Generate Imagery yang mampu melahirkan karakter, visual effect dan memperhalus tampilan grafis pada animasi. CGI merupakan aplikasi dari computer grafis khususnya model 3D yang kerap mengerjakan special effect di film-film, program televise, iklan komersil, simulator termasuk games yang semuanya ditampilkan secara real-time. CGI juga digunakan untuk membuat figure tambahan seperti suasana keramaian atau ribuan prajurit tanpa harus menggunakan aktris/actor sungguhan maupun mencari lokasi dan membangun set property yang pastinya memakan banyak biaya dan tenaga.

Dalam penerapannya,VR banyak digunakan untuk simulasi-simulasi yang berkaitan dengan dunia nyata. Pada titik ini menggambarkan bahwa masa depan VR sangat terikat ke dalam perawatan, pelatihan, dan pembangunan. Hal ini merupakan daya tarik tersendiri bagi industri untuk tetap mengembangkan VR guna kepentingannya. 

Beberapa hasil pengembangan teknologi simulasi yang menggunakan VR di berbagai profesi, seperti; perawatan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) pada veteran perang dengan menggunakan simulasi pertempuran lengkap dengan sensor bau (penciuman) atau simulasi tiga dimensi kota tua romawi, kita bahkan dapat berbicara langsung dengan Socrates yang sedang mengoceh di tengah-tengah pasar romawi kuno. Beberapa film dan game yang menggunakan animasi/special effek dapat dipastikan laku di pasaran. Beberapa yang berhasil maraup jutaan dollar dari teknologi hiburan ini diantaranya film the matrix, final fantasy, star trek, dll.

2.2. Simulasi Dunia Virtual Reality
Pada intinya VR hanyalah menampilkan simulasi-simulasi suasana dan objek-objek tertentu dengan menggunakan teknologi komputerisasi. Simulasi sendiri merujuk pada Jean Baudrillard merupakan sesuatu yang tidak pernah benar-benar ada atau kata Umberto Eco sebagai The authentic fake". Pengertian simulasi tidaklah sama dengan fiksi/fiktif yang menurut Paul Ricoeur merupakan semacam karya naratif yang melukiskan sesuatu yang bersifat imajiner atau tak nyata, meskipun demikian fiksi berpotensi untuk menjadi kenyataan pada suatu waktu. Dalam simulasi, setidaknya terdapat empat macam teknik, yaitu:
a) Model, yaitu suatu teknik yang mencoba membuat science-fiction menjadi realitas, misalnya robocop, terminator, predator, cyberspace dan lain-lain.
b) Replika, yaitu realitas yang diubah menjadi dongeng, misalnya Jurassic Park, atau membangkitkan kembali kebudayaan Indian dalam film-film koboi, atau mengangkat kembali mitos-mitos yang ada di masyarakat dahulu ke saat ini.
c) Idealisasi, yaitu pengkondisian atas sesuatu yang melampaui bentuk ilmiahnya, misalnya penggunaan spesial efek dalam film science fiction atau horor. Dalam televisi, acara prima raga, misalnya, merupakan salah satu contoh acara yang mengajarkan pemirsa untuk mengidealisasikan tubuhnya.
d) Rekayasa realitas (kebenaran), yaitu pemodelan realitas seperti dalam berita-berita di televisi, sehingga informasi yang diterima oleh pemirsanya belum tentu sebuah realitas atau kebenaran.
Dalam dunia maya, pengguna simulasi dapat berinteraksi menggunakan avatar/karakter yang disesuaikan dengan keingingan. Avatar yang digunakan dapat berupa teks, gambar dua dimensi maupun gambar tiga dimensi. 

