Teori Film

Minggu, 25 Oktober 2009

Konsep Kritik (Authorship dan Hollywood)




Authorship merupakan ‘teori cinema’ yang telah lama dikenal dan berkembang, teori ini semakin berkembang sebagai aktualisasi dan tanggapan terhadap film, Hollywood, dan sinema dunia selama kurang dari 7 dekade. belakangan ini, sehingga dirasakan perlu adanya kontekstualisasi atas berbagai wacana yang berkenaaan dengan institusi yang mendukung konsep tersebut. Dalam pelaksanaannya, kajian ilmiah tentang Authorship menitikberatkan tentang pentingnya seorang sutradara dalam menyalurkan kreatifitas seni serta visinya pada penciptaan sebuah karya film.

Kritikus film dan para analisis kerap kali menggunakan prinsip Authorship dalam tulisannya yang mendaulat kewenangan kreatifitas dan esensi artistic sinema dalam system industry Hollywood. Batasan batasan teoritis dari prinsip ini tak terelakkan lagi bersinggungan dengan sukses komersil sebuah karya film, yang mana proses pelaksanaannya akan timbul berbagai macam benturan benturan sosila politis. Sejarah tentang konseptualisasi Authorship menurut garis besarnya merujuk pada tiga periode fase penulisan teori dan kritik dunia Barat sejak tahun 1950-an, yang anatara lain meliputi:
1. Analisa tekstual yang terfokus secara estettika berusaha mendeskripsikan hasil karya hingga tahun 1970-an.
2. Aliran impresionis dan empiris tercakup dalam kajian film pertengahan tahun 1970an
3. Pergerakan film pada pertengahan 80-an mencakup lembaga lembaga produksi dan sirkulasi, dan terkadang kebudayaan serta kehidupan masarakatnya memegang peranan penting dalam tekstur produksi sebuah film.


Analisa tekstual
Empat prinsip jenis karya Authorship dapat dihubungkan dengan analisa tekstur yang diantaranya mencakup: proto-auteurism, auteurism, auteur-structuralism, author as instance of politics. Menurut salah seorang penggagas sinema, Foucault, aktifitas rutin Authorship dalam menjalankan proses kratif serta visinya seringkali bersebrangan dengan asas tematik dan estetik yang telah tertanam pada bentuk feodal komersialism, sehingga penggunaan rasionalitas yang evaluative sebaiknya dapat dikembangkan untuk dapat mencapai keseimbangan antara kebebasan artistic dan kewajiban kapitalisme. Situasi dilematis ini secara tidak langsung melahirkan wacana wacana baru yang berkisar antara strukturalisme, psikoanalisa, serta kajian budaya.


Kajian mengenai konsep Authorship memilki 10 bentuk yang seelanjutnya diuraikan secara mendalam;

1. Proto Auteurism
Cikal bakal teori ‘auteurism’ ini pertama kali muncul secara sporadis pada berbagai tulisan kritik film Eropa sejak tahun 1920-an. Namun gerakan sinematik awal ini tidak bermuatan unsure sistematik dan polemic yang mutlak dimiliki sutradara ‘auteur’ , dan hanya berfokus pada sutradara yang secara teori (diatas kertas) memiliki kebebasan kreatif dibanding yang lain dalam system studio Hollywood klasik, seperti: Chaplin, Griffith, Eriv von Stroheim, King Vidor, Orson Welles, John Ford, Eisenstein, Pudovkin, Abel Gance dan Marcel Carne. Intinya, gerakan perintis ini merupakan perpindahan rasionalitas kajian Authorship kedalam bentuk lain proses kreatif artistic lainnya, seperti yang disimbolkan oleh Alexandre Astruc dalam karyanya ‘camera-pen’ (1948).

Konsep Proto-Auteurism ini berkembang di Prancis, Uni Soviet, dan Inggris sejak tahun 1920-an hingga kini. Hal ini dimungkinkan terjadi oleh benih semangat kemerdekaan berekspressi diizinkan untuk tumbuh dan berkembang, sehingga sector industry film, aktifitas seni teatrikal, beserta diskusi bedah estetika dapat leluasa menunjukkan geliat kreatifitasnya.

Situasi progresif di Eropa ini kontras berlainan dengan yang berlangsung di Hollywood, sekitar tahun 1930-an hingga pertengahan tahun 1950, dimana peran otoriter dan kapitalis produser dalam system studio klasik sangat mendominasi dan terkesan mengekang kebebasan kreatif sang sutradara dalam menampilkan konsistensi style., tema dan visinya kepada public sinema.


