Apa yang membuat penonton beranjak lebih cepat dari
duduknya sebelum film selesai, berlama lama larut dalam kesedihan, atau
ketiduran karena merasa lebih nyaman dengan suasana gelap gedung bioskop
mendatangi gedung bioskop melakukan ritual sesaat, (mengamati poster, membaca
synopsis, mengantri diloket sebelum menikmati film yang kemudian berargumen tentang film yang
ditontonnya baik kepada dirinya ataupun kepada orang lain) jawaban pertanyaan
tersebut mungkin lebih sederhana dan simpel dibanding pertanyaanya. Ada banyak metode dalam
menjelaskan hal ini, selaku penulis ada
dua dimensi point of view dari
disiplin ilmu yang menarik serta penjabaran mengapa bioskop perlu dikunjungi.
Pertama, dimensi sosiologis sebagai aspek yang global. Menurut Erwin
Goffman seorang pakar sosio-psikolog, manusia pada hakekatnya secara aktif
mengklarifikasikan dan mengkategorisasikan pengalaman hidup ini agar mempunyai
arti dan makna, permasalahannya individu terkadang secara tidak sadar
mengabaikannya, meskipun individu menyadarinya, ia perlu mencari presentasi atau paradigma lain disekitarnya,
agar individu yakin bahwa ada individu lain yang mau tidak mau memiliki
keterhubungan dengan individunya. Akan muncul adanya semacam comparison, sebersit pernyataan bahwa
pengalaman orang lain lebih berarti dari pengalaman hidupnya, dan itu adalah
lumrah. Secara umum berakibat interprentasi individu menjadi tergantungan
dengan kondisi individu lain. Hal inilah yang mengemukakan bahwa manusia adalah
mahluk social. Representasi film jelas memberikan banyak karakter-individu dan
pengalaman dari individu lain yang kemudian individu sendiri
mencari-mengidentifikasi individu mana yang menyerupai pengalamannya sebagai
sebuah interprentasi.
Semakin unik contoh-representasi
tersebut, maka akan semakin dibutuhkan karena individu berusaha menarik
kesimpulan yang diinginkan dengan cepat membekas pada panca indra manusia
sebagai sebuah proses sebab-akibat. Artinya point ini telah merambat ke dimensi
psikologi sebagai suatu sikap atas individu.
Representasi dalam film atau strategi yang digunakan filmmaker adalah
upaya untuk menekankan dan membuat pesan menjadi lebih bermakna, lebih unik dan
mencari perhatian public. Upaya membuat pesan lebih mencolok dan lebih unik ini
serta interaksi secara tidak langsung melalui layar dengan penonton adalah
taraf lanjut yang tak dapat dipisahkan
dengan dimensi psikologis ke dalam film.
Kedua, dimensi Psikologis sebagai
aspek individual. Pendekatan psikologi menekankan bagaimana pengaruh
kognisi konsep kesadaran seseorang
dalam membentuk skema tentang diri, sesuatu ataupun gagasan teori. Bagaimana
suatu individual memahami dan melihat realitas dengan skema tertentu yang
tentunya banyak berhubungan dengan berbagai teori. Manusia pada dasarnya tidak
dapat mengerti realitas dunia yang sangat kompleks. Oleh sebab itu manusia atau
individu berusaha menarik kesimpulan dari sejumlah besar informasi yang dapat
ditangkap dalam panca indera sebagai dasar hubungan sebab-akibat, dan kemudian
dikristalisasikan secara psikologi tiap individu. Atribusi tersebut dipengaruhi oleh skema
personal ataupun skema social
culture-politik-gender dsb pada tiap individu.
Filmaker melalui skema film meramu berbagai cara untuk dapat
menciptakan efek atau ‘mempermainkan’ psikologi penontonnya.
Satu contoh kecil, jauh sebelum teori film berkembang saat pemutaran film Lumiere diputar pertama
kali di Grand Café Paris tahun 1895, penonton berhamburan keluar dari ruang
bioskop, karena adegan kereta api yang melaju mempengaruhi persepsi penonton.
Setahun kemudian, 1896. Sigmun Freud[1]
menggunakan istilah psychoanalysis
untuk pertama kali yang kemudian dikembang lebih lanjut oleh Jacques Lacan[2]
melalui pendekatan lingusitik-semiotika khususnya didalam teori cinema, sebuah
penjabaran ‘subject-effect[3]
yang dialami pada penonton sebagai subjek yang dihasilkan dari cinematic apparatus.[4]
Teori ini (psychoanalysis) yang
dipunggawai Jacques Lacan ditahun 1970 awal sebagai perkembangan second semiology[5].
Ia meramu psikoanalisa Sigmund Freud yang dikaitkan dengan basis semiologi.
Fokus utama studinya adalah ketidaksadaran (unconscious), yang sebelumnya
diperkenalkan Freud. Lacan menggali kembali ketidaksadaran sebagai konsep
dengan bantuan metode linguistik Saussure[6]
dan memusatkan kajiannya pada beberapa metode Freud sebelumnya, seperti
percakapan antara psikiater/psikolog dan pasien. Percakapan tersebut
menurutnya, merupakan seuntai rantai penanda-penanda.
Sineas melalui media film menyampaikan pesan melalui penyederhanaan
realitas dunia yang sangat kompleks, tujuannya bukan hanya sekedar
menyederhanakan dan dapat dipahami dengan mudah, tetapi juga agar lebih
mempunyai persfektif, estetika, pada dimensi tertentu.
Filmmaker membingkai apa yang ada dalam pemikirannya melalui berbagi
elemen yang terjadi dan mungkin yang akan terjadi dalam kehidupan social (sociology)
dan nantinya akan dituturkan kepenonton melalui media motoric yang
secara tidak langsung mampu menghasilkan
efek psychologist pada
penonton. Lebih jauh, efek inilah yang membuat penonton bertahan dan menikmati
film, dan salah satu elemen yang membuat film berkembang menjadi seni sampai
saat ini.
Film yang baik akan memberikan pesan moral kepada penontonnya,
melalui point of view filmmaker,
terlepas apakah pesan tersebut sampai atau tidak dengan baik kepada penonton,
dan mau tidak mau itulah yang terjadi, dalam hal penyampaian atau cara penonton
mengidentifikasi, teori psychoanalysa
Lacan memberikan gambaran penyampaian pesan melalui bagaimana menganalisa
pemikiran yang ada penonton dalam mengutip pesan film, dalam identifaksi
penonton yang melibatkan kekuatan pemikiran dan cara berfikir, yang nantinya
akan melahirkan efek dalam pemikiran penonton. Jelasnya, teori psychoanalysa
Lacan berbicara tentang otak penonton pada saat menonton film dalam gedung
bioskop.
Oleh karena filmaker menyampaikan pesan melalui media film kepada
penontonnya, maka jelas bahwa posisi penonton sangat istimewa, melalui psikoanalisa, sebuah teori yang mengistimewakan
sisi individualitas (penonton), maka dalam paper ini akan mengurai sejarah
psikoanalisa dan perkembangannya dalam cinema, melalui persfektif Lacanian.
II
PEMBAHASAN
II .1. Psikologi di era teori film klasik (1916-1958)
Kita membutuhkan berbagai paradigma sebagai alternative yang lebih
kritis dalam melihat atau mengkaji realitas lain dibalik wacana media film
dalam merangkum wacana dan perkembangan film sebagai media ditengah masarakat,
dengan tujuan memperkaya interprentasi penonton dan filmmaker itu sendiri pada
khususnya.
Era teori film
klasik, psikoanalisa belum begitu berpengaruh dalam berbagai bidang termasuk
dunia cinema, ilmu ini terhitung baru dan secara umum baru berkembang di tahun
1930an kemudian merambah teori film khususnya di Eropa pada tahun 1960 akhir.
