Interpretasi Film. (by Barry Salt)
Ketentuan dasar perihal
terbentuknya kajian interpretasi yang diakui sah secara resmi/ legal, baik yang
diperuntukkan bagi media film/ bidang
seni lainnya, merupakan polemik yang tak berkesudahan. Hal ini antara lain disebabkan oleh cara pandang
para individu dalam mengartikan
makna atau simbol dalm tampilan sebuah visual film atau karya seni
lainnya.
Masing masing kritikus film,
sineas dan para pelaku film memiliki motif agenda, ekspektasi, pengharapan
maupun latar belakang sosio ekonomik
serta budaya sendiri dalam mengambil sikap
yang berkenaan dengan proses interpretasi sinema.
Berlainan dengan disiplin ilmu
linguistik yang lebih terukur penelaahannya dan terjabar secara detil dalam
Fonologi, Morfosyntax, dan Semantik, kajian film tidak memiliki
rumusan yang baku dalam mengatur secara eksplisit (tegas) dan spesifik
terkait proses interpretasi film.
Secara umum dapat digambarkan dua
kutub yang saling berlawanan dalam pengaplikasian interpretasi film.
Yang pertama adalah, pandangan
ekstrim yang menolak samasekali keberadaan kajian interpretasi film yang sah
(Barry Salt menganggap pandangan ini sebagai lelucon beleka, karena
dibalik penolakan mereka atas keabsahan
sebuah kajian interpretasi, namun
sesekali mereka tetap memberikan
analisa/ kritik pada film)
Kedua, merupakan pandangan
konservatif yang jauh lebih toleran
terhadap beraneka ragam variasi dalam
kajian film, dimana unsur unsur sinema seperti, konteks, narasi, visi
dsb menjadi faktor pertimbangan.
Dengan berpatokan pada
konsep konservatif ini, maka sebagai contoh: muatan religi yang terkandung
dalam sebuiah film bertemakan drama religius bila dikaji dari persfektif
keagamaan oleh sosok sutradara yang ‘tidak beragama’ akan dianggap tidak sah.
Ketika seorang kritikus film menggunakan intuisi pribadinya
kedalam proses interpretasi, maka yang trerjadi adalah kita sebagai penikmat film akan kian tersudut pada pengembangan wawasan dan terjebak sistem
analisa yang sangat subjektif. Konsep interpretasi film yang mengedepankan asas
subjektifisme ini diperagakan secara utuh oleh Jonathan Rosenbaum dan Bruce
Kawin.
Contoh kasus: dalama artikel Cahiers
du Cinema yang mengupas tentang film ‘Young Mr. Linclon, karya John Ford, disebutkan bahwa sorot tajam tatapan
mata Linclon diartikan sebagai ‘Castrating’ (pengebirian) sementara bila
di[andang dari sudut psikoanalisa seperti yang dikutip oleh Peter Wollen dalam
artikel lainnya, sorot mata tajam tersebut
dimakanai sebagai ‘phallus’ (penis) yang identik dengan power
(kekuasaan) dan dominasi pria, serta
mewakili simbol pemerkosaan.
Disini terlihat jelas kontras
perbedaan interpretasi dimana satu sisi visualisasi tatapan mata Linclon
diartikan sebagai bentuk
ketidakberdayaan (kelemahan karakter sang protagonis yang dikebiri)
sedangkan sisi lain tatapan mata tajam
tersebut dimaknai sebagai keangkuhan
maskulinisme Linclon sebagai sosok pria dewasa dan tangguh.
Situasi disini, dimana kajian
interpretasi jauh berbeda antara satu dengan yang lain cukup sering
terjadi dan hal ini dianggap wajar oleh pengikut paham Psikoanalisa.
Namun seperti yang telah
diketahui sebelumnya, Barry Salt selalu menaruh curiga dan keraguan terhadap
setiap pendekatan ilmiah yang dilakukan berdasarkan rumusan teori psikoanalisa.
Maka, ketidakkonsistenan dari interpretrasi film ini justru dikhawatirkan akan menimbulkan miskonsepsi
yang bisa berdampak serius bagi pesan moral dan visi filmaker, serta tentunya
akan menmpengaruhi setiap elemen teknis dan estetika produksi film yang
bersangkutan.
Dalam satu kesempatan Barry Salt
mempertanyakan kebenaran metode serta kajian teknis yang diperagakan Raymond
Bellour dalam film North by Northwest karya alfred Hitchcock, khususnya yang
berkait dengan adegan pengejaran pesawat terbang. Dalam essaynya ini
(diterbitkan dengan judul Le Blocage symbolique pada majalah Communications
Vol. 23, 1975), Bellour menampilkan diagram konfiguratif yang sepintas terlihat
terstruktur rapi dan ilmiah dalam mencermati koreografi, berikut timing dan
editing pada adegan tersebut.
Namun setelah melakukan uji coba
dengan metode yang berbeda pada materi
adegan yang sama, Salt menyimpulkan bahwa, sistem yang digunakan Bellour
hanyalah bersifat kosmetik (lebih berpegang unsur estetika) tanpa menelaah
lebih dalam aspek sinematik, contoh; pergerakan plot (linear dan non-linear),
over lapping editing berapa jumlah shot yang digunakan dalam membuat beberapa
sudut pandang.
