Teori Film

Minggu, 23 Desember 2018

Kajian Genre Film


Bila kita melihat ke belakang sebentar, dunia film kita pada era 90-an sempat lesu bahkan mati suri . film-film yang diproduksi pada masa itu ga ada yang menarik, genre-nya semua sama, yakni tak jauh soal Seks , padahal sebelum tahun ‘90 film Indonesia menarik perhatian masyarakat… masih ingat peran Rano Karno dengan Meriam Bellina dalam film Taksi, trus film fenomenal kita, Catatan Si Boy, belum lagi Babad Tanah Leluhu, Ramadhan dan Ramona (Jamal Mirdad & Lidya Kandou), Kejar Daku Kau Ku Tangkap (Dedy Mizwar & Lidya Kandou), yang bagi orang saat itu termasuk film terbaik kita dan pada tahun ‘90 film film  yang diproduksi berubah aliran semua dan banyak bintang bintanf  film yang tidak dikenal menjadi pemeran utamanya, seperti Reynaldi, Ibra Azhari, Ayu Azhari dll .
Berbicara mengenai jenis film dan perkembangannya, banyak hal yang dapat kita soroti sesuai dengan kondisi dan fenomena yang terjadi di masyarakat pada saat ini. Di titik ini, kalau kemudian kita ditanya sehubungan dengan berbagai jenis tayangan film Nasional hingga saat ini, apa yang telah kita dapatkan dari sajiannya tersebut?
Seringkali kita simak berbagai film yang kini sedang menuai reaksi keras dari banyak kalangan, baik dari ormas Islam, kalangan pendidikan maupun kalangan masyarakat lainnya. Tayangan dengan berbagai kemasan tersebut antara lain berupa tayangan-tayangan yang bernuansa mistik, pornografi, kekerasan, dan tema remaja terutama yang direpresentasikan dalam dunia sekolah. Hal ini bisa dimaklumi karena tayangan-tayangan tersebut memang sudah sangat mengkhawatirkan bahkan boleh dibilang keterlaluan.
Tayangan mistik misalnya, betapa telah mendistorsi pola pikir masyarakat tentang keberadaan dunia lain. Ihwal dunia gaib diekploitasi sedemikian rupa secara terus menerus. Sehingga istilah penampakan sudah sedemikian familier di benak penonton Keadaan ini tentunya dikhawatirkan akan menyesatkan, bahkan lebih fatal lagi bisa mengarah kepada kemusyrikan. Sangat ironis bahwa di tengah upaya mengajar berbagai ketertinggalan oleh bangsa-bangsa lain di dunia, secara sistematis masyarakat kita diracuni oleh hal-hal yang irasional, diajak melanglang ke batas antara ada dan tiada. Keadaan ini dalam banyak hal jelas bisa mengakibatkan kontraproduktif.
Akan halnya tayangan yang mengandung unsur pornografi, sudah sejak lama mengundang keresahan, simaklah beberapa tayangan film yang  mengekploitasi unsur seksualitas. Atau acara yang mengupas tentang dunia malam dengan gambar dan bahasa yang sangat gamblang. Ada juga acara yang menelusuri liku-liku wilayah seksualitas. ketika mengilustrasikan kasus perkosaan, perdagangan wanita dan sebagainya. Bukankah untuk mengilustrasikan kasus-kasus serupa itu bisa ditampilkan dengan bahasa gambar yang lebih santun, lebih filmis , dan mengarah pada substansinya, bukan mengeksploitasi kekerasannya atau eroitsnya.
Dari fakta yang ada maka kita akan menyadari begitu besarnya pengaruh film ataupun tayangan lainnya, kalau orang dewasa saja masih banyak yang terpengaruh oleh ekses negatif tayangannya, maka apa yang dapat kita bayangkan ketika tanpa disadari anak-anak  turut menonton tayangan-tayangan yang seharusnya tak boleh mereka saksikan? Padahal mereka relaif belum mampu memaknai sebuah tayangan dengan seutuhnya. Mereka masih berada dalam tahap pencarian objek identifikasi dan belum mempunyai saringan yang cukup kuat dalam jiwanya. Lalu bagaimana kalau mereka salah memilih objek identifikasinya dan kemudian mengikuti perilakunya?
Dalam paper ini penulis menoba mengangkat euphoria film film erotic di era 90-an awal , dimana jenis film film tersebut begitu laku dan diminati serta bisa dibilang tidak mempunyai saingan di jenis film yang lain. keterkaitan pemerintahpun pada saat itu tidak seketat saat ini, melihat banyak film film sekarang yang dicekal karena dianggap terlalu porno, meskipun kita tahu film film era 90-an lebih gawat dari film film yang ada saat ini.
