Tulisan ini berisikan bantahan bantahan teori film kontemporer yang menurut Salt terlalu mengandalkan Imaginasi dalam esensinya ataupun intuisi pribadi sehingga estetika terkesan kelanjutan dari kosmetika.
Marxisme dan Althusser
50 tahun terahir ini,
sejarah telah menjadi saksi atas terpurukny Marxisme yang menitik beratkan pada
pemerataan kelas yang merujuk pada kesejahteraan rakyat umum dengan total
kendali pemerintah pusat dan keunggulan sistem Kapitalis dalam persaingan
global. Hal ini sangat berdampak besar pada peta sosio politik dan budaya dunia
dan sedikit banyak telah mempengaruhi
sejarah perkembangan sains dan
filosofi.
Berbekal dari sedikit
catatan tambahan yang dia masukkan
kedalam teori Marxisme, Louis Althusser mengklaim bahwa konsepnya telah
memberikan konstribusi penting pada
perkembangan teori film Prancis dewasa ini.
Mengupas lebih jauh
tentang peranan Althusser dalam ranah filosofi, Salt membeberkan sederet
kejanggalan buah pikiran Althusser yang tertuang dalam essaynya Lenin and Philosophy (New Left Books, 1971),
yang antara lain berisikan pernyataan kontroversialnya tentang rumusan
teori Ernst Mach yang dianggap tidak
memiliki andil penting dalam perkembangan filosofi modern, walaupun dalam
kenyataannya komunitas the Vinnese
Logical Positivists secara terang
terangan bahwa Mach sebagai the founding father
komunitas mereka, dan kalangan pemerhati filosofi mendeteksi pengaruh
Mach yang besar terhadap teori karya
filsuf lainnya seperti, Russel. Wittgenstein serta William James.
Perlu dicermati pula,
dalam essay ini Althusser bersikukuh mengenal kedigdayaan sistem Marxisme yang
menurutnya terdapat konsep sains yang
penting dan berguna, walaupun sebenarnya para pengikut sistem Marxisme terdahulu hanya menemukan dan
mempelajari aspek ideologinya. Althusser
sendiri tidsk memberikan dalil
nyata serta bukti konkret keberadaan konsep sains dalam ajaran Marxisme.
Faktor utama kelemahan
teori Marxisme adalah konsepnya yang rancu dan terbatas, terutama dalam bentuk
Leninisme, contohnya; perbedaan status
antara kaya dan miskin (class struggle), ideologi serta paham konsumerisme
materialistik dan pemberhalaan status sosial
yang dianut oleh kaum menengah kebawah
(petty bourgeoisie) dimana konsep diatas tidaklah cukup dalam menghadapi
kompleksnya permasalahan masarakat modern
Klimaks dari kejanggalan
teori Marxisme ala Althusser ditandai oleh
konsep baru yang dinamakannya Ideological
state apparatus. Dalam konsepnya ini disebutkan bahwa ‘struktur sistem
negara’ yang terdiri atas kaum gereja,
sistem pendidikan, serikat buruh
pekerja, sistem politik dan hukum harus dapat dipisahkan dari perangkat negara yang represif yaitu Pemerintah,
Kepolisian dll. Dasar logika inilah yang membuat Barry Salt tidak habis pikir,
bagaimana mungkin tokoh sekaliber
Althusser dapat semudah itu memisahkan
keterkaitan antara sistem politik dan pemerintahan, pengadilan dan
sistem hukum, terlepas dari tingkat represif maupun fungsi ideologinya.
Metz dan sinema Semiotik
Rumusan teori Christian
Metz yang mencoba mengkaji khasanah semiotila dalam sinema hanya mampu
menghasilkan satu proposal yang bisa
diaplikasikan/ diterapkan dalam menganalisa film. Metz, jarang sekali terjun
langsung menganalisa film, namun sekalinya dia turun serta, yang bisa dia
lakukan hanyalah menulis ulang kritik yang usang /cliché’ tentang subjek lama Film
Society Classsics- seperti yang tertuang pada halaman 112-114 dalam bukunya
Language and Cinema (Mouton, 1974). Menurut Barry Salt, tulisan/ pernyataan
Metz yang kadang kontradiktif dan sikapnya yang tidak konsisten dalam semiotika sinema merupakan kelemahan utama Metz dalam
melegitimasikan teori karyanya.