Karakter-karakter yang ada dapat berinteraksi satu sama lain baik secara on-line seperti multy player game online dan chating, maupun tidak yang berarti kita hanya berinteraksi pada seperangkat program computer. Simulasi computer menampilkan manipulasi elemen-elemen model dunia, seperti model alam yang ada di dunia nyata maupun hasil imajinasi yang tidak merepsesentasikan dunia nyata sama sekali. Beberapa simulasi menghadirkan model dunia berdasarkan aturan dunia nyata seperti hukum-hukum fisika, typografi, bentuk komunikasi, aksi dan reaksi. Komunikasi antar pengguna VR saat ini hanya berkisar pada teks, grafis ikon, sikap visual, suara, dan masih jarang interaksi dunia maya menggunakan bentuk komunikasi dengan sentuhan indera yang seimbang. Adapun jenis simulasi yang digunakan dalam VR antara lain :

a. Brain-computer interface (Brain-komputer antarmuka)
Dalam simulasi Brain-computer interface, otak pengguna (user) VR terhubung langsung pada computer simulasi. Komputer akan mentransfer data indrawi dan membaca keinginan dan tindakan user, dengan cara ini user dapat berinteraksi dengan dunia simulasi dan menerima umpan balik dari situ. Pada situasi ini user mengkin akan tidak sadar sedang berada pada simulasi sedang dalam simulasi kesadaran uses diwakili oleh avatar yang bias saja berpenampilan sangat berbeda dengan tampilan user sebenarnya.
b. Simulasi Komunikas
Komunikasi yang efektif harus memiliki aturan atau etika yang mengatur informasi yang masuk ke dalam otak dan akan merefleksikan suara, ucapan dan sikap kita. Begitu pula pada simulasi komunikasi dalam VR.
· Masyarakat Virtual (Virtual People)
Masyarakat Virtual merupakan penduduk asli dari dunia maya. Mereka tidak memiliki tubuh dalam dunia nyata, melainkan sepenuhnya simulasi kelompok, yang memiliki tingkat kesadaran dan perilaku yang sesuai dengan aturan/kode digital. Mereka memiliki hukum dan logikanya sendiri dalam berinteraksi dengan demikian masyarakat virtual ini bisa download dan dipindahkan dari satu simulasi ke simulasi yang lain bahkan beberapa bisa disimpan dan digunakan untuk waktu yang lain. Tidak menutup kemungkinan entitas dalam simulasi tersebut dapat ditransfer ke dalam tubuhh sintetis dalam bentuk cloning dengan cara mengambil contoh DNA virtual dari model simulasi dan melakukan rekayasa pada manusia dalam dunia nyata. Hasilnya tidak akan membawa ‘pikiran’ dari entitas simulasinya melainkan hanya tubuhnya yang akan terlahir ke dunia nyata.
· Intermingled Simulation
Berbeda dengan brain-computer interface simulation dimana user hanya terwakili oleh avatar yang memiliki penampilan fisik berbeda dengan dunia nyata , dalam intermingled simulation Virtual People pengguna akan sama dengan penampilan fisiknya di dunia nyata. Mereka bukan hanya memiliki pikiran diluar tubuh mereka, tapi juga menjadi bagian dari perangkat lunak yang mengendalikan berbagai aspek computer. 

2.3. Masa Depan Virtual Reality.
Sangat sulit memprediksikan masa depan dunia teknologi termasuk hasil dan dampak yang akan ditimbulkannya. Dulu orang berpendapat bahwa atom adalah sumber energi yang paling aman buat manusia, kini pendapat itu berbalik dengan ancaman kepunahan terbesar ras manusia akibatkan kerusakan alam yang ditimbulkan pembangkit energi atom serta penemuan senjata-senjata atom mematikan.
Bagaimana dengan VR, beberapa pakar menyebut VR adalah masa depan itu sendiri. Nic Bostrom dalam artikelnya “We are living in a simulation” Ia berargumen bahwa, ada kemungkinan peradaban dapat membuat komputer simulasi yang berisi individu dengan kecerdasan buatan, melihat kecendrungan manusia modern menggunakan teknologi simulasi untuk kesenangan dan penelitian. Sampai pada titik yang sama, manusia yang memiliki kehidupan kedua (the second life) dalam VR belum tentu menyadari simulasi yang mereka mainkan merupakan rujukan tentang apa yang akan terjadi di dunia nyata. Bostrom meyakini bahwa kita adalah satu dari milyaran simulasi yang berjalan.

