I)
Sinematografer
Steatment;
Film menjadi seni yang terakhir
(seni ketujuh) dalam peradaban manusia oleh karena ia mampu menampilkan dan
menyatukan kompleksifitas ide dari berbagai kreator kedalam medium film.
Oleh karena kompleksifitas inilah film bisa berbicara dalam lingkup sosial atau
film adalah media sosial, singkatnya,
ketika ketika menyampaikan sesuatu kepada pihak yang lain maka terjadilah interaksi sosial.
Film
mampu memberikan pengaruh kepada penontonnya bahkan peradaban manusia sekalipun
sama seperti seni murni yang lain. Steatment ini memang sudah bukan kosakata
baru dalam dunia sinema, namun hal inilah yang mengacu saya sebagai
Sinematografer untuk tertarik dan terlibat dalam pembuatan film TKA yang
berjudul ‘Suara Ilalang’. Dan pertanyaan yang kemudian muncul dalam benak
saya adalah, seberapa jauh kerangka Sinematografer membentuk ‘pengaruh’ didalam
film ini? Hal inilah yang sekiranya perlu untuk didiskusikan bersama dengan
Sutradara, Penulis, Art Director, Editor, yang nantinya penulis akan
melampirkannya pada bab Sinematografer Treatment.
Mengutip
perkataan sutradaraa film ini “Story dalam film ini menjadi alat saya untuk
menyampaikan tujuan yang saya miliki.
Tujuan saya adalah menemukan apa yang tersembunyi di balik pilihan
seorang muslimah mengenakan pakaian berjilbab”. Disini Sinematografer
mengharfiahkan bahwa secara garis besar teks film ‘Suara Ilalang’ memberikan
gambaran begitu banyak perbedaan bahkan dengan pemahaman yang sama sekalipun akan kerap
muncul perbedaan. Perbedaan memang
terkadang menghasilkan ketidaksamaan tujuan, namun disini saya akan mencoba melirik sebuah persfektif
(persefektif karakter dalam cerita)
bahwa didalam cerita film ini
terdiri dari tiga karakter tokoh yang berbeda yang meskipun berlatar pada
berbagai kesamaan, seperti;
status gender yang sama, status lingkungan dan akidah yang sama.
Dalam
penguraian teks diatas, saya
mengemukakan kata kunci, yaitu perbedaan yang didasari atas karakter masing
masing tokoh (Rasa, Siti dan Cut). Dan
dari ketiga perbedaan teks karakter tersebut, akan saya jadikan acuan untuk membentuk sebuah
konsep dan treatment, khususnya dalam area kerja seorang Sinematografer
Berbicara tentang area kerja
seorang Sinematografer, maka kita berada dalam area Syle sebuah film. Style
disini bisa diartikan sebagai teknik filmaker dalam memberi makna dalam filmnya.
Disinilah peran mise en scene dalam
sebuah teks film untuk dikreate sehingga
mampu memberi makna bagi penonton film ataupun bagi naratif film.
II) Analisa Skenario
Dalam skenario ini secara
konkrit menghadirkan latar kejadian yang real,
disebuah pemukiman dimana ketiga
tokoh, Siti, Rasa dan Cut berinteraksi
secara sosial dengan konflik masing masing yang melandasi plot
penceritaan. Dari persfektif sinematografi, penonton film akan diarahkan untuk berada dalam tiap tiap
situasi masing masing karakter tokoh. Telah disebutkan pada bab sinematografer
steatment, bahwa kata kunci ‘teks perbedaan karakter tokoh’ dan interaksinya menjadi benang merah
sinemtografer untuk dikonversi kedalam pembentukan style film.
Dan
sebagai Penata Fotografi dalam film ini dihadapkan pada bagaimana menciptakan
asimilasi look dan mood yang sesuai dengan kejadian tersebut kedalam nuansa
penceritaan didalam film. Dan pandangan Penata Fotografi dalam skenario ini
adalah:
-
Dari analisa karakter tokoh Rasa menjabarkan sosok yang ambivert yang ingin
mengetahui banyak hal, karakter yang bimbang dengan logika pemikiran yang kuat.
Phase look warna pada karakter Rasa akan dikemas pada suhu warna yang sedang
(3500-4500 K) yang berarti berkesan hijau yang tidak pekat.
-
Dari analisa karakter Siti, menjabarkan sosok yang melankolis, introvert, dari penjabaran ini look yang ingin
ditampilkan agar sesuai dengan karakter tokoh
adalah warna warna dengan suhu rendah,
oleh karena secara psikologis suhu warna tersebut mampu menghantarkan mood
seperti pada karakter Siti.
-
Tokoh Cut dari film ini adalah karakter yang
rigid (kaku) trauma akan masa lalu, corak yang akan kami berikan pada karakter
ini adalah warna warna dingin, sehingga efek yang diberikan melalui look
semacam ini bisa sesuai dengan mood yang ingin dicapai
Dari penjabaran analisa
karakter diatas, elemen sinematografi telah memberikan berbagai corak dari ketiga
karakter didalam film ini. Begitupun dengan elemen elemen yang lain dalam
sinematografi, seperti; komposisi, angle, tata cahaya, dsb, akan tetap
mengaplikasikan karakter tokoh sebagai pemicu dalam menata mise en scene di
film ini. Dan untuk lebih detilnya akan kami paparkan pada BAB 4
‘Treatment Visual’.
III.
Konsep Visual Mise en scene
Sederhananya Sinematografer ingin membuat formula
dimana visual atau gambar mengikuti
konstruksi cerita, bahwa style mise en
scene akan menunjang atau mengikuti bentuk teks naratif, agar tidak saling tindih
dan berdiri sendiri.
Dari
teks cerita film ‘Suara Ilalang’
berbicara tentang keseharian Tiga orang tokohnya ditahun 2009, dari
bentuk ini, maka secara garis besar
konsep style akan kami bagi tiga elemen secara garis besar (sesuai dengan
karakter tiga tokoh), ketiga bentuk inilah yang nantinya akan dibuat
0 komentar:
Posting Komentar