Linguistik dan
Film
Ketertarikan
para cendekiawan Prancis pada sistem Linguistik yang dikembangkan oleh Saussure
dan Hjelmslev yang berawal pada 1970-an, kini telah menurun drastis, dan yang
tersisa saat ini hanyalah beberapa terminologi usang/ ungkapan teknis semu yang sesekali dilontarkan untuk membuat terkesan khaylak intelektual
Prancis termasuk (mahasiswa- mahasiswa DO). Konon, katanya ilmu Linguistik
tidak hanya mampu membedah ‘bahasa’
namun juga bisa mempelajari bentuk serta elemen komunikasi.
Barry Salt
merasa tidak perlu untuk membahas hal ini secara lebih detil, oleh karena
memang kegagalan linguistik telah
terbukti dan diakui oleh beberapa kalangan, baik cendikiawan/ akademisi maupun
masarakat awam, yang mana kegagalan ini telah cukup dijelaskan oleh Jonathan
Culler dalam bukunya Stucturalist Poetics.
Lebih lanjut,
Salt menambahkan bahwa ada 2 hal yang mesti disadari tentang Linguistik
1)
Ilmu bahasa ini
belum cukuplah untuk menjadi bahan dasar perbandingan dan pertimbangan dalam
merumuskan suatu teori atau disiplin ilmu lainnya. Karena hingga kini belum
tercapai kesepakatan diantara pelaku/ penggiat Linguistik tentang beberapa sistem teoretikal
yang terkandung didalamnya.
2)
Mekanisme/ metode
yang kita gunakan dalam berfikir
atau mengambil persepsi sangat berbeda jauh dengan proses panca indera dan nalar kita dalam mengartikan atau mempelajari suatu hal, untuk kemudian kita terjemahkan
dalam suatu sistem yang terpadu dan
komprehensif (dapat dimengerti dengan mudah semua orang).
Sebagai contoh,
kita dapat lebih gampang dan lebih
cepat dalam mempelajari aspek verbal
suatu bahasa dibanding mempelajari cara
menulis atau membacanya, dan kita juga terbiasa
secara visual dan matematis menganalisa hasil pemahaman kita pada suatu hal tanpa harus memahaminya secara verbal. Hal ini terjadi diakibatkan
karena adanya dua proses informasi berbeda yakni, visual dan verbal pada masing
kutub diotak kita, seperti yang telah ditunjukkan dalam Neurophysiology.
Sejak dulu
telah terlihat bahwa kajian ilmu Linguistik Prancis hanya memberikan
konstribusi kecil pada bidang studi Fonologi, bahkan sama sekali tidak
menghasilkan sesuatu yang beraarti pada
bidang Syntax dan Semantik. Fakta ini dipertegas dengan adanya ketimpangan
ketimpangan dalam rumusan teori AJ.
Greimas, sebab biar bagaimanapun hasil
karyanya cukup sering menjadi rujukan mahasiswa Inggris yang berminat
mempelajari metode teori Prancis, serta
juga karena teorinya merupakan salah satu
dari sedikit upaya pendekatan yang pernah diterapkan untuk menelaah
Kajian Narasi Film.
A.J. Greimas
mengklaim bahwa diagram model dalam rumusan teori linguistik-nya telah mewakili
struktur dasar dari ‘meaning’ (intepretasi pemahaman arti atau maksud dari sebuah kejadian dan merupakan
manifestasi (contoh konkrit) dari teori Jean Piaget. Padahal sebenarnya Greimas hanya meminjam
tanpa memahami perhitungan matematis
yang terkandung dalam teori Piaget, dan
menggabungkan diagram model lama dengan bentuk logika klasik ala
Syllogisme.
Sumber
kesalahan Griemes adalah
kenaifannya dalam berasumsi bahwa semua
elemen pasti memilki faktor lawannya
(contoh, untuk semua huruf ‘P’ pasti selalu ada ‘non-P’), serta aplikasinya yang menyesatkan tentang studi kasus beraneka ragamnya hubungan seksual seperti:
perselingkuhan, Homoseks, Incest, dsb.) dalama masarakat tradisional Prancis.