Computationalisme membantah pendapat Bostrom tentang kecerdasan buatan dalam computer simulasi. Pandangan computationalisme berakar pada filosofi pikiran; suatu teori yang menyatakan bahwa pengetahuan merupakan bentuk komputasi (perhitungan). Mereka menanyakan sejauh mana dan seakurat apa sebuah computer simulasi dapat menghitung tingkat kecerdasan seseorang. Serta bagaimana computer simulasi menghadirkan kesadaran virtual sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki individu Virtual tersebut. Jika tidak ada masalah dalam pembuatan kesadaran buatan seakurat kesadaran nyata maka tidak menutup kemungkinan VR menjadi sesuatu yang nyata. Namun hubungan antara pengetahuan dan kesadaran masih menjadi perdebatan. Kemungkinan kesadaran hadir memerlukan pengalaman inderawi tentang sesuatu yang material dan nyata yang computer simulasi tidak dapat menghadirkannya. 

Masih terlalu dini memprediksi masa depan dari VR, namun banyak yang telah memberi gambaran tentang apa yang mampu dilakukan teknologi terutama VR dalam kehidupan manusia. Beberapa buku dan filim fiksi ilmiah berhasil memberikan gambaran bagaimana teknologi mengubah wajah dan tatanan dunia. Mungkin benar bahwa VR adalah masa depan bagi dunia yang bergerak begitu cepat dimana batas ruang dan waktu dalam interaksi manusia tidak lagi menjadi masalah. 

2.3. Pengaruh VR Terhadap Kehidupan Manusia
Kehidupan manusia modern tidak terlepas dari penggunaan teknologi komunikasi dalam aktifitas sehariannya. Setiap hari kita dijejali berbagai sajian acara televisi, iklan komersil, film dan video musik yang menggunakan kecanggihan computer dalam menghasilkan realitas yang berbeda dengan lingkungan nyata disekitar kita. Menyapa kerabat lewat telephone, sms, chat room. Di waktu senggang kitapun memainkan game di computer (offline), internet, handphone, PSP. Setiap hari kita dituntut untuk bersentuhan dengan dunia maya, kita bahkan memiliki dua, tiga bahkan lebih identitas (ID) dan alamat (e-mail, website, blogs) di dunia pararel tersebut. Kita bahkan lebih asyik dengan karakter yang kita hadirkan dan kita lakonkan di internet dan game ketimbang identitas kita di dunia nyata. 

Virtual Relaity tampaknya menjadi sesuatu yang lebih menarik ketimbang dunia nyata. Manusia modern lebih mampu berinteraksi dengan lebih banyak orang dari berbagai kebudayaan dan Negara tanpa ada sekat ruang dan waktu yang membatasi kita. Akses informasi lebih cepat bahkan beberapa aktifitas yang begitu merepotkan secara konvensional dapat dilakukan lebih efektif dan efisien seperti taransfer uang via internet atau sms banking, memberli barang secara on line, analisis data dll. 

Pada akhirnya kemudahan yang dihadirkan oleh realitas virtual tersebut merampas setengah dari waktu kita berinteraksi dengan dunia nyata. Inilah budaya kontemporer, bergerak dan berubah dengan kecepatan yang semakin lama semakin tinggi. Percepatan tersebut telah mengkondisikan manusia untuk merespons secara cepat pula segala perubahan yang terjadi, membuat manusia tidak memiliki jeda yang bisa membuatnya merenung atau berefleksi secara mendalam tentang hidup dan kehidupan. Akhirnya, yang terbentuk adalah budaya yang dangkal, memuja permukaan dan citra, serta menguras energi psikis manusia melalui pelepasan hasrat.

