perlunya pendekatan sains dalam sinema dirasa perlu dalam analisa film, tulisan ini merujuk pada buku 'Film Style Technology & History analysis' 3rd edition, Starword London 2009 by Barry Salt, halm 5 - 33.
Teori Film Lama, Teori Film Baru.
Sebelum kita masuk kedalam pokok bahasan utama , ada
baiknya saya paparkan terlebih dahulu tentang kerangka dasar teori umum
deskripsi dan analisa film. Namun
sebelum itu saya akan mencoba mengajukan beberapa argumen dan bantahan mengenai
teori teori film terdahulu yang kurang memuaskan. Kritikan saya (Barry Salt)
terbagi atas 2 bagian, yakni:
Saya akan menunjukkan
kelemahan utama atas berbagai usaha yang dilakukan dalam penjabaran teori
beberapa dekade terahir ini,
dan juga akan membahas
kesalahan kesalahan yang muncul pada
satu usaha penerapan dari masing masing teori.
Didalam buku ini (Film
Style and Technology : History and Analysis ) tidak akan membahas teori
teori awal yang merintis terciptanya teori Auteur, karena kelemahan kelemahan
dari teori teori awal oleh, Kracauer, Bazin, dll telah cukup dibahas secara
panjang lebar oleh Victor Perkins dalam bukunya “Film as Film” (Penguin Books, 1972).
Baru
baru ini Noel Carrol telah menalaah subjek diatas dengan lebih dalam, bahkan berlebihan, dan lebih
teliti dalam bukunya ‘Philosophical
Problem of Classical Film Theory’ (Princeton University Press, 1988),
Perkins juga menyuguhkan proposal proposal teori yang mengkaji film berlabel
layar lebar komersil/ Commercial Feature
Films, walau dia sendiri mengakui bahwa proposalnya masih bersifat terbatas dan membatasi.. oleh
karena ide dan konsep yang ditawarkan masih berkaitan erat dengan beberapa
aspek dalam teori Auteur, maka saya tidak akan membahasnya lebih lanjut, namun
saya akan mengkaji rumusan/ analisa yang lebih penting dan berpengaruh dalam
teori tersebut yang diusung oleh Andrew Sarris dalam The American Cinema (E.P. Dutton and co, 1968)
Teori Auteur.
Teori
Auteur dalam wadah Anglo-Saxon ini berasal dari rumusan Auteur yang dijalankan
oleh kritikus kritikus film dari sebuah
majalah terbitan Prancis ‘Cahiers du
Cinema’ pada tahun 1950an. Rumusan ini bertujuan untuk memberi penghargaan pada film film hasil karya
sutradara tertentu, yang mereka anggap sebagai aktor intelektual (the Controlling Creative Forces)
dibelakang proses kreative pembuatan film film tersebut, selain itu juga untuk
mengabaikan karya film film lain yang tiddak memenuhi kriteria rumusan atau
ketetapan Auteur ini. Konsep ide
yang dirumuskan oleh Andrew Sarris pada
teori Auteur ini agak sedikit berbeda dengan
teori utamanya, walaupun presentasi teorinya tidak lengkap dan konsisten namun konsep ide
yang dikemukakan olehnya dapat berguna sebagai
bahan dasar perumusan penting
teori film yang lebih lengkap dan konsisten.
Prinsip
dasar teori Autur Sarris menggunakan tolak ukur dari seberapa besar peran/
pengaruh sutradara dipandang dari sudut style, kreatifitas maupun psikologis
dalam menyumbangkan nilai estetik kedalam karya filmnya. Apabila peran/ pengaruh
sutradara tersebut sangat menonjol, maka ia layak disebut sebagai seorang Auteur. Dan menurut Sarris,
gelar Auteur yang disandang sutradara tersebut akan cenderung melekat terus,
sehingga dalam setiap film yang ia buat, bahkan dalam film dimana kriteria
Auteur-nya tidak terlihat, ia akan
menjadikan sebuah film lebih
berharga dibanding dengan karya film
Non-Auteur.
Menurut
Sarris, nilai sentimental dalam kehidupan yang antara lain berkaitan dengan
romantisme serta aspek-aspek positif pada kehidupan (seperti yang terekam dalam karya film-film
Auteur Billy Wilder & John Ford) dianggap lebih komersil (hal ini terbukti
dengan perolehan Box Office) ketimbang dengan nilai sinisme (paranoia,
pesimisme, egoisme dan pandangan negatif kehidupan).
Berbekal
dari konsep sentimental dalam film (dalam artian lebih dapat dijual ke
masyarakat/komersil) maka Barry Salt menyimpulkan bahwa Sarris memandang
sebelah mata aliran Avant-garde yang bersifat lebih modern dan eksperimental.
Lebih
lanjut, bahkan Sarris menuduh bahwa model Avant-garde ini tidak memberikan
kontribusi apapun bagi perkembangan komersial sinema. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa teori auteur Sarris ini cenderung lebih berorientasi/mengacu
pada aspek bisnis/komersil dibanding pada khasanah seni film itu sendiri.
|
Sejarah
sinema Prancis adalah oasis pergulatan teori-teori film sekaligus penciptaan
dan penemuan bahasa film. Sejarah sinema mencatat, perdebatan intelektual
tentang sinema yang paling menarik justru tumbuh di Prancis lewat majalah Cashiers
du Cinema (1951) dengan redakturnya Andre Bazin. Cobalah simak, esai
Francois Truffout (1954) Unecertaine Tendance du Cinema, yang seakan
menjadi manifesto kaum New Wave Prancis.
Seiring
perkembangan teori film, anggapan ini terbantahkan atau ingin dibantah oleh
teoritikus dari Inggris yaitu Barry Salt. Untuk memahami secara mendalam
tentang perkembangan teori di Prancis
tentang kajian film sejak pertenahan 1960-an, Barry Salt merasa perlu untuk
menelusuri lebih jau perihal keterlibatan ‘sistem pendidikan’ dan ‘ kehidupan
intelektual’nya terutama peran aktif science/ pengetahuan ilmiah didalamnya.
Science
dan filosofi merupakan bagian dari kurikulum wajib setingkat SMU yang
diterapkan oleh sistem pendidkan di Prancis. Pada umumnya kendala yang dihadapi oleh murid disini dalam
mempelajari kedua disiplin ilmu diatas
adalah ‘keabstrakan’ dari teori teori yang
diajarkan tersebut, sehingga
sulit bagi mereka untuk
mengaplikasikannya ke dalam kehidupan
sehari hari. Hanya sedikit dari mereka,
yang meneruskan studi diperguruan
tinggi untuk kemudian mengambil jurusan
Fisika, Kimia, dan biologi. Dan pada
akhirnya mengetahui bahwa telaah Science sebenarnya adalah telaah yang
melibatkan uji materi secara berulang kali.
Atas rumusan teori dalam kaitannya dengan kehidupan nyata, dalam bentuk
eksperimen dan observasi. Fakta inilah yang sering kali luput dari perhatian
para pengajar science pada level Smu, seingga mata studi ini cukup sulit
dicerna.