2. Auteurism
Pada awal tahun 1950-an, para pemerhati film dan kritikus sinema, seperti Rivette, Godard, Truffaut, beserta yang lian sepakat untuk menentang konsep ‘psychological realism’ yang saat itu dianut oleh industry sinema Prancis yang sangat bergantung pada naskah scenario. Gerakan pelopor ‘French New Wave’ ini bernaung dibawah bendera majalah film di Prancis ‘Cahiers du Cinema’ dan pada prosesnya melahirkan beberapa sutradara ‘unorthodox’ yang mampu meniupkan ruh perubahan sinema Prancis yang pada saat tersebut terkesan memberhalakan kaum aristocrat atau ‘monarchy’ .

Teori ‘Auterism’ menjadi elemen dasar terbentuknya ‘French Nouvelle Vague’ yang lambat laun mulai terasimilasi/berbaur dan diadopsi oleh sutradara Hollywood pada akhir tahun 1960-an, seperti Robert Altman, Arthur Penn, Martin Scorsese, Woody Allen.

Ada tiga factor muasal terjadinya proses adaptasi konsep ‘auteurism’ ini kedalam Hollywood. Pertama, import film Eropa kedalam industry film Amerika telah merangsang pertumbuhan paham baru tentang unsure estetika sinema yang lebih menjunjung tinggi kebebasan artistic sang sutradara(auteurism). Kedua, diakuinya hasil karya beberapa sutradara ‘auteur’ yang mencerminkan kegelisahan sosio-politik saat itu.

Ketiga, adalah factor dimana gagalnya system studio klasik Hollywood yang berdampak pada krisis dipertengahan tahun 1960, sehingga memeberikan peluang bagi masuknya konsep ‘auteurism’ ini ke sinema Amerika/Hollywood.

3. ‘Auteur structuralism’
Konsep ini mulai berkembang dari kaum intelktual sayap kiri di London di akhir tahun 1960, yang kemudian mulai merambah secara akademis kedalam kajian teori Eropa, dan dari hal tersebut muncul etos kerja dan budaya yang dipelihara oleh ‘The British Film Institute’s Education Departement’ yang mana analisa serta kajian film lebih serius di pelajari. Konsep ‘Auteur structuralism’ mengupas tentang pentingnya peran analisa teori dalam bedah struktur dan karakteristik sebuah film. Menurut Nowell-Smith dalam bukunya tentang Luchino Visconti yang merupakan contoh awal tentang konsep ‘auteur structuralism’: tujuan dari sebuah kritik antara lain adalah untuk mencari benang merah dari sekian banyak pola dan motif yang terkesan remeh, superficial, namun dengan penelitian secara seksama akan muncul struktur serta konsistensi yang menjadi karakter atau cirikhas seorang ‘auteur’.

4. Authorship sebagai symbol politik ataupun kesenangan.
Berakhirnya revolusi telah mewariskan spekulasi intelektual berkenaan dengan gagalnya menyingkirkan paham capitalism yang diadopsi oleh Prancis. Kejadian ini menyebabkan factor ‘urgency’ atas ideology yang selama ini berperan aktif dalam membantu beberapa elite politik dalam menjalankan roda kekuasaan. Tokoh politik Jean louis Commoli dan Jean Narboni (1969) mengkategorikan film berdasarkan atas: keefektifan politiknya dalam menyebarkan atau menentang ideology yang berkuasa saati itu. Dinamika antar hubungan naskah scenario dengan subjek teori ini memiliki daya tarik tersendiri yang mendeskontruksi atau merancang ulang posisi sang pengarang ‘Author’ dalam ranah social politik.

5. Author as effect of the text
Konsep ‘author’ ini tak terlepas dari peran seorang filsuf yang juga paka r semiotic Roland Barthes, yang tulisannya diterjemahkan oleh Stephen Heath. Barthes mengungkapkan pendapatnya bahwa seorang ‘Author’ akan semakin teruji kualitasnya dalam melaksanakan idealism dan visinya apabila ia mampu keluar dari tekanan psikologis dan memposisikan dirinya sebagai objek langsung dari sebuah hasil karya teks atau kajian teori. Dari point ini saya menilai bahwa, bertolak belakang dengan norma yang berlaku, Barthes mengikrarkan kelahiran pembaca yang mengambil kesempatan dari meninggalnya seorang pengarang. (inverting the norm, Barthes Pronounces the birth of the reader at the expense of the death of the author. ‘1968’). Hal ini merujuk pada pemahaman linguistic Saussure dimana tanda dan penanda yang membentuk arti.