Dalam bukunya Power, Madness, and Immortality: The Future of Virtual Reality Mychilo S. Cline mengungkapkan VR akan menyebabkan sejumlah perubahan penting dalam kehidupan dan aktivitas manusia. Cline menyimpulkan empat perubahan fundamental yang terjadi pada peradaban manusia akibat VR, yaitu :
· Manusia modern menghabiskan waktunya lebih banyak di dunia maya menyebabkan secara perlahan terjadi ‘imigrasi’ ruang virtual yang mengakibatkan perubahan penting dalam system ekonomi, budaya, paradigma dan ideology.
· Virtual reality akan diintegrasikan ke dalam kehidupan sehari-hari dan aktivitas dan akan digunakan manusia dalam berbagai cara.
· Teknologi yang berkembang seperti virtual genetika akan mempengaruhi pola perilaku, komunikasi unterpersonal dan pengetahuan manusia.
· Dunia maya / internet dapat digunakan dalam penegakan hak-hak asasi manusia ke dalam ruang virtual, untuk mempromosikan kebebasan manusia dan kesejahteraan, dan untuk meningkatkan stabilitas social

Saat ini telah terjadi peningkatan minat terhadap teknologi baru seperti VR, penelitian akan potensi dampak pada lingkungan socialpun telah banyak dilakukan dengan berbagai pendekatan, mengingat pengguna teknologi berbasis dunia maya semakin meningkat. Paling tidak peningkatan terhadap pengguna VR tercatat 15% setiap bulannya (Hof, 2006d; Gartner, 2007). 

a. Industri
Bisa dikatakan industri merupakan bidang yang mengambil paling banyak keuntungan dari perekembangan dunia virtual. Kemudahan dan fleksibilitas yang dimilikinya berhasil mengembangkan perusahaan virtual baik yang menggunakan jasa dunia maya seperti konsultasi on-line, dan pasar on-line, maupun perusahaan yang menyediakan jasa virtual seperti yahoo dan google.

Banyak perusahaan dan organisasi sekarang menggabungkan VR sebagai bentuk baru. Banyak keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan metode ini untuk komersialisasi. Menggunakan VR sebagai alat perusahaan memungkinkan pengguna untuk menguji reaksi dan memberikan tanggapan tentang produk yang ditawarkan. Tercatat tahun 2007 investasi komersial di "dunia maya" melebihi USD 425 juta dan menurun sekitar USD 184 juta pada di tahun 2008 diakibatkan oleh munculnya teknologi blog yang memberikan jasa website sederhana dengan gratis.

b. Pendidikan
Dunia maya mereupakan media baru dalam pengajaran dan pendidikan. Penggunaan dunia maya dalam interaksi social menjadi landasan yang kuat penerapan pendidikan kolaboratif. Dunia maya memiliki kemampuan untuk mengadaptasi dan berkembang ke berbagai kebutuhan penggunaan. Hal ini memungkinkan pengguna dunia maya dapat melaksanakan tugas-tugas yang mungkin sulit dilakukan di dunia nyata karena barbagai kendala dan keterbatasan, seperti biaya, maupun penjadwalan lokasi. Pengajar atau guru dapat memberikan kesempatan yang lebih besar untuk memiliki tingkat partisipasi peserta didiknya. Dunia maya juga dapat mengatasi persoalan property / alat pengajaran yang terbuat dari sumber daya alam yang semakin terbatas seperti kertas, papan tulis, kapur dll. 

Para siswa juga dapat mengakses kebutuhan pembelajara langsung. Merekapun memiliki pilihan untuk dapat menghadiri presentasi melalui dunia maya dari rumah atau dari tempat kerja mereka, dengan begitu pengguna dapat lebih mudah dan nyaman dalam melaksanakan proses pembelajaran. Hal ini juga membantu para siswa tetap pada informasi yang up to date dan relevan untuk kebutuhan pembelajaran. 

Salah satu lembaga yang menerapkan system pendidikan online seperti ini adalah Numedeon Incorporated yang meluncurkan whyville sebagai dunia Virtual petama yang eksplisit dirancang untuk siswa usia muda terlibat lebih aktif diproses pendidikan. Proses pendidikan di whyville dilaksanakan secara online di mana para siswa dapat berinteraksi, mereka menggunakan avatar untuk mengetahui tugas baru atau membuat proyek-proyek yang hanya dapat dilihat di dunia maya. Di sini meraka juga dibagi menjadi beberapa kelas dan jurusan. Sebagai contoh, siswa mengambil kelas fabrikasi komputer dapat masuk ke dalam dunia maya di mana mereka merupakan masyarakat dari desa virtual yang tengah berkembang dan memerlukan keahlian mereka untuk pembangunan rumah, furniture, komputer, dan barang lainnya

Fleksibilitas dunia virtual memberikan kemudahan dalam proses edukasi, namun tetap saja memliki kekurangan sebab interaksi fisik yang melibatkan emosional antara guru dan murid tidak dapat digantikan. Seperti ditunjukkan dalam sebuah studi yang dilakukan Chris Evans dan Jing Ping Fan ‘life long learning through the Virtual University’ mayoritas siswa sepenuhnya menolak gagasan tentang modus pembelajaran universitas virtual dengan alasan yang sama.