Studi filosofi di Prancis awalnya berkiblat pada Hegel,
filsuf Jerman pada Abad ke-19, yang terbukti gagal dalam mengakomodasi kebutuhan science modern. Hegel mengklaim
dirinya bahwa telah menciptakan sistem filosofi
yang sempurna dan dapat menampung
segala konsep dasar dari berbagai
macam disiplin ilmu, walaupun dia sama sekali
tidak menguasai bidang matematika dan sains. Tentunya hal ini mendapat
kecaman dari Carl Friedrich Gauss seorang ahli matematika pada saat itu, dan
selanjutnya model filosofi Hegel sebelumnya
ditolak didunia Barat karena
tidak sejalan dengan pemikiran ilmiah
dan teknologi modern.
Sebelum
bergabungnya Filosofi kedalam kurikulum pendidikan SmU di Prancis, sekitar 1930- 1940an, aliran
Vitalisme, oleh Henry Bergson mulai disosialisasikan ke sekolah sekolah
menengah atas. Dengan arogannya Bergson menggugat teori relativitas Einstein
karena berseberangan dengan ajaran filosofi vitalisme-nya. Setelah itu berganti
ajaran Phenomenology yang berusaha menanamkan pengaruhnya kedalam psikologi
ilmiah yang saat itu dipunggawai oleh Jean Piaget. Barulah kemudian datang
Louis Althusser dengan teori Marxisme.
Baik ajaran vitalisme Bergson, phenomonology maupun
Marxisme Althusser, masing-masing mengklaim teori filosofi mereka sebagai panduan
utama dalam mengkaji sains.
Keganjilan dari sistem pendidikan perancis (yang Barry
salt pandang cukup relevan dengan perkembangan New French Film Theory) adalah
bahwa siswa manapun yang lulus ujian SMA berhak masuk ke universitas/perguruan
tinggi tanpa harus mengikuti ujian saringan masuk perguruan tinggi. Persyaratan
yang mudah menyebabkan jumlah mahasiswa menjadi membludak. Tak heran apabila
lebih dari 90% para mahasiswa yang tersebar di perguruan tinggi perancis
memilih untuk mengambil jurusan yang lebih gampang (ketimbang filosofi yang
abstrak atau mate-matika yang rumit) contohnya seperti bidang kesinian dan
sosiologi, walaupun kebanyakan dari mereka gagal ditengah jalan atau drop-out
namun mereka tetap menganggap diri mereka terpelajar dan modern.
Fakta ironis inilah yang menurut Barry Salt menjadi
diterimanya beberapa teori, baik yang berkaitan dengan sinema maupun yang lain,
yang digagaskan oleh segelintir orang yang menamakan diri mereka ‘kaum
intelektual’, walaupun banyak ditemukan cacat/kelemahan dalam konsep teori
mereka.
Situasi yang memprihatinkandiatas menambah potret buram
pada bidang pengetahuan ilmiah/sains prancis pada pertengahan tahun 1960-an,
sehingga tidak heran apabila hanya sedikit sekali penghargaan
internasional/nobel dibidang literatur maupun sains yang diterima oleh
cendikiawan perancis pada saat itu.
Dampak negatir lainnya adalah bahwa kaum
intelektual/cendikiawan perancis ini, termasuk diantaranya calon-calon
penggagas teori film (yang mengaku-ngaku sebagai) ilmuan sosial, budayawan dan
filsuf/ahli filsafat sebenarnya tidak paham betul tentang apa sains/pengetahuan
ilmiah itu.
Seperti biologi, fisika dan kimia, sains/pengetahuan ilmiah
merupakan disiplin yang memerlukan konsep pemikiran yang matang dimana hubungan
sebab akibat dan penerapan teori yang sahih/dapat diandalkan, diikuti dengan
hasil eksperimen serta pembuktian yang kuat menjadi syarat utama.
Contoh nyata keteledoran cendikiawan perancis dalam sains
diwujudkan dalam sosok Michel Foucault-yang namanya kerap dijadikan sebagai
salah seorang pengususng teori film prancis yang tersohor dikalangan publik
inggris. Dalam bukunya Les Mots et Les Choses (yang diterjemahkan menjadi The
Order Of Things) Foucault berulang kali menyatakan bahwa matematika, fisika dan
kimia merupakan ilmu pengetahuan yang produktif dan lebih bermanfaat ketimbang
ilmu biologi, ekonomi dan linguistik yang menurutnya lebih bersifat empiris
(eksperimen). Lebih lanjut Foucault menambahkan bahwa proses perhitungan
matematis merupakan satu-satunya aspek paling penting dalam pengetahuan ilmiah
alam/natural sains.
Salah kaprah yang
fatal akibat pemahaman yang kurang mendalam tentang sains juga terlihat dalam tulisan tulisan Louis Althousser yang
mengusung bendera Marxisme-Leninisme. Menurut Althusser, syarat utama sains/
pengetahuan ilmiah adalah adanya objek
yang nyata, serta memilki rumusan teori dan mekanisme teknik.
Jika berpatokan pda ketentuan diatas, maka aktifitas seperti: perdukunan, ramalan lewat telapak tangan,
bengkel motor atau bermain sepak bola, dll, yang mana kesemuanya memiliki kesamaan yaitu objek, wujud benda yang jelas
dan nyata, teori dan teknik dapat
dianggap sebagai sains, seperti halnya Fisika, Neurophysiology dan Botany.
Disini terlihat jelas bahwa Althusser sama sekali tidak
memilki konsep logis tentang; mana syarat/ kondisi yang vital dan mana yang sebagai kondisi pendukung sebuah sains, contohnya: adanya
hubungan sebab akibat beserta perbandingan antara teori dengan eksperimen yang
dijalankan dengan baik melalui prosedur
standard observasi yang maksimal dan terjaga baik. Unsur diatas inilah yang
dewasa ini selalu diikuti oleh beberapa
negara maju seperti Amerika dan China, sistem komunikasi, perindustrian,
oerencanaan ekonomi, juga termasuk diantaranya
proyek industri perfilman, sinematografi dan desain produksi berlandaskan atas unsur ini.
Namun sayangnya, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya
‘kalangan intelektual Prancis’ yang hanya memahami dipermukaan yang
menurut penilaian Salt sebagai mahasiswa DO (drop out) lebih tertarik oleh
retorika/ buaian kosong tak bermakana ala Jacques Lacan. Segala hal yang byang
berkenaan denagan kerumitan rumus matematika dan replika logika diluar
jangkauan pemikiran mereka tidak pernah menjadi bidang ketertarikan
mereka, yang secara tidak langsung berpengaruh pada perkembangan sains Prancis,
dan pada akhirnya dan menjurus pada ketimpangan yang terdapat dalam New French
Film Theory (antara lain Andrew Sarris
dengan teori Auteur-nya).
2. Linguistik dan Film
Ketertarikan para cendekiawan Prancis pada sistem
Linguistik yang dikembangkan oleh Saussure dan Hjelmslev yang berawal pada 1970-an,
kini telah menurun drastis, dan yang tersisa saat ini hanyalah beberapa
terminologi usang/ ungkapan teknis semu
yang sesekali dilontarkan untuk
membuat terkesan khaylak intelektual Prancis termasuk (mahasiswa- mahasiswa
DO). Konon, katanya ilmu Linguistik tidak hanya mampu membedah ‘bahasa’ namun juga bisa mempelajari bentuk
serta elemen komunikasi.