6. Author as author-name.
Walaupun menuruti keinginan Barthes dalam merubah gagasan awal, Foucault menolak bersepakat dengannya tentang kegembiraan yang semu. Fokus Foucault berkisar antara hubungan kekuasaan dan proses kreatif author. Ia berpendapat bahwa seorang pengarang-author berfungsi sebagai komunikator sebuah wacana teks dan penggunaan identitas diri dalam karyanya dapat dianggap sebagai symbol eksistensi individual. Teknik jurnalistik seringkali mengadosi konsep ini dikarenakan adanya pembagian unsure ‘author’ yang kompleks dan individual, sehingga analisa sejarah dan track record sang sutradara juga menjadi pertimbangan dalam konsep theory ‘Author as author-name’ yang kritis dan bersirkulasi komersil. Sebagai contoh Film dari Jane Campion tentu berbeda dengan film film Quentin Tarantino dengan melihat aspek aspek tersebut.

7. Author sebagai subjek social
Penitikberatan pada factor subjektifitas social seorang author biasanya dapat dideteksi dari penulisan teks film yang berbuntut pada kualifikasi ‘auteurism’. Menurut Nowell-Smith, seperangkat konsep, gagasan, struktur maupun formasi ideologis merupakan syarat mutlak yang mesti dimiliki dalam sebuah kajian teori. Refleksi kegelisahan seorang author atas gejala social politik ditempat dia berada tentunya dapat mengakibatkan polemic tertentu yang berujung pada terbentuknya pada peleburan dua visi yang bertolak belakang secara bertahap.

8. Author dalam system produksi.
Apabila bentuk bentuk sebelumnya sang pengarang-author ditempatkan dalam posisi yang berkaitan dengan masarakat dan kebudayaan, maka bentuk yang satu ini menghubungkan kinerja author dengan system produksi. Dalam konsep sejarah materialism ini, sang author dituntut untuk bisa bekerja dalam lingkungan industry yang terkadang bersifat membatasi dengan telaah yang lebih mendalam terhadap aspek estetik yang dimilik oleh ‘Author’.


9. Author as gendered
Feminisme bisa dikatakan sebagai konsep paling berpengaruh pada teori film semenjak dua decade terahir dimana institusi film serta subjek social menjadi focus utama. Kaum feminis membawa dampak yang signifikan bagi produksi sinema independen dibanding Hollywood. Sistem ‘patriarki/male egotism’ dalam industry film Hollywood telah menjadi monopoli dan inilah yang menyebabkan landasan bagi kaum feminism untuk menentang kebijaksanaan ini.

10. Analisa sejarah ‘Authorship’.
Konsep ‘author sebagai nama’ telah membuka kemungkinan atas gagasan pemikiran ‘authorship’ dalam kaitannya dengan sejarah dan budaya. Sejak tahun 1970 kondisi konsep ‘authorship’ telah mengalami perubahan total. Berangkat dari suksesnya konsep ‘auteurism’ dan penyerapan konsep tersebut dalam industry Hollywood, teori ‘authorship’ lambat laun mulai meraih nilai komersil, sehingga mengorbitkan beberapa sutradara menjadi ‘cult personality’ di era 1970-an, seperti Coppola, George Lucas. Kontribusi media dalam melambungkan nama nama mereka cukup besar (TV review, interview profile, majalah, iklan maupun sponsor), sehingga sulit dihindari terjadinya modifikasi budaya sebagai paket marketing dipasar global.


Kesimpulan (kekuatan moral ‘authorship’).
Mengapa gagasan tenteng ‘authorship’ demikian kuat bertahan hingga kini? Hal ini antara lain disebabkan oleh adanya keterkaitan budaya yang demikian tertanam dalam kajian kajian mengenai teori film-perfilman. Dengan kian surutnya alternative sosialis dari masarakat konsumen, individu author dapat menikmati kebebasan berkreasisecara leluasa. Intinya, perpaduan antara kemerdekaan artistic serta estetika seorang author dengan kewajiban komersilnya dalam industri perfilman sekiranya mampu menawarkan gejolak revolusioner atas ketergantungan norma norma social budaya pada kekuasaan otoriter suatu system (otoriter system studio ataupun institusi pemerintahan.

2 komentar:

  1. Refr: THE OXFORD GUIDE TO FILM STUDIES
    Edited by: John Hill & Pamela Church Gibson
    Oxford University Press. 1998
    Hal 310- 325

    BalasHapus
  2. Thanx ya...konsep kritik nya membantu thesis aku banget...dapet bukunya dari mana? Boleh minta bebrapa referensi ga? -Jonathan-

    BalasHapus