BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Meski dikatakan sebagai masa
keemasan film Indonesia,
tahun 1970-an - 1980-an secara kualitas terutama pada persoalan tema dan cerita
film Indonesia
bisa dikatakan kurang variatif. Dua dekade tersebut dikuasai oleh film-film bertema serupa, drama romantis,
komedi, mistis, dan erotis.
Namun
secara kuantitas setidaknya dalam kurun waktu tersebut sekira 1.288 film
diproduksi, bila di kalkulasi setidaknya dalam setahun ada 64 film Indonesia
yang diproduksi atau sekira 5-6 film dalam sebulan. [1]
Walaupun dengan teknologi
seadanya dan seragam perfilman nasional saat itu tidak pernah kekeringan
produksi. Namun dengan ketatnya pengawasan terhadap isu yang bisa diangkat ke
publik termasuk dalam film, menyebabkan para sineas seakan kekeringan inspirasi
di tengah kemudahan infrastruktur pembuatan film. Maka tidak heran bila kondisi
perfilman Indonesia seperti yang diungkap sebelumnya, ‘kaya’ secara kuantitas
tapi ‘miskin’ kualitas.
Periode
ini juga menandai ‘keramahan’ Indonesia terhadap teknologi-teknologi yang
dikembangkan Barat khususnya Amerika setelah sebelumnya Indonesia – orde lama –
memboikot produk-produk budaya Barat karena dianggap anti revolusi. Sama halnya
dengan teknologi perfilman yang sebelumnya lebih banyak dirakit di dalam negeri
dengan suku cadang yang diimport dari Cina atau India[2].
Keterbatasan
teknologi juga berimplikasi pada terbatasnya teknik yang bisa digunakan dalam
pengambilan film. Trik kamera untuk menghasilkan visual yang lebih realistis
–seperti blue screen– juga sangat jarang
digunakan karena biaya yang terbatas,
demikian pula dengan teknik editing yang belum terlalu berkembang.
Hubungan style film dan teknologi belakangan dijelaskan oleh seorang
sejarawan film berkebangsaan Australia,
Barry Salt. Barry menyatakan
bahwa kondisi historis membatasi para sineas (sutradara) secara teknis. Hal ini
dapat ditelusuri melalu perkembangan teknologi perfilman yang melahirkan teknik yang semakin beragam.
Ia mencontohkan sebelum tahun 1950an film hanya hitam putih seiring ditemukannya
gambar berwarna kini sutradara memiliki lebih banyak pilihan shoot dalam hitam putih ataupun
berwarna. Pada akhirnya perkembangan teknologi di dunia sinema pun bukan
lagi merupakan tuntutan ilmu pengetahuan melainkan tuntutan hiburan terlebih
sejak film menjadi sebuah industri.
Keseragaman teknologi kamera dan editing menghasilkan style yang cenderung serupa. Hal ini
juga terjadi pada film Indonesia
sebelum memasuki tahun 1990-an yang dikenal dengan era digital. Dimana
keterbatasan teknik secara historis melahirkan style film yang mudah diamati seperti yang telah dibahas
sebelumnya.
Jika teknologi merupakan unsur yang menentukan style visual dalam film, maka kondisi
sosial politik menjadi unsur yang penting dalam wacana/tema film. Sudah menjadi
hal yang lazim di negara-negara otoritarian[3] film dijadikan media bagi penguasa dalam menyebarkan ideologi dan
melakukan propaganda. Indonesia
dalam masa pemerintahan orde baru juga mengalami hal serupa, selain membatasi
isu yang bisa diangkat dalam cerita negara juga menunggangi film sebagai alat
propaganda. Salah satu film fenomenal tersebut adalah film Penghianatan
G30S/PKI (1984) yang disutradarai Arifin C Noer
Saat itu Departemen Penerangan yang menjadi filter
negara terhadap isu-isu yang berkembang di publik mengalami keadaan yang
dilematis. DEPPEN bertanggung jawab mendorong produksi film nasional agar
memenuhi kebutuhan masyarakat dan dapat bersaing dengan film import selain
tetap menjalankan fungsi kontrolnya terhadap wacana yang berkembang.
Maka dibentuklah
Dewan Produksi Film Nasional (DPFN) pada 1968[4]. Lewat DPFN pemerintah mensubsidi produksi film nasional dan Badan
Sensor Film pun ikut melonggarkan kategori seks dan kekerasan dalam film.[5] Maka tidak mengherankan ketika itu para sineas memilih jalan aman
dengan tema film yang seragam dan menghindari polemik terhadap negara.
Namun usaha untuk memberikan alternatif tontonan
bukannya tidak dilakukan, termasuk menawarkan film-film dengan tema keIslaman.
Namun harus disayangkan film-film tersebut banyak mengalami hambatan disebabkan
isu yang diangkat (agama) adalah salah satu isu yang dianggap memiliki potensi
konflik yang besar oleh pemerintah saat itu.
Film-film tersebut bila tidak mendapat izin dan
permodalan terpaksa harus mengganti judul seperti yang dialami film Di Bawah
Lindungan Ka’bah karya alm Asrul Sani yang diangkat dari novel Hamka. Bukan
hanya terkatung-katung persoalan izin shooting namun judulnyapun harus diganti
menjadi Para Perintis Kemerdekaan (1977) yang akhirnya menghilangkan esensi
dakwah Islam di dalam film tersebut. Bahkan film Atheis karya Sjuman Djaya
mengalami cekal atau larangan edar.
Pelarangan
terhadap penggunaan terminolog agama tertentu dalam hal ini Islam dalam judul
film berhasil di patahkan oleh Chaerul Umam, salah satu sutradara yang berani
mengambil resiko memberikan tontonan yang berbeda ditengah keseragaman cerita
dalam film-film saat itu. Filmnya Al Kautsar
(1977) berhasil melawan arus di tengah film-film bertema pergaulan
bebas.
Film yang mengangkat tema keIslaman tersebut berhasil
meraih simpati masyarakat bahkan merebut penghargaan FFA XXIII di Bangkok untuk
tata suara terbaik[6].
Film Al Kautsar sendiri merupakan film kedua CHAERUL UMAM setelah debut
perdananya dalam film komedi berjudul ‘Tiga Sekawan’ (1976).
Menariknya, dalam film yang dibintangi WS Rendra
tersebut menampilkan tokoh alim/ustadz bukan sebagai orang yang suci yang
memiliki ilmu sakti dan mampu mengusir hantu atau setan. Sesuatu yang baru
dalam cerita film Indonesia
yang mempersepsikan Islam sebagai alat pengusir hantu seperti yang banyak
ditampilkan dalam film-film horor diera tersebut.
Chaerul Umam sendiri tidak memiliki latar pendidikan
film formal, sebelumnya dia adalah aktor teater bersama Arifin C Noor. Saat itu
tercatat cukup banyak penggiat teater yang memilih untuk berkarier di dunia
perfilman yang lebih dikenal dengan generasi ekspansi. Maka tidak heran awal
tahun 1970-an, film Indonesia
sangat kental dengan setting dramaturgi teater, di mana penggunaan long shot dan wide anggel lebih mendominasi. CHAERUL UMAM sendiri belajar film
secara otodidak dari rekannya alm. Asrul Sani.
Sejak kesuksesan Al
Kautsar, Chaerul Umam dikenal sebagai sutradara dengan film-filmnya yang
sopan dalam artian dia menolak untuk menyutradarai film-film yang berbau seks
baik yang bergenre komedi maupun horor. Bahkan ketika menyutradari film Sama
Juga Bohong (1986) yang dibintangi Warkop DKI, Chaerul Umam berhasil
menyingkirkan kesan Warkop sebelumnya dengan lebih menguatkan pada alur narasi
dan penceritaan dibanding menarik penonton dengan visual perempuan-perempuan
seksi.
Hingga kini dia masih mempertahankan idealitasnya
terhadap sinema Islami ketika menyutradarai sinetron di TV swasta periode tahun
1998-2000, sampai film terakhirnya yang diangkat dari novel best seller dengan
judul yang sama Ketika Cinta Bertasbih I dan II (2000-2001).
Sejak 1975 hingga 2001 ada 22 film yang telah CHAERUL
UMAM produksi 20 diantaranya tercatat dalam Katalog Film Indonesia 1926-2005.
22 film Chaerul Umam tersebut adalah :
1.
Tiga Sekawan (1975)
2.
Al Kautsar (1977)
3.
Cinta Putih (1977)
4.
Sepasang Merpati (1979)
5.
Betapa Damai Hati Kami (1981)
6.
Gadis Marathon (1981)
7.
Tiitian Serambut Dibelah Tujuh
(1982)
8.
Hati Yang Perawan (1984)
9.
Kejarlah Daku Kau Kutangkap
(1985)
10.
Bintang Kejora (1986)
11.
Sama Juga Bohong (1986)
12.
Terang Bulan Di Tengah Hari
(1988)
13.
Joe Turun Ke Desa (1989)
14.
Malioboro (1989)
15.
Boss Carmad (1990)
16.
Jangan Bilang Siapa-siapa
(1990)
17.