Dimulai tahun 80-an ketika banyak beredar film barat termasuk film film  erotis yang mengeksploitasi tema seks di Indonesia. Para insan perfilman yang kehabisan ide (dan memang budaya Indonesia untuk meniru), mencoba-coba memproduksi film film erotis. Pada awalnya ceritanya berbobot. Lama-kelamaan yang diekspos bukan ceritanya, melainkan gambar dan adegan yang diperberat. (Misalnya adegan mandi kembang 7 rupa di telaga. Dan saat itu memang terlihat betulan bentuk tubuhnya, tanpa sensor.) Saat era kejayaan film erotis ,Orang-orang-para lelaki mulai berduyun-duyun ke bioskop yang karcisnya murah hanya untuk melihat tubuh wanita dalam film  saja.
Sampai Era kejayaan sinetron dimulai tahun 1990 dan merubuhkan film erotis Walaupun begitu, masih terlampau banyak film film sejenis yang beredar lewat jalan alternatif .Meski tumbuh sebagai barang dagangan, film Indonesia hingga kini belum berhasil membangun arah dan fondasi industri yang stabil. Barangkali ini gejala umum dalam sebuah negeri dengan rancang kebudayaan dan rancang ekonomi yang berantakan.
Film film mengenai seks erotica sempat marak menghiasi wajah perfilman kita. tema tentang eksploitasi dan pelecehan seksual tersebut memang banyak menarik perhatian masyarakat. Pemberitaan tentang seks banyak diminati karena dapatmenimbukan rangsangan tersendiri. Seks disini tidak terbatas pada perilakunya saja, melainkan juga pelakunya.
 Sejak pergaulan metropolis sekitar 90an film film  indonesia mulai memasuki “genre” baru, , karena waktu itu film dengan jenis seperti itu mulai muncul karena kesuksesan dari  pergaulan metropolis. Pada masa '80an genre film indonesia bermacam macam   namun film indonesia tetap  kurang laku.  pada periode '90an muncullah hanya satu genre yang membuat tidak habis  untuk membahasnya Sementara pada proses pertumbuhan film Indonesia tidak mengalami proses kelahiran kembali, yang awalnya dicap rendahan menjadi sesuai dengan nilai-nilai seluruh lapisan masyarakat, termasuk kelas menengah ke atas, juga intelektual dan budayawan.
Fakta bahwa film adalah benda hiburan oleh sebagian orang disebut sebagai dosa asal film Indonesia. Barangkali istilah watak sejarah lebih tepat ketimbang dosa asal yang mengacu pada cacat bawaan yang tak dapat diubah. Yang jelas, film adalah produk budaya sekaligus produk industri. Meski tumbuh sebagai barang dagangan, film Indonesia ternyata hingga kini belum juga berhasil membangun arah dan fondasi industri yang stabil. Barangkali ini gejala umum dalam sebuah negeri dengan rancang kebudayaan dan rancang ekonomi yang berantakan sehingga film cenderung turut berantakan. Artinya, baik secara budaya maupun secara ekonomis film Indonesia memang memerlukan "pemberdayaan".
Melihat situasi obyektif perfilman kita sekarang ini, pemberdayaan semacam apa yang dapat dilakukan? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita harus mengidentifikasi berbagai problem mendasar perfilman kita. Berikut beberapa problem mendasar yang dapat ditambahkan, selain watak sejarah yang disebut di atas
Dalam penelitian ini penulis tidak menjelaskan hubungan. Tidak juga melakukan pengujian hipotesis atau membuat sebuah prediksi. Melainkan penulis berusaha mencoba mamaparkan situasi atau peristiwa. Maka dapat dikatakan penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian dengan metode deskriptif. Penelitian deskriptif memberikan gambaran dari suatu keadaan yang ada pada waktu penelitian dilakukan dan menjelajah penyebab dari gejala-gejala tertentu
Pendekatan yang dipakai dalam metodologi analisis ini adalah pendekatan kualitatifDengan demikian, pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif yang dipakai penulis dalam penelitian ini hanya memaparkan situasi atau peristiwa, membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis.
Penulis mengangkat tema ini dengan melihat kondisi perfilman kita, Film seolah berada di luar hiruk pikuk pemikiran sosialm politik kebudayaan pada masanya dan dibuat semata-mata sebagai hiburan,pelipur lara. seperti muncul dan sempat berjayanya  film film bertemakan eksploitasi sex di era 80-90an. keterbatasan ruang lingkup dalam berkreasi didalam film masih menjadi pergulatan pemerintah (dept Penerangan saat itu) untuk membatasi setiap bentuk bentuk yang bisa menjadi propaganda massa seakan akan masarakat kita tidak perlu mengetahui apa yang seharusnya mereka ketahui seperti keadaan politik dan ekonomi bahkan sejarah bangsa ini sendiri, sehingga ruang lingkup untuk berkretifitas menjadi sempit dan intelektualitas masarakat tidak berkembang, anggap saja pembodohan massal melalui sejarah film G30 sebagai sebuah kasus keterlibatan orde baru. sehingga munculnya euphoria sesaat dengan bermunculannya film film erotis dei era 90 an merupakan semacam anti klimaks jika melihat dari budaya metropolis telah menyebar ditandai dengan tingginya Urbanisasi di kota kota besar , yang tidak disertai dengan perkembangan dibidang lain, tehnologi media misalnya, kita Cuma bisa terhibur oleh sajian berita dari TVRI membuktikan bahwa  masarakat membutuhkan hiburan  yang lain selain informasi yang belum tentu bisa diterima banyak kalangan.