Barry Salt merasa tidak perlu untuk membahas hal ini
secara lebih detil, oleh karena memang kegagalan linguistik telah terbukti dan diakui oleh beberapa
kalangan, baik cendikiawan/ akademisi maupun masarakat awam, yang mana
kegagalan ini telah cukup dijelaskan oleh Jonathan Culler dalam bukunya
Stucturalist Poetics.
Lebih lanjut, Salt menambahkan bahwa ada 2 hal yang mesti
disadari tentang Linguistik
1)
Ilmu bahasa ini belum cukuplah untuk menjadi
bahan dasar perbandingan dan pertimbangan dalam merumuskan suatu teori atau
disiplin ilmu lainnya. Karena hingga kini belum tercapai kesepakatan diantara
pelaku/ penggiat Linguistik tentang
beberapa sistem teoretikal yang terkandung didalamnya.
2)
Mekanisme/
metode yang kita gunakan dalam berfikir atau
mengambil persepsi sangat berbeda
jauh dengan proses panca indera dan
nalar kita dalam mengartikan atau mempelajari suatu hal, untuk kemudian kita terjemahkan
dalam suatu sistem yang terpadu dan
komprehensif (dapat dimengerti dengan mudah semua orang0.
Sebagai contoh, kita
dapat lebih gampang dan lebih cepat dalam mempelajari aspek verbal suatu bahasa
dibanding mempelajari cara menulis atau
membacanya, dan kita juga terbiasa
secara visual dan matematis menganalisa hasil pemahaman kita pada suatu hal tanpa harus memahaminya secara verbal. Hal ini terjadi diakibatkan
karena adanya dua proses informasi berbeda yakni, visual dan verbal pada masing
kutub diotak kita, seperti yang telah ditunjukkan dalam Neurophysiology.
Sejak dulu telah
terlihat bahwa kajian ilmu Linguistik Prancis hanya memberikan konstribusi
kecil pada bidang studi Fonologi, bahkan sama sekali tidak menghasilkan
sesuatu yang beraarti pada bidang Syntax
dan Semantik. Fakta ini dipertegas dengan adanya ketimpangan ketimpangan dalam
rumusan teori AJ. Greimas, sebab biar bagaimanapun hasil karyanya cukup sering
menjadi rujukan mahasiswa Inggris yang berminat mempelajari metode teori Prancis, serta juga karena
teorinya merupakan salah satu dari sedikit
upaya pendekatan yang pernah diterapkan untuk menelaah Kajian Narasi Film.
A.J. Greimas mengklaim
bahwa diagram model dalam rumusan teori linguistik-nya telah mewakili struktur
dasar dari ‘meaning’ (intepretasi pemahaman arti atau maksud dari sebuah kejadian dan merupakan
manifestasi (contoh konkrit) dari teori Jean Piaget. Padahal sebenarnya Greimas hanya meminjam
tanpa memahami perhitungan matematis
yang terkandung dalam teori Piaget, dan
menggabungkan diagram model lama dengan bentuk logika klasik ala
Syllogisme.
Sumber kesalahan
Griemes adalah kenaifannya dalam berasumsi bahwa semua elemen pasti memilki faktor lawannya (contoh, untuk
semua huruf ‘P’ pasti selalu ada ‘non-P’), serta aplikasinya yang menyesatkan tentang studi kasus beraneka ragamnya hubungan seksual seperti:
perselingkuhan, Homoseks, Incest, dsb.) dalama masarakat tradisional Prancis.
Walaupun demikian,
tetap ada upaya pengkajian ‘interpretasi Film’
dengan menerapakan pendekatan
teori Grimas dalam beberapa terbitan jurnal film berbahasa
Inggris. Selain metodenya yang rancu, banyak aspek dalam rumusan teori Grimas
yang didasarkan pada ketimpangan logika, terutama pada model narasi.
Transformasionalnya seperti yang telah diaplikasikan Oleh Roger Silverstone
kedalam drama televisi.
ECO dan Konsep
Semiotika
Sekitar 1970-an,
ketika dimulai disadari kurang berhasilnya kajian sains dalam ilmu
komunikasi dengan menggunakan tanda
simbol (semiotik) yang diadaptasi langsung dari model linguistik struktural
Prancis, maka muncullah upaya untuk menciptakan teori kajian sains yang tidak
terlalu tergantung pada model linguistik. Dalam bukunya Trattato di
semiotica generale (1975 - English translation: A Theory of Semiotics
(Indiana University press, 1976), Umberto Eco berusaha menampilkan proses
hipotesa (dugaan) dalam menginterpretasikan suatu simbol atau kode yang
berkaitan erat dengan proses komunikasi.
Penggunaan/ aplikasi
teori semiotik Eco dalam kajian sinema sedikit banyak telah meniupkan ruh pada
konsep kode dan interpretasi pada narasi film yang selama ini berpijak pada
koridor koridor orthodox sinema.
Namun bukan berarti apa yang dirumuskan Eco seratus persen benar. Menurut Barry
Salt, yang dilakukan Eco dan penggagas
semiotika yang lain ‘hanyalah’ mengganti seperangkat istilah deskriptif yang
ada, sebagai contoh: Kode, metode, dan interpretasi, serta membedakan diantara hubungan baku sebuah
meaning/ arti, hubungan yang berubah ubah (fluktuatif) sebuah arti dengan hubungan sembarangan/ acak
sebuah arti.
Sebagai contoh dalam film sering kita jumpai
penggunaan dissolve (suatu adegan dimana gambar pada film secara lambat laun memudar dan berganti dengan gambar yang lain)
yang mana bisa dilihat sebagai kode atau
simbol bergesernya waktu. Tapi menurut Salt, hal tersebut tidak sepenuhnya
berlaku mutlak untuk arti atau meaning dari
sebuah penggunaan dissolve, sepanjang
pengamatannya dalam sejarah perkembangan film, sering kali ambigu (tidak
jelasnya makna- tergantung dari sudut pandang/ interpretasi masing masing individu)
dan tidak selalu berfungsi sebagai kode/ simbol transisi peralihan dimensi atau
waktu.
Setelah memprakarsai rumusan rumusan dasar
teorinya yang dituang dalam bukunya A Theory of Semiotics secara jelas dan
konsisten (walaupun masih terdapat
beberapa ketimpangan yang fundamental
dalam beberapa bagian), Eco kemudian menindak lanjuti teorinya dengan
mengadopsi metode pendekatan yang lebih
variatif (yang menurut Salt cenderung
‘menyesatkan’) dengan cara mencoba menggabungkan sebanyak mungkin konsep konsep
semiotik karya penggagas teori lain, dan
bereksperimen dengan kesemuanya.
Sebagai contoh: Eco menelaah teori linguistik A.J. Griemas yang sarat dengan
kerancuan serta teori teori lain yang sama timpangnya.
Bila dipandang dari sudut perfilman sendiri,
kode/ simbol bermuatan tiga makna (a
triply articulated code) yang
ditawarkan oleh Umberto Eco ini sebenarnya masih bisa diaplikasikan
dalam menginterpretasi narasi sebuah film, walaupun diperlukan tingkat
pemahaman yang relatif utuh dalam menerjemahkan dan mengadaptasi konsep
semiotika yang diusungnya kedalam bahasa
film.