Namun gagasan yang dikemukakan oleh Yukiko Inoue tampaknya berusaha mendamaikan kedua pendapat, ia perpendapat hasil teknologi terutama VR sangat penting, para guru dan siswa harus sama-sama beradaptasi dengan ide-ide baru yang ditawarkan teknologi yang berpotensi menjadi alat yang berguna di bidang pendidikan. Ide yang terbaik yang ditawarkan adalah mengintegrasikan keduanya dengan menjadikan teknologi sebagai pengganti alat pendidikan yang berbasis kertas. 

c. Hukum
Tidak semua penerapan VR bernilai dositif dalam kehidupan social. Beberapa tindak criminal hadir bersama perkembangan IT di dunia. Penyebaran pornografi, gambar dan video kekerasan, pembunuhan karakter/pencemaran nama baik, pembobolan kartu kredit dan security perbankan, penipuan, beberapa tindakan asusilapun seperti seks virtual dan seks game banyak bererdar melalui teknologi VR.

Internet – yang menghadirkan cyberspace dengan realitas virtualnya – menawarkan kepada manusia berbagai harapan dan kemudahan. Akan tetapi di balik itu, timbul persoalan berupa kejahatan yang dinamakan cyber crime, baik sistem jaringan komputernya itu sendiri yang menjadi sasaran maupun komputer itu sendiri yang menjadi sarana untuk melakukan kejahatan. 

Beberapa Negara maju telah menerapkan undang-undang kejahatan dunia maya (cyber crime). Beberapa berpendapat Negara wajib bertanggung jawab terhadap apa yang boleh dan tidak di tampilkan di dunia maya dan berhak mengambil tindakan tegas terhadap perusahaan/web yang melanggar seperti yang dilakukan oleh Republik Rakyat Cina (RRC) yang mengawasi ketat informasi yang beredar di dunia maya. 

Tentunya jika kita melihat bahwa informasi itu sendiri telah menjadi komoditi maka upaya untuk melindungi aset tersebut sangat diperlukan. Salah satu upaya perlindungan adalah melalui hukum pidana. Negara-negara yang berhasil menangani persoalan cyber vrime ini antara lain :
1. Swedia, perusahaan keamanan internet, NetClean Technology bekerjasama dengan Swedish National Criminal Police Department dan NGO ECPAT, mengembangkan program software untuk memudahkan pelaporan tentang pornografi anak. Setiap orang dapat mendownload dan menginstalnya ke computer. Ketika seseorang meragukan apakah material yang ada di internet itu legal atau tidak, orang tersebut dapat menggunakan software itu dan secara langsung akan segera mendapat jawaban dari ECPAT Swedia.
2. Inggris, British Telecom mengembangkan program yang dinamakan Cleanfeed untuk memblok situs pornografi anak sejak Juni 2004. Untuk memblok situ situ, British Telecom menggunakan daftar hitam dari Interent Watch Foundation (IWF). Saat ini British Telecom memblok kira-kira 35.000 akses illegal ke situs tersebut. Dalam memutuskan apakah suatu situ hendak diblok atau tidak, IWF bekerjasama dengan Kepolisian Inggris. Daftar situ itu disebarluaskan kepada setiap ISP, penyedia layanan isi internet, perusahaan filter/software dan operator mobile phone.
3. Norwegia mengikuti langkah Inggris dengan bekerjasama antara Telenor dan Kepolisian Nasional Norwegia, Kripos. Kripos menyediakan daftar situs child pornography dan Telenor memblok setiap orang yang mengakses situ situ. Telenor setiap hari memblok sekitar 10.000 sampai 12.000 orang yang mencoba mengunjungi situ situ.
4. Swedia dan Norwegia bekerjasama dalam memutakhirkan daftar situs child pornography dengan bantuan ISP di Swedia. Situs-situs tersebut dapat diakses jika mendapat persetujuan dari polisi.
5. Denmark mulai memblok situs child pornography sejak Oktober 2005. ISP di sana bekerjasama dengan Departemen Kepolisian Nasional yang menyediakan daftar situs untuk diblok. ISP itu juga bekerjasama dengan NGO Save the Children Denmark. Selama bulan pertama, ISP itu telah memblok 1.200 pengakses setiap hari.