Budaya metropolis khususnya dikota kota besar sangat mempengaruhi industri perfilman saat itu, film adalah barang dagangan dimata produser, mungkin mereka tidak mau terlalu ribet bila harus mengangkat tema yang bentrok dan tidak sesuai dengan budaya orde baru yang belum tentu juga menguntungkan dari sisi penjualan. dan bisa jadi tema erotism menjadi sebuah jalan tengah yang baik dalam meraih keuntungan dalam bisnis film. karena di tahun 80 - 90an awal ini film dianggap mati suri, dengan melihat jumlah produksi film dibanding dengan tahun tahun sebelumnya yang terus menurun, sehingga wajar jika produser Film tidak ingin merugi dengan memunculkan hiburan yang benar benar dianggap menguntungkan, sehingga banyak film ditahun ini meskipun berbeda tema namun secara benang merah memunculkan dan menjual nilai erotis didalam film tersebut, sebut contoh film film warkop yang sangat identik dengan wanita wanita cantik, film kolosal semacam Saur Sepuh dsb tak terlepas dari unsure erotis yang sangat dilebih lebihkan dalam meraih pasar. apalagi jika kita melirik film film yang dari judulnya saja sudah menggelitik birahi.
PEMBAHASAN
Film merupakan media komunal dan cangkokan dari berbagai teknologi dan unsur-unsur kesenian. Ia cangkokan dari perkembangan teknologi fotografi dan rekaman suara. Juga komunal berbagai kesenian baik seni rupa, teater, sastra, arsitektur hingga musik. Maka kemampuan bertumbuh film sangatlah bergantung pada tradisi bagaimana unsur-unsur cangkokan teknologi dan unsur seni dari film -yang dalam masyarakat masing-masing berkembang pesat- dicangkok dan dihimpun. Dengan demikian tidak tertinggal dan mampu bersaing dengan teknilogi media, dan seni lainnya. tema yang diangkat pada tulisam ini adalah film erotis Indonesia di era 80 an akhir – 90 an awal, disini penulis mencoba membahas dari sisi sejarahnya terlenih dahulu .dibawah ini saya memulainya dari sejarah / produksi perfilman sebelumnya.
Sejarah film Indonesia menunjukkan unsur-unsur cangkokan dan komunal dari film tak mengalami pertumbuhan berarti. Akibatnya ketika masyarakat dimanjakan unsur visual dan audio, dari perkembangan teknologi media dan seni lainnya seperti televisi, seni rupa, dan lain-lain, masyarakat Indonesia tak mendapatkannya dalam film.
Ada dua aspek penting dari awal sejarah film untuk melihat bagaimana status dan peranan film ditumbuhkan.
- Film dilahirkan sebagai tontonan umum (awal 1900-an), karena semata-mata menjadi alternatif bisnis besar jasa hiburan di masa depan manusia kota.
- Film dicap 'hiburan rendahan' orang kota. namun sejarah membuktikan bahwa film mampu melakukan kelahiran kembali untuk kemudian mampu menembus seluruh lapisan masyarakat, juga lapisan menengah dan atas, termasuk lapisan intelektual dan budayawan. bahkan kemudian seiring dengan kuatnya dominasi sistem Industri Hollywood, lahir film-film perlawanan yang ingin lepas dari wajah seragam Hollywood yang kemudian melahirkan film-film Auteur. Yakni film-film personal sutradara yang sering disebut sebagai film seni.
Kata Pornografi dan erotis secara harfia memang berbeda arti namun menjurus pada sebuah persamaan makna Belakangan kedua istilah ini digunakan untuk publikasi segala sesuatu yang bersifat seksual, khususnya yang dianggap berselera rendah atau tidak bermoral, konsumsi bahan tersebut dimaksudkan hanya untuk membangkitkan rangsangan seksual. Sekarang istilah ini digunakan untuk merujuk secara seksual segala jenis bahan tertulis maupun grafis. Istilah "pornografi" seringkali mengandung konotasi negatif dan bernilai seni yang rendahan, dibandingkan dengan erotica yang sifatnya lebih terhormat.
Erotisme-Pornografi di Indonesia
Pornografi di Indonesia adalah ilegal, namun penegakan hukum sangat lemah dan interpretasinya pun tidak sama dari zaman ke zaman. Pada 1929  diputar di Jakarta film Resia Boroboedoer yang menampilkan untuk pertama kalinya adegan ciuman dan kostum renang. Film ini dikecam oleh pengamat budaya Kwee Tek Hoay  yang menganggapnya tidak pantas ditonton.
