Tidak adanya metode yang baku
dan tetap dalam analisis film menjadikan disiplin ini menjadi domain penelitian
kualitatif. Penelitian kualitatif dimaksudkan untuk
mengungkapkan gejala secara holistic-kontekstual melalui pengumpulan data dari
latar alami dengan memanfaatkan diri peneliti sebagai instrumen kunci. Proses
dan makna yang dihasilkannya akan cenderung bersifat deskriptif dan
interpretatif karena menggunakan analisis dengan pendekatan induktif yang
bersifat subjektif.
Oleh karena itu, hasil penelitian maupun kajian film tidak dapat diterapkan secara keseluruhan untuk satu kasus yang sama. Sebab interpretasi terhadap suatu objek dalam hal ini film akan sangat bergantung pada pengalaman, pengetahuan/pendidikan, ekspektasi, latar budaya dan sosial ekonomi peneliti, sebuah konsekuensi menempatkan peneliti sebagai tolak ukur penelitian.
Oleh karena itu, hasil penelitian maupun kajian film tidak dapat diterapkan secara keseluruhan untuk satu kasus yang sama. Sebab interpretasi terhadap suatu objek dalam hal ini film akan sangat bergantung pada pengalaman, pengetahuan/pendidikan, ekspektasi, latar budaya dan sosial ekonomi peneliti, sebuah konsekuensi menempatkan peneliti sebagai tolak ukur penelitian.
Sebagai contoh sederhana,
interpretasi seorang lulusan kajian politik berideologi marxis akan berbeda
dengan interpretasi seorang ekonom berideologi liberal dalam menilai sebuah
film. Setiap peneliti akan menggunakan argumentasi sesuai pengetahuan dan
kecenderungan ideologi yang mereka anut, argumentasi yang cenderung spekulatif
sesuai intuisi masing-masing peneliti. Sesuatu yang jarang menjadi pertanyaan
publik, apa motif dan ekspektasi dibalik sebuah penelitian/kajian film?
Sebelum masuk dalam pembahasan
lebih jauh, ada baiknya penulis memaparkan beberapa kelemahan penelitian
kualitatif berbasis interpretasi/argumentatif[1]
yang banyak digunakan dalam kajian film. Hal ini dimaksudkan agar kita lebih
memahami mengapa kita perlu pendekatan lain yang lebih pasti dan jelas dalam
kajian film.
- Tidak Memiliki Metode/Rumusan Yang Pasti
Sebagai bagian dari ilmu humaniora/sosial,
kajian film merupakan studi fenomenologi yang lebih menekankan pada pengalaman
sensorial dan pengetahuan perwujudan (knowledge).
Dimana objek penelitian ilmu sosial pada dasarnya berhubungan degan
interpretasi terhadap realitas. Menurut Edmund Husserl bahwa penemuan makna dan hakikat
realitas ditemukan melalui pengalaman karenanya setiap orang memiliki
interpretasi sendiri tentang realitas.
Tidak terkecuali dalam ranah kajian film, peneliti di’halal’kan menggunakan pendekatan masing-masing bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Sehingga pendekatan ini tidak memiliki metode atau rumusan yang pasti dan tetap.
Tidak terkecuali dalam ranah kajian film, peneliti di’halal’kan menggunakan pendekatan masing-masing bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Sehingga pendekatan ini tidak memiliki metode atau rumusan yang pasti dan tetap.
Sebagai contoh
adalah teori Auteur yang diperkenalkan oleh Andrew Sarris. Teori Auteur bertujuan untuk
memberi penghargaan pada film film hasil
karya sutradara tertentu, yang mereka anggap sebagai aktor intelektual (the Controlling Creative Forces)
dibelakang proses kreatif pembuatan film, selain itu juga untuk
mengabaikan karya film film lain yang tiddak memenuhi kriteria rumusan atau
ketetapan Auteur ini.
Dalam rumusannya Sarris menggunakan
tolak ukur dari seberapa besar peran/ pengaruh sutradara dipandang dari sudut
style, kreatifitas maupun psikologis dalam menyumbangkan nilai estetik kedalam
karya filmnya. Apabila peran/ pengaruh sutradara tersebut sangat menonjol, maka
ia layak disebut sebagai seorang Auteur.