Indonesia sendiri telah diresmikan UU cyber crime atau kejahatan dunia maya ditahun 2008 lalu. UU ini mencoba menjawab masalah yang berkaitan kejahatan lewat internet, karena ini menyangkut juga masalah hak asasi orang lain, misalnya para penyebar foto mesum/porno via dunia maya bisa kejerat pasal-pasal yang terkait. Meski telah resmi diterapkan UU cyber di Indonesia dirasa kurang bias diterapkan mengingat bebrapa kendala seperti :
  1. Cybercrime merupakan kejahatan dengan dimensi high-tech, dan aparat penegak hukum belum sepenuhnya memahami apa itu cybercrime. Dengan kata lain kondisi sumber daya manusia khususnya aparat penegak hukum masih lemah.
  2. Ketersediaan dana atau anggaran untuk pelatihan SDM sangat minim sehingga institusi penegak hukum kesulitan untuk mengirimkan mereka mengikuti pelatihan baik di dalam maupun luar negeri.
  3. Ketiadaan Laboratorium Forensik Komputer di Indonesia menyebabkan waktu dan biaya besar. Pada kasus Dani Firmansyah yang menghack situs KPU, Polri harus membawa harddisk ke Australia untuk meneliti jenis kerusakan yang ditimbulkan oleh hacking tersebut.
  4. Citra lembaga peradilan yang belum membaik, meski berbagai upaya telah dilakukan. Buruknya citra ini menyebabkan orang atau korban enggan untuk melaporkan kasusnya ke kepolisian.
  5. Kesadaran hukum untuk melaporkan kasus ke kepolisian rendah. Hal ini dipicu oleh citra lembaga peradilan itu sendiri yang kurang baik, factor lain adalah korban tidak ingin kelemahan dalam sistem komputernya diketahui oleh umum, yang berarti akan mempengaruhi kinerja perusahaan dan web masternya.
  6.  
    3. Penutup
    3.1. Kesimpulan
    Virtual Reality berawal dari sebuah ambisi menciptakan dunia yang ideal dimana ruang dan waktu menjadi begitu fleksibel. Setiap orang mampu berinteraksi dengan orang dilain Negara, budaya, jenis kelamin, dan usia yang berbeda. Dunia yang tanpa sekat, tidak ada teritori Negara yang membatasi, tidak ada tabu dan ras di dalamnya. Saat ini, oleh media, batas-batas tersebut secara sosiologis lenyap. Tidak ada lagi perbedaan antara kanak-kanak dan dewasa, apa yang boleh dilihat atau diketahui oleh orang dewasa dan apa yang boleh dilihat dan diketahui oleh kanak-kanak. Kondisi ini menurut Jean Claude Levi-Strauss akan meinmbulkan disorientasi, sebab dalam lingkunagan social pentingnya pembatasan batas antara berbagai kategori telah memunculkan sederetan ritus-ritus yang dibuat untuk mempermudah proses transisi antar kategori. Umumnya, semakin besar kategori-kategori yang harus dilampaui, semakin penting ritus perbatasan ini. Dengan demikian, setiap masyarakat memiliki ritus-ritus tertentu untuk memberi makna pada suatu garis penghubung antara apa yang hidup dan apa yang tidak hidup, baik dalam kelahiran mau pun kematian. Juga, garis penghubung antara yang menikah dan yang belum, antara kanak-kanak dan dewasa, biasanya dinyatakan lewat ritus-ritus sebagai penanda atau pemaknaan bagi batas-batas kategori yang saling silang itu. Periode-periode perbatasan itu membantu anggota masyarakat untuk memberi makna pada orang yang sedang berubah tersebut, sehingga transisi seperti ini tidak menjadi suatu proses yang tiba-tiba bisa mengakibatkan disorientasi.