Pada 1954 Nurnaningsih menimbulkan kehebohan di masyarakat umum karena berani tampil berani dalam beberapa filmnya yang antara lain disutradarai oleh Usmar Ismail (Krisis) dan Djadug Djayakusuma (Harimau Tjampa).Pada 1955, adegan ciuman antara Frieda dan S. Bono dalam film Antara Bumi dengan Langit disensor karena reaksi berat dari masyarakat.
Pada awal 1970-an, perfilman Indonesia berhasil untuk pertama kalinya menggunakan teknik film berwarna. Dunia film Indonesia bangkit dari kelesuan yang panjang. Pada 1974, Rahayu Effendy menjadi simbol seks ketika tampil bugil dengan Dicky Soeprapto dalam Tante Girang. Suzanna tampil sebagai bintang film berani dalam adegan ranjang seperti misalnya dalam film Bernapas Dalam Lumpur (1970) yang diarahkan oleh Turino Djunaedy dan Bumi Makin Panas karya Ali Shahab Meskipun demikian penampilan adegan bugil dalam sebagian dari film-film yang bertema panas itu bukan sekadar eksploitasi murahan. Suzanna, misalnya, meraih penghargaan sebagai Aktris Terbaik se-Asia pada Festival Film Asia Pasifik di Seoul 1972
Di pihak lain, pada tahun 1980-an ini juga muncul film-film yang menampilkan aktris-aktris cantik dan seksi, dengan pakaian minim, seperti yang terdapat dalam film-film Warkop, namun semuanya lolos sensor, meskipun muncul berbagai protes dari masyarakat. Sejumlah film muncul dengan judul-judul yang menjurus ke pornografi, juga merajalela pada masa itu, seperti Bernafas di Atas Ranjang, Satu Ranjang Dua Cinta Wanita Simpanan. Nafsu Birahi, Nafsu Liar, dll. Sejumlah pemain yang muncul dalam film seperti itu, antara lain Inneke Koesherawaty, Ibra Azhari, Lisa Chaniago, Febby Lawrence Teguh Yulianto, Reynaldi, Kiki Fatmala, dll.
TVRI yang merupakan satu-satunya saluran televisi hingga akhir 1980-an, menampilkan sensor yang sangat ketat terhadap film-film yang disiarkannya. Misalnya, adegan ciuman sama sekali diharamkan sehingga seringkali muncul adegan yang menggelikan, ketika -- karena gunting sensor -- sebuah pasangan ditampilkan seolah-olah menghindari tabrakan bibir. Sementara itu, kehadiran teknologi video telah semakin mempermudah akses terhadap film-film asing yang tidak disensor. Acapkali diberitakan di surat kabar tentang masyarakat pedesaan yang menayangkan film-film biru pada acara-acara perhelatannya dengan menyewa video. Begitu pula bus-bus malam dan hotel-hotel seringkali menyiarkan video-video panas, sementara Badan Sensor Film  tampak tidak berdaya.
Konseptual Film
Konseptual jenis film ini merupakan suatu kemasan cerita yang memiliki tujuan yang mengeksplore atau menjual sesuatu yang “tak lazim” didapatkan dalam keseharian, jelas untuk memberikan suatu tontonan berdasarkan sisi lain yang banyak diminati. Film erotis merupakan suatu tayangan yang bertujuan untuk menghibur dengan memberikan fantasi tertentu kepada seseorang baik itu kognitif, afektif, maupun psikomotor, dan bersifat profit oriented. .mulanya adalah sebuah eufemisme dan secara harafiah berarti porno grafi  '(sesuatu yang) dijual.' Kata ini berkaitan dengan kata kerja  yang artinya menjual. Kata ini berasal dari dari istilah Yunani untuk orang-orang yang mencatat "pornoai", atau pelacur-pelacur terkenal atau yang mempunyai kecakapan tertentu dari Yunani kuno  Pada masa modern, istilah ini diambil oleh para ilmuwan sosial untuk menggambarkan pekerjaan orang-orang seperti Nicholas Restif dan William Acton, yang pada abad ke-18 dan 19 menerbitkan risalat-risalat yang mempelajari pelacuran dan mengajukan usul-usul untuk mengaturnya. Istilah ini tetap digunakan dengan makna ini dalam Oxford English Dictionaryhingga 1905
Hal ini berarti bahwa tokoh yang sangat berperan kuat dalam genre film ini adalah wanita dimana setiap bentuk dan liuk tubuh wanita mampu dijadikan sesuatu yang komersil, hal ini tak luput dari Emansipasi dan Feminism yang telah berkembang di Indonesia , dimana wanita sama hak dan kewajibannya dengan pria dalam pencapaiannya. namun terkadang salah difungsikan oleh para wanita itu sendiri dalam melihat konsep yang lebih luas dari sebuah Emansipasi , yang menurut saya pemikiran wanita wanita tersebut dalam kaitan dengan tema penulisan ini hanya sebatas bisa hebat dari Pria, bisa lebih kaya , terkenal dan berkarir melebihi kaum Pria, sehingga dari beberapa analisa menjadikan wanita sebagai sebuah Media Kapital.  Di era 90-an  ini perempuan hadir sebagai objek seksual. banyak yang merasa “kehilangan” jika perempuan tidak lagi tampilkan sebagai objek seksual. Tanpa ada perempuan seksi dalamfilm, tidak ada proses desakralisasi seks yang dI butuhkan untuk menciptakan masyarakat konsumtif yang boros dan mengejar kepuasan saja ,Tanpa menjadikan perempuan sebagai objek seksual, objek hiburan, dan korban kehidupan, film akan kurang diminati oleh penonton.          