Namun unsure psyche-psychology adalah
hal yang tidak terlepas dari dunia film dengan berbagai pendapat dan analisa
para ahli teori film di era klasik. Tahun
1920an, film dianggap mulai mencapai titik ‘kedewasaannya’, pada era ini para ahli
teori dan sineas berfikir bahwa film memiliki unsure estetika dalam bertutur,
dan sewajarnya film ditempatkan sebagai
seni ke-tujuh, diantara seni yang lain (seni rupa, seni drama, seni tari, seni
musik, seni arsitektur dan seni sastra). Di era ini memunculkan dua teori besar dalam sejarah teori film klasik yaitu, Formalism thory [7]
dan Realism theory[8]. Tokoh formalism yang melihat film dikaji dari
form-bentuknya, paradigma dan konsep
teori mereka pun bermacam macam antara lain Sergei Eisenstein[9],
menilai film sebagai collisison, Sergei merasa ‘benturan’-‘collision’
dari penggabungan materi shot digunakan untuk menggerakkan-‘manipulated’ emosi dari penonton serta mengkreasikan
sendiri methapora film. Ia percaya bahwa akan tercipta arti-ide (intellectual)
lain yang dapat diperoleh ketika dua shot yang memiliki arti independent dan kemudian di kesinambungkan
atau disejajarkan, arti lain akan tercipta dari susunan potongan tersebut.. Artikel dan buku bukunya (1920an)
terutama Film Form and The
Film Sense, memberikan dampak dan pengaruh terutama bagi filmaker di era
selanjutnya. Ia percaya bahwa editing mampu memberikan efek psike lebih bagi penonton yang secara terperinci melalui hubungan/keterkaitan
rangkain gambar. Kejadian di café Grand Paris sebagai salah satu contoh
dari Psychological
of Empthy, yaitu; Hal yang ditekankan agar penonton ketika melihat
rangkaian image merasa tergugah secara emosional dan intelektual, Eisenstein
menekankan bahwa keutuhan film mampu memanipulasi keadaan jiwa. Pengaruh
psikologis dan emosional tercipta karena adanya pengalaman (materi) dan
kalkulasi (arti dari materi). Aksi sang aktor menjadikan penonton dibius oleh
emosi, proses ini menurutnya adalah imitasi motorik, munculnya emosi karna
adanya perubahan psikologis didalam jiwa-tubuh. Kajian utamanya adalah emosi
dan persepsi intelektual, yang setelah itu baru mampu menciptakan
gagasan-penyampaian..
Pendapat lain
yang lebih extreme muncul dari tokoh teori
Formalis lain, jauh sebelum Eisenstein mengenal film, melalui tulisannya
‘The photoplay: A psychological’ 1916,
Hugo Munsterberg[10]
menilai esensi film ada pada pikiran penontonnya dengan latar ‘gestalt psychologist’ , dalam
tulisannya ia mengklasifikasikan kronologis sejarah cinema kedalam dua bagian,
yaitu :
1) Sejarah teknologi media film dan evolusi penggunaan media film
tersebut oleh masarakat. Menurut pendapatnya, kemajuan teknologi telah
memfasilitasi masarakat dalam mengakses dunia sinema, namun rasa ingin tahu /
kebutuhan masarakat terhadap kebutuhan informasi, pendidikan, dan hiburanlah
(sebagai kebutuhan) yang menyebabkan film itu ada. Munsterberg merasa cukup
ideal dengan kemajuan tehnologi cinema di tahun 1915, karena teknologi pada
saat itu dianggap telah bisa mewakili nilai nilai estetika cinema yang dituntut
mesti ada dalam kehidupan manusia sehari
hari, sebagaimana yang di akui oleh Andre Bazin[11]
30 tahun kemudian bahwa film harus dilihat sebagai sebuah pengembangan
peristiwa.
2) Proses nalar Psycho-sosiologis dalam menyikapi suguhan tontonan media film yang melibatkan
unsure unsure pikiran dan emosi menjadi bahan utama pembedahan film teori Hugo
Munsterberg, dengan menarik kesimpulan bahwa emosi harus mampu mengatur
aktivitas dan kekuatan pikiran dalam memproses informasi yang diterima oleh
media film. Hugo Munsterberg membedakan
lebih jauh tentang proses penerimaan informasi ini dengan menyebutkan
ransangan visual yang diterima oleh mata manusia yang diteruskan pada penalaran
otak untuk kemudian diterjemahkan
kedalam suatu aspek kenyataan yang bisa
diterima oleh akal, yang pada akhirnya dapat menimbulkan suasana emosi
tertentu. Seperti halnya musik bagi seni telinga. Lukis bagi mata, demikian
pula halnya dengan cinema yang merupakan seni bagi mata.
Point inilah yang dinilai ekstrem dalam tanggapannya mengenai film,
bagi Hugo Munsterberg, sensasi yang
diterima oleh manusia pada saat subjek-penonton ‘tersesat’ di alam fantasi pada saat menonton film
adalah bukti yang cukup bahwa film adalah sebuah seni yang menjunjung tinggi
nilai estetika.
Melalui proses mata menerima gambar hingga ke otak merupakan latar ‘gestalt psychologist’ proses yang
memikirkan kekutan pikiran dari berbagai aspek yang ada dalam film, baik dari
bentuk, cahaya, warna, dsb adalah proses
yang nantinya ditafsirkan pada otak/akal.
Teori dari Hugo Munsterberg
(photoplay :1916) dalam menganalisa
media film adalah sebuah proses nalar psikologi dalam menjembatani elemen
ruang, waktu dan causalitas kedalam situasi pikiran yang bisa diterima oleh
akal, dan proses tersebut adalah bagian dari estetika seni film. Artinya
kekuatan pemikiran dan emosi yang ditimbulkan akibat dari tontonan visual lebih
menitik beratkan pada pada proses pemikiran kita-spectator. (Film ada pada pikiran penonton).
Tanggapan lain muncul dari paradigm Andre Bazin,
salah satu rival bagi teori Formalism
semacam Sergei Eisenstein, dan Hugo Munsterberg, Bazin yang merupakan pelopor Realism dalam essaynya Andre Bazin yang membandingkan film
dengan media seni lainnya hingga patut disejajarkan dengan seni yang lain bahwa film adalah satu-satunya media yang sangat baik untuk
mengungkapkan realitas, karena kekuatan magis film yang
menampilkan sebuah realitas sempurna
bagi penontonnya. Sebuah kedahsyatan film yang membuat keterkejutan psikologis
manusia ketika pertama kali melihat sebuah gambar bergerak dan hidup (The myth of total cinema), dalam
rangkaian image hingga muncul istilah motion
picture.
Dari tokoh tokoh yang berbeda aliran teori dan
jaman ini melihat film dari paradigma yang berlainan, dan boleh saya katakan
bahwa pendapat pendapat yang muncul, gestalt psychologist, The myth of total cinema dan Psychological of Empthy mempunyai arti universal yang sama bahwa film
terkait dengan dimensi psikologis bagi penontonnya terlepas dari teori mereka
dalam menuangkan konsep yang berbeda
dalam menilai film sebagai seni.
Hingga dalam perkembangannya (era teori film kontemporer ) memunculkan
teori psikoanalisa salah satu
disiplin ilmu yang berupaya menjelaskan perilaku manusia adalah psikologi. Dan (mungkin) hanya Lacan lah yang fokus
total mengkaji film melalui sisi psikologis sebagai suatu disiplin ilmu dalam perkembangan
di era teori film kontemporer tahun 1970 awal.
II.2. Munculnya Psychoanalysa.
