Kritik Analalisis
Film Kontemporer
Sejak
tahun1960an, antusiasme penelitian tentang film mulai berkembang. Sejak itu
teori-teori film baru mulai bermunculan. Prancis, saat itu menjadi kiblat dalam
analisis/kajian film dunia. Beberapa teori film yang berkembang di sana seperti
Auteur, Linguistik, semiotika, marxism, dan psikoanalisa merupakan teori-teori
umum yang digunakan dalam analisis film hingga kini.
Namun dalam
perjalannya, teori-teori tersebut dianggap tidak lagi relevan digunakan. Hal
ini menurut Barry Salt dikarenakan banyak terdapat kesalahan-kesalahan dalam
teori tersebut baik dilihat dari segi filosofis maupun metodelogisnya.
Menurutnya, teori-teori yang berkembang beberapa dekade ini tidak objektif,
tidak sistematis, tidak konsisten dan cenderung manipulatif[1].
Salt
mencontohkan teori Auteur yang dipopulerkan oleh Andrew Sarris[2], menurutnya rumusan ini bertujuan untuk
memberi penghargaan pada film-film hasil
karya sutradara tertentu, yang dianggap sebagai aktor intelektual (the Controlling Creative Forces).
Prinsip dasar teori Auteur
Sarris menggunakan tolak ukur dari seberapa besar peran/ pengaruh sutradara
dipandang dari sudut style, kreatifitas maupun psikologis dalam menyumbangkan
nilai estetik kedalam karya filmnya. Apabila peran/ pengaruh sutradara tersebut
sangat menonjol, maka ia layak disebut
sebagai seorang Auteur. Dan menurut Sarris, gelar Auteur yang disandang
sutradara tersebut akan cenderung melekat terus meskipun beberapa filmnya tidak
menampilkan kriteria tersebut. Teori ini akan menjadikan sebuah film Auteur lebih berharga dibanding dengan karya film Non-Auteur.
Sarris memberikan contoh bahwa
aspek sentimental dan nilai-nilai positif kehidupan seperti yang terekam dalam
karya film Auteur Billy Wilder & John Ford dianggap lebih komersil ketimbang dengan nilai Sinisme (paranoia,
pesimisme, egoisme dan pandangan negative tentang kehidupan).
Hal ini menurut Salt membuat
Sarris memandang sebelah mata aliran Avant-Garde yang bersifat lebih
modern dan experimental. Lebih lanjut Sarris menganggap model Avnt-Garde ini
tidak memberikan konstribusi apapun bagi perkembangan komersialisasi Cinema.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa Teori Auteur Sarris ini cenderung lebih berorientasi/ mengacu pada
aspek bisnis dibanding aspek aspek lain yang ada dalam sebuah film.
Setidaknya ada 3 hal yang menjadi kelemahan teori Auteur menurut Barry
Salt yaitu; (1) ketidak-konsisten-an
Sarris dalam memberikan penilaian layak tidaknya seorang sutradara dikatakan
sebagai Auteur, (2) Tidak adanya rumusan/ kriteria yang pasti, (3) Subjektif /
kriteria tergantung dari intepretasi sang kritikus.
Sayangnya hal serupa juga
dialami teori-teori film lainnya terutama yang termasuk dalam New French Film
Theory. Berbeda dengan Auteur yang berkembang di Amerika yang memiliki
keganjilan dalam metodeloginya, kesalahan-kesalahan New French Film Theory yang
mendobrak pakem teori film klasik ini sudah tercermin dari landasan
filosofisnya.
Barry menelusuri tradisi
keilmuan yang dianut prancis dan menemukan bahwa studi filsafat di Prancis
berkiblat pada Hegel yang mengklaim dirinya telah menciptakan sistem
filosofi yang sempurna dan dapat
menampung segala konsep dasar dari berbagai macam disiplin ilmu.