Namun disisi lain, Sarris juga
menilai bahwa sentimentil dalam
kehidupan, yang antara lain berkaitan
dengan romantisme serta aspek-aspek positif pada kehidupan dianggap
lebih komersil dibanding dengan nilai sinisme. Sesuatu yang berbeda dari
rumusan awalnya mengenai Auteur. Namun
Ia tetap berpendapat bahwa film Auteur
lebih berharga dibanding dengan film non Auteur
Rumusan Sarris tersebut menganggap bahwa sekali seorang sutradara
mendapat predikat Auteur maka predikat tersebut akan cenderung terus melakat
dengan tidak memedulikan film-film karyanya yang bukan Auteur. Suatu hal yang
terlalu dipaksakan.
- Ketidak Konsistenan Interpretasi
Kelemahan ini banyak terjadi
pada teori film modern sepanjang
tahun 1970-1980-an. Hal tersebut dapat dilihat dari tujuan estetis tradisi
teori film modern yang bertujuan
membongkar makna tersembunyi dari sebuah film. Pemaknaan yang sekali lagi
mengandalkan intuisi dan pengalaman peneliti membuat kita terjebak pada
pandangan subjektif yang labil.
Film dianggap sebagai produk
ideologis merupakan pengaruh besar dari cultural
studies yang populer pada masa itu. Juga sebagai bagian dari tradisi kritis
marxisme yang selalu mencurigai film dan produk kultural lainnya pasti
digunakan oleh satu atau beberapa pihak dalam masyarakat untuk meraih atau
mempertahankan kepentingan politis-ekonomis tertentu[2].
Wacana film sebagai produk
kultural-ideologis merupakan identifikasi unsur politik representasi dalam film
yang dipengaruhi oleh ilmu semiotika – salah satu varian dari ilmu linguistik –
yang muncul pada tahun 1970-an. Peneliti film saat itu menyandarkan
penelitiannya pada ajaran-ajaran linguistik Ferdinand de Saussure dan konsepsi
semiotika Charles Sanders Pierce.
Dalam hal ini film dianggap
sebagai penanda (signifier) ideologi
yang sedang berkuasa. Maka argumentasi yang digunakan akan tendensius mengarah
pada salah satu kelas sosial. Pemaknaan akan penanda dalam film menggunakan deskripsi
interpretatif, yang memeiliki batas pada bahasa verbal semata. Kata/bahasa
verbal tentu terbatas pada ruang dan waktu serta konteks film tersebut dan
memiliki kecenderungan manipulatif.
Sebagai contoh ketidak
konsistenan interpretasi semiotika antara lain, dalam film sering kita jumpai
penggunaan dissolve (suatu adegan dimana gambar pada film secara lambat laun memudar dan berganti dengan gambar yang lain)
yang mana biasa dilihat sebagai kode
atau simbol bergesernya waktu. Namun hal tersebut tidak sepenuhnya berlaku
mutlak untuk arti atau meaning dari
sebuah penggunaan dissolve. Sepanjang
pengamatannya dalam sejarah perkembangan film, sering kali ambigu (tidak
jelasnya makna- tergantung dari sudut pandang/ interpretasi masing masing
individu) dan tidak selalu berfungsi sebagai kode/ simbol transisi peralihan
dimensi atau waktu.
- Subjektif Dan Tidak Terukur
Penelitian kualitatif cenderung menggunakan data
teks yang bersifat subyektif. Realitas yang dipelajari dikonstruksikan sesuai
dengan nilai sosial yang ada, oleh karenanya pemaknaan realitas sesuai dengan
pemahaman peneliti. Penelitian kualitatif memiliki jalinan variabel yang kompleks dan sulit
untuk diukur..
Hal ini
pula yang menyebabkan sulitnya menghitung tingkat validitas hasil penelitian kualitatif,
sebab hasil penelitian tersebut tergantung kuat atau lemahnya argumentasi yang digunakan peneliti.
@bersambung...zzzzzzzzzzzzzzzzzzzzhhhzz.........
@bersambung...zzzzzzzzzzzzzzzzzzzzhhhzz.........
[1] Dalam
penelitian kualitatif dikenal 3 konsep validitas atau basis kebenaran hasil
penelitian, yaitu (1) validitas komulatif dimana terdapat kesamaan/keserupaan
temuan antara satu studi dengan studi yang lain dengan objek/topik yang sama. (2) validitas komunikatif merujuk pada
derajat konfirmasi temuan dan analisis temuan pada subjek penelitian. (3)
validitas argumentatif merujuk pada kekuatan dan kesesuaian logika dan
rasionalitas yang dibangun peneliti. Lihat DR. Agus Salim, 2005, Teori & Paradigma Penelitian Sosial,
Hal 20)
[2] Richard
Dryer, “Introduction to Fim Studies,” dalam The Oxford Guide to Film
Studies hal 6
0 komentar:
Posting Komentar