Pertengahan tahun 1860, seorang anak kecil sedang
belajar dengan lampu baca kebanggaannya, sementara keenam saudaranya hanya
menggunakan lilin untuk belajar, dialah Sigmun Freud anak yang mendapat
perhatian lebih dari Ibunya dibanding saudaranya yang lain. Tahun 1896, di usia
30 tahun Sigmun Freud menggunakan istilah psychoanalysis[12]
untuk pertama kali didunia, setahun setelah perdana film Lumiere di Prancis,
namun pada era itu masarakat belum mengenal ilmu ini (psikologi) dan belum
banyak mendapat tanggapan dibanding ilmu fisika dan biologi.
Freud adalah seorang Jerman keturunan Yahudi, meskipun keluarganya
Yahudi namun Freud menganggap bahwa dirinya adalah seorang Atheist.
Sigmund Frued, pendiri Psikoanalisa asal Austria,
adalah ahli psikologi dan seorang
psiaktri modern pertama, memfokuskan
psychoanalysa kepada
totalitas kepribadian manusia dan bukan kepada bagian-bagian yang lain.,
analisa kejiwaan manusia. Inovasi Freud dipengaruhi
atas penyelidikan atas dua relasi hubungan yang berbeda pemikiran (seperti ibu
dan bayinya, pasien dan perawat), kemudian ia membangun teori pikiran manusia human mind dan teori tingkah laku
manusia human
behavior, seperti halnya tehnik metode klinik ia
mencoba memikirkan menyembuhkan orang
yang mengalami gangguan kejiwan dengan perawatan psychopathology.
Awalnya Freud tertarik dan belajar hipnotis di Perancis, lalu
menggunakannya untuk membantu penderita penyakit mental. Freud kemudian
meninggalkan hipnotis setelah ia berhasil menggunakan metode baru (psiaktri modern) untuk menyembuhkan
penderita tekanan Psikologis berdasarkan teorinya yaitu asosiasi bebas dan
analisis mimpi. Dasar terciptanya metode psiaktri modern tersebut adalah dari konsep tentang alam bawah sadar ‘unconscious
mind’.
Pada tahun 1900, Freud menerbitkan sebuah buku
yang menjadi tonggak lahirnya aliran psikologi-psikoanalisa. Buku tersebut berjudul Interpretation of Dreams dalam buku
ini Freud memperkenalkan konsep yang disebut "unconscious mind"
(alam ketidaksadaran). Selama periode 1901-1905 dia menerbitkan beberapa buku,
tiga diantaranya adalah The Psychopathology of Everyday Life (1901), Three
Essays on Sexuality (1905), dan Jokes and Their relation to the Unconscious
(1905). Disini ia menuliskan bahwa
ada bagian ingatan yang lazimnya tidak kita sadari dan bagian ini disebut
ingatan tak sadar atau "unconscious mind". Menurut Freud bahwa gagasan dan perasaan,
terutama yang berkaitan dengan seks, itu ditekan pada keingatan tak sadar dan ini terjadi pada kebanyakan orang.
Penekanan inilah yang bisa menyebabkan seseorang
berperilaku aneh bahkan salah satu faktor penyebab gangguan ingatan.
Sebagaimana tubuh fisik yang mempunyai struktur:
kaki, badan, leher, dan kepala, Sigmund Frued berkeyakinan bahwa jiwa dan
pikiran manusia juga mempunyai struktur.
Struktur jiwa tersebut meliputi tiga instansi atau
sistem yang berbeda, masing-masing sistem (Id, Ego, dan Superego.) tersebut
memiliki peran dan fungsi sendiri-sendiri. Keharmonisan dan keselarasan kerja sama di antara
ketiganya sangat menentukan kesehatan jiwa seseorang.
Freud menerapkan metodenya dengan mencoba agar pasiennya menceritakan
gagasan dan perasaanya, terutama tentang impian dan masa kanak kanak pasiennya,
metode pada pasiennya ini dikenal secara umum dengan sebutan Psychoanalysis.
Namun banyak gagasan-gagasannya baru dapat diterima dikalangan ahli kejiwaan
sekitar tahun 1930, dan semenjak itu teori dan metodenya dikembangkan dan
diubah oleh banyak ahli lain diberbagai bidang ilmu.
Dengan disiplin ilmu ini, Ia mengharapkan manusia
bisa mengenal secara mendalam pemanfaatan psikologi bagi ilmu pengetahuan dan
kehidupan, adalah Lacan yang mengantar teori psychoanalysa kedalam bagian cinema
sebagai ilmu disiplin yang dikembangkan dalam teori-film di era kontemporer.
II.3. Psychoanalysa (the second semiology in cinema)
Pada era 1968 muncul suatu kecenderungan dikalangan sineas
yang melahirkan beberapa aliran besar dalam teori film, terutama di Perancis, antara
lain Psikoanalisa, Feminisme (Laura Mulvey, yang mengkritik teori
psikoanalisa), teori film Marxistm, Post-strukturalis dsb. Berlatar konteks
social, kondisi kritis ini terbagi dua
wilayah besar (new left[13]
– may 1968[14],
Prancis) yang kemudian berlanjut pada perdebatan teori film, bahwa film bukan
sekedar berbasis pada aspek ilmu yang telah ada dan harusnya bisa berkembang
lebih luas, oleh karnanya paradigma dalam melihat film harus pula bergeser
sesuai dengan pergeseran zaman. Dunia
barat dihadapkan pada kondisi kritis social dan culture ‘dengan memprotes’
teori-ideologi yang telah ada sebelumnya, kondisi ini merupakan kondisi umum
yang terjadi di dunia saat itu. Hubungannya ke dunia cinema, pada era ini
memunculkan teori teori dan ideology baru dalam memandang film.
Telah disebutkan bahwa teori psychoanalisa dalam
cinema muncul di tahun 1970 awal, yang merupakan langkah lanjut dari teori
linguistik-semiotika awal sebagai kiblat awalnya. Pada teori film awal
(semiotika tahap I awal tahun 1960an) teori linguistic (ilmu tentang bahasa)
diorientasikan sebagai struktur lanjutan dari teori semiotika-semiology, bahwa
segala sesuatunya, baik itu film memiliki system tanda atau penguraian kode
budaya, tujuan dari teori ini (semiology) adalah bagaimana menemukan
cara-system untuk menemukan tanda tanda tersebut, Ferdinand de Saussure selaku
pelaku teori tersebut memberikan tempat yang dominant kepada linguistic,
artinya linguistic menjadi model dari semiology awal. Saussure beranggapan
segala sesuatu yang akan dianalisa harus dirintis melalui linguistic.
Selang waktu sekitar sepuluh tahun kemudian, dimana pergolakan
politik, kondisi social, budaya, gender, serta pengaruh ideology marxism turut andil dalam perkembangan cinema, dan hal itu
terbukti dengan munculnya second
semiology yang berakibat semakin banyak cara pandang dalam cinema yang
tentunya berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu, salah satunya memunculkan
nama Jacques Lacan yang memasukkan teori psikoanalisa sebagai tindak
lanjut dari metode linguistic Saussure.
Dalam teori Linguistic, Second semiology
memunculkan analisa (psycho-analysis)
sebagai orientasi ideologi baru yang
paling mendapat perhatian dengan bermunculannya ideology ideology baru
dalam cinema.