Pada kenyataannya model
filosofi Hegel (1770-1831) ditolak di dunia Barat karena terbukti gagal dalam mengakomodasi kebutuhan sains modern. Hal ini menurut Carl
Friedrich Gauss[3] disebabkan kerena Hegel tidak menguasai
bidang mate-matika dan sains. Kesalahan fatal yang sama akhirnya juga mempengaruhi
pemikir-pemikir pengikut Hegel yang teorinya banyak diserap kedalam kajian film
seperti teori Vitalisme Henry Bergson yang merupakan Pencetus New french Film
Theory. Phenomenology Jean Piaget dan Marxisme Louis Althusser yang
masing-masing mengklaim teori filsafat mereka sebagai panduan utama dalam
mengkaji sains.
Pergulatan para teoretikus
film Prancis tercatat menjadi ruang pertumbuhan pemikiran strukturalisme dan
post-strukturalisme, dan menjadi ruang tumbuh semiotika, kemudian menumbuhkan
perspektif kajian film dalam lingkup feminisme, dekonstruksi, hingga
psikoanalisis. Hal ini tampak
jelas terlihat pemikiran Barthes dan Levi-Strauss hingga pikiran-pikiran Metz
(1971-1972).
Bagi Barry, memasukkan teori dari disiplin ilmu lain kedalam kajian film
seperti yang dilakukan dalam New
French Film Theory tidak menjadi
masalah selama teori tersebut dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah pada
disiplin ilmu dasarnya. Memasukkan teori-teori yang terbukti gagal di disiplin
ilmunya kedalam kajian film merupakan hal yang sia-sia baginya.
Ia mencontohkan teori psikoanalisa yang banyak diadaptasi dalam teori
film yang secara nyata minim tingkat kesuksesannya dalam penyembuhan pasien
gangguan mental[4].
Sehingga tidak ada alasan bagi Barry
untuk mempercayai teori tersebut. Meski dengan tegas ia nyatakan bahwa ia
meyakini tentang keberadaan the Unconscious
Mind (alam bawah sadar manusia) yang dicetuskan oleh Sir Francis Galton,
ilmuan pendahulu Sigmun Freud, hanya saja Barry merasa teori Freud tidak
memuaskan dan bukanlah medium yang tepat mengkaji interpretasi film.
Meski harus diakui ketentuan
dasar kajian interpretasi film maupun media seni lain yang ’legal’ merupakan
polemik yang tidak berkesudahan disebabkan oleh
cara pandang para individu dalam
mengartikan makna atau simbol dalam
tampilan sebuah visual film atau karya seni lainnya. Masing-masing kritikus
film, sineas dan para pelaku film memiliki motif agenda, ekspektasi, maupun
latar belakang sosio ekonomi serta
budaya sendiri dalam mengambil sikap
yang berkenaan dengan proses interpretasi sinema.
Secara umum dapat digambarkan dua kutub yang saling berlawanan dalam
pengaplikasian interpretasi film.
·
Yang pertama adalah, pandangan ekstrim yang menolak sama sekali keberadaan kajian interpretasi film yang sah
(Barry Salt menganggap pandangan ini sebagai lelucon belaka, karena
dibalik penolakan mereka atas keabsahan
sebuah kajian interpretasi mereka tetap
memberikan analisa/ kritik pada film)
·
Kedua, merupakan pandangan konservatif yang jauh lebih toleran terhadap beraneka
ragam variasi dalam kajian film, dimana
unsur-unsur sinema seperti, konteks, narasi, visi dsb menjadi faktor
pertimbangan.
Dengan
berpatokan pada konsep konservatif ini, maka muatan religi yang terkandung
dalam sebuah film religius bila dikaji dari persfektif keagamaan oleh sosok sutradara
yang ‘tidak beragama’ akan dianggap tidak sah.
Ketika seorang kritikus film menggunakan intuisi
pribadinya kedalam proses interpretasi, maka yang trerjadi adalah kita sebagai penikmat film akan kian
tersudut pada pengembangan wawasan dan
terjebak sistem analisa yang sangat subjektif.
Pada akhirnya Barry Salt menyerukan pentingnya seorang
reviewer/ kritikus film untuk lebih mempertimbangkan aspek teknis, yang antara
lain melibatkan depth of field, editing, shot selection, dsb kedalam rumusan interpretasi
filmnya. Hal ini yang menurut Salt
menjadi kekurangan yang menonjol dikalangan kritik akademis saat ini.