Om Pasikom (1990)
18.
Nada Dan Dakwah (1991)
19.
Ramadhan Dan Ramona (1992)
20.
Fatahillah (1997)
21.
Ketika Cinta Bertasbih I (2009)
22.
Ketika Cinta Bertasbih II
(2010)
Setelah melewati tiga dekade perfilman Indonesia
dengan gempuran perkembangan sinema baik dari segi teknologi maupun wawasan
perfilman. Chaerul Umam tetap mempertahankan identitasnya di film beraliran Islami
melalui film terakhirnya ‘Ketika Cinta Bertasbih’ I dan II. Selain itu semua
film Chaerul Umam menggunakan kamera film/celluloid 35mm ditengah paparan media
baru kemunculan teknologi video dan digital.
Kamera video dan digital dalam dunia film telah digunakan
sejak awal 1990-an, karena dianggap sebagai proses yang lebih mudah dan biaya
yang minim dibanding penggunaan bahan baku
- kamera film. Di Indonesia sendiri tak terlepas dari hal tersebut bila kita
berbicara teknologi dalam sinema, sejak Belanda memperkenalkan dunia film
melalui ‘Loetoeng Kasaroeng’ 1926, teknologi kamera praktis hampir tidak ada
perubahan yang signifikan selain teknologi hitam putih ke warna di tahun
1940-an, sebelum teknologi video diawal 1990-an hadir dan teknologi digital di
awal 2000-an dikenal dalam teknologi perfilman indonesia, selebihnya bisa
dikatakan bahwa kurang lebih tujuh dekade perfilman kita menggunakan teknologi
kamera film baik dengan format 16mm atau 35mm.
Seiring penggunaan teknologi baru –video dan digital- tersebut
melahirkan citra baru dalam sinema Indonesia kontemporer. Secara
ontologis camera video dan digital memiliki kedalaman yang berbeda dengan
film/seluloid. Hegemoni televisi yang mendominasi saat perfilman Indonesia mati
suri medio tahun 1990-an juga ikut andil dalam membentuk citra tersebut.
Disini kita bisa mengambil banyak pertanyaan sederhana
‘apakah perkembangan teknologi tersebut mempengaruhi tematik dan style sebuah
film?’ atau ‘apakah dengan teknologi yang sama akan menghasilkan style yang sama
pula?’ dimana sebelumnya Barry Salt menanggapi perspektif sinema melalui style
bahwa dengan teknologi yang sama akan menghasilkan kecenderungan yang sama
pula.
Secara kasat mata perkembangan style film Indonesia
kontemporer lebih sering menggunakan close-up dan medium shot sehingga latar belakang
secara luas tidak diperlihatkan[7].
Penekanan
pada wajah dan karakter, bukannya pada visual keseluruhan sering diindikasikan sebagai pinjaman dari konvensi sinetron (drama
serial) televisi Indonesia
yang banyak bercerita tentang kehidupan keluarga kelas menengah dan atas
dengan setting rumah-rumah mewah dengan dekor yang berlebihan.[8]
Film terakhir Chaerul Umam yang diangkat dari sebuah
novel dengan judul yang sama Ketika Cinta Bertasbih termasuk dalam kategori
film Indonesia
kontemporer sempat mendapat banyak kritikan karena terkesan mengikuti arus yang
telah ada. Bukan hanya narasinya namun juga tampilan style Chaerul Umam yang dianggap terlalu mengikuti arus dominan.
Benarkah tampilan visual atau style film-film Chaerul Umam telah berubah bahkan telah mengalami
degradasi? Sementara teknologi baik dari pengambilan gambar menggunakan kamera
film 35mm maupun teknik editing yang digunakan pada semua film Chaerul Umam
adalah sama. Sementara merujuk pada pendapat Barry Salt yang menyebutkan bahwa style sutrdara dipengaruhi oleh historis
teknologi[9]. Di mana penggunaan teknologi dengan teknik yang
sama akan cenderung menghasilkan style
yang sama pula.
Hal ini dapat dibuktikan dengan mengukur style dalam film itu sendiri. Di mana
sesungguhnya hal yang paling empiris dalam film adalah style terutama yang berada dalam kendali
sutradara[10]
Merujuk pernyataan Sergei Eisentein,
adalah style yang merupakan
sesuatu yang paling mudah diidentifikasi
dalam film. Maka
Style film sendiri dapat diukur melalui
parameter shot dimana metode
pengukuran style ini dikenal sebagai stylometry atau lebih akrab disebut Statistical Style Analysis yang
lebih lanjut diperkenalkan oleh Barry Salt.
Fungsi dasar statistik adalah mengukur
atau menjumlah data kemudian merepresentasikan data tersebut sebagai aturan
dasar yang bersifat tetap atau final. Dalam analisis style, statistik digunakan menganalisa atau lebih tepatnya mengukur-style.
Pendekatan statistik dalam penelitian film
memberikan hasil secara visual angka-angka yang lebih jelas dan
sistematis.
Metode yang diperkenalkan Barry Salt ini
dapat digunakan dalam membuktikan asumsi bahwa dengan teknologi yang sama maka style film cenderung sama. Karena itu penulis tertarik untuk
melakukan penelitian terhadap film-film Chaerul Umam dengan pendekatan analisis
statistik dengan judul :
“ANALISIS STYLE CHAERUL UMAM
MELALUI PENDEKATAN STATISTIK BARRY SALT”
I.2. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini antara lain :
1.
Bagaimanakah style Chaerul Umam secara statistik
setiap dekade?
2.
Adakah perbedaan yang cukup signifikan pada style film Chaerul Umam baik dari mise-en-scene maupun secara statistik?
3.
Bagaimana transformasi style Chaerul Umam pada filmnya?
4. Apakah indikasi dari perubahan style
Chaerul Umam?
I.3. Signifikansi Penelitian
Maraknya penelitian film
dengan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif dan subjektif, membawa
penelitian film semakin jauh dari sains/ilmiah. Dimana selama ini sains dalam
film selalu dikaitkan dengan teknologi-teknologi yang digunakan dalam membuat
film yang merupakan disiplin ilmu yang berbeda dengan disiplin analisis/kajian
film seperti fisika dan kimia.
Padahal sebagai disiplin ilmu, analisis/kajian
film seharusnya dapat memberikan sesuatu yang lebih ilmiah, objektif dan
terukur. Penelitian ini merupakan upaya
mengembalikan kajian film sebagai sains murni, bukan sebagai kontruksi
manipulatif yang selalu mangkait-kaitkan konteks film dengan realitas diluar
dirinya yang merupakan hasil pengalaman subjektif peneliti sebelumnya.
Dengan demikian kita dapat
memberikan alternatif lain dalam penelitian film sekaligus menempatkan bidang
kajian film setara dengan disiplin ilmu sains seperti fisika, biologi, kimia
dan mate-matika.
I.4. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis
ingin menyajikan style film Chaerul Umam
pada awal kariernya sebagai sutradara sejak tahun 1970-an hingga
karyanya yang terbaru 2010. Style ini didapatkan dari pengambilan dan
penghitungan elemen mise-en-scene dalam film sampel yang
penulis ambil per-satu tahun setiap karya Chaerul Umam.
Selanjutnya hasil-hasil
tersebut akan dipersentasekan untuk lebih lanjut digeneralisir sebagai style atau karakter film Chaerul Umam.
Perbedaan yang terdapat pada style filmnya dapat disimpulkan sebagai bagian
dari transformasi style Chaerul Umam
selama lebih 30 tahun masa kariernya.
I.5. Metode Penelitian
A. Rancangan penelitian
Untuk mengetahui style Chaerul Umam dalam film-filmnya,
penulis melakukan penelitian dengan cara mencari literatur film-film Chairul
Umam pada mulai periode 1970an hingga 2000an. Setelah
itu penulis mengumpulkan artikel-artikel yang membahas tentang film karya
Chaerul Umam.
Selanjutnya
data-data tersebut tersebut penulis pisahkan
dan mengambill masing-masing satu judul film yang diproduksi setiap
dekade dimulai dari 1970-an hingga produksi terakhirnya di tahun 2000-an
sebagai bahan/sampel yang akan penulis bongkar dan sesuaikan dengan hipotesa
yang telah terkumpul.
B. Subjek
Penelitian (Populasi dan Sampel)
Populasi merupakan keseluruh elemen, atau unit
elementer, atau unit penelitian, atau unit analisis yang memiliki karakteristik
tertentu yang dijadikan sebagai objek penelitian. Pengertian populasi tidak
hanya berkenaan dengan ”siapa” tetapi juga berkenaan dengan apa. Istilah elemen, unit elementer, unit penelitian, atau
unit analisis yang terdapat pada
batasan populasi di atas merujuk pada ”siapa” yang akan diteliti atau unit di mana
pengukuran dan inferensi akan dilakukan
(individu, kelompok, atau organisasi), sedang penggunaan kata karakteristik merujuk pada ”apa” yang
akan diteliti. ”Apa” yang diteliti tidak hanya merujuk pada isi, yaitu ”data apa” tetapi juga merujuk pada cakupan (scope)
dan juga waktu.[11]
Berdasarkan penelusuran telah
dilakukan, dalam Katalog Film Indonesia 1926-2005 penulis menemukan 20 film
karya Chaerul Umam yang dibuat pada periode 1970-1990an. Penulis juga menemukan
2 film yang diproduksi periode tahun 2000an jadi total film Chaerul Umam yang
telah diproduksi adalah 22 film. Maka 22 film ini selanjutnya akan disebut sebagai populasi dalam penelitian ini. Adapun
populasi dalam penelitian ini adalah :
1.