Seiring berkembangnya teori psikoanalisa di tahun 1970an dalam
cinema Eropa (French Freud), memunculkan
masa kerancuan khususnya perkembangan cinema, dimana pertemuan antara
psikoanalisa dan sinema bukan merupakan sesuatu yang baru dalam cinema pada era
tersebut. Sebuah sensasi teori yang sebenarnya keduanya telah lama muncul
sebelumnya, Sigmun Freud telah menggunakan
istilah Psychoanalysis pada tahun
1896, selain itu buku yang ditulis Martha Wolfenstein
dan Nathan Leites ditahun
1950, Movies:
A Psychological
Study[15]
(memberikan penjabaran bahwa
cinema memberikan ‘crystallized’ atau
efek lain tentang mimpi-dreams, lebih jauh ia menjabarkan ‘ketakutan’ terhadap populasi yang terus
berkembang sehingga memunculkan pesimistis untuk meraih keinginan-cita cita
padahal sebenarnya ada keyakinan bahwa cita cita bersama adalah sesuatu yang
harus dicapai, sehingga sikap pesimistis tadi melahirkan kultur-populasi baru di dalam masarakat umum, dalam cinema
penggambaran ini diwujudkan dengan adanya pengklasifikasian karakter (pembunuh
dan korban, Lovers and Loved Ones, Parents and Children,) dimana kesemua ini
kemudian ditafsirkan sebagai konsep konsep
dalam psychoanalytic. Hortense
Powdermaker lewat
The Dream Factory (1950),
menguraikan Hollywood sebagai terminologi quasi-ethnographic, mimpi dan mitos.
Film film Alfred Hitchcock seorang sutradara Inggris
yang mapan oleh Hollywood,
kebanyakan filmnya menyangkut seorang tokoh tak bersalah yang terjerat kedalam
situasi yang penuh rahasia, The Lady Vanishes (1930) Psycho (1960).
Tahun 1958 dreams
dan myths menjadi studi bagi Edward
Morin yang juga seorang sineas, mengkaji kembali tentang makna kiasan yang
memuliakan cinema (cinema magic), ia
menyoroti kapasitas-kinerja sinema dalam mempengaruhi penonton, dalam
tanggapanya ada masa penonton ‘terlena sesaat’ artinya penonton tidak terus
menerus mengamati rangkaian cerita film dan
menurutnya, penonton secara tidak sadar dalam rangkaian waktu yang singkat
dan tidak terdeteksi,penonton dihinggapi ‘a
neurotic intensity’ yaitu gangguan saraf yang memunculkan emosi namun mampu
terkendalikan setelah adegan dalam film usai. Dari hal dan teori tersebut
kemudian disetujui sebagai bentuk perkembangan dari the psycho-semioticians. Bagi Edward Morin menilai cinema merupakan
implikasi penonton dengan kedalaman perasaan mereka, dan Teori klasik maupun
kontemporer, mempresentasikan bahwa cinema sebagai ‘archive of souls’ arsip/dokumen jiwa, yang siap untuk dibaca dan
dipotret setiap bentuk pergerakannya, yang merupakan sikap dan keinginan
manusia itu sendiri, dengan kesimpulan, hal itu wajar karena sinema diilhami
oleh kekayaan imajinasi tentang perasaan manusia yang akan menghadirkan
pengalaman emosi yang kuat kepada penonton.
Setelah itu psychoanalysa menjadi bahan yang menarik dalam cinema,
pada tahun 1975 communications sebuah
jurnal Prancis mengangkat ‘
psychoanalysis and the cinema’ sebagai
issue yang berkembang pada saat itu, adanya diskusi semiotic yang memunculkan ide ide teori baru tentang
kelanjutan dari psikoanalisa seperti scopophilia[16],
voyeurism[17]
dan fetishm[18],
serta Jacques Lacan memunculkan konsep tentang imaginasi dan symbol (‘the
mirror stage[19]).
Psikoanalisa di Eropa muncul sebagai konseptual yang lebih disukai
untuk dikaji, sebab atensi terhadap film mulai bergeser yang awalnya film
adalah bahasa ataupun film adalah struktur
(film language and film structure)
bergeser kepada film sebagai ‘subject-effects’.
Dampak psikologis terjadi pada penonton
yang dihasilkan oleh cinematic apparatus,
sebuah system mekanisme dalam cinema., sebuah mata rantai dari efek-pengalaman
yang dialami subjek-penonton dengan kinerja mekanik (proyeksi image ke
layar)
Sementara di America Utara muncul konsep ‘ego psychology’ atau logika sebagai sesuatu yang independent yang
lebih menekankan pengembangan individual, kesadaran diri (consicous self), yang bertolak belakang dengan konsep French Freud
(Unconscious).
Perbedaan antara ‘French Freud’ dan ‘American ego psychology’
mencerminkan perbedaan skala besar baik dalam politik maupun budaya, sesuatu
yang membandingkan antara sikap optimisme Eropa sebagai kesuksesan pragmatis (French Freud) dimana (American ego psychology) dipandang
sebagai sebuah teori harapan meraih kebahagian ‘the pursuit of happiness’ yang semakin pesimistis akibat masa
lampau dunia (perang dunia I dan II sebagai bencana yang mengotori peradaban
dunia). ‘Ego psychology’ yang umumnya terjadi di Amerika utara tersebut dinilai mampu dihilangkan dengan ‘therapy’ karena hal tersebut merupakan
sesuatu yang disadari dan dipengaruhi
dari realita dan dikategorikan sebagai
trauma, sementara Psikoanalisa Lacan semakin
berkembang sebagai sebuah sistem intelktual kuat yang menyatukan anthropology dari Levi
Strauss, philosophy Heidegger, dan linguistic Saussure.
Dari kedua analogy cinematic tersebut dinilai melahirkan kerancuan
atau masa ketegangan, teori psikoanalisa Lacan-Lacanism lebih dilirik di
sebagai sebuah konsep ambisius di Eropa (the
art film) dibanding dengan konsep ‘happy
end’ dari ‘ego psychology’
America (Hollywoodean). Sehingga
memunculkan pertanyaan mengapa ‘French Freud’ semakin berkembang dan istemewa?
Dalam perkembangan second semiology, pergeseran paradigm ditempuh
melalui analisis teori disiplin ilmu yang
diterapkan kedalam film adalah sebuah metode yang ampuh dalam sejarah
teori film, demikian halnya dengan ‘French Freud’ menjadi istemewa disebabkan
Psikoanalisa Lacan mengistemewakan tiga unsure teori yang saling berkaitan,
1 )The id (‘orang yang tak punya naluri),
2) The Unconscious (sesuatu yang tak disadari) dan
3) The notion of the
‘subject’ (dugaan terhadap object).
1) Menurut Freud penggunaan istilah Id untuk menunjukkan wilayah ketaksadaran (the Unconscious) tersebut. Id
merupakan lapisan paling dasar dalam struktur psikis seorang manusia. Id meliputi segala sesuatu yang bersifat
impersonal atau anonim, tidak disengaja atau tidak disadari secara mendasar yang menguasai kehidupan
psikis manusia. Oleh karena itu, Frued memilih istilah “id” yang merupakan kata ganti orang atau thing yang netral. Dalam Id berlaku
: bukan aku sebagai subjek pelakunya, melainkan ada yang melakukan dalam diri
aku.
Contoh adanya Id terbukti melalui fenomena psikis seperti mimpi. Pada saat bermimpi, si pemimpi sendiri
seolah-olah hanya merupakan penonton pasif. Ia bukan pelaku, tontonan itu ditayangkan oleh ketaksadarannya.
Dalam bukunya Interpretation
of Dreams (1900 ), Frued banyak membahas tentang mimpi, dan dalam buku ini pula Freud pertama kali memperkenalkan konsep yang
disebut "unconscious mind"
2) Secara general, Unconscious
mengacu pada divisi kejiwaan, dan bukan pada observasi langsung dari subjek,
tetapi hanya sebagai penyimpul-menyimpulkan atas perilaku dari proses kesadaran
tersebut . The ‘unconscious’
diposisikan sebagai unfulfilled desires
‘hasrat yang tak dipenuhi” yang kemudian dialihkan dan memunculkan atau
membentuk ‘proses ketertekanan’ the process of
repression’. Dengan demikian ‘unconscious’ memunculkan the process of repression’ (dari uraian ini
psikoanalisa mengenal realitas kedua
sebagai bentuk yang muncul atas hasrat yang tak terpenuhi, dimana kodart
manusia untuk selalu menggapai hasratnya, dengan menarik garis Unconscious adalah subject) seperti
halnya kita memahami sebuah adegan tanpa ada penjiwaan akan terasa hampa.