Pada akhirnya Barry Salt
menyerukan pentingnya seorang reviewer/ kritikus film untuk lebih
mempertimbangkan aspek teknis, yang antara lain
melibatkan depth of field, editing, shot selection, dsb kedalam rumusan
interpretasi filmnya. Hal ini yang menurut Salt menjadi kekurangan yang
menonjol dikalangan kritik akademis saat ini.
Cahiers du Cinema dan Young Mr.
Linclon.
Dalam terbitan majalah Cahiers du
Cinema edisi nomor 223 (1970) yang kemudian diterjemahkan ke majalah Screen
vol13 no 3, disebutkan bahwa model Psikoanalisa Lacan telah menyuguhkan
alternatif baru dalam kajian interpretasi narasi film. Barry Salt
menyanggah stetmen ini dengan alasan bahwa upaya Lacan ini hanyalah menemukan atau dengan kata lain
‘menciptakan’ dengan memunculkan
‘kesenjangan/ gap atau kekurangan dalam sebuah produksi film, untuk selanjutnya
diperiksa secara ‘medis’ gejala gejala yang timbul seperti halnya terapi
penyembuhan pasien jiwa dengan metode
psikoanalisa.
serta merta metode baru kajian
interpretasi film ini menarik perhatian kalangan penggiat/ pemerhati sinema sehingga mereka terlena dan mengabaikan keabsahan sumber teori yang menjadi dasar metode
tersebut. Menurut Salt, boleh saja mengadopsi sebuah model teori dari sebuah disiplin ilmu kedalam ilmu yang
lain, namun hal ini menjadi masalah
apabila model teori yang digunakan terbukti gagal dalam penerapan
ilmunya sendiri, contohnya psikoanalisa.
Tanpa menyebut nama, kali ini
Barry Salt menggugat beberapa tulisan dari kritikius majalah film Cahiers du
Cinema, terutama tentang analisa mereka
perihal film ‘Young Mr Linclon’ hasil besuta sutradara peraih empat
piala Oscar, John Ford.
Berpedoman pada pemahaman
Psikoanalisa Freud dan Marxisme, para kritikus
ini menyimpulkan bahwa film tersebut merupakan reformulasi tokoh bersejarah Abraham Lincoln
dipandang dari sudut mitos saja, tanpa menghiraukan faktor lain yang dapat berpotensi menimbulkan konflik cerita,
contohnya sex dan politik. Namun Salt berpendapat bahwa, kajian film dengan hanya mengandalkan satu sudut pandang
berarti seperti ini justru akan
cenderung men-disharmonisasikan/ merusak keseimbangan antara narasi film dan realitas sejarah,
karena seringkali terjadi kompromi antara fakta dan fiksi dalam
Autoboigrafikal, dan dengan hanya
menyertakan satu sudut pandang saja, kritikus tersebut secara efektif telah mempersempit ruang gerak
interpretasi dan dan persepsi penonton film tersebut.
Terjemahan Inggris teori film
Prancis
Berawal sejak 1971, ‘Sreen’
merupakan jurnal berbasis Marxist yang disubsidi oleh oleh The British film
Institute dan menjadi alur utama masuknya teori film Prancis untuk selanjutnya
diperkenalkan secara luas pada khayalak Inggris dan Amerika.
Melalui terjemahan bahasa
Inggrisnya, majalah Screen ini mempublikasikan buah pemikiran sederet pakar
perfilman Prancis, yang mengklaim bahwa kajian teori sinematik mereka telah
menyuguhkan standard baru perfilman yang jauh lebih konkret, lengkap dan
seksama dibanding rumusan teori film lainnya.
Namun Barry Salt berkilah, bahwa standarisasi baru dan
peningkatan mutu kajian sinema yang disesumbarkan oleh ‘pakar’ ini akan jauh
lebih berguna dan bermanfaat apabila usaha telaah film mereka disertai dengan
kemampuan melahirkan pengetahuan baru yang bersifat konstruktif, bukan hanya
sekedar retorika kosong belaka.
Sepintas lalu memang ada beberapa
artikel film dalam jurnal ‘Screen’ yang berusaha menterjemahkan sekaligus
mengaplikasikan konsep teori film Prancis
kedalam kajian sinema, ini
terlihat sangat mengagumkan karena seperti layaknya disertasi/ skripsi
karya ilmiah, artikel artikel ini diperkaya oleh oleh banyaknya footnotes,
referensi, serta tabel diagram analisi yang sangat detil. Namun bila diteliti
secara seksama, barulah diketahui bahwa
tulisan artikel tersebut mengambil sumber dari argumen argumen dengan bahan
dasr teori yang lemah dan cenderung
spekulatif.
Selama ini majalah Screen berulang
kali mengklaim bahwa semua artikel artikel publikasinya telah memenuhi standard
mutu kajian film.
Sebagai contoh kegagalan Screen
dalam kaitannya dengan kajian teori film, Barry Salt menilai usaha Stephen
Heath, salah seorang penulis
tersebut dalam menjabarkan soal
reproduksi fotografi yang dalan artikelnya bertajuk Narrative Space (Screen, vol
17, No. 3, 1976) lebih mengandalkan pada
hipotesa pribadi hasil dari pemahamannya
yang kurang utuh tentang teori Film Prancis, sehingga semakin memperdalam kesalahpahaman umum tentang aplikasi teknis sinema itu sendiri.
sumber: Salt,
Barry, Film Style and Technology :
History and Analysis, page 16. London: Starword Publishing, 2003
0 komentar:
Posting Komentar