Walaupun demikian,
tetap ada upaya pengkajian ‘interpretasi Film’
dengan menerapakan pendekatan
teori Grimas dalam beberapa terbitan jurnal film berbahasa
Inggris. Selain metodenya yang rancu, banyak aspek dalam rumusan teori Grimas
yang didasarkan pada ketimpangan logika, terutama pada model narasi.
Transformasionalnya seperti yang telah diaplikasikan Oleh Roger Silverstone
kedalam drama televisi.
ECO dan Konsep
Semiotika
Sekitar 1970-an,
ketika dimulai disadari kurang berhasilnya kajian sains dalam ilmu
komunikasi dengan menggunakan tanda
simbol (semiotik) yang diadaptasi langsung dari model linguistik struktural
Prancis, maka muncullah upaya untuk menciptakan teori kajian sains yang tidak
terlalu tergantung pada model linguistik. Dalam bukunya Trattato
di semiotica generale (1975 - English translation: A
Theory of Semiotics (Indiana University press, 1976), Umberto Eco berusaha
menampilkan proses hipotesa (dugaan) dalam menginterpretasikan suatu simbol
atau kode yang berkaitan erat dengan proses komunikasi.
Penggunaan/
aplikasi teori semiotik Eco dalam kajian sinema sedikit banyak telah meniupkan
ruh pada konsep kode dan interpretasi pada narasi film yang selama ini berpijak
pada koridor koridor orthodox sinema.
Namun bukan
berarti apa yang dirumuskan Eco seratus
persen benar. Menurut Barry Salt, yang
dilakukan Eco dan penggagas semiotika yang
lain ‘hanyalah’ mengganti
seperangkat istilah deskriptif yang ada, sebagai contoh: Kode, metode, dan
interpretasi, serta membedakan diantara
hubungan baku sebuah meaning/ arti, hubungan yang berubah ubah
(fluktuatif) sebuah arti dengan hubungan
sembarangan/ acak sebuah arti.
Sebagai contoh
dalam film sering kita jumpai penggunaan dissolve
(suatu adegan dimana gambar pada
film secara lambat laun memudar dan berganti dengan gambar yang lain)
yang mana bisa dilihat sebagai kode atau
simbol bergesernya waktu. Tapi menurut Salt, hal tersebut tidak sepenuhnya
berlaku mutlak untuk arti atau meaning dari
sebuah penggunaan dissolve, sepanjang
pengamatannya dalam sejarah perkembangan film, sering kali ambigu (tidak
jelasnya makna- tergantung dari sudut pandang/ interpretasi masing masing
individu) dan tidak selalu berfungsi sebagai kode/ simbol transisi peralihan
dimensi atau waktu.
Setelah
memprakarsai rumusan rumusan dasar teorinya yang dituang dalam bukunya A Theory
of Semiotics secara jelas dan konsisten
(walaupun masih terdapat beberapa ketimpangan yang fundamental dalam beberapa bagian), Eco
kemudian menindak lanjuti teorinya dengan mengadopsi metode pendekatan
yang lebih variatif (yang menurut Salt cenderung ‘menyesatkan’) dengan
cara mencoba menggabungkan sebanyak
mungkin konsep konsep semiotik karya penggagas teori lain, dan bereksperimen dengan kesemuanya. Sebagai contoh: Eco
menelaah teori linguistik A.J. Griemas yang sarat dengan kerancuan serta teori
teori lain yang sama timpangnya.
Bila dipandang
dari sudut perfilman sendiri, kode/ simbol bermuatan tiga makna (a triply articulated code) yang ditawarkan oleh Umberto Eco ini sebenarnya
masih bisa diaplikasikan dalam menginterpretasi narasi sebuah film, walaupun
diperlukan tingkat pemahaman yang relatif utuh dalam menerjemahkan dan mengadaptasi
konsep semiotika yang diusungnya kedalam
bahasa film.
sumber: Salt,
Barry, Film Style and Technology :
History and Analysis, London: Starword Publishing, 2003
0 komentar:
Posting Komentar