Dengan kata lain tanpa kita sadari dibawah kesadaran kita, terdapat
sesuatu yang dinamis dan terus berubah seperti interaksi kehidupan social kita
sehari hari, didalam aktivitas ada semacam kekuatan hasrat yang memberikan kita
pengertian tentang logika dan rasionalitas, karena kita mengetahui, mengakui
sesuatu yang logis dan rasional karena adanya interaksi aktivitas yang kita lihat dalam kehidupan
kita, jika interaksi dan aktivitas ini hilang atau tidak kita lihat maka itu
tidak dapat dikatakan sebagai Uncoscious. Dalam cinema pendivisian ini bukan suatu yang
absolut, seperti suara yang sifatnya
lebih constant yang memberikan makna timbal balik antara conscious and
unconscious dalam level aktivitas
3) The notion of
the ‘subject’: Lacan juga mengaitkan psikoanalisa
dengan proses identifikasi, proses dimana ‘subject’ mendasari dirinya sendiri
dengan mencocokkannya dengan aspek lain semacam lawan bicara, dimana proses
subject mengidentifikasi atau membutuhkan subject lain ataupun objek seperti
contoh hubungan orang tua dan anak, atau yang lebih ekstreme tentang riwayat Oedipus. Secara simbolis dan spesifik
Lacan menempatkan desire sebagai
sebuah analisa, dalam hal ini (desire/hasrat) subject
telah didasari sebuah hubungan terhadap subject lain yang menimbulkan ‘desire.’
Lacan mengartikan ‘desire’ bukan hanya sesuatu yang bersifat biologis
tetapi lebih kepada sebuah pergerakan phantasmatic
(sesuatu yang bersifat khayalan) terhadap
ketidakjelasan object, seperti masalah rohani ataupun sex. Artinya kata desire disini, tidak dapat memuaskan,
secara defenisi adalah sebuah keinginan untuk bukan untuk sesuatu yang
terjangkau, tetapi lebih kepada‘ the
desire of the other,’ keinginan terhadap
sesuatu yang lain.
Dalam pembingkaian ini, (pola pertama) tertera teori antara psikoanalisa dengan tradisi filosofi, Lacan mengkaji
‘subject’ kedalam berbagai sense seperti psikologi, philosofi, grammatical
(sifat tata bahasa), kemudian (pola kedua) membandingkan logika tersebut
sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dengan ‘subject of the unconscious’ (‘subject yang tak sadar’). Sehingga
dari proses pertama dan kedua muncul proses identifikasi pada subjek dalam
menganalisa jiwa-self.
Dari ketiga point diatas Lacan berbicara tentang keistimewaan subject, sehingga perlu adanya penjelasan
konsep subject dalam teori Lacan.
II.4. From linguistic to
Psychoanalysa.
Sebelum melihat
lebih jauh kaitan antara bahasa atau tanda dengan psikoanalisa, maka perlu
melihat point of view Lacan tentang ‘subject’. Hal
ini sangat beralasan selain subjek merupakan pokok yang mendasar dalam diri
manusia, subjek merupakan hal yang mendasar dalam diri manusia, juga bahwa
subjek yang berbicara dapat memunculkan (tanda-sign; Saussure[20]).
Penjelasan konsep subjek bagi lacan seperti struktur dalam jiwa (describe
the elements of the psychic structure). Teori psike Lacan dipengaruhi oleh
Freud, dan bahkan ia mengembangkannya lebih dalam, terutama ia memasukkan
konsep ’the mirror stage’. Ada tiga
kategori yang dikemukakan oleh Lacan dalam jabaran psikoanalisa tentang subjek.
(1) The
Real
Alam Realitas dalam pemahaman Lacan berbeda dengan realitas
pada umumnya. Hal ini merupakan tahap awal dari keadaan psyche-jiwa manusia yang belum mendapat pengaruh dari dunia luar. Ini terjadi sejak bayi
ditiupkan roh atau jiwanya. Bayi pada masa ini tidak dapat mengidentifikasi
dirinya dengan yang lain.
Artinya tidak ada suatu keterpisahan
diri dengan di luar diri, yang bayi mengerti bahwa realitas itu adalah dirinya
sendiri.
Psike bayi bergerak secara evolutif
menuju ’Stage of Mirror’ di mana
secara perlahan mulai merasa adanya subjek yang lain. Menurut Lacan fase ini sang bayi mulai mengidentifikasi
dirinya dan diluar dirinya mengontrol gerak tubuh mengenal bahasa namun tidak
secara utuh, sehingga bayi belum sepenuhnya dapat mengenal (saya, kamu, mereka,
dsb) serta berbagai tuntuan lain. Jadi semakin tuntutan bayi tidak terpuaskan, maka semakin
ia mulai mengenal bahasa, dan secara perlahan bayi memasuki tahap imaginer.
(2)The imaginary : (depends
on a division between self and other)
Dimasa ini bayi melewati masa ’Stage of Mirror’ yang
merupakan bagian dari fase imajiner, maka selanjutnya sang bayi memahami ada
bagian yang lain di luar dirinya. Di sinilah seseorang mencoba selalu belajar
dan mengenal bahasa. Mengenal bahasa adalah suatu keharusan, manusia hidup
dalam bahasa dan tidak dapat lepas dari bahasa.
Fase simbolik ini berlanjut di mana ‘the speaking’ subject terwujud, yang
ditandai dengan memposisikan dirinya sebagai ‘saya’. Di sini seseorang
memperoleh subjektivitas yang sadar dan memunculkan desire-keinginan karena adanya kesadaran tentang ‘individu-saya
sebagai subjek’. Meskipun desire
tersebut belum sepenuhnya bisa terkontrol dengan stabil. Ketidakterwujudan individu atas desire yang ada padanya, maka segala tuntutan dan keinginan
tersebut tetap terpaksa dikontrol, namun ia tidaklah musnah, dan akhirnya
tuntutan dan keinginan ini berlarut dan tersimpan.
(3) The
Symbolic : (the ordering structures of
language and grammar in which the Imaginary self-formulates)
Hasrat yang terpendam ini akhirnya kembali
tersimpan, dan sewaktu-waktu ia dapat muncul melalui bahasa atau perilaku
sehari-hari melalui mimpi, kesalahan, humor, dsb. Munculnya realitas dua berfungsi sebagai proses
pengontrolan hasrat dan represi yang selalu ditekan, namun ia masih menyisa dan
tidak musnah. Hal ini tetap berbekas,
oleh karena itu, gejala-gejalanya selalu tidak disadari (unconscious).
Unconscious inilah yang merupakan subject yang
sebenarnya, ketidaksadaran yang direduksi itu selalu ingin muncul, untuk dapat
memunculkannya melalui sebuah proses dream-work yang memunculkan fantasi-hasrat,
proses ini terdiri dari (condensation:
penyederhanaan) dan (displacement: pengalihan).
Atau yang juga disebut primary processes.[21]
Karena hasrat juga membentuk jiwa manusia, maka
hasrat-hasrat yang dimiliki subjek akhirnya menjadi basis bahasa atau penanda,
dan disitulah subjektivitas dapat berlaku. Dari hasrat ini dapat memunculkan
signifikasi atau makna-makna bersamaan dengan upaya subjek secara
contuinity mengendalikan desire-hasratnya.
Hasrat merupakan prinsip dari
perwujudan kekurangan (lack) yang
dialami individu. Kekurangan ini berkaitan dengan ketidakpuasan individu untuk
memenuhi hasratnya, karena pada umumnya berbenturan dengan aturan-aturan
sosial.