Tiga Sekawan (1975)
2.
Al Kautsar (1977)
3.
Cinta Putih (1977)
4.
Sepasang Merpati (1979)
5.
Betapa Damai Hati Kami (1981)
6.
Gadis Marathon (1981)
7.
Tiitian Serambut Dibelah Tujuh
(1982)
8.
Hati Yang Perawan (1984)
9.
Kejarlah Daku Kau Kutangkap
(1985)
10.
Bintang Kejora (1986)
11.
Sama Juga Bohong (1986)
12.
Terang Bulan Di Tengah Hari
(1988)
13.
Joe Turun Ke Desa (1989)
14.
Malioboro (1989)
15.
Boss Carmad (1990)
16.
Jangan Bilang Siapa-siapa
(1990)
17.
Om Pasikom (1990)
18.
Nada Dan Dakwah (1991)
19.
Ramadhan Dan Ramona (1992)
20.
Fatahillah (1997)
21.
Ketika Cinta Bertasbih I dan
22.
Ketika Cinta Bertasbih II
Selanjutnya, dari ke-22 populasi yang telah ditemukan
penulis menentukan sampel yang akan digunakan sebagai objek penelitian. Sampel
akan penulis pilih melalui pemilihan film-film per-dekade. Dengan asumsi bahwa
setiap satu film akan menjadi perwakilan dari dekade diproduksinya film
tersebut, ini juga akan menjadi penanda style Chaerul Umam pada tahun yang
bersangkutan. Hal ini juga agar memudahkan penulis mengidentifikasi film secara historis
dan teknologi yang digunakan.
Adapun kriteria film sampel akan dipilih sesuai dengan
persamaan-persamaan yang terdapat pada gendre dan tema yang diangkat per dekade
chaerul umam berkarya. Hal ini bertujuan agar memudahkan
penulis untuk mengumpulkan parameter formal yang menjadi data primer yang akan
diukur. Untuk itu penulis memetakan film-film Chaerul Umam kedalam tiga
kriteria sesuai gendrenya yaitu
1. Religius
: Al Kautsar (1977), Titian Serambut Dibelah Tujuh (1982), Nada
dan Dakwah (1992), Fatahillah (1997), Ketika Cinta Bertasbih (2009), Ketika
Cinta Bertasbih II (2010).
2. Komedi : Tiga Sekawan (1975), Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1985), Sama Juga
Bohong (1986), Bintang Kejora (1986), Joe Turun Ke Desa (1989), Om Pasikom
(1990), Jangan Bilang Siapa-siapa (1990).
3. Drama : Cinta Putih (1977), Betapa Damai Hati Kami (1981), Gadis Marathon
(1981), Hati Yang Perawan (1984), Terang Bulan Di Tengah Hari (1988), Malioboro
(1989), Boss Carmad (1990), Ramadhan dan Ramona (1992).
Secara statistik, film-film Chaerul
Umam berdasarkan gendre-nya dapat dilihat dalam diagram berikut :
Gambar 1. Persentase
film Chaerul Umam
|
36.36%
|
27.27%
|
31.81%
|
Dari diagram diatas kita dapat lihat persentase film-film Chaerul
Umam dilihat dari genre filmnya. Gendre drama merupakan film dengan judul
terbanyak dari karya-karya Chaerul Umam sebesar 36.36% atau sekira 8 judul.
Kemudian komedi dengan persentase 31.81% atau 7 judul film dan yang terkecil
adalah gendre religi dengan persentase 27.27% atau sekira 6 judul film.
Selanjutnya untuk mendapatkan sampel yang diinginkan,
maka penulis kembali membagi film-film Chaerul Umam sesuai dekade (per 10
tahun), gendre dan judul film. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel
berikut ini :
Periode
|
Gendre film
|
Judul Film
|
1970-an
|
Drama
Komedi
Religi
|
Cinta Putih (1977), Sepasang Merpati (1979)
Tiga Sekawan (1975),
Al Kautsar (1977)
|
1980-an
|
Drama
Komedi
Religi
|
Betapa Damai Hati Kami (1981), Gadis Marathon (1981),
Hati Yang Perawan (1984), Terang Bulan Di Tengah Hari (1988), Malioboro
(1989)
Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1985), Bintang Kejora
(1986), Sama Juga Bohong (1986), Joe Turun Ke Desa (1989)
Tiitian Serambut Dibelah Tujuh (1982)
|
1990-an
|
Drama
Komedi
Religi
|
Boss Carmad (1990), Ramadhan Dan Ramona (1992)
Jangan Bilang Siapa-siapa (1990), Om Pasikom (1990)
Nada Dan Dakwah (1991), Fatahillah (1997)
|
2000-an
|
Drama
Komedi
Religi
|
-
-
Ketika Cinta Bertasbih I (2000), Ketika Cinta Bertasbih (2001)
|
Dari tabel di atas dapat kita lihat bahwa setiap periode karya
Caherul Umam tidak melahirkan gendre film yang sama. Periode tahun 2000-an
tampak pada tabel gendre drama dan komedi kosong, sehingga dua gendre tersebut
tidak dapat dikomparasikan dengan film yang lain dari tiga periode sebelumnya
(1970, 1980, 1990). Sehingga sampel yang tepat untuk penelitian ini adalah
film-film caherul umam adalah gendre religi, Ini dapat dilihat dari tabel di atas yang
menunjukkan bahwa setiap periode karir Chaerul Umam pasti mengeluarkan satu
atau dua film religi.
Meski berada pada persentase terkecil dari film-film
caherul umam, penulis melihat Chaerul Umam konsisten dalam memproduksi film
bergendre religi setiap periode karirnya.
Adapun persamaan tema/gendre sampel yang penulis pilih akan memudahkan penulis untuk mengumpulkan parameter formal yang
menjadi data primer yang akan diukur nantinya. Karena itu penulis
memilih film-film Chaerul Umam yang bergendra religi sebagai sampel atau objek
penelitian untuk mengungkap style Chaerul Umam secara statistik. Adapun
film-film tersebut adalah :
1. Al Kautsar mewakili periode
1970an
2. Titian Serambut Dibelah Tujuh
mewakili periode 1980an
3. Nada dan Dakwah mewakili periode
1990an
4. Ketika Cinta Bertasbih I
mewakili periode 2000an
C. Pengumpulan
Data
Penelitian ini akan memakan waktu sekitar empat hingga enam
bulan untuk merampungkan data serta menganalisis data-data yang telah
dikumpulkan.
D. Analisis Data
Adapun analisis data yang digunakan akan menggunakan Statistical Style Analysis yang
diperkenalkan oleh Barry salt. Ide dasar
dibalik metode ini
adalah analisis gaya statistik,
bahwa setiap bentuk film terasa berbeda
dari satu ke yang
lain, metode semacam ini memberikan berbagai dinamika variabel yang berfungsi untuk mendeteksi atau membuktikan apakah
konsep yang ada dalam pembuat film benar-benar dituangkan kedalam filmnya.
Artinya semua bentuk didalam film adalah design.
Selain hal tersebut metode ini bertujuan sebagai
komparasi terhadap satu film dengan film lainnya. Menurutnya,
film tidak hanya terpaku pada persoalan
naratif, karena ada bagian-bagian
yang jelas lebih konkrit yang bisa dijadikan ‘barang bukti’ untuk
menginterpretasikan sebuah pemahaman akan makna film.
1.6. Sistematika Penulisan
Skripsi ini akan ditulis
dengan sistematika sebagai berikut:
-
Judul Skripsi
-
Lembar Pengesahan
-
Prakata
-
Daftar Isi
BAB I. PENDAHULUAN
Bab ini berisi latar belakang
persoalan, rumusan masalah, signifikansi, tujuan, metode penelitian dan
sistematika penelitian. Dalam bab ini pula dibahas
tentang informasi-informasi dasar tentang Statistical style analysis serta objek penelitian yang diambil dalam
skripsi ini.
BAB II. METODE
ANALISA
Bab ini akan membahas tentang teori Statistical style
analysis yang diperkenalkan oleh Barry
Salt. Hal-hal yang melatar belakangi teori ini hadir dan bagaimana metode
analisa yang ditawarkan oleh Barry Salt.
BAB III. ANALIS
STYLE FILM CHAERUL UMAM
Bab ini akan berkonsentrasi pada analisis style film-film CHAERUL UMAM melalui
unsur-unsur Mise-en-scene
antara lain Shot Length, Komposisi, Camera Movement, dan Durasi
masing-masing film sampel.