    Membayangkan apa yang bisa dilakukan dalam dunia tanpa batas sama seperti memulai sebuah peradaban baru. Tapi seperti awal kebudayaan itu sendiri tidak diketahui, ibarat berjalan dalam keadaan tidak sadar. Virtual reality merupakan sebuah kebudayaan baru dalam dunia kontemporer. Ia adalah hasil persinggungan teknologi dan peradaban modern. VR sebagai artefak kebudayaan kontemporer menegaskan hasrat, kecepatan, dan kesenangan, merupakan tujuan hidup di dunia yang super hitech

    Internet merupakan symbol material embrio masyarakat global. Internet membuat globe dunia, seolah-olah menjadi seperti hanya selebar daun kelor. Era informasi ditandai dengan aksesibilitas informasi yang amat tinggi. Dalam era ini, informasi merupakan komoditi utama yang diperjualbelikan sehingga akan muncul berbagai network & information company yang akan memperjualbelikan berbagai fasilitas bermacam jaringan dan berbagai basis data informasi tentang berbagai hal yang dapat diakses oleh pengguna dan pelanggan. Semua itu membawa masyarakat ke dalam suasana yang disebut oleh John Naisbitt, Nana Naisbitt dan Douglas Philips sebagai Zona Mabuk Teknologi.

    Yang menjadi persoalan kemudian, VR menjadi tujuan bukan lagi alat mencapai kehidupan ideal sebagai manusia. Orang tergila-gila untuk selalu up-to date terhadap perkembangan teknologi yang pada akhirnya budaya konsumerisme semakin menggila. Masyarakat kini berubah menjadi mesin hasrat dan hanya terpuaskan dengan memiliki dan menguasai peralatan super canggih. Manusia menjadi tergantung pada teknologi yang menghasilkankan realitas yang artificial seperti dunia maya yang menampilkan realitas yang lebih menarik dan interaktif dari kenyataan yang ada.

    Batasan antar yang nyata dan tidak dalam penggunaan virtual reality kini semakin mengabur, ketika realitas yang diciptakan oleh teknologi mampu ditarik keluar ke dalam dunia nyata akan merubah cara pandang manusia terhadap apa yang di sebut dengan nyata (being). Tentu saja kita tidak menginginkan terperangkap dalam paradigma positivisme yang membebaskan segala nilai dan norma dalam sains dan segala pengembangannya termasuk teknologi. Tentu saja kita menginginkan teknologi yang mempertimbangkan sisi kemanusiaan kita sehingga praktek dehumanisasi yang dilakukan kaum positivis dapat kita akhiri segera. 

    Referensi
    Yasraf Amir Pilian, Dunia yang Dilipat: Tamasya Melampaui Batas-batas Kebudayaan, Jalasutra—Yogyakarta, 2004
    Nick Bostrom, artikel ‘Are You Living in a Computer Simulation?’. July 2002
    James H. Burnett III ( 2007 - 05-15 ). " More real people are leading virtual lives ", The Miami Herald . May 2007 .
    Terence Hawkes, Structuralism and Semiotics, London: Routledge, 1988
    Nitibaskara, Tb. Ronny R., Problem Yuridis Cybercrime, Makalah pada Seminar tentang Cyber Law, diselenggarakan oleh Yayasan Cipta Bangsa, Bandung, 29 Juli 2000
    Naisbitt, John; Nasibitt, Nana; dan Douglas Philips, 2001, High Tech, High Touch, Pencarian Makna di Tengah Perkembangan Pesat Teknologi, Bandung: Mizan, Bandung;

    2 komentar:

    1. penulis blog ini siapa?? mohon dibalez

      BalasHapus
    2. ini punya saya (yunus patawari), ada kok alamat Fbnya... maaf baru balas.. jarang baca komen

      BalasHapus