Objek Tontonan
Maraknya tayangan yang mengusung erotisme tubuh wanita tak bisa dipisahkan dari budaya masyarakat patriarki yang memosisikan peranan wanita secara marjinal dalam bidang produksi, tetapi dominan sebagai objek konsumsi atau objek tontonan. Posisi ini menempatkan wanita sebagai “komoditi” di dalam ekonomi seperti industri hiburan, tontonan dan citraan. Dominasi wanita sebagai objek tontonan inilah yang kini menjadi ideologi utama banyak media di Indonesia termasuk media film.
Kemajuan teknologi informasi telah memfasilitasi terbentuknya masyarakat tontonan (society of spectacle) di negeri kita. masyarakat tontonan adalah masyarakat yang di dalamnya setiap sisi kehidupan menjadi komoditi, dan setiap komoditi itu menjadi tontonan.  Dalam masyarakat tontonan, wanita mempunyai fungsi dominan sebagai pembentuk citra (image) dan tanda (sign) berbagai komoditi. Tubuh wanita sebagai objek tontonan dalam rangka menjual komoditi, atau tubuh itu sendiri sebagai satu komoditi tontonan, mempunyai peran sangat sentral dalam masyarakat tontonan.
Di sini kita bisa memahami kenapa jenis jenis film yang beredar pada era tersebut menayangkan adegan yang berpusat pada erotisme, goyangan tubuh  sebagai komoditi yang tangguh untuk menjerat pemirsa (pria). Tujuannya tak lain, mengejar keuntungan besar dari sebuah penjualan dimana pada saat itu bisa dibilang tidak adanya persaingan yang berarti di dunia film hingga bermunculannya stasiun TV swasta, dengan tayangan tayangan sinetron yang lebih bervariasi dan menandai luruhnya euphoria genre film semacam ini.  goyang yang erotis ditambah kostum ketat nanseksi, menjadikan tubuh sebagai tontonan. Untuk apa? Tak lain, sebagai jalan pintas untuk memasuki pintu dunia budaya populer, mencari popularitas, mengejar gaya hidup, dan memenuhi kepuasan material, tanpa menyadari bahwa mereka sebetulnya telah dikonstruksi secara sosial untuk berada di dunia marjinal, yakni dunia objek, dunia citra, dunia komoditi. Hal yang sama pernah dilakukan para artis bintang film panas di tengah meredupnya dunia perfilman Indonesia beberapa tahun lalu.

Kapitalisasi Tubuh
Dalam ekonomi kapitalisme, tubuh wanita dipenjara sebagai tanda atau fragmen-fragmen tanda. Kapitalisme telah membebaskan tubuh wanita dari tanda-tanda dan identitas tradisionalnya (tabu, adat, moral, etika, spiritual) serta memenjarakannya di dalam “hutan rimba tanda-tanda” yang diciptakannya sendiri. Karena itu, jangan heran jika masyarakat berpolemik , semisal soal goyang dangdut Inul, yang sebenarnya jelas-jelas berada di luar koridor etika, adat, moral dan spiritual, karena mengobral pantat pada sembarang orang.
Ekploitasi tubuh oleh Tokoh dalam berbagai varian goyang merupakan erotisasi tubuh wanita dalam media film. Erotisasi dilakukan dengan mengambil segmen – segmen tubuh sebagai penanda (signifier) dengan berbagai pose dan model goyang, lengkap dengan asumsi maknanya. “Penelanjangan” melalui ragam atraksi goyang telah mengkonstruksi tubuh wanita secara sosial dan kultural sebagai objek fetish, yaitu objek yang dipuja penonton karena dianggap mempunyai kekuatan pesona, rangsangan, hasrat atau citra tertentu. Dalam hal ini, diposisikan bukan sebagai subjek pengguna bahasa, tetapi sebagai obyek tanda (sign object) yang dimasukkan ke dalam sistem tanda (sign system) di dalam sistem komunikasi ekonomi kapitalisme. Semua anggota tubuh , khususnya wilayah tubuh seputar pinggul dan dada yang menjadi tumpuan identitas goyang, menjadi fragmen-fragmen tanda yang menjadi objek fetish. Di sini, nilai tubuh dikembangkan ke dua arah: sebagai “nilai guna” (erotisme) dan “nilai tukar” (tubuh sebagai tanda).