Dan untuk mengungkapkan hasrat, orang
menggunakan bahasa, tetapi bahasa juga mengekang manusia sehingga selalu hasrat
tidak terpenuhi. Konflik yang dimunculkan dari hasrat ini akhirnya membentuk
struktur ketidaksadaran (unconscious)
Dalam psikoanalisa, arah gerak
struktur Unconscious direpresentasikan melalui tulisan-tulisan. Lacan mengatakan
bahwa fenomena sosial selalu memiliki makna, dan psikoanalisis merupakan metode
penafsirannya. Untuk memahami kaitan semiotika dan psikoanalisa adalah dengan pandangan
psikoanalisa terhadap penomena sosial, yang dihubungkan dengan konsep subjek
dan bahasa. the speaking subject diperbudak oleh bahasa, ‘’bahasa adalah
penjara’’.
Artinya, setuju atau tidak setuju
bahasa adalah segalanya, dalam bahasa
makna dan tanda selalu memunculkan makna atau penanda yang baru.
Hubungan ini dapat dijelaskan dengan menurut prinsip metonimia dan metafora
(Saussure).
Walaupun telah banyak pergeseran dari linguistic ke psychoanalysis,
namun sesungguhnya hal ini merupakan bagian perubahan yang melesat cepat kearah
teori psikoanalisa yang merupakan bagian dari cinema. Disini Lacan
memperkenenalkan metode distinguishing
synchronic and diachronic structurings[22]
didalam bahasa, yang akan
memungkinkan kita untuk memahami lebih baik perbedaan nilai dari bahasa yang
kita asumsikan sebagai penafsiran dari the
resistances[23]
and the transference[24]
Linguistics dan psychoanalysis bukan sebuah pilihan atas
pertimbangan sepihak, tetapi merupakan cara pandang karena kita diperlihatkan
dua sains yang berhadapan secara langsung dengan pengertian masing masing.
Disinilah pengaruh utama Lacan yang memberikan fakta pergeseran linguistic
kepada psikoanalisa.
II.5. Dimensi prakstis psychoanalytic.
Fokus interest psychoanalytic merupakan tahap lanjut
dari semiotika yang berasal dari hubungan antara filmic image dan reality
bergeser terhadap konsep apparatus theory[25]
, sebuah bentuk dimana teory-ideologi yang berkembang ke dalam praktis,
sebagai inti-self dari film itu
sendiri. Pengembangan ini bukan hanya dilihat sebagai sisi efek dari instrument
dasarnya saja seperti kamera-proyektor dan layar, tetapi juga dilihat dari sisi
pengembangan atau bagaimana mengembangkan hasrat-keinginan penonton atas
istitusi sinema yang sangat tergantung pada tampilan object dengan berbasisi
ideologi.
Pendekatan Psikoanalisa disini bukan menyoroti
banyak hal dari berbagai meaning
mengenai psychology tetapi lebih
menyoroti satu sisi dimensi pada cinema yaitu dengan
pendekatan meta-psychological[26]
dimana realita merupakan realisasi pencerminan ide pada objek. Meta-psychological merupakan bentuk praktis dari teori psikoanalisa
karena dengan pendekatan ini merupakan titik temu antara activating and regulating spectatorial desire. Bentuk praktis ‘psychological’ disini bukan
merupakan penjabaran cara pandang classic seperti pendekatan the psychoanalysis of authors, plots, or characters,
yang dianggap tidak relevan karena hanya sebatas dunia ide-illusi.Pada tahapan
ini pola pandanglah yang harus bergeser.
Ahli teori psychoanalysa akan lebih tertarik pada menelaah tampilan
medium film sebagai dimensi psychic
(kekuatan jiwa-batin) dari sebatas kesan reality ‘impression of reality’. Sebab mereka mengkhawatirkan apakah hal
tersebut ‘impressi’ mampu menjelaskan ‘kekuatan yang luar biasa dari
cinema’ atas perasaan seseorang.
Daya magnit ‘cinematic
apparatus[27]’ telah di analisa dan menghasilkan sejumlah
factor:
the cinematic
situation (immobility,
darkness) dimana penonton dihadapkan
pada situasi gelap bioskop tanpa aktivitas selain diam dan menonton.
the enunciatory
mechanisms of the image (camera, optical projections, monocular perspective). Kinerja kamera
dan projeksi image memberikan keragaman perspektif atas image yang ditampilkan.
Sehingga bentuk penyajian dari cinematic
apparatus tersebut menghasilkan cue-isyarat
yang mempengaruhi subject dalam merepresentasikan diri mereka.
Adalah Jean Louis Baudry yang
pertama kali menggambarkan psychoanalytic theory sebagai karakterisasi cinematic apparatus sebagai sebuah
tekhnologi, lembaga-institusi, dan mekanika ideology yang kuat dalam
membangun ‘subjek-effect’, dimana kesadaran subject dibawa kepada
suatu kesadaran transendental, yaitu suatu rasa kesadaran menjadi dirinya dan
‘sesuatu’ yang lain secara bersamaan dan merupakan pendekatan yang
mendukung teori Psikoanalisa dalam sinema. Dalam tulisan Baudry,‘Ideological Effects of the Basic Cinematic
Apparatus’ (1971). Ia berargumen bahwa.
apparatus sinema telah memiliki daya tarik ’infantile narcissism’ dengan
‘mengagungkan’ the spectatorial subjects’
sebagai titik pusat dan asal dari arti yang tercipta.
Baudry postulated[28]
bahwa unconscious
merupakan lapisan bawah-bagian kecil dari
identifikasi, sebagai sebuah hal tiruan
apparatus (a simultation apparatus) dalam
cinema yang tidak hanya menghadirkan kembali ‘real-kenyataan’ tetapi juga
mendorong ketegangan ' subject-effects'.
Tulisan The Apparatus’ (1975) Baudry telah menyelidiki persamaan
antara the sense of Plato’s cave and the
apparatus of cinematic projection, dengan menyanggahnya bahwa sinema
didasari oleh realisasi teknik, sebuah cita cita yang telah bertahun tahun akan
sebuah kesempurnaan, total simulacrum,
dan sangat berbeda dengan hal hal yang dimunculkan-disebabkan langsung oleh
mimpi-dream.
Image pada layar, suasana gelap ruang bioskop, nuansa passive
penonton,ambient noises, adalah hal
hal yang dapat mempengaruhi pengalaman penonton,
dimana hal hal tersebut dapat membantu perkembangan pemikiran penonton atas
status tiruan yang merupakan kekurangan dari cinema dan hal inilah yang
membedakannya dengan mimpi, melalui konstruksi real dari mekanisme sinema,
image menciptakan suatu kesadaran transcendental kedalam pemikiran penonton.
III
PENUTUP
Psikoanalisa bisa dibilang terlambat
masuk dalam perkembangan teori film, meskipun umurnya hanaya terpaut setahun
dengan film, para ahli teori di era klasik lebih memperjuangkan ‘film as art’ sehingga psikoanalisa bisa dibilang hanya
mendapat porsi teknis, karena hanya dilihat dari sebatas sisi efek dan minimnya porsi analisa pada sisi subject, Usaha Hugo Munsterberg
sempat melirik pemikiran penonton dalam teorinya (1918) namun teori film
yang ia bangun dinilai tanpa reference, telah ada usaha dalam melirik psychology
sebagai sebuah konsep dalam film, meskipun film masih dianggap rendah dibandingkan
dengan seni yang lain pada saat itu, selain konsep ilmu psychoanalysa baru bisa
diterima diberbagai bidang ilmu pada tahun 1930an.
Berkembangnya semiotika dengan motto film as language menjadikan psikoanalisa
sangat berkembang, seiring pergeseran cara pandang dalam cinema memunculkan second semiology sehingga film tidak
lagi berbasis ‘film sebagai system tanda ataupun film adalah struktur’ dan
memunculkan banyak metode disiplin ilmu yang bisa diterapkan dalam teori film.