Berpegangan
pada aspek konstruktif dalam memformulasikan rumusan teori filmnya, Barry salt
kemudian menggunakan metode analisis dan evaluatif yang seobjektif mungkin
dalam menelaah lebih dalam tentang berbagai unsur dalam cinema. Metode analisis
dipandang perlu demi menguji seberapa
tinggi tingkat akurasi rumusan teori yang digunakan, demikian juga
halnya dengan metode evaluatifnya.
Menurutnya kajian
sinema yang ideal harusnya meneladani aspek-aspek positif yang ada pada sains yang lebih stabil dan mapan
seperti biologi dan fisika, yang mana terdapat kesamaan baik dalam esensi
maupun metode pengajaran baik di
Inggris, Rusia, Amerika serta China. Bukannya malah terbuai dengan retorika spekulatif.
Meski
menurutnya kajian film tidak memilki kapasitas untuk dapat tumbuh dan kemudian
berkembang menjadi sains murni dikarenakan sifat dasar dari kajian itu sendiri yang cenderung
bersifat eksperimental, inovatif, serta kental dengan aroma kompleksifitas.
Singkat kata, tidak ada aturan baku yang mengatur nilai nilai estetika yang
terkandung didalam medium sinema, sehingga bisa dikatakan estetika dalam sinema
seakan akan bersifat sebagai alat kosmetik belaka.
Analisa film versi Barry Salt terbagi atas tiga unsur,
yaitu :
1)
Berdasarkan Konstruksi teknisnya (jenis kamera yang
digunakan, ukuran lensa, angle, editing, art direction dan tata ruang)
2)
Style (executive and artistic decision) sang sutradara.
Dimana menurut Salt faktor kedua ini lebih banyak diabaikan dalam perumusan
teori film dewasa ini.
3)
Dan yang terahir dan relatif kurang signifikan dari dua
faktor diatas adalah film dapat dianalisa dengan mengukur seberapa besar
tingkat respon dari penonton.
Sedang dalam kriteria evaluasi film,
Barry mengklasifikasikan 3 aspek utama yaitu; Originalitas, Pengaruh film
tersebut dengan film lainnya dan seberapa besar visi dan pengaruh kreatif sang
filmaker terpenuhi dalam film garapannya.
Sama seperti mereka yang membawa
strukturalisme, formalisme, psikoanalisa maupun semiotik ke dalam analisa film,
Barry memperkenalkan kepada kita suatu metodelogi yang cukup asing dalam dunia
kajian sinema, statistik. Sama seperti metode semiotik strukturalism,
pendekatan yang digunakan Barry mengabaikan pertanyaan mengenai estetika dan
efektivitas phenomenologi untuk mengeksplorasi produksi makna teks sebagai Aset strategi diskursif. Ia bahkan
memperlakukan teks secara ‘kasar’ dengan merobeknya manjadi averege shot lenghts, camera movements, shot types, dll)[5].
II.II. Statistik ; Pendekatan Baru
Dalam Analisis Style
Obsesi Barry Salt untuk menggunakan
metode penelitian film yang lebih sistematis, terukur dan lebih objektif ia temukan
dalam penelitian kuantitatif. Analisis style kuantitatif di sini melibatkan statistik baik secara deskriptif dan inferensial[6]. Tujuan utamanya adalah mengumpulkan jumlah dan frekuensi data
parameter formal sutradara kemudian
diwakilkan ke dalam grafik, persentase, dan rata-rata panjang tiap shot (ASL).
Pendekatan statistik dalam penelitian film memberikan hasil secara visual angka-angka
yang lebih jelas dan sistematis, dalam hal ini Barry Salt dengan berani
menyebut metode penelitian film dengan pendekatan statistik merupakan Scientific
realism[7]. Statistical style analysis
sendiri secara spesifik memiliki 3 tujuan standar, yaitu:
1.
Menawarkan analisis style dengan menggunakan pendekatan
kuantitatif.
2. Menghindari
sengketa teks yang berkaitan dengan atribut kepenulisan
3.