Emansipasi Wanita
Erotisme goyangan tubuh  ini mengingatkan kita pada apa yang dilakukan pemain film yang juga penyanyi pop dunia Madonna di tahun 90-an . Lewat penampilan erotisnya yang agresif di atas panggung, ditunjang pakaian dan asesoris yang vulgar, Madonna ingin menjadikan dirinya sebagai “subjek yang berbicara” melalui bahasa seksual.
Namun di mata para feminis , aksi Madonna ini justru dinilai merusak citra feminis dan seksualitas wanita yang natural. Meskipun dalam setiap pertunjukannya, Madonna bersikap aktif (menantang tatapan penonton) ketimbang pasif (menerima tatapan), tetapi keaktifan tatapan ini di mata kapitalisme merupakan bagian strategi yang menjadikan dia sebagai objek tanda, sehingga kekuasaannya di panggung kehilangan maknanya.
Bagi kaum feminis, Madonna dan Bintang bintang  film hot Indonesia sendiri bisa dianggap menyalahgunakan konsep emansipasi wanita. Shelag Young, salah seorang feminis , dalam bukunya Feminism and the Politics of Power menegaskan, kaum feminis berjuang mewujudkan persamaan hak dan peran dalam bidang sosial, ekonomi dan kebudayaan, bukan mencari kekuasaan dan keliaran dalam seksualitas. Emansipasi, persamaan hak dan peran sosial wanita inilah yang sesungguhnya diperjuangkan oleh Kartini, pahlawan emansipasi wanita Indonesia. Apa yang dicita-citakan Kartini adalah mencapai kesejajaran hak dan peran sosial dengan kaum pria, namun tetap berpegang teguh pada tata susila dan kodrat kewanitaannya .

Dalam kasus ini film film erotis di tahun 90 an awal tidak berkembang seiring munculnya pluralis media sehingga sampai sekarang hanya dianggap sebagai film di era “mati suri”  sebab jika mau jujur film film ini sama sekali tidak mendidik , tidak ada pendalaman konsep yang lebih mendalam , semuanya dikesampingkan dalam segi keuntungan saja dan wajar bila kita sering ” menertawakan “ film film di era ini. ada dua  point proses yang penulis anggap sebagai  pokok bahan penulisan dengan tema film ini menurut pencarian analisa bahan tulisan ini antara lain.
Proses Representasi Teks (Hermeneutik)

Tiap orang memmpunyai cara berfikir masing masing dalam melihat sebuah tontonan atau kasus , seorang pembuat film memutuskan untuk mengangkat tema tertentu dan bukan tema lainnya, ini jelas merupakan kemutlakan pribadi dari filmaker itu sendiri. Mari kita berangkat dari asumsi bahwa film-film Indonesia belakangan memang lebih banyak tak perpersoalkan konteks masyarakat tempat mereka berada. Masyarakat tidak ditampilkan sebagai masyarakat yang bermasalah, dan tema film hanya bersentuhan dengan persoalan-persoalan pinggiran saja. Hal ini tak terlepas dari kecenderungan para pembuat film untuk semata-mata mencari keuntungan dari kegiatan membuat film. Hal ini bukanlah sesuatu yang tak wajar, tetapi kecenderungan seperti ini mengandung implikasi bahwa film melakukan misrepresentasi terhadap masarakat 
Hermeneutik adalah penafsiran teks. Lantas, teks ini dapat diperluas atau diasumsikan sebagai struktur dan objek-objek sosial yang simbolis. Ini merupakan produksi dari si pengarang, yang tak lain dalam, dan atau atas pengaruh, dari suatu konteks sosial saat itu.Sementara, pengarang teks dapat diperlebar pengertiannya sebagai aktor sosial, yang jejaknya dapat ditemukan dalam teks. Sedang di sisi lain, ada penafsir atau peneliti, yang “terbuka” dan dinamis, yang siap dan leluasa dalam ‘mengemudikan’ teks. Ini berbeda dengan posisi pengarang yang  mandek dalam teks-teksnya, meski secara maknawi masih dalam bentuk yang Dinamis. Maka, dalam suatu telaah hermeneutik ada tiga hal mendasar; teks, pengarang sebagai produsen teks, dan peneliti selaku penafsir teks. Ketiganya, dalam uraian ini mustahil untuk dipilah – pilah.