Marxisme dan Althusser
50 tahun terahir ini, sejarah telah menjadi
saksi atas terpurukny Marxisme yang menitik beratkan pada pemerataan kelas yang
merujuk pada kesejahteraan rakyat umum dengan total kendali pemerintah pusat
dan keunggulan sistem Kapitalis dalam persaingan global. Hal ini sangat
berdampak besar pada peta sosio politik dan budaya dunia dan sedikit banyak
telah mempengaruhi sejarah
perkembangan sains dan filosofi.
Berbekal dari sedikit catatan tambahan yang dia masukkan kedalam teori Marxisme,
Louis Althusser mengklaim bahwa konsepnya telah memberikan konstribusi
penting pada perkembangan teori film
Prancis dewasa ini.
Mengupas lebih jauh tentang peranan Althusser
dalam ranah filosofi, Salt membeberkan sederet kejanggalan buah pikiran
Althusser yang tertuang dalam essaynya Lenin
and Philosophy (New Left Books, 1971), yang antara lain berisikan
pernyataan kontroversialnya tentang rumusan teori Ernst Mach yang dianggap tidak memiliki andil
penting dalam perkembangan filosofi modern, walaupun dalam kenyataannya
komunitas the Vinnese Logical Positivists
secara terang terangan bahwa Mach
sebagai the founding father komunitas
mereka, dan kalangan pemerhati filosofi mendeteksi pengaruh Mach yang besar
terhadap teori karya filsuf lainnya
seperti, Russel. Wittgenstein serta William James.
Perlu dicermati pula, dalam essay ini Althusser
bersikukuh mengenal kedigdayaan sistem Marxisme yang menurutnya terdapat konsep sains yang penting dan
berguna, walaupun sebenarnya para pengikut
sistem Marxisme terdahulu hanya menemukan dan mempelajari aspek
ideologinya. Althusser sendiri tidsk
memberikan dalil nyata serta bukti
konkret keberadaan konsep sains dalam ajaran Marxisme.
Faktor utama kelemahan teori Marxisme adalah
konsepnya yang rancu dan terbatas, terutama dalam bentuk Leninisme, contohnya;
perbedaan status antara kaya dan miskin
(class struggle), ideologi serta paham konsumerisme materialistik dan
pemberhalaan status sosial yang dianut
oleh kaum menengah kebawah (petty
bourgeoisie) dimana konsep diatas tidaklah cukup dalam menghadapi kompleksnya
permasalahan masarakat modern
Klimaks dari kejanggalan teori Marxisme ala
Althusser ditandai oleh konsep baru yang
dinamakannya Ideological state apparatus.
Dalam konsepnya ini disebutkan bahwa ‘struktur sistem negara’ yang terdiri atas kaum gereja, sistem
pendidikan, serikat buruh pekerja,
sistem politik dan hukum harus dapat dipisahkan
dari perangkat negara yang
represif yaitu Pemerintah, Kepolisian dll. Dasar logika inilah yang membuat
Barry Salt tidak habis pikir, bagaimana mungkin
tokoh sekaliber Althusser dapat semudah itu memisahkan keterkaitan antara sistem politik dan
pemerintahan, pengadilan dan sistem hukum, terlepas dari tingkat represif
maupun fungsi ideologinya.
Metz dan
sinema Semiotik
Rumusan teori Christian Metz yang mencoba
mengkaji khasanah semiotila dalam sinema hanya mampu menghasilkan satu proposal yang bisa diaplikasikan/
diterapkan dalam menganalisa film. Metz,
jarang sekali terjun langsung menganalisa film, namun sekalinya dia turun
serta, yang bisa dia lakukan hanyalah menulis ulang kritik yang usang /cliché’ tentang subjek lama Film Society Classsics- seperti yang
tertuang pada halaman 112-114 dalam bukunya Language and Cinema (Mouton, 1974).
Menurut Barry Salt, tulisan/ pernyataan Metz yang
kadang kontradiktif dan sikapnya yang tidak konsisten dalam semiotika sinema merupakan kelemahan utama Metz dalam
melegitimasikan teori karyanya.
Sebagai contoh ketidakkonsistenannya adalah,
Metz pernah berpidato bahwa unsur gabungan antara truism/ pernyataan yang
teruji kebenarannya, error/ kesalahan dan kontradiksi yang membentuk konsep
awal semiotik-nya tidak mengenal adanya sistem bahasa sinematografi (cinematographic language system),
kemudian seiring bergulirnya waktu dia memperbaharui teorinya dengan berujar
bahwa konsep kebahasaan yang sistemik dalam dalam sinematografi (cinematographic language system)
terbukti berguna dalam analisa serta interpretasi narasi film.
Sedangkan kontradiksi terdapat terlihat dari
statementnya yang bersikeras menyatakan
bahwa sinema bukanlah sistem komunikasi karena sinema tidak memungkinkan
terselenggaranya interaksi langsung bilateral/ dua arah antara sender/ pengirim pesan dengan receiver / penerima pesan. Tentunya hal ini menunjukkan ketidakcermatannya dalam
menganalisa sistem komunikasi yang mana
minimal hanya membutuhkan sender, metode encoding (proses perubahan bentuk
bahasa: verbal, tulisan atau kode menjadi
bentuk lain. Contoh: dialog verbal sebuah film disadur kedalam bentuk
subtitle teks), dan transmisi (proses pengiriman pesan), kemudian selanjutnya
dilanjutkan ketahap decoding (pemaknaan arti pesan) oleh receiver (penerima
pesan). Jadi agak aneh bila Metz menganggap medium sinema bukanlah sebuah sistem komunikasi karena dia acap kali menganggap
metode aplikasi film (convention)
sebagai kode yang merupakan elemen semiotik dalam mengkaji serta menganalisa ilmu komunikasi.
Sesumbar Christian Metz yang menyatakan bahwa
dia telah ‘berhasil’ mengidentufikasi dan merumuskan sistem simbolik/ pengkodean sinema (a codified filmic system) menambah
panjang daftar kekeliruannya dalam memahami keterkaitan antara konsep dasar
analisa aLinguistik dengan sistem komunikasi.
Sebenarnya ada beberapa pemerhati film dan
sineas yang merasakan ketimpangan dan kehampaan dalam rumusan tulisan tulisan Metz,
tetapi sayangnya mereka enggan mempublikasikan sanggahan tersebut.
Dalam artikel bertajuk ‘Segmenting? Analyzing’ di majalah The Quarterly Review of Film
Studies vol. 1 no 3 yang ditulis oleh Raymond Bellour, terdapat petikan
berita yang berisi pengakuan pribadi
(curhat) Metz kepada Bellour mengenai kegelisahannya perihal adanya
kemungkinan besar teori grande
syntagmatique milik Metz gagal untuk diaplikasikan kedalam kajian sinema.
Namun demikian, ternyata masih ada juga yang
berminat mencetak ulang tulisan, essay dan artikel Metz dan
berdiskusi soal syntagmisme. Yang lebih merisaukan bagi Salt adalah penganiut Metz dibeberapa universitas yang tersebar di Paris masih memasukkan teorinya kedalam kurikulum pendidikan,
seyogyanya fakta ini dapat dijadikan tolak ukur betapa kurang kritisnya cara
berfikir dan logika sebagian kaum intelektual cendekiawan Prancis.