Untuk mengidentifikasi kronologis film ketika adegan atau
urutan komposisi tidak jelas atau tidak runut.[8]
Menggunakan
perasaan mungkin dengan mudah dapat mengidentifikasi perbedaan style beberapa
sutradara seperti ’Fritz Lang cenderung menggunakan long shot seperti film
Renoir’ dengan asumsi bahwa sang sutradara lebih menyukai long shot., Namun
bila diamati secara detail idea tersebut sangat meragukan, dengan melakukan
pengamatan dan membandingkan secara statistik menunjukkan bahwa hal itu tidak
semudah menonton satu atau dua film yang dianggap bagus[9].
Statistical style analysis sendiri merupakan kritik terhadap teori mise-en-scene, di mana keduanya
sama-sama menggunakan material film sebagai bahan atau objek analisisnya.
Dengan
memasukkan statistik sebagai alat analisa, Statistical
style analysis berhasil menghindari hubungannya antara style
dan tema sebuah film, sesuatu yang menjadi fokus pada teori mise-en-scene
yang ’mati-matian’ membantah asumsi bahwa tampilan scene dalam sebuah
film (gerakan kamera, tata cahaya, dll) hanya keperluan estetika semata[10].
Analisis style dalam pendekatan statistik menunjuk satu set pola
terukur yang secara signifikan menyimpang dari norma kontekstual
film.
Tujuannya adalah
mengindetifikasi style individu
sutradara dengan mengumpulkan data parameter formal secara sistematis terutama
yang berada dalam kendali langsung sutradara seperti :
• Duration of the shot (termasuk
panjang rata-rata per-shot, atau
Average shot length/ASL)
• Shot scale
• Camera movement.[11]
Penghitungan dapat dilakukan dengan mengukur panjang pita
film atau durasi pada film yang menggunakan cakram digital (CD) selang satu
menit atau 100-ft pada film 35mm. pada kenyataannya Barry hanya mengumpulkan shot yang muncul dalam 30menit film yang
dianalisanya. Menurutnya shot-shot yang
muncul 30menit awal film merupakan repsentasi sampel film tersebut. Namun
belakangan, keputusan menghitung shot seluruh film dilakukan agar skala shot
lebih akurat.
II.III. Metode
Analisis
A. Average shot length/ASL
Konsep ASL merupakan panjang dari film dibagi dengan jumlah shot di dalam film, yang dapat dinyatakan sebagai panjang fisik yang
sebenarnya dari film atau lebih dikenal sebagai durasi. Sebelumya untuk film yang menggunakan
celluloid/film bisu dimana kecepatan proyektor mempengaruhi durasi Barry menggunakan satuan feet yang diambil dari panjang pita. Namun hal ini menimbulkan
persoalan ketika perbandingan dilakukan dengan film-film yang dibuat pada masa
yang berbeda. Untuk itu Barry mengganti satuan ASL menjadi detik, mengingat
akurasi persentase kecepatan proyektor pada film bisu hanya memiliki perbedaan
yang sangat kecil.
Dalam penghitungan statistiknya, Barry merekomendasikan
beberapa cara untuk memilih interval waktu yang digunakan dalam menghitung ASL,
yaitu :
1.
Gunakan interval waktu per satu
menit atau 60 detik pada film dalam cakram digital (CD) atau 100-ft pada film
35mm.
2.
Lakukan perhitungan jumlah tipe
shot dalam angka (misalnya 50 tipe shot) kemudian hitunglah jumlah shot dari
keseluruhan tipe shot yang ada.
3.
ASL atau panjang rata-rata shot
didapat dari perhitungan interval waktu keseluruhan scene dalam film. Kemudian hitunglah
jumlah shot seluruhnya. Jika scene
berlangsung 2 menit (120 detik) dan jumlah shot setiap scene adalah 12 maka
ASLnya adalah 10detik (ASL = durasi scene : jumlah shot)
B.Scale
Shot
Pada mulanya Barry mendapatkan skala shot kebanyakan
dari data-data untuk ASL (scene dan jumlah shot) dan hasil persentase terbalik
dari potongan angle yang diambil dari 30 menit panjang film atau setidaknya 200
shot. Namun kriteria tersebut tidak memuaskan dengan range error mencapai lebih
10%. Karenanya distribusi skala shot sekarang diambil dari keseluruhan panjang
film. Adapun tipe shot yang dihitung adalah :
1.