Di era second
semiology, psikoanalisa memang pantas diistimewakan, karena teorinya
merupakan sebuah sistem intelktual kuat
yang menyatukan anthropology dari Levi Strauss,
philosophy Heidegger, dan linguistic Saussure dan konsep
otentik Freud: ‘dreams as the royal road to the Unconscius’.
Jacques Lacan mengusung film
as subject-effect berbekal dengan senjata ampuh cinematic
apparatus, membuktikan bahwa pergeseran disertai perlunya paradigma baru membuktikan
bahwa
fenomena sosial selalu memiliki makna yang merupakan salah satu faktor terbesar
penyebab munculnya ilmu ini.
Film seperti sebuah mimpi, menuturkan cerita, sebuah cerita yang
dibuat dari berbagai image dan oleh karena itu ia bergema dan menyatu dalam
pemikiran kita.
(psychoanlysis.kajianmedia.ikj.09.Kritik
dan saran. yunus_pattawari@yahoo.co.id)
Reference
- Dudley Andrew.The Major Film Theories. Hlm 14. Oxford University Press. London, 1976.
- Robert Stam, Robert Burgoyne, and Sandy Flitterman-Lewis, NEW VOCABULARIES IN FILM SEMIOTICS, hlm 123, by Routledge, London, 1992.
- Robert Stam, FILM THEORY AN INTRODUCTION. hlm 158, Dept of Cinema Studies, New York University,2000.
- Sergei Eisenstein, FILM FROM and THE FILM SENSE. hlm xiii, Meridian books, New York 1958.
- www.wikipedia.org.
- www.psychoanlysa.com.
Psychoanalytic film theory
represents a development of
rather than a departure form- cine-semiotics, for, as Crhristian Metz points
out ‘ both linguistic studies and psychoanalytic studies are sciences of the
very fact of meaning. Of signification (Metz)
Some film theorist saw a relation between the way that the human psyche (in
general) and cinematic representation (a Particular) function, and felt that
Freud’s theory of human subjectivity and unconscious production could shed new
light on the textual processed involved in film-making and viewing. (New
vocabularies in new semiotics, p 123)
METAPSYCHOLOGICAL
The emphasis on unconscious processes in film studies is what is
known as the METAPSYCHOLOGICAL approach , because it deals with the
psychoanalytic construction of the cinema viewing subject.
The term METAPSYCHOLOGY was invited by Freud to refer to the most
theoretical dimension of his study of psychology, the theorization of the
unconscious. It involves the construction of a conceptual model (one that
defies empirical verification) for the functioning of the psychical apparatus
and is divided into three approaches :
the dynamic ( psychical phenomena are the result of the conflict of instinctual
forces)
the economic ( psychical processes consist in the circulation and distribution
of instinctual energy)
the topographical (psychical spase is divided in terms of systems –unconscious,
preconscious and conscious- and agencies – id, ego, super ego. (New vocabularies in new semiotics, p 124).
Uncoscious
For obvious reasons, then. The Uncoscious is central to both Freud
and Lacan. In very general terms, the unconscious refers to the division of the
psyche not subject to direct observation But inferred from its effects on
conscious processes and behavior.
The ‘unconscious’ is what Freud designates as that place to which
unfulfilled desires are relegated in the process of repression which forms it. 'As such, it ie conceived as that ‘other
scene/stage’ where the drama of the psyche (or in Lacanian terms,
subject-construction) is played out.
In other words, beneath our
conscious, daily social interactions there exists a dynamic, active play
of forces of desires that is inaccessible to our rational and logical
selves(though this division is not a simple as it sounds – there is constant,
transforming reciprocity between conscious and unconscious levels of activity)
The cinematic Apparatus.
Because the psychoanalytic constituotion of the film-spectator also
suggested ways of understanding the social impact of the cinema as an
institution, Metz
first made his claim for the psychoanalytic approach in terms of the cinema’s
institutional form.
In ‘The Imaginary Signifier’ he speaks of the ‘dual kinship’ between
the psychic life of the spectator and the financial or industrial mechanism of
the cinema in order to show how the
reciprocal relations between the psychological and the tehnological components
of the cinematic institution work to create in viewers not only a belief in the impression of reality offered
by its fictions, but deep psychic gratification and a desire to continually
return. It is worth citing the whole
passage, as this intersection of the psychicand the social is at the core of
the definition of the cinematic
Apparatus.
The cinematic institution is not just the cinema industry (which also works to fill
cinemas, not to empty them). It is also the mental machinery – another industry
– which spectators ‘ accustomed to the cinema’ have internalized historically,(MetZ)…(new
vocabularies in film semiotics, p 142)
PSYCHOANALYSIS.
Is a discipline, founded by Freud, whose object of study is the
unconsciousin all of its manifestations. As a method of investigation, it consists in bringing
repressed mental material to consciousness. As s method of therapy, it
interprets human behaviour in terms of :
1)
RESISTANCE : the obstruction of
access to the unconscious
2)
TRANSFERENCE : the
actualization of unconscious wishes, typically in the analytic situation, by
according a kind of value to the analyst which enables the repetition of early
conflicts; and
3)
DESIRE : the symbolic
circulation of unconscious wishes through signs bound to our earlist forms of
infantile satisfaction.
As a theory of human subjectivity, psychoanalysis describes the way
in which the small human being comes to establish a specific ‘self’ and sexual
identity within the network of social relations that constitute culture. It
takes as its objects the mechanism of the unconscious resistance, repression,
infantile sexuality, and the Oedipal complex and seeks to analyze the
fundamental structures of desire that
underlie all huma activity.…(new
vocabularies in film semiotics, p 124)
Subject Effect
This is what makes film-going similar to other fantasy situation
(daydreaming, dreaming, fantasizing), and provides the basis for the slippage
between dreamer and viewer that is the hinge of psychoanalytic film theory. The
cinema does, in fact, create an impression of reality, but this is a total
effect – engulfing and in a sense ‘creating’ the spectator- which is much more
than a simple replica of the real. Another term for this constellation of
features is the SUBJECT-EFFECT, and it comes from the fact that Baudry, in his
second essay, attributes film’s impression of reality not to its verisimilitude but to an
experience created in the viewer: ‘The entire cinematogrphic apparatus is
activated in order to provoke this simulation: it is indeed a simulation of a
condition of the subject, a position of the subject, a subject and not of
reality” ( Baudry in Cha 1980 : 60). (new
vocabularies in film semiotics, p 144)
Sign
Saussure also provided the most influental definition of the sign
within the semiotic tradition; he defined the sign as the union of a from which
signifies – the signifier – and an idea signified – the signified.
SUBJECT
For film theory, considering the unconscious meant replacing the
cinema as an ‘object’ with the cinema as
a ‘process’ seeing semiotic and narrative film studies in the light of a
general theory of SUBJECT-formation. The
term subject refers to a critical concept related to - but not equivalent with – the individual,
and suggest a whole range of determinations (social, politic, linguistic,
ideological, psychological) that intersect to define it. Refusing the notion of
self as stable entity, the subject implies, a process, of construction by
signifying practice that are both unconscious and culturally specific.
the subject implies, a process, of construction by signifying
practice that are both unconscious and culturally specific. (new vocabularies in film
semiotics, p 123)
PRIMARY PROCESSESS
These processes of the dream-work are called PRIMARY PROCESSES, and
they concist of CONDENSATION (in which a whole range of associations can be
represented by a single image), DISPLACEMENT (in which psychic energy is
transferred from something significant to something banal, conferring great
importance on a trivial item).
[1] Sigismund Schlomo Freud (Sigmund Freud) 6 May 1856
– 23September 1939, berprofesi dokter jiwa dan ahli saraf,
Ia mendefenisikan ulang konsep sexual
desire sebagai suatu bentuk yang terus bergerak dan mengarah kepada objek
yang luas. Ia terkenal dengan teori ‘the
unconscious mind’ , the mechanism
of repression, serta tehnik terapinya
pengobatannya yang berkaitan dengan value
of dreams.