BAB IV. STYLE
FILM CHAERUL UMAM
Bab ini akan membahas lebih lanjut hasil-hasil analisis
bab sebelumnya serta melakukan interpretasi terhadap data-data yang telah
dihasilkan dari penelitian sebelumnya.
BAB V. KESIMPULAN
Kesimpulan akan berisi hal-hal yang dianggap penting
yang telah menjadi hasil dari penelitian ini.
Selain itu, bab ini juga akan mencakup pertanyaan-pertanyaan yang belum
terjawab melalui penelitian yang dilakukan dan yang akan menjadi sarana bagi
penelitian-penelitian baru dimasa yang akan datang.
BAB II
TEORI FILM DAN KOMPLEKSITAS REALITAS
II.1. Perjalanan Teori
Film
Meski masih terbilang baru sebagai kajian akademik,
teori mengenai film bisa dikatakan sama tuanya dengan medium film itu sendiri. Kajian film mulai terbentuk antara dekade
tahun 1960 dan 1970, ketika itu cara menonton kritis menjadi perbincangan di
Eropa Barat dan Amerika Serikat. Teori film saat ini memiliki cakupan konsep
yang berbeda-beda dan saling melengkapi satu sama lain dalam rangka mendekati
film sebagai objek studi tersendiri.
Dalam mempelajari film baik
secara teoritis maupun metodelogis, ada tiga aktifitas penting yang
membingkainya, yaitu : (1) teori film, (2) kritisisme film, dan (3) sejarah
film. Namun secara garis besar kajian film dapat dipelajari melalui dua
pendekatan yang membentuk teori-teori film yang berkembang hingga saat ini.
Yang pertama adalah wacana formal-estetik yang menitikberatkan pada aspek
formal dari film sebagai sebuah art form dan yang kedua adalah wacana
kritik yang menitik-beratkan pada aspek sosio-kultural-ideologis yang
terkandung dalam sebuah film[12].
II.1.1. Teori Film Klasik : Wacana Film Sebagai Seni
Pendekatan yang pertama melahirkan apa yang kini dikenal
sebagai teori film klasik yang berkembang sejak awal abad 20 (sekira tahun 1915-an hingga 1960-an).
Teori ini menganggap penting dan mencoba
membahas tentang ontologi sinema. Bagi teori film klasik, pertanyaan tentang
asal-muasal sinema dan posisi sinema dalam bidang seni merupakan pertanyaan
penting. Teori film klasik mencoba untuk memberi nilai spesifik sinema[13].
Bagi teori film klasik, sinema harus dilihat ontologinya: apakah sinema/film
itu, apakah dia seni, apa yang membuatnya bisa disebut seni, dan apakah
tujuannya.
Gerakan ini merupakan bentuk
pembangkangan para teoritisi dari kelompok Rusia terhadap praktek
industrialisasi film ala pabrik seperti yang dilakukan studio-studio besar
seperti Hollywood. Kelompok ini ingin
memperlakukan film sebagai ‘lebih dari sekedar hiburan’. Mereka punya cara
pandang sendiri dalam melihat sinema, film dan segala macam kegiatan
produksinya bagi mereka adalah aktifitas seni.
Kelompok ini bukan hanya
terdiri dari para pembuat film tapi juga kritikus, filsuf, dan teoritis; pada
periode inilah teori film berkaitan erat dengan mazhab formalisme Rusia yang
juga mendedikasikan diri pada proses pembuatan sinema secara teknis (film
technique). Dalam wacana formalisme, film harus selalu dinilai dari
kegunaan artistiknya[14].
Teori film klasik melahirkan
dua tradisi besar, yaitu formalisme dan realisme. Tradisi formalis muncul
pertama kali melalui tulisan Hugo Munsterberg di tahun 1916 (The Photoplay:A
Psychological Study) dan mencapai kematangan dalam teori-teori Sergei Eisenstein
(1898-1948). Sebaliknya, tradisi realis dimulai oleh
karya Siegfried Kracauer di tahun 1947 (From Caligari to Hitler:A
Psychological History of the German Film) yang disusul oleh karya seminal, Theory
of Film:The Redemption of Physical Reality pada tahun 1960[15]
A.
Formalisme : film sebagai seni murni
Sergei
Eisenstein, Lev Kuleshov, Dziga Vertov, dan Rudolf Arnheim merupakan beberapa teoritisi yang intens mempromosikan
wacana ‘film sebagai seni’ dalam tradisi teori film klasik. Arnheim dan
Eisenstein adalah teoritis pertama yang menganalisa bagaimana film melahirkan
makna dan sekaligus hubungannya dengan bentuk-bentuk seni. Seni yang
dikatakan oleh Gotthold Lessing[16]
haruslah terbukti benar dan sesuai dengan sifat yang mendasarinya. Film bisa menjadi seni yang sejati
bilamana ia menemukan sifat dasarnya sendiri.
Rudolf Arnheim dalam bukunya Film as Art
yang diterbitkan tahun 1932 menyebutkan bahwa film bisa meraih statusnya
sebagai ‘seni’ ketika film punya esensinya sendiri dan terbukti berbeda dengan
esensi seni yang lain, seperti seni rupa dan teater. potensi estetis film
justru terletak pada keterbatasan mediumnya; ketika film terbukti tidak bisa
menghadirkan kenyataan sehari-hari sepersis aslinya, maka disitulah film bisa
menggali potensi kreatifnya sendiri.
Namun dengan ceroboh Arnheim menyimpulkan bahwa
keistimewaan yang dimiliki oleh film adalah bahwa ia tidak berwarna dan tidak
bersuara, juga tidak memiliki aspek tiga dimensi, namun bisa menggambarkan
kontinuitas ruang dan waktu terutama oleh macam film naratif. Tentu saat itu ia
luput mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa dicapai film melalui
teknologi.
Berbeda dengan Arnheim yang bereaksi cukup keras
dengan hadirnya film berwarna dan bersuara karena menganggap film akan kehilangan
sisi artistiknya, teoritis macam Eisenstein dan Kuleshov lebih mendalami
kemungkinan dimana film bisa disusun oleh beberapa shot untuk
melahirkan makna tertentu, fenomena yang kemudian dikenal dengan teknik
montage.
Eisenstein mengeksploitasi kemungkinan editing sampai pada taraf yang
tidak terduga. Sementara Kuleshov mengembangkan kemungkinan montage
berupa konstruksi makna yang berbeda tergantung pada urutan shot yang
dihadirkan kepada pemirsa. Dalam istilah perfilman masa kini, konstruksi makna
ini akhirnya dikenal dengan sebutan “Efek Kuleshov”.
Terlepas dari bagaimana film dapat dilihat sebagai
seni murni, keberadaan formalisme sebagai pondasi awal dari teori film memberi
kesadaran bahwa keterbatasan film dalam menangkap realitas justru memungkinkan
film untuk memanipulasi fungsinya dari sekedar media perekam menjadi alat
pencerita yang kuasa menyedot penonton kedalam dimensi yang sama sekali
berbeda.
B. Realism : Menggugat
Keterbatasan Film
Masih pada era yang sama, estetika formalisme yang
terletak pada montage dan ketak-tercukupan film dalam merekam realitas dibantah
oleh tradisi realisme yang memperluas
pembahasan mengenai film pada topik-topik yang lebih luas seperti proses
representasi dan realitas sosial. Realisme pertama kali dicetuskan oleh kritikus
film Prancis André Bazin. Ia berpendapat bahwa kekuatan terbesar sinema justru
terletak pada kemampuannya menghadirkan kembali realitas sebagaimana aslinya.
Tradisi intelektual Bazin dipengaruhi oleh tradisi
fenomenologi Bergson, eksistensialisme Jean Paul Sartre dan Personalisme[17]. Pada prakteknya Bazin lebih mengandalkan
direct recording process atas mise-en-scene sebagai teknik
pengambilan gambar sinematik sebuah film. Ia menganggap
bahwa deep focus dan long take marupakan cara untuk menggapai derajat
realisme tertinggi. Menurutnya film tidak memiliki keterbatasan dalam merekam
realitas, satu hal yang bertentangan dengan tradisi film sebelumnya.
Realism
Bazin berpandangan teknik montage merupakan bentuk pemaksaan sutradara dalam
menyusun sebuah totalitas shot-shot yang bersifat fragmentaris. Dalam konteks ini, montage akan merusak
realitas dengan cara menyusun shot-shot hanya untuk menimbulkan efek
atau ide tertentu. Sementara, penganut realisme ingin menjaga kontinyuitas
temporal dan kesatuan spasial dimana hal ini merupakan posisi ontologis
daripada estetis film.
Mazhab realis tidak pernah menggunakan montage
untuk merubah atau menambah realitas film[18],
bahkan Bazin selalu mengkritik montage karena mengkhianati kenyataan dan
membohongi penonton. Struktur naratif realisme menghormati durasi sebenarnya
dari peristiwa dan tidak memotong-motongnya. Konsep durasi Bazin diambil dari
terminologi Bergson tentang durée. Menurut Bergson, untuk mengalami
kenyataan dengan sebenar-benarnya, kita harus masuk ke dalam fluks (perubahan
terus-menerus) itu sendiri. Durasi adalah sesuatu yang kita tangkap dengan
kebebasan penuh, kesadaran diri, dan otentisitas[19].