Sebagai contoh
ketidakkonsistenannya adalah, Metz pernah berpidato bahwa unsur gabungan antara
truism/ pernyataan yang teruji kebenarannya, error/
kesalahan dan kontradiksi yang membentuk konsep awal semiotik-nya tidak
mengenal adanya sistem bahasa sinematografi (cinematographic language system), kemudian seiring bergulirnya
waktu dia memperbaharui teorinya dengan berujar bahwa konsep kebahasaan yang
sistemik dalam dalam sinematografi (cinematographic
language system) terbukti berguna dalam analisa serta interpretasi narasi
film.
Sedangkan kontradiksi
terdapat terlihat dari statementnya yang bersikeras menyatakan bahwa sinema bukanlah sistem
komunikasi karena sinema tidak memungkinkan terselenggaranya interaksi langsung
bilateral/ dua arah antara sender/
pengirim pesan dengan receiver / penerima pesan. Tentunya hal ini menunjukkan ketidakcermatannya dalam
menganalisa sistem komunikasi yang mana
minimal hanya membutuhkan sender, metode encoding (proses perubahan bentuk
bahasa: verbal, tulisan atau kode menjadi
bentuk lain. Contoh: dialog verbal sebuah film disadur kedalam bentuk
subtitle teks), dan transmisi (proses pengiriman pesan), kemudian selanjutnya
dilanjutkan ketahap decoding (pemaknaan arti pesan) oleh receiver (penerima
pesan). Jadi agak aneh bila Metz menganggap
medium sinema bukanlah sebuah sistem komunikasi karena dia acap kali menganggap
metode aplikasi film (convention)
sebagai kode yang merupakan elemen semiotik dalam mengkaji serta menganalisa ilmu komunikasi.
Sesumbar Christian Metz
yang menyatakan bahwa dia telah ‘berhasil’ mengidentufikasi dan merumuskan sistem simbolik/ pengkodean sinema (a codified filmic system) menambah
panjang daftar kekeliruannya dalam memahami keterkaitan antara konsep dasar
analisa aLinguistik dengan sistem komunikasi.
Sebenarnya ada beberapa
pemerhati film dan sineas yang merasakan ketimpangan dan kehampaan dalam
rumusan tulisan tulisan Metz, tetapi sayangnya mereka enggan mempublikasikan
sanggahan tersebut.
Dalam artikel bertajuk ‘Segmenting? Analyzing’ di majalah The Quarterly
Review of Film Studies vol. 1 no 3 yang ditulis oleh Raymond Bellour,
terdapat petikan berita yang berisi pengakuan pribadi (curhat) Metz kepada Bellour mengenai
kegelisahannya perihal adanya kemungkinan besar teori grande syntagmatique milik Metz gagal untuk diaplikasikan kedalam
kajian sinema.
Namun demikian, ternyata
masih ada juga yang berminat mencetak ulang tulisan, essay dan artikel Metz dan
berdiskusi soal syntagmisme. Yang lebih merisaukan bagi Salt adalah penganiut
Metz dibeberapa universitas yang tersebar di Paris masih memasukkan teorinya kedalam kurikulum pendidikan,
seyogyanya fakta ini dapat dijadikan tolak ukur betapa kurang kritisnya cara
berfikir dan logika sebagian kaum intelektual cendekiawan Prancis.
Psikoanalisa dan Lacan
Survey membuktikan minimnya
tingkat kesuksesan penyembuhan pasien
gangguan mental dengan metode terapi psikoanalisa. Hal ini diperkuat dengan
bukti bukti konkret yang dieksplorasi
mendalam oleh S. Rachmann dalam bukunya The Effects of Psychotherapy,
(Pergamon Press 1971) dan H.J. Eysenck &
G.D Wilson dalam buku karya mereka The
Effects of Psychotherapy, (Pergamon Press 1973). Jadi cukup masuk akal bila
kemudian Barry Salt menyimpulkan bahwa; penerapan terapi kesehatan penyembuhan yang
didasarkan pada teori Psikoanalisa tidak berhasil, maka tidak ada alasan
baginya untuk mempercayai teori tersebut.
Namun dengan cepat Salt
menambahkan bahwa bukannya dia tidak meyakini tentang keberadaan the Unconscious Mind (alam bawah sadar
manusia) yang dicetuskan oleh Sir Francis Galton, ilmuan pendahulu Sigmun
Freud, hanya saja Salt merasa teori Freud tidak memuaskan.
Salt tidak menampik fakta
dilapangan dimana kepopuleran teori Psychoanalisa Freud telah merambah keberbagai bidang,
termasuk diantaranya industri perfilman Hollywood yang dipelopori sejak 1940an
hingga kini oleh para penulis skenario seperti
Niven Busch, Ben Hecht, hingga diterapkan oleh sutradara sendiri.