Tafsiran dalam pengertian Dilthey, perlu menangkap tiga unsur dalam teks: pengalaman, ekspresi, dan pemahaman. Pengalaman berkenaan dengan aspek internal pengarang, yang melibatkan subjektivitas pelaku sosial. Implementasinya ada dalam perilaku, karya budaya, pranata, dan relasi sosial, segala sesuatu yang disebut ekspresi, yang tersurat dalam teks itu. Ekspresi inilah yang diselami peneliti intuk mencapai pengalaman pengarang. Kaitan keduanya muncul bila ada pemahaman, baik dari produsen teks lewat peneliti dan juga dari pra-paham peneliti—kondisi yang memungkinkan pemahaman, yang terlebih dulu dibawa peneliti sebelum masuk dalam teks. Di sini lantas terjadi dialog, dialektika, konfrontasi, hingga tercapainya konsensus antara dua pemahaman

Sejak DW Griffith membuat Intolerance pada tahun 1915, orang melihat potensi film yang besar untuk menyajikan muatan lebih dari sekadar cerita. Media film kemudian dipenuhi diskusi mengenai hubungan muatan film dengan konteks masyarakat yang menghasilkannya. Uni Soviet pernah menggunakan media film sebagai media propaganda yang sangat efektif dengan pendekatan formalisme mereka. Italia pernah mengenal neo-realisme yang mendekati problem-problem stuktural kemiskinan pasca Perang Dunia Pertama. Perancis misalnya pernah mengenal realisme puitis yang merespon kegelisahan pasca Perang Dunia Kedua. Amerika tahun 1950-an dipenuhi oleh kisah fiksi ilmiah yang menggadang ketakutan terhadap perang bintang akibat peluncuran SputnikolehUniSoviet.
Contoh-contoh di atas sekadar gambaran bahwa pembuat film di berbagai belahan dunia terus mencari muatan dan cara tutur yang mampu menangkap selera masyarakatnya. Hal ini tak mudah dan berangkat dari tradisi yang panjang, baik dalam berkesenian secara umum maupun dalam bertutur lewat media film. Negeri ini belum memiliki keduanya. Paling tidak, cara tutur media film di negeri ini sama sekali belum ajeg dan belum memiliki tradisi yang panjang. Faktor lainnya, media film kaprah dipandang sebagai sebuah kegiatan ekonomi yang tak perlu repot dengan pengungkapan muatan dan pencarian cara tutur yang mampu menangkap selera masyarakat tersebut.
Kedua faktor ini menjadikan media film di Indonesia dipandang sebelah mata dalam menyumbang pertukaran wacana kemasyarakatan yang penting, apatah lagi dalam melakukan kritik sosial. Namun persoalan bangsa ini sedemikian banyak dan para pembuat film tak seharusnya menutup mata begitu saja terhadapnya. Tak banyak film Indonesia yang mampu menangkap persoalan di balik permukaan, apalagi mengangkat kritik yang tajam.Dari sisi ini, film Indonesia sempat berada pada titik terendah ketika film-film yang diproduksi adalah film dengan tema seks seperti Ranjang Ternoda, Gairah Malam, Limbah Asmara, yang pada dasarnya meniru film-film porno komersial. Peniruan itu tampak pada dua ciri: miskinnya plot dan hubungan seks antar tokoh untuk mengakhiri adegan. Selanjutnya setelah gairah membuat film bangkit lagi lima tahun terakhir, film-film yang diandalkan adalah film horor dan percintaan remaja yang tak mempersoalkan kenyataan yang mereka hadapi.

Proses Seleksi dan rekonstruksi

Salah satu Problem dalam menafsirkan teks adalah jarak waktu antara teks itu dibuat dengan masa ketika teks itu ditafsirkan. Pasti ada perbedaan dari segi konteks historis, budaya, dan bahkan sruktur pemahaman antara pengarang dengan penafsir. Entah dengan cara re-produktif atau kreatif, upaya identifikasi terhadap kondisi yang tak terpahami itu memang tak sampai final. Namun tugas filmaker adalah mencoba menghadirkan kembali “atmosfer”saat teks itu ditafsirkan mereka melihat penonton yang akan mereka gambarkan dalam film, Apakah penonton itu memiliki masalah atau tidak . Di titik ini yang saya anggap filmaker film erotika saat itu mengesampingkan hal semacam ini.. Dimana seorang filmaker tidak hanya harus memiliki wawasan yang luas terhadap masyarakat tetapi juga harus memiliki keresahan akan masyarakat tersebut. Ia harus mampu melihat kenyataan dan tidak menerimanya begitu saja, melainkan mencoba untuk melihat apa yang di bawah permukaan. Seorang pembuat film harus memiliki perspektif. untuk bisa  mengenali masyarakatnya. dalam Artian Sex itu memang  tabu digenerasi kita, namun filmaker bisa lebih melihat tema apa yang bisa di tampilkan ,menghibur dan mendidik. satu contoh film yang saya anggap bisa menampik pemikiran pemikiran filmaker “Erotis” sebelumnya. cotoh film Virgin yang disutradarai Oleh Hany R Saputra, film ini memang dianggap terlalu erotis di kalangan remaja namun yang dijual bukan dari sebuah eksplorasi tubuh semata , ada point point yang memberikan pelajaran bagi penontonnya terutama remaja dalam menanggapi Sex dan pergaulan itu bagi mereka, Persoalan seksualitas remaja perempuan dan keperawanan mereka diangkat dengan sangat berani dan kontrovresial pada film ini. Para tokoh remaja dalam film ini kebanyakan adalah para remaja perempuan yang tak ragu menjual keperawanan mereka untuk mendapatkan uang. Proses transaksi bahkan dilakukan di sebuah toilet umum di sebuah pusat perbelanjaan. Selanjutnya seksualitas juga ditampilkan berhadapan dengan kegandrungan para remaja perempuan ini untuk berhasil memasuki kehidupan dunia industri audio visual. namun dengan sangat cerdas keberanian Virgin menabrak tabu seksualitas dan keperawanan yang merupakan sebuah gugatan yang sangat serius yang seharusnya mendapat perhatian lebih besar dimata masarakat.