Kajian Bazin terhadap film-film Orson Welles
kurang lebih menjadi manifestasi awal teori auteur dalam sejarah kajian
film. Ia mengadopsi tradisi kesenian lain (sastra) ke dalam film. Teori Auteur
mencari bentuk keselarasan dalam karya-karya seorang sutradara. Apabila
terdapat konsistensi keselarasan dalam karya-karya itu, maka si pembuat film
layak mendapat gelar ‘auteur’, sama derajatnya dengan seniman atau sastrawan.
Pada periode ini pula, muncul genre
theory, bentuk analisis sinematik yang diadaptasi dari pendekatan telaah
seni sastra. Para kritikus Cahiers du Cinema menggunakan genre theory
dalam mendefinisikan film kriminil gelap Amerika Serikat sehingga melahirkan
istilah film noir.
Selanjutnya artikel kritis di jurnal Cahiers
du Cinema menjadi pelopor dari aliran neorealisme
(1952) Italia. Di mana arus ini ikut ditandai dengan lahirnya sebuah
gerakan sineas muda di Prancis sekira tahun 1958 dan 1964. French
new wave memperkenalkan style film ala avant garde[20] yang beranggaran rendah.
Gerakan ini memiliki prinsip yang
berbeda 180º dari sinema klasik Prancis yang
menitik beratkan film pada kekuatan narasi yang ketat yang digambarkan oleh
Godard sebagai estetika deterministik plot yang menindas penonton. Mereka
bahkan selalu mengingatkan bahwa film hanyalah urutan gambar yang bergerak,
bagaimanapun bagusnya cahaya dan bayangan yang dihasilkan. Pada akhirnya french new wave sebagai sinema Eropa
modern memfokuskan diri pada teknik sebagai style
film itu sendiri.[21]
II.2. Teori Film Modern ; ‘Mengorek‘ Kekuatan
Sosial-Ideologis Film
Teori film modern populer
sepanjang tahun 1970-1980-an, tidak terlepas dari kuatnya pengaruh cultural studies pada dekade tersebut.
Mazhab ini memandang film sebagai sistem yang
terstruktur dan tertutup. Juga sebagai ilusi dari realitas. Dari sudut
epistemologi, aliran ini memandang hidup secara ideologis. Estetikanya adalah:
“bagaimana sebuah film menciptakan makna yang tersembunyi.
Secara intrinsik mempelajari film memang penting dan
mungkin, meskipun terkadang harus dianalisis lewat wacana seni dan estetika
yang lebih luas – lintas teori –. Hal ini justru untuk menempatkan film sebagai
objek kesenian lengkap dengan karakteristik formalnya sendiri. Pendekatan ini
berupaya untuk melihat film secara sosial dan ideologis, menganalisa apa yang
menjadi representasi dalam film baik dari segi style maupun narasinya, lalu
mencari pola hubungannya dengan konsep sosial-politis (biasanya yang dianut
oleh peneliti film itu sendiri).
Modus yang digunakan selalu mencari tahu siapa atau apa
yang berada di balik semua produksi kultural. Cultural studies sebagai bagian
dari tradisi kritis marxisme selalu mencurigai produk kultural seperti film
pasti digunakan oleh satu atau beberapa pihak dalam masyarakat untuk meraih
atau mempertahankan kepentingan politis-ekonomis tertentu[22].
Tradisi ini banyak dipengaruhi oleh paham Gramscian dan
Althusserian yang dipadukan dengan konsepsi Adorno mengenai ‘industri. Sekali
film dilihat sebagai produk kultural, maka ia akan selalu tampak sebagai gejala
modernitas, yang tak pernah bisa lepas dari kapitalisme, industrialisme, budaya
urban, dan massa
yang tersentralisasi[23].
Wacana film sebagai produk kultural-ideologis merupakan
identifikasi unsur politik representasi dalam film yang dipengaruhi oleh ilmu
semiotika – salah satu varian dari ilmu linguistik – yang muncul pada tahun
1970-an. Peneliti film saat itu menyandarkan penelitiannya pada ajaran-ajaran
linguistik Ferdinand de Saussure dan konsepsi semiotika Charles Sanders Pierce.
Mereka berpendapat bahwa film lebih dari sekedar seni,
film adalah fenomena linguistik. Dengan demikian terbuka kemungkinan baru untuk
menjawab pertanyaan ‘Apa sebenarnya film itu?’ (dalam terminologi semiotika)
dan bagaimana ia bekerja dalam sistem secara keseluruhan. Pelopor pemikiran ini
yang paling berpengaruh adalah Christian Metz.
Pengaruh Marxis dalam periode ini sangat kental. Jika sebelumnya
kajian tentang film banyak meminjam teori dari bidang seni lain –terutama
sastra dan teater – maka pada periode ini paham marxis selalu melakukan
‘penetrasi’ terhadap teori-teori yang digunakan membahas film. Salah satu yang
cukup populer adalah psikoanalisa Freudian yang oleh Jacques Lacan digabungkan
dengan paham Marxisme[24].
Salah satu contoh dari hasil analisis berbasis
psikoanalisis-Marxian ini dapat dilihat pada teori aparatus yang salah
salah satunya diprakarsai oleh Jean-Louis Baudry. Baudry melihat bahwa cinematic
apparatus (teknik seperti editing, camerawork dan proyeksi ke
layar) sebagai perangkat ideologis semata. Ia bahkan menganalogikan film dengan
mimpi seperti halnya Freudian psikoanalisis yang memberikan perhatian pada
mimpi sebagai dobrakan dari represifitas alam bawah sadar kita (unconciousness).
Namun konsep ini segera dibantah oleh beberapa kritikus, yang paling getol
adalah Nöel Carroll.
Nöel Carroll menyebut Lacan –dengan teorinya – telah
melakukan mistifikasi film[25].
Menurutnya penggabungan teori – psikoanalisis dan marxis – tersebut hanya akan
menghambakan film pada ‘kekuatan sosial-ideologis yang tak kelihatan’ (unwitting
instructor of political ideology)[26].
Carroll memberikan contoh tentang film-film hollywood
dalam kacamata teori Lacan akan selalu dinilai mengusung nilai-nilai
kapitalistik yang tentunya negatif berdasarkan ukuran Marxisme. Ditambah teori
psikoanalisa yang digunakan akan segara mendiagnosa bahwa film-film tersebut
mencerminkan kondisi masyarakat yang sedang sakit.
Akhirnya, interpretasi film melalui teropong
psikoanalis-Marxis bersifat patologis dan negatif. Film akan terbaca sebagai
bentuk hasrat yang direpresi oleh kelas berkuasa sehingga memunculkan penyakit
dalam bentuk sinema. Film hanya akan dianggap sebagai pasien, lalu para
teoritisi film bertindak sebagai psikiater.[27]
Pada periode ini kritikus film cenderung ingin
membongkar agenda setting politik yang tersembunyi di balik sebuah medium film.
Hal ini banyak diadopsi oleh para feminis, poskolonialis, dan teoritisi queer
cinema yang selanjutnya diamini
oleh paradigma posmodernisme sebagai gelombang teori yang datang
belakangan.
Meskipun posmodernisme tidak punya kerangka teoritis
yang baku, tapi
tetap memandang film merupakan penanda (signifier)
ideologi yang sedang berkuasa. Para
posmodernis selalu berusaha mencari apa yang tersembunyi, melihat film dengan
seksama lalu membicarakan isinya.
II.3. Teori Film
Kontemporer ; Neoformalisme Dan Teori Kognitif
Dalam teori film kontemporer setidaknya ada 2 hal yang
menjadi catatan penting, yaitu kembalinya paham formalisme baru (neoformslism) dan masuknya pendekatan
kognitif dalam teori film. Teori film kontemporer melihat film sebagai suatu
sistem terbuka, estetika film kini mengarah pada cinematic poetics sebagai ontologinya.
Munculnya kerangka neoformalisme dalam kajian film hadir
nyaris bersamaan dengan tenarnya semiotika strukturalis dalam kajian film tahun
1960-an. Banyaknya karya-karya Viktor Skhlovsky serta beredarnya kembali
esai-esai Eisenstein memicu kegiatan kritik film untuk berjalan paralel dengan
tradisi new criticism yang dimiliki kajian sastra. Hal
ini juga menimbulkan ketertarikan
untuk mengkaji kembali formalisme Rusia muncul di Barat.
Neoformalisme sama sekali
tidak keluar dari ‘pakem’ sebelumnya, metode ini tetap dan masih tertarik pada
kajian artistik film itu sendiri; bahasa sinematik, aspek naratif, gaya
konstruksi, dan relasi antara konstruksi formal dari film dengan pengalaman
(psikologis) penonton film itu sendiri. Victor F. Perkins lewat bukunya Film
as Film (1972) yang pertama kali memperkenalkan neoformalisme meski ia
bersikeras menolak kaitan disiplin ilmu lain dalam membahas film. Ia mencari
celah agar kita bisa menganalisa film dari sudut pandang yang paling ontologis.