Psikoanalisa dan Lacan
Survey membuktikan minimnya
tingkat kesuksesan penyembuhan pasien
gangguan mental dengan metode terapi psikoanalisa. Hal ini diperkuat dengan
bukti bukti konkret yang dieksplorasi
mendalam oleh S. Rachmann dalam bukunya The Effects of Psychotherapy,
(Pergamon Press 1971) dan H.J. Eysenck
& G.D Wilson dalam buku karya mereka The
Effects of Psychotherapy, (Pergamon Press 1973). Jadi cukup masuk akal bila
kemudian Barry Salt menyimpulkan bahwa; penerapan terapi kesehatan penyembuhan yang
didasarkan pada teori Psikoanalisa tidak berhasil, maka tidak ada alasan
baginya untuk mempercayai teori tersebut.
Namun dengan cepat
Salt menambahkan bahwa bukannya dia tidak meyakini tentang keberadaan the Unconscious Mind (alam bawah sadar
manusia) yang dicetuskan oleh Sir Francis Galton, ilmuan pendahulu Sigmun
Freud, hanya saja Salt merasa teori Freud tidak memuaskan.
Salt tidak menampik
fakta dilapangan dimana kepopuleran teori Psychoanalisa Freud telah merambah keberbagai bidang,
termasuk diantaranya industri perfilman Hollywood yang dipelopori sejak 1940an
hingga kini oleh para penulis skenario seperti
Niven Busch, Ben Hecht, hingga diterapkan oleh sutradara sendiri.
Sejujurnya Salt merasa
Psychoanalisis bukanlah medium yang tepat mengkaji interpretasi film, namun
bila dikonsepkan secara rapi dan
imaginatif seperti yang terlihat pada tulisan tulisan Parker Tyler, maka tidak
tertutup kemungkinan teori psychoanalisa ini
menjadi menarik dan menyenangkan
untuk dipelajari. Tapi hal ini tidak berlaku dalam ajaran Jacques
Lacan dengan model baru variasi Psychoanalisis-nya.
Jacques Lacan adalah pemimpin religius yang
memisahkan diri dari komunitas Psychoanalisis Prancis dengan membentuk
pemahaman psikoanalisa menurut pandangannya sendiri, serta mengklaim dirinya
sebagai satu satunya penjaga The Truth
Faith yang memegang teguh ajaran
ajaran asli/ awal psikoanalisa Freud yang mana menurutnya telah diselewengkan.
Namun dalam prakteknya, ajaran psikoanalisa versi Lacan justru merubah/
mentransformasi secara radikal rumusan
awal Freud. Hal ini jelas terlihat dalam buku Function and Field of Speech and Language (English Translation
Tavistock 1977) karya Lacan, dimana
konsepnya tentang ‘fungsi kejiwaan’ bertolak belakang dengan psikoanalisa
Freud, bahkan mendapat sanggahan dari Claude Levi Strausse yang juga mengklaim
telah menemukan metode dasar operasional pikiran manusia lewat teorinya; the Savage Myth and Kinship System
(mitos primitif dan sistem kekerabatan) persamaan latar belakang sosio
ekonomik, budaya dan tingkah laku.
Oleh karena teori Stausse sebagian besar didasarkan pada model
linguistik struktural Prancis yang terbukti cukup sulit diterapkan pada rumusan
psikoanalisa, maka dengan mudah Lacan dapat mementahkan teori Strausse; the
Savage Myth and Kinship System.
Reformulasi/ perumusan ulang teori psikoanalisa
Freud oleh Lacan antara lain meliputi; penolakan adanya eksperimen sains
terhadap pembuktian teori psikoanalisa, bersi teguh atas kefektifan serta
keampuhan terapi penyembuhan dengan metode psikoanalisa (walaupun survey
mencatat minimnya keberhasilan metode tersebut) dan penyalahgunaan penggunaan
linguistik Saussure untuk menjembatani unsur formalis dalam sains dengan konsep
psikoanalisa.
Kesalahan serius lainnya terekam dalam
anthology/ kumpulan ceramahnya dalam buku Four
Fundamental Concepts of Psychoanalysis (Hogarth press, 1977) dimana Lacan
lagi lagi mencampuradukkan unsur logika simbolik dalam teori semiotik denagan
konsep Alienation-nya (keterasingan).
Unsur Aritmetika yang tergabung dalam unit
kesatuan Aljabar unuk pertamakalinya dimasukkan kedalam teori Suture yang dipraktekkan para pengikut
Lacan yang bertujuan untuk mengkaji teori film. Menurut mereka, teori Suture (tambal sulam) ini terdapat dalam
setiap proses operasional pembuatan film, mulai dari soundtrack, kesinambungan gambar (image relationship), efek framing
hingga persfektif reverse angle,
dan setiap adegan didalam film.
Namun dengan alasan minimnya reset serta
terdapatnya beberapa loose ends (ketimpangan metode karena
bukti pendukung kurang kongkrit/ abstrak), maka barry Salt menggangap teori Suture ini hanyalah upaya sensasi
pengikut Lacan dalam memancing respek dan pengakuan dari berbagai kalangan
intelektual karena telah ‘melahirkan’ teori sains baru.
Dalam perkembangannya sendiri, beberapa dekade
terahir ini, disiplin ilmu psikologi telah mengalami kemajuan pesat yang antara
lain dipicu oleh berkembangnya pola pikir dan metode ilmiah yang digunakan
serta peningkatan teknologi yang semakin maju. Salt berharap hal ini dapat memberikan stimulus/rangsangan
terhadap pertumbuhan positif pengaplikasian psikoanalisa diberbagai
bidang.
Cahiers du Cinema dan Young Mr. Linclon.
Dalam terbitan majalah Cahiers du Cinema edisi
nomor 223 (1970) yang kemudian diterjemahkan ke majalah Screen vol13 no 3,
disebutkan bahwa model Psikoanalisa Lacan telah menyuguhkan alternatif
baru dalam kajian interpretasi narasi film. Barry Salt
menyanggah stetmen ini dengan alasan bahwa upaya Lacan ini hanyalah menemukan atau dengan kata lain
‘menciptakan’ dengan memunculkan
‘kesenjangan/ gap atau kekurangan dalam sebuah produksi film, untuk selanjutnya
diperiksa secara ‘medis’ gejala gejala yang timbul seperti halnya terapi
penyembuhan pasien jiwa dengan metode
psikoanalisa.
serta merta metode baru kajian interpretasi film
ini menarik perhatian kalangan penggiat/ pemerhati sinema sehingga mereka terlena dan mengabaikan keabsahan sumber teori yang menjadi dasar metode
tersebut. Menurut Salt, boleh saja mengadopsi sebuah model teori dari sebuah disiplin ilmu kedalam ilmu yang
lain, namun hal ini menjadi masalah
apabila model teori yang digunakan terbukti gagal dalam penerapan
ilmunya sendiri, contohnya psikoanalisa.
Tanpa menyebut nama, kali ini Barry Salt
menggugat beberapa tulisan dari kritikius majalah film Cahiers du Cinema,
terutama tentang analisa mereka perihal
film ‘Young Mr Linclon’ hasil besuta sutradara peraih empat piala Oscar, John
Ford.