BCU
2.
Close Up (CU)
3.
Medium Close Up (MCU)
4.
Medium Shot (MS)
5.
Medium Long Shot (MLS)
6.
Long Shot (LS)
7.
Very Long Shot (VLS)
C. Camera
Movement
Tren menggunakan gerak kamera yang luas muncul pada akhir abad ke-12 dan
masih berlangsung hingga memasuki periode film bersuara. Hal ini memunculkan
perbedaan antara jumlah shot dengan gerak kamera (Camera Movement). Perdebatanpun muncul tentang apakah gerak kamera
merupakan salah satu bagian dari style sutradara dimana gerak kamera tidak
menampakkan kerja-kerja sutradara didalamnya melain kerja cameraman.
Namun menyadari bahwa gerak kamera berada dalam kewenangan sutradara
dalam hal ini kamera bergerak sesuai keinginan sutradara dan lebih jauh melihat
kedekatan kerja antara sutradara dan cameraman yang lebih dibanding kru
lainnya, dalam hal ini jika sutradaramemutuskan untuk tracking shot maka eksekusi berada pada operator kamera dibanding lighting cameraman.
Alasan tersebutlah yang membuat Barry menyimpulkan bahwa camera movement
merupakan bagian dari style sutradara. Adapun penghitungan skala camera
movement mencakup :
1.
Pan
2.
Tilt
3.
Pan With Tilt
4.
Track
5.
Track With Pan
6.
Crane
DAFTAR PUSTAKA
Salt, Barry, Film
Style and Technology : History and Analysis, London: Starword Publishing, 2003
Salt, Barry, Moving Into
Pictures. London
: Starword Publishing, 2006
Thomas Elsaesser & Warren Buckland, Studying Contemporary American Film, London : rnoldpublishers,
2002
Kristanto,
JB, Katalog Film Indonesia 1926-2005,
Jakarta : Penerbit Nalar, 2005
David Bordwell & Kristin thompson, Film Art : An
Introduction. Mc Graw-Hill: 1993 Fourth edition.
Salim,
Agus, Teori dan Paradigma Penelitian
Sosial, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006
Gibbs, John. Mise-en-scène. United Kingdom:
Wallflower Press, 2002.
Arikunto,
Suharsimi, Manajemen Penelitian, Jakarta : PT. Rineka
Cipta, 2009
Bungin,
Burhan, Metodologi Penelitian
Kuantitatif, Jakarta : Kencana,2010
Surakhmad, Winarno, Dasar dan Teknik Research; Pengantar
Metodologi Ilmiah, Bandung : Tarsito, 1978
Jurnal ‘Jejak Film Bihari’, Bandung
: PPDP-FFI 2008
Biran, H. Misbach Yusa, Apa-Siapa Orang Film Indonesia, Jakarta : Depertemen
Penerangan Republik Indonesia & Sinematek, 1979
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Edisi Ke Tiga, Jakarta
: Departemen Pendidikan Nasional & Balai Pustaka, 2005
[1] Film Style and
Technology : History and Analysis, Barry Salt, London : 2003
[2] Andrew
Sarrismerupakan kritikus film yang
mempopulerkan teori Auteur di USA melalui bukunya The American
Cinema: Directors and Directions 1929-1968 (1968).
[3] Carl Friedrich
Gauss (1777-1855) Ahli matematika, astronomi dan fisika Jerman. Membantah
filosofi hegel sebab ia tidak menguasai ilmu sains dan matematika, sehingga
filsafatnya tidak sejalan dengan pemikiran sains & teknologi.
[4] The Effects
of Psychotherapy, S. Rachmann, Pergamon Press : 1971
[5] ????
[6] ibid????
[7] Scientific
realism merujuk pada pengertian Stanley Kubric; sesuatu yang di dalamnya
benar-benar terdapat sesuatu yang bisa diteliti/diukur.
[8] Thomas Elsaesser & Warren B, Studying Contamporary American Film; A Guide To Movie Analysis Oxford University Press, 2002
[9] Dolozel
and Bailey, Statistics and Style, Elsevier,
1969
[10] ibid 21
[11] ibid21
0 komentar:
Posting Komentar