[2] Jacques Marie-Émile Lacan (13 April 1901 - 9 September 1981) adalah
psikoanalis Prancis artikelnya, Ecrits (1966), berpengaruh banyak di
bidang linguistik teori film, dan kritik sastra. Ia mengembangkan psikoanalisa dari
metode unconscious Freud dan metode linguistic
Saussure.
[3] subjek-effect’ yaitu kesadaran subject dibawa kepada
suatu kesadaran transendental, yaitu suatu rasa kesadaran menjadi dirinya dan
‘sesuatu’ yang lain secara bersamaan dan merupakan pendekatan yang
mendukung teori Psikoanalisa dalam sinema.
[4] Representasi penyajian ideologis kedalam mekanisme film, seperti mekanisme
kamera, mekanisme editing, komposisi kedalam kultur penonton sebagai pusat
persfektif ideology., menurut Baudry Cinematic
Apparatus dipandang sebagai sebuah tekhnologi, lembaga-institusi, dan
mekanika ideology yang kuat dalam membangun
‘subjek-effect’
[5] Era
dimana teori Semiotika lebih berkembang dari sekedar ‘film sebagai
text-bahasa’. Pada era 1968 muncul suatu kecenderungan yang telah
melahirkan beberapa aliran besar dalam teori film terutama di Perancis,
sehingga memunculkan teori teori baru antara lain, Psikoanalisa, yang mendapat
perhatian lebih dalam semiology.
[6] Ferdinand de Saussure adalah tokoh semiotik dari
Prancis yang mengatakan bahwa tanda-tanda disusun dari dua elemen penting,
yaitu aspek citra tentang bunyi (penanda), dan sebuah konsep di mana citra
bunyi disandarkan (petanda).
[7] Formalism,
adalah sebuah teori film yang berkembang
di tahun 1918 konsepny a mengutamakan form
(bentuk) atau element yang terdapat dalam film. Seperti, editing, komposisi,
warna, pencahayaan, set dan suara Dalam teori ini pula eksplorasi medium sangat
diutamakan, sehingga isi tidak lagi menjadi penting. Tokoh utamanya adalah
sergei Eisenstein
[8]Realism : teori yang berkembang ditahun 1950,
dipelopori Andre Bazin yang menilai film merupakan media dan seni yang utuh dalam
membingkai realitas dibanding dengan seni atau medium yang lain. Konsepnya adalah representasi realita
Pemikiran realitas Bazin ini merupakan bentuk kontra terhadap Formalism film theory Sergei Eisenstein
yang telah berkembang sebelumnya.
[9] Sergei Mikhailovich Eisenstein (Russian; January 23, 1898 – February 11, 1948) was a revolutionary Soviet
Russian film director and film theorist noted in particular for his silent
films Strike, Battleship Potemkin and October, as well as historical
epics Alexander Nevsky and Ivan the Terrible
[10] Hugo Münsterberg (June
1, 1863 – December 19, 1916) was a German-American psychologist and film
theoriest. He was one of the pioneers in applied psychology, extending his research
and theories to Industrial / Organizational (I/O), legal, medical, clinical,
educational and business settings.
[11] André Bazin (April 18, 1918
– November 11, 1958) was a renowned and influential French film critic and
pioner of realist film theory.
[12] Metode Freud dalam menyembuhkan pasien pasiennya yang mengalami
gannguan kejiwaan.
[13] 1960 akhir, pemikiran ilmu sosial, kebudayaan, dan politik di Eropa
diwarnai dengan munculnya kekuatan baru para pemikir Marxis yang disebut
sebagai (Left Culturalism) atau (New Left). Berbeda dengan
pemikir-pemikir Marxis sebelumnya, kelompok baru ini dicirikan dengan
independensinya atas Partai Komunis dan kritiknya atas pemikiran Marxis
Komunis. Ideologinya semakin berkembangdiberbagai bidang dan dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif,
sebagai cara memandang segala sesuatu (ideology)
[14] Revolusi yang terjadi di Prancis, karena pemecatan ketua sinematic
PrancisHenry Langlois, Demonstrasi mahasiswa, sabotase festval Cannes,dll.
Throughout a week and such weeks few or
many
Recur each year for several years, can any
Discern the dream from real life in aught?
[16] Another term form erotic component of
seeing, because there is no precise distinction between the terms
in psychoanalytic literature.
[17] Istilah Voyeurism berasal dari Voyeur
yang artinya pemahaman dari seseorang yang mendapatkan kepuasan / kesenangan
dengan melihat seseorang tanpa busana atau aktifitas sex. Aktifitas itu
merupakan sebuah perbuatan yang asusila dan terlarang oleh sosial masyarakat
[18] Berasal dari kata Fetish
yang berarti bentuk perilaku kepuasan seksual dengan melihat sesuatu yang
memberikan kekuatan, Sesuatu itu biasanya berbentuk bagian dari tubuh terutama
pada tubuh wanita Dalam teori filn
feminism makna ini berarti sebuah bentuk pemujaan / kekaguman dan bukan pada menghasilkan kepuasan nafsu
[19] The mirror stage merupakan essai dan
menjadi metode Lacan dimana ia "mengembangkan konsep ( I – aku ) yang
diungkapkan melalui eksperimen psikology
(perkembangan bayi, populasi hewan, dsb) yang merupakan teori pertamanya yang
tercantum dalam Écrits buku
Lacan yang berpengaruh dalam teori film.
[20] Saussure also provided
the most influental definition of the sign within the semiotic tradition; he
defined the sign as the union of a from which signifies – the signifier
– and an idea signified – the signified.
[21] These processes of the
dream-work are called Primary processes, and they concist of CONDENSATION (in
which a whole range of associations can be represented by a single image), and DISPLACEMENT (in which psychic energy is
transferred from something significant to something banal, conferring great
importance on a trivial item)
[22] Metode Lacan yang menilai konsep Unconscious sebagai sebuah struktur, sama seperti menyajikan sebuah
bahasa yang berlanjut dan menjembatani satu sama lain diantara dua bidang ilmu,
bahasa dan jiwa.
[23] Resistance : Gangguan atau halangan dalam mengakses the unconscious
[24] Transference : the
actualization of unconscious wishes, typically in the analytic situation, by
according a kind of value to the analyst which enables the repetition of early
conflicts
[25] Apparatus theory diperoleh pada sebagaian
teori film Marxist, semiotic dan psikoanalisa, sebuah teori yang dominant dalam
cinema studies sepanjang tahun 1970an, yang lebih memelihara konsep cinema
itu sendiri sebagai ideology yang natural, sebab bentuk penyajiannya
mekanisme tersebut merupakan representasi dari ideology. Mekanika penyajiannya
antara lain meliputi mekanisme kamera, editing, . Sebuah penyajian yang
menempatkan penonton sebagai posisi central dalam persfektif dan penjabaran ideologi.
[26] meta-psychological; Penekanan atau perhatian
atas proses unconscious (Freud), didalam study film disebut sebagai pendekatan meta-psychological sebab bentuk pendekatan ini
berhadapan dengan konstruksi psikoanalisa yang menjadi viewing subject dalam cinema.
Istilah ini
mengacu pada kebanyakan teori yang mempelajari bidang psikologi (Freud), the theorization of the unconscious.
[27] Sebuah sistem representasi dan praktek material dalam proses
merealisasikan subjek yang dibangun oleh ideologi. Disini fungsi sinema sebagai
pendukung dan instrumen ideologi dalam menciptakan sebuah gambaran dunia ilusif.
[28] (postulated : sesuatu/teori yang dianggap sahih kemurniannya secara umum
tapi belum atau tidak mungkin
dibuktikan secara konkrit)
0 komentar:
Posting Komentar