Berpedoman pada pemahaman Psikoanalisa Freud dan
Marxisme, para kritikus ini menyimpulkan
bahwa film tersebut merupakan
reformulasi tokoh bersejarah Abraham Lincoln dipandang dari sudut mitos
saja, tanpa menghiraukan faktor lain
yang dapat berpotensi menimbulkan
konflik cerita, contohnya sex dan politik. Namun Salt berpendapat bahwa, kajian
film dengan hanya mengandalkan satu
sudut pandang berarti seperti ini justru
akan cenderung men-disharmonisasikan/ merusak keseimbangan antara narasi film dan realitas sejarah,
karena seringkali terjadi kompromi antara fakta dan fiksi dalam
Autoboigrafikal, dan dengan hanya
menyertakan satu sudut pandang saja, kritikus tersebut secara efektif telah mempersempit ruang gerak
interpretasi dan dan persepsi penonton film tersebut.
Interpretasi Film.
Ketentuan dasar perihal terbentuknya kajian
interpretasi yang diakui sah secara resmi/ legal, baik yang diperuntukkan bagi
media film/ bidang seni lainnya,
merupakan polemik yang tak berkesudahan. Hal ini antara lain disebabkan oleh cara pandang
para individu dalam mengartikan
makna atau simbol dalm tampilan sebuah visual film atau karya seni
lainnya.
Masing masing kritikus film, sineas dan para
pelaku film memiliki motif agenda, ekspektasi, pengharapan maupun latar
belakang sosio ekonomik serta budaya
sendiri dalam mengambil sikap yang
berkenaan dengan proses interpretasi sinema.
Berlainan dengan disiplin ilmu linguistik yang
lebih terukur penelaahannya dan terjabar secara detil dalam Fonologi,
Morfosyntax, dan Semantik, kajian film tidak memiliki
rumusan yang baku dalam
mengatur secara eksplisit (tegas) dan spesifik terkait proses interpretasi
film.
Secara umum dapat digambarkan dua kutub yang
saling berlawanan dalam pengaplikasian interpretasi film.
Yang pertama adalah, pandangan ekstrim yang menolak samasekali keberadaan kajian interpretasi film yang sah
(Barry Salt menganggap pandangan ini sebagai lelucon beleka, karena
dibalik penolakan mereka atas keabsahan
sebuah kajian interpretasi, namun
sesekali mereka tetap memberikan
analisa/ kritik pada film)
Kedua, merupakan pandangan konservatif yang jauh lebih toleran terhadap beraneka
ragam variasi dalam kajian film, dimana
unsur unsur sinema seperti, konteks, narasi, visi dsb menjadi faktor
pertimbangan.
Dengan berpatokan pada konsep konservatif
ini, maka sebagai contoh: muatan religi yang terkandung dalam sebuiah film
bertemakan drama religius bila dikaji dari persfektif keagamaan oleh sosok
sutradara yang ‘tidak beragama’ akan dianggap tidak sah.
Ketika
seorang kritikus film menggunakan intuisi pribadinya kedalam proses
interpretasi, maka yang trerjadi adalah
kita sebagai penikmat film akan kian tersudut pada pengembangan wawasan dan terjebak sistem
analisa yang sangat subjektif. Konsep interpretasi film yang mengedepankan asas
subjektifisme ini diperagakan secara utuh oleh Jonathan Rose]nbaum dan Bruce
Kawinn.
Contoh kasus: dalama artikel Cahiers du Cinema
yang mengupas tentang film ‘Young Mr. Linclon, karya John Ford, disebutkan bahwa sorot tajam tatapan
mata Linclon diartikan sebagai ‘Castrating’ (pengebirian) sementara bila
di[andang dari sudut psikoanalisa seperti yang dikutip oleh Peter Wollen dalam
artikel lainnya, sorot mata tajam tersebut
dimakanai sebagai ‘phallus’ (penis) yang identik dengan power
(kekuasaan) dan dominasi pria, serta
mewakili simbol pemerkosaan.
Disini terlihat jelas kontras perbedaan
interpretasi dimana satu sisi visualisasi tatapan mata Linclon diartikan
sebagai bentuk ketidakberdayaan
(kelemahan karakter sang protagonis yang dikebiri) sedangkan sisi lain tatapan
mata tajam tersebut dimaknai sebagai
keangkuhan maskulinisme Linclon sebagai
sosok pria dewasa dan tangguh.
Situasi disini, dimana kajian interpretasi jauh berbeda
antara satu dengan yang lain cukup sering terjadi dan hal ini dianggap wajar oleh pengikut paham Psikoanalisa.
Namun sweperti yang telah diketahui sebelumnya,
Barry Salt selalu menaruh curiga dan keraguan terhadap setiap pendekatan ilmiah
yang dilakukan berdasarkan rumusan teori psikoanalisa. Maka, ketidakkonsistenan
dari interpretrasi film ini justru
dikhawatirkan akan menimbulkan miskonsepsi yang bisa berdampak serius
bagi pesan moral dan visi filmaker, serta tentunya akan menmpengaruhi setiap elemen
teknis dan estetika produksi film yang bersangkutan.
Dalam satu kesempatan Barry Salt mempertanyakan
kebenaran metode serta kajian teknis yang diperagakan Raymond Bellour dalam
film North by Northwest karya alfred Hitchcock, khususnya yang berkait dengan
adegan pengejaran pesawat terbang. Dalam essaynya ini (diterbitkan dengan judul
Le Blocage symbolique pada majalah Communications Vol. 23, 1975), Bellour
menampilkan diagram konfiguratif yang sepintas terlihat terstruktur rapi dan
ilmiah dalam mencermati koreografi, berikut timing dan editing pada adegan
tersebut.
Namun setelah melakukan uji coba dengan metode
yang berbeda pada materi adegan yang sama,
Salt menyimpulkan bahwa, sistem yang digunakan Bellour hanyalah bersifat
kosmetik (lebih berpegang unsur estetika) tanpa menelaah lebih dalam aspek
sinematik, contoh; pergerakan plot (linear dan non-linear), over lapping
editing berapa jumlah shot yang digunakan dalam membuat beberapa sudut pandang.
Pada akhirnya Barry Salt menyerukan pentingnya
seorang reviewer/ kritikus film untuk lebih mempertimbangkan aspek teknis, yang
antara lain melibatkan depth of field,
editing, shot selection, dsb kedalam rumusan interpretasi filmnya. Hal ini yang menurut Salt menjadi kekurangan yang
menonjol dikalangan kritik akademis saat ini.
Terjemahan Inggris
teori film Prancis
Berawal sejak 1971,
‘Sreen’ merupakan jurnal berbasis Marxist yang disubsidi oleh oleh The British
film Institute dan menjadi alur utama masuknya teori film Prancis untuk
selanjutnya diperkenalkan secara luas pada khayalak Inggris dan Amerika.
Melalui terjemahan
bahasa Inggrisnya, majalah Screen ini mempublikasikan buah pemikiran sederet
pakar perfilman Prancis, yang mengklaim bahwa kajian teori sinematik mereka
telah menyuguhkan standard baru perfilman yang jauh lebih konkret, lengkap dan
seksama dibanding rumusan teori film lainnya.