Selanjutnya neoformalisme dikembangkan oleh para ilmuwan film dari Universitas
Wisconsin-Madison, seperti David Bordwell dan istrinya Kristin Thompson pada
tahaun 1980-an.
Asumsi-asumi neoformalis berkerja didasari pada dua hal:
cinematic poetics dan historical poetics. Kedua konsep ini
diadopsi kedalam konteks dimana film diproduksi lewat sebuah mode praksis yang
akhirnya berpengaruh pada interaksi gaya
dan naratif dan berujung pada film secara keseluruhan. Dalam
pendekatannya, neoformalis menganggap bahwa ada kesenjangan antara sebuah
persepsi film dan semiotik, juga perbedaan antara bentuk alur dan konstruksi
cerita. Dua hal yang diabaikan oleh pendekatan terdahulu yang dikalaim sebagai ‘Grand Theory’ seperti semiotika, hermeneutika, psikoanalisa
Lacan dan poststrukturalisme.
Historical poetics/cinematic
poetics/neoformalis dan pendekatan film kognitif menghindari pencatutan a
priori atas film. Mereka senantiasa menggali bukti baik dari dalam film itu
sendiri (unsur yang terkandung dalam gaya
penyampaian dan naratif) atau konteks historis dimana film itu dibuat. Lewat
pendekatan kognitif, bukti-bukti empiris bisa mengiringi studi sinema
menyangkut hubungannya dengan alam pikiran dan respon penonton (seperti emosi,
ketegangan, identifikasi dan kenyamanan) selama menonton. Melalui perspektif
ini, kita bisa membangun pengetahuan yang lebih sehat, konstruktif, dan berguna
mengenai sinema yang hingga kini masih memesona para penontonnya dari semua
belahan dunia.
Menurut Bordwell menonton film bukanlah merupakan
pengalaman yang komplet. Penonton tidak akan disuapi secara otomatis oleh total
keseluruhan cerita yang disampaikan, atau disebut fabula[28]
dalam bahasa formalis Rusia, sehingga penonton menggunakan schemata untuk mengorganisir informasi lewat plot yang diberikan. Schemata
adalah konsep yang diadopsi Bordwell dari psikologi kognitif yang intinya
adalah sebuah sistem pengorganisiran informasi kedalam kategori-kategori yang
akan dipergunakan kembali ketika kita menemukan situasi baru dengan informasi
baru pula agar proses pemahaman kita terhadap situasi dan informasi baru
tersebut menjadi lebih mudah. Dalam konteks menonton film, schemata
berfungsi sebagai sebuah mekanisme psikologis yang berusaha menjelaskan proses
penarikan kesimpulan dan komprehensi cerita ketika kita menonton film-film
naratif.
Konsep yang ditawarkan Brodwell ternyata menjadi tonggak
penting lahirnya pendekatan baru dalam teori film yang dikenal dengan
‘pendekatan film kognitif’. Dimensi yang ditawarkan Brodwell mengintegrasikan
cara memahami narasi yang terkandung dalam sebuah film atau karakteristik dari
genre (movement) film tertentu seperti Soviet Montage Cinema
(Eisenstein dkk) atau French New Wave (Godard, Truffaut dan Rohmer).
Bersama rekannya Noël
Carroll, mereka intens memperkenalkan pendekatan barunya. Noël Carroll dalam
bukunya Mystifying Movies: Fads and Fallacies in Contemporary Film
Theory, menolak pendekatan
psikoanalisa-Lacan karena dianggap akan menjadikan film sekedar mitos. Meski teori psikoanalitik-marxis-semiotik saat ini masih mendominasi kajian film, mereka menawarkan
alternatif pendekatan yang mereka sebut sebagai ‘Kognitivisme’.
Aliran kognitif tidak terlepas dari perkembangan ilmu
psikologi yang ‘menyusup’ masuk kedalam kajian seni dan sastra sepanjang lima belas tahun terakhir[29]
yang dikenal dengan ‘psikologi evolusioner’ (evolutionary psychology).
Psikologi revolusioner telah menjadi alat bantu para kritikus sastra maupun
film dalam memetakan pola aktifitas manusia ketika sedang bergumul dengan
pengalaman naratif. Psikologi dan biologi evolusioner membantu para ilmuwan
dalam memahami fungsi, meminjam istilah Terrence Deacon, ‘aesthetic faculty’
searah dengan sejarah kaum Homo sapiens.
Joseph D. Anderson dalam bukunya The Reality of
Illusion menjelaskan bahwa proses mengakses film berbanding lurus dengan
persepsi ekologis manusia sebagai makhluk yang dipandang senantiasa bergerak
oleh lingkungannya[30].
Dimana dengan memahami dan menggali psikologi dan biologi evolusioner tersebut,
fenomena alam pikiran seperti emosi, kenyamanan, metarepresentasi, dan
hubungannya dengan kajian film dan sastra seperti identifikasi, ketegangan dan
keterkejutan, bisa dijelaskan dengan cara menelusuri evolusi otak manusia[31]
Inti dari pemahaman Anderson adalah bahwa pengalaman menonton
film merupakan suatu ilusi dimana kerja otak manusia –sebagai mamalia- telah
mengalami tipuan sehingga apa yang tampak di layar akan disangka sebagai
realitas, disini letak ilusi film. Tipuan ini bekerja melalui sistem penginderaan manusia yang dikontrol oleh
satu prinsip organisasi yang disebut veridicality. Prinsip veridicality
kurang lebih menekankan bahwa persepsi manusia akan dunia haruslah berada
semirip mungkin dengan perkiraan manusia itu sendiri akan dunia (yang dalam
hubungannya dengan seni visual, tidak berdasar pada tujuan, melainkan hasil)[32] bahkan seringkali manusia mengalami ilusi
dalam kondisi sadar[33].
Anderson merujuk pada
teknologi 3-D, dimana gambar diproyeksikan pada medium dua dimensi, lalu
ditayangkan di hadapan manusia. Manusia akan berkali-kali menerima ilusi bahwa
sesuatu tengah bergerak kearahnya dan sebagainya, padahal sebenarnya tidak.
Sinema bisa menghadirkan ilusi yang bersifat paradoksal terhadap prinsip
penginderaan manusia atas realitas.[34]
II.4. Statistik Dalam Teori Film : Objektif, Terukur Dan Sistematis
Sepanjang perjalanan teori film, kita dapat melihat
bagaimana persepsi dan interpretasi menjadi tujuan utama dalam menentukan apa
sebenarnya film itu? Baik secara ontologi maupun epistemologis. Seolah-olah,
ketika film tidak mampu dipersepsikan ataupun diinterpretasi oleh penonton maka
film tersebut kehilangan eksistensinya.
Hal inilah yang belakangan menjadi konsentrasi seorang
sejarahwan yang juga kritikus film berkebangsaan Australia, Barry Salt (1933)
sejak tahun 1980-an. Film haruslah memiliki eksisitensi yang sama bagaimanapun
bentuk narasi, teknik maupun editing yang digunakannya sebab film merupakan
satu entitas yang empiris. Mengkaji film berdasarkan persepsi dan interpretasi
hanya akan memetakan film menjadi dua kelas; yang bagus/baik dan yang jelek/buruk
seperti yang dilakukan oleh teori auteur
yang dipopulerkan oleh Andrew Sarris[35].
Prinsip dasar teori Auteur Sarris
menggunakan tolak ukur dari seberapa besar peran/ pengaruh sutradara dipandang
dari sudut style, kreatifitas maupun psikologis dalam menyumbangkan nilai
estetik kedalam karya filmnya. Apabila peran/ pengaruh sutradara tersebut
sangat menonjol, maka ia layak disebut
sebagai seorang Auteur. Dan menurut Sarris, gelar Auteur yang disandang
sutradara tersebut akan cenderung melekat terus meskipun beberapa filmnya tidak
menampilkan kriteria tersebut. Teori ini akan menjadikan sebuah film Auteur lebih berharga dibanding dengan karya film Non-Auteur. Satu hal yang nilai Salt sangat subjektif
dan jauh dari kaidah ilmiah[36].
Sayangnya hal ini juga menimpa
teori-teori film yang sudah ada. Setidaknya ada 3 hal yang menjadi kelemahan
teori-teori tersebut menurut Salt : (1) ketidak-konsisten-an teori-teori
tersebut dalam menginterpretasi film, (2) Tidak adanya rumusan/ kriteria yang
pasti, (3) Subjektif / kriteria tergantung dari intepretasi sang kritikus.
Bagi Barry, memasukkan teori
dari disiplin ilmu lain kedalam kajian film seperti tidak menjadi masalah
selama teori tersebut dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah pada disiplin
ilmu dasarnya. Berbeda dengan Perkin yang menolak total teori lain dimasukkan
kedalam kajian film. Namun salt memberikan kecermatan dan ketelitian yang ketat
sebagai catatan dalam mengadopsi teori lain dalam mengkaji film sebab
memasukkan teori-teori yang terbukti gagal di disiplin ilmunya kedalam kajian
film merupakan hal yang sia-sia baginya.