Sejujurnya Salt merasa
Psychoanalisis bukanlah medium yang tepat mengkaji interpretasi film, namun
bila dikonsepkan secara rapi dan imaginatif
seperti yang terlihat pada tulisan tulisan Parker Tyler, maka tidak tertutup
kemungkinan teori psychoanalisa ini
menjadi menarik dan menyenangkan
untuk dipelajari. Tapi hal ini tidak berlaku dalam ajaran Jacques Lacan
dengan model baru variasi Psychoanalisis-nya.
Jacques Lacan adalah
pemimpin religius yang memisahkan diri dari komunitas Psychoanalisis Prancis
dengan membentuk pemahaman psikoanalisa menurut pandangannya sendiri, serta
mengklaim dirinya sebagai satu satunya penjaga The Truth Faith yang memegang
teguh ajaran ajaran asli/ awal psikoanalisa Freud yang mana menurutnya
telah diselewengkan. Namun dalam prakteknya, ajaran psikoanalisa versi Lacan justru
merubah/ mentransformasi secara radikal
rumusan awal Freud. Hal ini jelas terlihat dalam buku Function and Field of Speech and Language (English Translation
Tavistock 1977) karya Lacan, dimana
konsepnya tentang ‘fungsi kejiwaan’ bertolak belakang dengan psikoanalisa
Freud, bahkan mendapat sanggahan dari Claude Levi Strausse yang juga mengklaim
telah menemukan metode dasar operasional pikiran manusia lewat teorinya; the Savage Myth and Kinship System
(mitos primitif dan sistem kekerabatan) persamaan latar belakang sosio
ekonomik, budaya dan tingkah laku.
Oleh karena teori Stausse sebagian besar didasarkan pada model
linguistik struktural Prancis yang terbukti cukup sulit diterapkan pada rumusan
psikoanalisa, maka dengan mudah Lacan dapat mementahkan teori Strausse; the
Savage Myth and Kinship System.
Reformulasi/ perumusan
ulang teori psikoanalisa Freud oleh Lacan antara lain meliputi; penolakan
adanya eksperimen sains terhadap pembuktian teori psikoanalisa, bersi teguh
atas kefektifan serta keampuhan terapi penyembuhan dengan metode psikoanalisa
(walaupun survey mencatat minimnya keberhasilan metode tersebut) dan
penyalahgunaan penggunaan linguistik Saussure untuk menjembatani unsur formalis
dalam sains dengan konsep psikoanalisa.
Kesalahan serius lainnya
terekam dalam anthology/ kumpulan ceramahnya dalam buku Four Fundamental Concepts of Psychoanalysis (Hogarth press, 1977)
dimana Lacan lagi lagi mencampuradukkan unsur logika simbolik dalam teori
semiotik denagan konsep Alienation-nya
(keterasingan).
Unsur Aritmetika yang
tergabung dalam unit kesatuan Aljabar unuk pertamakalinya dimasukkan kedalam
teori Suture yang dipraktekkan para
pengikut Lacan yang bertujuan untuk mengkaji teori film. Menurut mereka, teori Suture (tambal sulam) ini terdapat dalam
setiap proses operasional pembuatan film, mulai dari soundtrack, kesinambungan gambar (image relationship), efek framing
hingga persfektif reverse angle,
dan setiap adegan didalam film.
Namun dengan alasan
minimnya reset serta terdapatnya beberapa
loose ends (ketimpangan metode
karena bukti pendukung kurang kongkrit/ abstrak), maka barry Salt menggangap
teori Suture ini hanyalah upaya
sensasi pengikut Lacan dalam memancing respek dan pengakuan dari berbagai
kalangan intelektual karena telah ‘melahirkan’ teori sains baru.
Dalam perkembangannya
sendiri, beberapa dekade terahir ini, disiplin ilmu psikologi telah mengalami
kemajuan pesat yang antara lain dipicu oleh berkembangnya pola pikir dan metode
ilmiah yang digunakan serta peningkatan teknologi yang semakin maju. Salt
berharap hal ini dapat memberikan
stimulus/rangsangan terhadap pertumbuhan positif pengaplikasian psikoanalisa
diberbagai bidang.
sumber:
Barry Salt , Film Style and Technology :
History and Analysis, London: Starword Publishing, 2003
0 komentar:
Posting Komentar