Namun Barry Salt berkilah, bahwa standarisasi baru dan
peningkatan mutu kajian sinema yang disesumbarkan oleh ‘pakar’ ini akan jauh
lebih berguna dan bermanfaat apabila usaha telaah film mereka disertai dengan
kemampuan melahirkan pengetahuan baru yang bersifat konstruktif, bukan hanya
sekedar retorika kosong belaka.
Sepintas lalu memang
ada beberapa artikel film dalam jurnal ‘Screen’ yang berusaha menterjemahkan
sekaligus mengaplikasikan konsep teori film Prancis kedalam kajian sinema, ini terlihat sangat mengagumkan karena seperti
layaknya disertasi/ skripsi karya ilmiah, artikel artikel ini diperkaya oleh
oleh banyaknya footnotes, referensi, serta tabel diagram analisi yang sangat
detil. Namun bila diteliti secara seksama,
barulah diketahui bahwa tulisan artikel tersebut mengambil sumber dari
argumen argumen dengan bahan dasr teori yang lemah dan cenderung spekulatif.
Selama ini majalah
Screen berulang kali mengklaim bahwa semua artikel artikel publikasinya telah
memenuhi standard mutu kajian film.
Sebagai contoh
kegagalan Screen dalam kaitannya dengan kajian teori film, Barry Salt menilai
usaha Stephen Heath, salah seorang
penulis tersebut dalam menjabarkan soal
reproduksi fotografi yang dalan artikelnya bertajuk Narrative Space (Scree, vol
17, No. 3, 1976) lebih mengandalkan pada
hipotesa pribadi hasil dari pemahamannya
yang kurang utuh tentang teori Film Prancis, sehingga semakin memperdalam kesalahpahaman umum tentang aplikasi teknis sinema itu sendiri.
Teori Film Praktis
Berpegangan pada aspek
konstruktif dalam memformulasikan rumusan teori filmnya, Barry salt kemudian
menggunakan metode analisis dan evaluatif yang seobjektif mungkin dalam
menelaah lebih dalam tentang berbagai unsur dalam cinema.
Metode analisis
dipandang perlu demi menguji seberapa
tinggi tingkat akurasi rumusan teori yang digunakan, demikian juga
halnya dengan metode evaluatif, mengingat pada akhirnya hanya beberapa film saja yang dapat
dipriorotaskan untuklebih lanjut dikaji secara serius.
Penilaian objektif
secara penuh dalam perumusan teori film mutlak diperlukan karena hal ini akan
mendorong tumbuhnya penerapan ilmu komunikasi yang lebih maksimal, dimana
seperti yang kita ketahui sebelumnnya , bahwa Salt meyakini interaksi
komunikasi yang terselenggara dalam
medium sinema terbukti efektif untuk
mengkaji interpretasi narasi film. (lihat kembali Metz dan sinema semiotik)
Idealnya kajian sinema
yang serius seyogyanya meneladani aspek aspek positif yang ada pada sains yang lebih establish dan mapan
seperti biologi dan fisika, yang mana terdapat kesamaan baik dalam esensi
maupun metode pengajaran baik di
Inggris, Rusia, Amerika serta China
Menurut Salt, kajian
film tidak memilki kapasitas untuk dapat tumbuh dan kemudian berkembang menjadi
sains yang seutuhnya dikarenakan sifat dasar
dari kajian itu sendiri yang cenderung bersifat eksperimental, inovatif,
idiosynchratik 9unik-memiliki karakter khusus) serta kental dengan aroma
kompleksifitas (terdapatnya perbedaan persfektif dalam menginterpretasi adegan
dfilm). Singkat kata, tidak ada aturan baku yang mengatur nilai nilai estetika yang
terkandung didalam medium sinema, sehingga bisa dikatakan estetika dalam sinema
seakan akan bersifat sebagai alat kosmetik belaka.
Analisa Film versi Barry Salt.
Perihal analisa film, Salt membagi tiga atas
bagian yaitu
1)
Berdasarkan Konstruksi teknisnya (jenis kamera
yang digunakan, ukuran lensa, angle, editing, art direction dan tata ruang)
2)
Style (executive and artistic decision) sang
sutradara
Dimana menurut Salt faktor kedua inilabih banyak
diabaikan dalam perumusan teori film dewasa ini.
3)
Dan yang terahir dan relatif krang signifikan
ari dua faktor diatas adalah film dapat dianalisa dengan mengukur seberapa
besar tingkat respon dari penonton.
Menelisik lebih dalam tentang peran konstruksi
teknis dalam menganalisa film, lebih lanjut Salt menjelaskan bahwa evolusi
kemajuan teknologi industri perfilman
yang dibarengi dengan pergeseran nilai nilai budaya sosial dimasarakat, elah
memberikan dampak yang sangat besar terhadap perkembangan sinema dimasa kini
berikut dinamisme perumusan teori dan kajian baru dalam film.
Sedangkan perihal style sutradara, Salt
mencermati keterkaitan antara visi dan kepribadian sang sutradara dengan pengfaruh dan kreatif decision dalam
film yang ia besut, dimana seringkali
terbentuk kompromi kompromi politik serta artistik antara sang filmaker
dengan pihak penyandang dana atau produser, contohnya seperti yang terjadi
dimasa lampau pada sistem old Hollywood
yang konservatif dengan film film garapan John Ford, Cecil B, Bill Wilder,
Michael Curtiz, dan praktek ini terus berlangsung hingga sekarang.
Dalam kaidah style filmaker, Salt menjelaskan
adanya spektrum dua kutub, yaitu; ekstrim naturalisme dan ekstrim
ekspresifisme. Sebagai contoh dimana mayoritaas mainstream sutradara sutradara Hollywood berorientasi pada aliran naturalisme yang mengedepankan unsur optimisme dalam
tampilan visual berwarna terang dan
cerah. Disis laian Ingmar Bergman lebih condong kearah ekstrim ekspressif
dengan style Chiaroscuro, lain pula denagan Jean Luc Godard yang kerap kali
mengubah-ubah style dalam setiap film
garapannya (eksperimental)
Lanskap
demografik yang fluktuatif (perubahan tatanan sosial masarakat pada masa
tertentu), tingkat intelektualitas serta background ekonomi sosiopolitik dapat
dijadikan acuan dalam mengukur barometer respon penonton film. Sebagai
contoh, salt menyebutkan bahwa reaksi penonton masa kini terhadap film bisu
(Chaplin, Buster Keaton) akan berbeda dengan respon yang dialami oleh penonton di era 1920an.
Secara kronologis, metode respon penonton untuk
menganalisa film ini diawali dengan
investigasi atas efek sosiologi sinema, kemudian berlanjut pada persepsi psikologi (lihat teori
Neo-Formalis, Bordwell-Thompson pada teori film Amerika), dan akhirnya bermuara pada konsep pemikiran yang
menyangkut keterlibatan proses mental psikologi masing masing individu dalam
mengurai dan memahami bahasa audiovisual
film.
Kriteria Salt dalm evaluasi film
Untuk mengevaluasi nilai nilai estetika dalam
sinema, Salt mengklasifikasikan 3 aspek utama yaitu; Originalitas, Pengaruh film
tersebut dengan film lainnya dan seberapa besar visi dan pengaruh kreatif sang
filmaker terpenuhi dalam film garapannya.