Ia mencontohkan teori
psikoanalisa yang banyak diadaptasi dalam teori film yang secara nyata minim
tingkat kesuksesannya dalam penyembuhan pasien gangguan mental[37].
Sehingga tidak ada alasan baginya untuk mempercayai teori tersebut. Meski
dengan tegas ia nyatakan bahwa ia meyakini tentang keberadaan the Unconscious Mind (alam bawah sadar
manusia) yang dicetuskan oleh Sir Francis Galton, ilmuan pendahulu Sigmun
Freud, hanya saja Salt merasa teori Freud tidak memuaskan dan bukanlah medium
yang tepat mengkaji interpretasi film.
Meski harus diakui ketentuan
dasar kajian interpretasi film maupun media seni lain yang ’legal’ merupakan
polemik yang tidak berkesudahan disebabkan oleh
cara pandang para individu dalam
mengartikan makna atau simbol dalam
tampilan sebuah visual film atau karya seni lainnya. Masing-masing kritikus
film, sineas dan para pelaku film memiliki motif agenda, ekspektasi, maupun
latar belakang sosio ekonomi serta
budaya sendiri dalam mengambil sikap
yang berkenaan dengan proses interpretasi sinema.
Secara umum dapat digambarkan dua kutub yang saling
berlawanan dalam pengaplikasian interpretasi film.
·
Yang pertama adalah, pandangan
ekstrim yang menolak sama sekali keberadaan kajian interpretasi film yang sah
(Barry Salt menganggap pandangan ini sebagai lelucon belaka, karena
dibalik penolakan mereka atas keabsahan
sebuah kajian interpretasi mereka tetap
memberikan analisa/ kritik pada film)
·
Kedua, merupakan pandangan konservatif yang jauh lebih toleran terhadap beraneka
ragam variasi dalam kajian film, dimana
unsur-unsur sinema seperti, konteks, narasi, visi dsb menjadi faktor
pertimbangan.
Dengan berpatokan pada konsep konservatif ini, maka muatan religi yang
terkandung dalam sebuah film religius bila dikaji dari persfektif keagamaan
oleh sosok sutradara yang ‘tidak beragama’ akan dianggap tidak sah.
Ketika seorang kritikus film
menggunakan intuisi pribadinya kedalam proses interpretasi, maka yang terjadi
adalah kita sebagai penikmat film akan
kian tersudut pada pengembangan wawasan
dan terjebak sistem analisa yang sangat subjektif.
Pada akhirnya Barry Salt menyerukan
pentingnya seorang reviewer/ kritikus
film untuk lebih mempertimbangkan aspek teknis, yang antara lain melibatkan depth of field, editing, shot selection, dsb kedalam rumusan
interpretasi filmnya. Hal ini
yang menurut Salt menjadi kekurangan yang menonjol dikalangan kritik akademis
saat ini.
Berpegangan
pada aspek konstruktif dalam memformulasikan rumusan teori filmnya, Salt
kemudian menggunakan metode analisis dan evaluatif yang seobjektif mungkin
dalam menelaah lebih dalam tentang berbagai unsur dalam cinema. Metode analisis
dipandang perlu demi menguji seberapa
tinggi tingkat akurasi rumusan teori yang digunakan, demikian juga
halnya dengan metode evaluatifnya.
Menurutnya
kajian sinema yang ideal harusnya meneladani aspek-aspek positif yang ada pada sains yang lebih stabil dan mapan
seperti biologi dan fisika, yang mana terdapat kesamaan baik dalam esensi
maupun metode pengajaran baik di
Inggris, Rusia, Amerika serta China. Bukannya malah terbuai dengan retorika
spekulatif.
Meski
menurutnya kajian film tidak memilki kapasitas untuk dapat tumbuh dan kemudian
berkembang menjadi sains murni dikarenakan sifat dasar dari kajian itu sendiri yang cenderung
bersifat eksperimental, inovatif, serta kental dengan aroma kompleksifitas.
Singkat kata, tidak ada aturan baku yang mengatur nilai nilai estetika yang
terkandung didalam medium sinema, sehingga bisa dikatakan estetika dalam sinema
seakan akan bersifat sebagai alat kosmetik belaka.
Analisa film versi Barry Salt terbagi
atas tiga unsur, yaitu :
1)
Berdasarkan Konstruksi
teknisnya (jenis kamera yang digunakan, ukuran lensa, angle, editing, art
direction dan tata ruang)
2)
Style (executive and artistic
decision) sang sutradara. Dimana menurut Salt faktor kedua ini lebih banyak
diabaikan dalam perumusan teori film dewasa ini.
3)
Dan yang terahir dan relatif
kurang signifikan dari dua faktor diatas adalah film dapat dianalisa dengan
mengukur seberapa besar tingkat respon dari penonton.
Sedang dalam
kriteria evaluasi film, Barry mengklasifikasikan 3 aspek utama yaitu; (1)
Originalitas, (2) Pengaruh film tersebut dengan film lainnya dan (3) seberapa
besar visi dan pengaruh kreatif sang filmaker terpenuhi dalam film garapannya.
Sama seperti mereka
yang membawa strukturalisme, formalisme, psikoanalisa maupun semiotik ke dalam
analisa film, Barry memperkenalkan kepada kita suatu metodelogi yang cukup
asing dalam dunia kajian sinema, statistik. Sama seperti metode semiotik
strukturalism, pendekatan yang digunakan Barry mengabaikan pertanyaan mengenai
estetika dan efektivitas phenomenologi untuk mengeksplorasi
produksi makna teks sebagai Aset strategi diskursif. Ia bahkan memperlakukan
teks secara ‘kasar’ dengan merobeknya manjadi averege shot lenghts, camera
movements, shot types, dll)[38].
II.5. Statistik ; Pendekatan Baru Dalam Analisis Style
Obsesi Barry Salt
untuk menggunakan metode penelitian film yang lebih sistematis, terukur dan
lebih objektif ia temukan dalam penelitian kuantitatif. Analisis style
kuantitatif di sini melibatkan statistik baik secara deskriptif dan inferensial[39]. Tujuan utamanya adalah mengumpulkan jumlah dan frekuensi data
parameter formal sutradara kemudian
diwakilkan ke dalam grafik, persentase, dan rata-rata panjang tiap shot (ASL).
Pendekatan statistik dalam penelitian
film memberikan hasil secara visual
angka-angka yang lebih jelas dan sistematis, dalam hal ini Barry Salt dengan
berani menyebut metode penelitian film dengan pendekatan statistik
merupakan Scientific realism[40]. Statistical
style analysis sendiri secara spesifik memiliki 3
tujuan standar, yaitu:
1.
Menawarkan analisis style dengan menggunakan pendekatan
kuantitatif.
2.
Menghindari
sengketa teks yang berkaitan dengan atribut kepenulisan
3.
Untuk mengidentifikasi kronologis film ketika adegan atau
urutan komposisi tidak jelas atau tidak runut.[41]
Menggunakan
perasaan mungkin dengan mudah dapat mengidentifikasi perbedaan style beberapa sutradara seperti ’Fritz
Lang cenderung menggunakan long shot
seperti film Renoir’ dengan asumsi bahwa sang sutradara lebih menyukai long
shot., Namun bila diamati secara detail idea tersebut sangat meragukan, dengan
melakukan pengamatan dan membandingkan secara statistik menunjukkan bahwa hal
itu tidak semudah menonton satu atau dua film yang dianggap bagus[42].
Statistical style analysis sendiri merupakan kritik terhadap teori mise-en-scene, di mana keduanya
sama-sama menggunakan material film sebagai bahan atau objek analisisnya. Dengan memasukkan statistik sebagai alat
analisa, Statistical style analysis
berhasil menghindari hubungannya antara style dan tema sebuah
film, sesuatu yang menjadi fokus pada teori mise-en-scene yang
’mati-matian’ membantah asumsi bahwa tampilan scene dalam sebuah film
(gerakan kamera, tata cahaya, dll) hanya keperluan estetika semata[43].
Analisis style dalam pendekatan statistik menunjuk satu set pola
terukur yang secara signifikan menyimpang dari norma kontekstual
film.
Tujuannya adalah mengindetifikasi
style individu sutradara dengan
mengumpulkan data parameter formal secara sistematis terutama yang berada dalam
kendali langsung sutradara seperti :
• Duration of the shot (termasuk panjang rata-rata per-shot, atau Average shot length/ASL)
• Shot scale
• Camera movement.[44]
Penghitungan dapat dilakukan dengan
mengukur panjang pita film atau durasi pada film yang menggunakan cakram
digital (CD) selang satu menit atau 100-ft pada film 35mm. pada kenyataannya
Barry hanya mengumpulkan shot yang
muncul dalam 30 menit film yang dianalisanya. Menurutnya shot-shot yang muncul 30 menit awal film merupakan repsentasi
sampel film tersebut. Namun belakangan, keputusan menghitung shot seluruh film
dilakukan agar skala shot lebih akurat.
