24 September 2013 pukul 13:43 (by; Nurul Nisa)
Comfort Women merupakan istilah yang diberikan untuk perempuan-perempuan
yang memberikan rasa nyaman untuk tentara yang tengah berperang.
Perempuan-perempuan ini ditugaskan melayani kebutuhan biologis para tentara.
Perempuan-perempuan ini pernah tercatat dalam sejarah seperti Jugun Ianfu
yang disediakan untuk tentara Jepang yang tengah menjajah Indonesia atau Western
Princes untuk tentara US dan Korea Selatan pada masa perang korea.
Namun
sejarah juga mencatat, para Comfort Women ini selalu disediakan untuk
tentara penjajah, bukan untuk orang-orang yang mempertahankan harga diri dan
bangsanya dari penjajahan dan penindasan. Toh, kebutuhan seksual lebih mudah
dituntut ketika manusia sedang berada pada posisi superior, dalam kondisi
inferior/tertindas kebutuhan seksual bukan menjadi prioritas utama.
Lalu, belakangan banyak isu yang beredar
mengenai ‘Jihald Al Nikah’ yang terjadi Suriah. Konon jihad seks ini
dihalalkan ketika keluar fatwa dari ulama besar di arab. Jihad seks ini, di
peruntukkan oleh kaum pemberontak yang tengah berperang melawan pemerintahan
president Bashar al-Assad.
Namun pada prakteknya ‘Jihad Al Nikah’ tidak jauh
berbeda dengan penyediaan ‘Comfort Women’, meskipun penyediaan
perempuan-perempuan ini dibalut dengan jihad – yang tidak lain dalam
terminology islam merupakan perang suci untuk mempertahankan agama – bahkan
disebut-sebut sebelum melakukan hubungan biologis tersebut si perempuan dan
pria pemberontak tersebut dinikahkan sementara –prosesnya bisa diduga seperti
pernikahan mut’ah- terlebih dahulu. Mirisnya, satu orang perempuan dalam sehari
bisa dikawinkan sebanyak 3-4 kali. Ini berarti pernikahan sementara tersebut
hanya berlangsung dalam hitungan jam. Akibatnya sejumlah perempuan Tunisiah
yang berangkat berjihad ke Suriah pulang dalam keadaan hamil. Diberitakan,
keberangkatan para perempuan Tunisiah untuk berjihad ke Suriah cukup
terorganisir.
Menarik untuk disimak, melalui
pandangan saya setidaknya ada dua poin yang menjadi perhatian. Pertama, ‘Jihad
Al Nikah’ secara prakteknya tidak berbeda dengan penyediaan ‘Comfort Women’
pada perang-perang sebelumnya. Yang membedakannya adalah para jihadis
perempuan ini datang dengan suka rela, tidak seperti jugun ianfu yang
diculik dari kediamannya dan di tempatan di kamp-kamp tentara. Mereka dipaksa
melayani kebutuhan seksual tentara Jepang.
Yang menjadi perhatian adalah
jika dalam perang sebelumya seperti pada perang Indonesia melawan Jepang maupun
perang Korea, Comfort Women disedikan bagi tentara-tentara penjajah yang berada
dalam posisi superior. Berbeda dengan yang terjadi di Suriah,
perempuan-perempuan tersebut di sediakan untuk para pemberontak, kelompok yang
seharusnya berada pada posisi inferior di bawah tentara pemerintah yang sah.
Dua hal yang kemudian cukup mengusik
pikiranku. Pertama, jika benar para pemberontak ini tengah melawan pemerintah
superior, masih sempatkah mereka memikirkan hasrat seksual ditengah kondisi -
yang seharusnya – mereka terintimidasi oleh kekuatan yang lebih besar???
Pikiran paling usilpun memunculkan dua kemungkina yaitu; para pemberontak ini
sebenarnya hanya sedang memposisikan diri mereka sebagai kelompok yang tengah
membebaskan negaranya dari penindasan untuk mendapat simpatik. Jika dilihat
dari hasrat paling purbanya para pemberontak ini bisa jadi adalah kelompok yang
memiliki atau didukung oleh kekuatan yang lebih superior dibandingkan kekuatan
militer pemerintah Bashar al-Assad. Ataukah Jihad Al Nikah dijadikan
‘marketing’ untuk menarik orang-orang agar bersedia secara sukarela bergabung
dan memperkuat tentara pemberontak. Jika hal tersebut benar apakah pantas
gerakan orang-orang ini di sebut jihad? Jika pada niat awal mereka bergabung
hanya untuk mendapatkan servis dari perempuan-perempuan malang ini.
Kedua adalah, pada prakteknya Jihad
Al Nikah menggunakan posedural yang sama dengan nikah mut’ah. Nikah mut’ah –
nikah sementara – merupakan salah satu ajaran dari penganut Syiah, jika benar
para pemberontak tengah tersebut memerangi pemerintah Bashar al-Assad
dengan alasan, presiden Assad merupakan penganut syiah yang bertentangan dengan
ajaran Sunni yang diananut para pemberontak. Dengan alasan tersebut mereka lalu
menggiring konflik ini menjadi konflik agama (Sunni melawan Syiah), jika benar
demikian, mengapa para pemberontak yang Sunni itu mempraktekkan aqidah musuh
yang tengah mereka perangi? sesuatu yang ambigu bagi pemberontak Suriah yang
Sunni.
Hingga saat ini belum ada otoritas
Syiah yang membenarkan Jihad Al Nikah dilakukan dalam kondisi tertentu,
berbedada dengan nikah mut’ah yang umumnya di perbolehkan untuk para pengikut
syiah. Jadi apa sebenarnya tujuan mereka menghadirkan para ‘Comfort Women’ di
tengah konflik pemberontak dan pemerintah presiden Bashar al-Assad? Tapi satu
hal yang pasti para perempuan ini adalah korban paling nyata dari sebuah
konflik kekuasaan berbalut agama. Apapun kepentingan yang tengah mereka
perjuangkan tidak seharusnya membawa mundur perempuan-perempuan sebangsanya.
Bagaimanapun kemasannya, penyediaan ‘Comfort Women’ tetaplah perbudakan
seks bagi kaum perempuan.
#hanyaopiniorangawam
0 komentar:
Posting Komentar