Dalam konteks originalitas dan pengaruh kreatif
serta visi sutradara diatas, Salt mengakui adanya kesamaan konsep dengan teori
Auteur Andrew Sarris. Namun demikian
ketidak konsistenan kriteria ‘craftmanship’ (kinerja kreatif sutradara) Sarris
menorehkan cacat pada formulasi teorinya.
Barry Salt mempertanyakan metode dan kriteria
yang digunakan oleh beberapa kritikus film, baik akademik maupun komersil dalam
mengevaluasi nilai nilai artistik dan
esteteik dalam sinema dan mencurigai adanya intuisi pribadi ketimbang analisa
ilmiah yang dilengkapi data riset teknis
dalam mengekspreikan kajian sinema mereka.
Salt berprinsip bahwa seburukburuknya film yang
dibuat seorang filmakermasih ada pelajaran yang bisa dipetik dan ditelaah oleh para perumus teori,
kritikus ataupun khalayak pemerhati
film. Akan tetapi bila hal tersebut
menimpa pada kajian teori cinema, maka bukan hanya nol besar manfaat yang diterima namun juga
menyesatkan dan berdampak serius bagi perkembangan pola pikir
dan intelektual para calon perumus
kajian film serta masakat luas pada umumnya.
Dengan tujuan untuk menguak tabir penyesatan
serta kesalatafsiran teori teori sinema terdahulu dan mencerahkan pemikiran
ilmiah yang analitikal, Salt berharap teori film praktis yang dia tawarkan
disini dapat mengakomodasi, naik secara kualitas maupun kuantitas dari evaluasi
analisis sinema mulai dari film film klasik masa lalu hingga kini dan
pengaplikasian teorinya dapat dijadikan sebagai parameter untuk kajian kajian
teori film selanjutnya.
Teori Film Amerika
Tahun 1970an
merupakan awal kebangkitan peminatan kajian film dikalangan perguruan
tinggi di Amerika, yang disertai oleh penganugerahan penghargaan pada insan
iperfilma, lokakarya/ seminar tahunan
serta penerbitan tulisan tulisan tentang film dan buletin/ jurnal
dibeberapa kampus yang tersebar di Amerika.
Dalam beberapa tulisan/ jurnal akademis tentang
film, diketemukan metode/ style yang
terlalu rumit dan berlebihan, namun
tidak memberikan dampak positif apapun bagi bagi perkembangan teori film itu
sendiri.
Para
penulis akademisi ini merasa bangga dengan hasil karya mereka dan menganggap
tulisan film mereka cukup bagus, hanya
karena tulisannya lebih panjang dan banyak catatan kaki.
Buah tulisan Christian Metz dan Raymond Bellour diterima dengan baik
dikalangan akademis di Amerika, namun
model/ konsep yang mereka usung membawa
‘pengaruh buruk’ pada kajian ilmu perfilman Amerika.
Barry Salt mengamati munculnya
usaha baru dalam kajian ilmu perfilman Amerika pada awal 1980-an, yang
dipunggawai oleh David Bordwell dan Kristin Thompson yang mengusung bendera
Neo-Formalis. Sesuai dengan namanya, teori Bordwell dan Thompson ini terinspirasi
dari rumusan formalis Russia tahun
1920an yang dipelopori antara lain oleh Boris Eikhenbaum, Victor Shklovsky, dan
Yuri Tynjanov.
Perumusan Neo-Formalis oleh Bordwell dan
Thompson ini didapatkan melalui
riset dan observasi mereka terhadap berbagai macam artikel film serta terjemahan Inggris perihal Formalis Russia yang dipublikasikan pada era
1970-an. Yang mana beberapa artikel analisis film berorientasi Formalis Russia karya Salt
dari tahun 1947 – 1977 yang diterbitkan oleh majalah Sight & Sound dan Film
Quarterly, dapt dipastikan menjadi bahan refernsi mereka dan sedikit banyak
memberikan pengaruh dalam perumusan teori Bordwell-Thompson.
Sebenarnya kolaborasi antara Bordwell dan
Thompson dalam merumuskan kajian sinema sudah cukup representataif dan agak lebih baik dibandingkan dengan karya
absurd (tidak jelas esensinya) milki
Christian Metz, Stephen Heath serta Raymond Bellour dan lainnya, namun demikian
Salt mencatat beberapa kelemahan yang
berdampak langsung pada ketidak konsistenan teori Neo Formalis yang mereka
usung seperti kebanyakan elite akademis
Amerika lainnya.
Kelmahan utama Bordwell –Thompson berpusat pada
lemahnya sumber referensi (data riset pendukung teori) yang berdampak pada
kerapuhan argumen argumen mereka sehingga memperbesar kemungkinan terjadinya
salah tafsir bagi para penggiat/ pemerhati kajian sinema, khususnya di Amerika.
Salt mengklaim
bahwa sejumlah metode dasar berikut observasi teknik sinematik
Bordwell-Thompson sedikit banyak merupakan tiruan perumusan teorinya. Namun
Salt menegaskan bahwa metode analisisnya tidak pernah berspekulasi atau berimajinasi bebas dalam
menginterpretasikan kajian sinema, hal ini bertolak belakang dengan
Bordwell-Thompson yang justru mentoleransi hal tersebut.Bordwell- Thompson bersikeras
bahwa teori Neo-Formalis mereka tidak hanya berguna sebagai sebagai bahan
perbandingan interaktif antar ‘the perceiver’ (sineas, kritikus, penonton)
dengan medium film sebagai karya seni, tapi juga berperan penting sebagai pisau
analisis sejarah film.
Yang
lebih konyolnya lagi, dalam bab terahir bukunya ‘Making Meaning’ (Harvard,
1989), David Bordwell telah mengadopsi pilar pilar pondasi rumusan teori film
Salt untuk kemudian diadaptasi kedalam
teori Neo-Formalisnya, dan diganti dengan
nama baru yaitu ‘Historical Poetics’.
Yang membedakan teori Neo-Formalis
Bordwell-Thompson dengan kajian sinematik kontemporer lainnya adalah pendekatan
psikologis mereka.yang berkenaan dengan aspek persepsi (baik sudut pandang filmaker, kritikus film,
elite akademis ataupun penonton) dalam ranah perfilman. Namun Salt
mengungkapkan bahwa bila dicermati dengan seksama makaakan terlihat unsur spekulatif yang mewarnai metode psikologi mereka dalam
usahanya menembus lapisan demi lapisan persepsi sinema. Ditambah lagi
dengan bahan referensi yang mereka
gunakan bersumber dari teori teori film
terdahulu yang diragukan kebenaran
esensinya, karena tidak disertai bukti bukti yang konkret dan lengkap.
Barry Salt berpendirian bahwa ruang lingkup
psikologi yang kompleks berikut mekanisme mental forensik ddalam menelaah
analisa persepsi sinematik terlalu rumit untuk diformulasikan oleh seorang
perumus teori akademik biasa seperti Bordwell-Thompson. Lebih lanjut, Salt
menambahkan bahwa untuk dapat mengeksplorasi dan membedah wilayah psikologi
seperti diatas dibutuhkan keahlian khusus seorang ilmuan dengan background
‘neuroscience’ yang dipersenjatai
dengan data riset dan
observasi-eksperimen yang memenuhi
standard sains.
END
0 komentar:
Posting Komentar