Sebuah proses selektif tentang apa yang menjadi point positif yang akan ditampilkan ke penonton merupakan sebuah perbedaan gaya piker filmaker film erotis 90 an awal  dengan film film yang bertema sama di era 2000 sekarang, bisa dibandingkan dengan film film seperti Virgin,Jakarta Undercover dsb. pembuat film membuat rangkaian seleksi yang memisahkan hal-hal yang dianggap relevan dan tidak relevan untuk kebutuhan ceritanya. Proses seleksi ini sangat tergantung pada perspektif apa yang dimiliki oleh sang pembuat film. Hasil seleksi akan tergantung pada perspektif tersebut.
Kedua proses sebelumnya yaitu perspektif dalam melihat masyarakat dan seleksi akan diwujudkan ke dalam bentuk film, sebuah tiruan terhadap kenyataan. Dalam proses rekonstruksi ini terkandung sebuah hal penting yang bernama reka-percaya (make believe). Sang pembuat film harus mampu membuat filmnya mampu dipercaya oleh para penonton. Ia harus membuat gambaran yang adekuat terhadap perspektif dan proses seleksinya. Dan hal ini penuh dengan hal-hal teknis yang sangat detil..
Dengan melihat film sebagai proses representasi, kita bisa melihat bahwa banyak persoalan yang melanda para pembuat film Indonesia. Sejak dari proses memandang masyarakat, banyak pembuat film yang tidak berani atau luput melihat masyarakat sebagai sesuatu yang bermasalah. Mereka menerima masyarakat begitu saja seakan segala sesuatunya berjalan dengan normal.

KESIMPULAN
Dari penjelasan tersebut di atas,melalu proses persfektip seleksi dan representasi maka dapat ditarik kesimpulan mengenai karakteristik film Erotis 90 an, diantaranya sebagai berikut :
•  Belum mampu menyajikan pesan-pesan yang jelas kepada pemirsa tentang hal-hal yang pantas atau patut ditiru.
•  Dilihat dari sisi konseptual , tidak mempunyai tujuan yang jelas sehingga tidak mampu membentuk karakter masyarakat yang lebih beradab. kedangkalan konsep sangat terlihat dari semua b
•  Sasarannya tepat dalam segi penjualan pada saat itu , karena tidak adanya persaingan sehingga meskipun  kemasan pesan terlihat baik namun citra yang tersaji tetap saja Negatif . karena niat penonton untuk datang ke bioskop adalah untuk melihat eksploitasi tubuh desahan ,dsb.sesuatu yang dianggap tabu dan illegal pada saat itu namun masih bisa beredar.
Beberapa masalah sosial dan budaya berada dalam masyarakat, berjalan di atas masalah tersebut tanpa pernah mempersoalkannya. Film Indonesia belakangan ini juga merepresentasikan kecenderungan tak mempersoalkan masalah-masalah itu. Masyarakat dianggap tak bermasalah dan film hanya menyentuh tema-tema pinggiran saja . Film Indonesia juga sedikit yang menyinggung tema-tema yang mengomentari kehidupan sosial dan kehidupan budaya  Padahal kehidupan sosial dan kehidupan budaya, ketika dipotret dengan baik dalam film, akan mampu untuk memberi sumbangan penting bagi kehidupan kita sebagai sebuah bangsa.
Sebut saja misalnya dimana keseluruhan tema film Erotis 90an mengangkat sosok perempuan selalu menjadi objek eksploitasi, sehingga terkadang memunculkan keinginan seperti apa potret social budaya negeri ini bila ditampilkan dalam film .Seks dan kota memang tak pernah lepas dari persoalan akumulasi modal. tetapi mestukah Seks, uang, dan kekuasaan menjadi rajutan yang membangun sebuah peradaban.




0 komentar:

Posting Komentar