II.6.
Metode Analisis
A.
Average shot length/ASL
Konsep ASL merupakan panjang dari film dibagi dengan jumlah shot di dalam film, yang dapat dinyatakan sebagai panjang fisik yang
sebenarnya dari film atau lebih dikenal
sebagai durasi. Sebelumya untuk film yang menggunakan
celluloid/film bisu dimana kecepatan proyektor mempengaruhi durasi Salt menggunakan satuan feet yang diambil dari panjang pita. Namun hal ini menimbulkan
persoalan ketika perbandingan dilakukan dengan film-film yang dibuat pada masa
yang berbeda. Untuk itu Salt mengganti satuan ASL menjadi detik, mengingat
akurasi persentase kecepatan proyektor pada film bisu hanya memiliki perbedaan
yang sangat kecil.
Dalam penghitungan statistiknya, Salt
merekomendasikan beberapa cara untuk memilih interval waktu yang digunakan
dalam menghitung ASL, yaitu :
1. Gunakan interval waktu per satu menit atau 60 detik
pada film dalam cakram digital (CD) atau 100-ft pada film 35mm.
2. Lakukan perhitungan jumlah tipe shot dalam angka
(misalnya 50 tipe shot) kemudian hitunglah jumlah shot dari keseluruhan tipe
shot yang ada.
3. ASL atau panjang rata-rata shot didapat dari
perhitungan interval waktu keseluruhan scene dalam film. Kemudian hitunglah
jumlah shot seluruhnya. Jika scene
berlangsung 2 menit (120 detik) dan jumlah shot setiap scene adalah 12 maka
ASLnya adalah 10detik (ASL = durasi scene : jumlah shot)
B.Scale Shot
Pada mulanya Salt mendapatkan skala
shot kebanyakan dari data-data untuk ASL (scene dan jumlah shot) dan hasil
persentase terbalik dari potongan angle yang diambil dari 30 menit panjang film
atau setidaknya 200 shot. Namun kriteria tersebut tidak memuaskan dengan range error mencapai lebih 10%. Karenanya distribusi skala shot sekarang
diambil dari keseluruhan panjang film. Adapun tipe shot
yang dihitung adalah :
1.
Extreme Close Up (ECU)
2.
Close Up (CU)
3.
Medium Close Up (MCU)
4.
Medium Shot (MS)
5.
Medium Long Shot (MLS)
6.
Long Shot (LS)
7.
Very Long Shot (VLS)
C. Camera Movement
Tren menggunakan gerak kamera yang luas munChaerul Umaml
pada akhir abad ke-12 dan masih berlangsung hingga memasuki periode film
bersuara. Hal ini memunChaerul Umamlkan perbedaan antara jumlah shot dengan
gerak kamera (Camera Movement).
Perdebatanpun muncul tentang apakah gerak kamera merupakan salah satu bagian
dari style sutradara dimana gerak kamera tidak menampakkan kerja-kerja
sutradara didalamnya melain kerja cameraman.
Namun menyadari bahwa gerak kamera berada dalam
kewenangan sutradara dalam hal ini kamera bergerak sesuai keinginan sutradara
dan lebih jauh melihat kedekatan kerja antara sutradara dan cameraman yang
lebih dibanding kru lainnya, dalam hal ini jika sutradaramemutuskan untuk tracking shot maka eksekusi berada pada
operator kamera dibanding lighting
cameraman.
Alasan tersebutlah yang membuat Salt menyimpulkan bahwa
camera movement merupakan bagian dari style sutradara. Adapun penghitungan
skala camera movement mencakup:
1.
Pan
2.
Tilt
3.
Pan With Tilt
4.
Track
5.
Track With Pan
6.
Crane
DAFTAR PUSTAKA
Salt, Barry, Film Style and Technology : History and Analysis, London: Starword Publishing, 2003
Salt,
Barry, Moving Into Pictures. London
: Starword Publishing, 2006
Thomas Elsaesser & Warren
Buckland, Studying Contemporary American Film, London : rnoldpublishers,
2002
Kristanto,
JB, Katalog Film Indonesia 1926-2005,
Jakarta : Penerbit Nalar, 2005
David Bordwell & Kristin
thompson, Film Art : An Introduction. Mc Graw-Hill: 1993 Fourth edition.
Salim,
Agus, Teori dan Paradigma Penelitian
Sosial, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006
Gibbs, John. Mise-en-scène. United Kingdom:
Wallflower Press, 2002.
Arikunto,
Suharsimi, Manajemen Penelitian, Jakarta : PT. Rineka
Cipta, 2009
Bungin,
Burhan, Metodologi Penelitian
Kuantitatif, Jakarta : Kencana,2010
Surakhmad,
Winarno, Dasar dan Teknik Research;
Pengantar Metodologi Ilmiah, Bandung : Tarsito, 1978
Jurnal ‘Jejak Film Bihari’, Bandung : PPDP-FFI 2008
Biran, H.
Misbach Yusa, Apa-Siapa Orang Film Indonesia, Jakarta : Depertemen
Penerangan Republik Indonesia & Sinematek, 1979
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke Tiga, Jakarta
: Departemen Pendidikan Nasional & Balai Pustaka, 2005
[3] Otoritarianisme merupakn bentuk
organisasi yang ditandai dengan penyerahan kekuasaan penuh. Dalam politik
pemerintahan otoriter kekuasaan terkonsentrasi pada satu pemimpin hal ini
kontras dengan demokrasi.
[5] ibid 3
[6] ibid 1
[7] Mempertanyakan Bahasa Visual ‘Baru’ dalam
Sinema Indonesia, Veronika Kusumaryati, Jurnal Imaji semester ke dua,:
2009
[8] Ibid 8
[9] Film Style and Technology :
History and Analysis, Barry Salt, London:
Starword Publishing, 2003
[10] Studying Contemporary American Film, 2002
[11] Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Kuantitatif, Jakarta : Kencana,2010
[12] Richard Dryer, “Introduction to Fim Studies,” dalam The
Oxford Guide to Film Studies
[13] John Hill dan Pamela Church Gibson (ed.), The Oxford Guide to Film
Studies, Oxford University Press, 1998.
[14] Ibid 1
[15] J. Dudley Andrew, The Major Film Theories:An Introduction,
Oxford University Press, 1976, bagian Bibliografi.
[16] Gotthold Ephraim Lessing (1729 –1781), seorang filsuf,
kritikus seni dan penulis kebangsaan Jerman. Ia dikenal sebagai sejarawan teater
yang pertamakali memperkenalkan dramaturgi.
[17] Ian Aitken, European Film Theory and Cinema:A Critical
Introduction, Edinburg
University Press, 2001
[19] Ian Aitken, ibid
[20] A.O. Scott, Living for
Cinema, and Through It, New York Times, June 25, 2025,
[21] Pier Paolo Pasolini, Heretical Empiricism, Garzanti : 1972
[22] Richard Dryer, ibid hal 6
[23] Ibid hal 8
[24] Joseph D. Anderson, The Reality of Illusion: An Ecological
Approach to Cognitive Film Theory, Carbondale:
Southern Illinois
University Press, 1996
[25] Nöel Carroll, Mystififying Movies: Fads and Fallacies in
Contemporary Film Theory, New
York: Columbia
University Press, 1988.
[26] Joseph D. Anderson, ibid
[27] Joseph D. Anderson, ibid
[28] Fabula adalah istilah yang berasal dari Formalisme Rusia sebagai narratology atau yang menggambarkan konstruksi narasi
[29] Brian Boyd, Joseph Carroll, dan Jonathan Gottschall, Evoluton,
Literature and Film: A Reader, New
York: Columbia University Press, 2010
[30] Joseph D. Anderson, The Reality of Illusion
[31] Ibid Joseph D. Anderson
[32]Ibid Joseph D. Anderson
[33] Anderson
membedakan ilusi dengan bermimpi (pengalaman kontra-veridikal yang terjadi saat
tidak sadar) atau halusinasi (pengalaman kontra-veridikal yang dipengaruhi
obat-obatan), ilusi muncul ketika manusia tepat berada pada titik kesadarannya
[34] Ibid Joseph D. Anderson
[35] Andrew Sarris merupakan kritikus film yang mempopulerkan teori Auteur di USA melalui
bukunya The American Cinema: Directors and Directions 1929-1968 (1968).
[36] Barry Salt, London,
Film Style and Technology : History and
Analysis,: 2003
[37] The Effects of Psychotherapy, S. Rachmann, Pergamon
Press : 1971
[38] ????
[39] ibid????
[40] Scientific
realism merujuk pada pengertian Stanley Kubric; sesuatu yang di dalamnya
benar-benar terdapat sesuatu yang bisa diteliti/diukur.
[41] Thomas Elsaesser & Warren B, Studying Contamporary American Film; A Guide
To Movie Analysis Oxford University Press, 2002
[42] Dolozel and Bailey, Statistics
and Style, Elsevier, 1969
[43] ibid
21
[44] ibid21
0 komentar:
Posting Komentar