Pembukaan
Sutradara menyisipkan pikirannya kedalam film tidak selalu dengan frontal seperti dialog, text dilayar,
animasi, dsb. Namun adapula yang disamarkan, terkadang sangat halus, baik
melalui, properti, pengadeganan, gerak dan masih banyak aspek bagi seorang filmaker memberlakukan
filmnya secara elegant, seakan akan kita bermain teka teki dengan si kreator, (interaksi)
Film Soekarno memberikan
pencerahan pada saya malam ini, tidak
hanya dalam hal pengetahuan umum akan sejarah
akan bangsa ini, tetapi juga penjelajahan imaginasi yang memikat didalam text sinematic
Soekarno, yang nantinya akan saya uraikan terhadap apa saja yang saya dapat selama
kurang lebih 2 jam menonton film ini.
Sebelum menguraikan hal tersebut
saya ingin bercerita sedikit, kemarin malam saya baca status di facebook,
(sebut saja statusnya Mawar) ia berkomentar setelah menonton film Soekarno, isinya seperti ini "My founding father
like to fuck chicks" mungkin kalau diartikan tulisan
saya bisa kena sensor, haha.. Sempat
meruntuhkan iman juga sih untuk menonton film ini.
Besoknya ada kawan ngajakin nonton bareng film
ini, cewek lagi, (trio pula ) pas banget
berarti, agak tengsin juga sih bukan karena saya sendiri yang laki tapi karena ketiga
kawan perempuan ini baru pulang dari Eropa. Dua perempuan yang baru pulang dari
Prancis yang satu dalam rangka kuliah film dan yang satunya lagi abis ziarah
kubur Jim Morison dan Georges Melies ,
hebat yah.. nah, satunya lagi baru pulang dari Belanda dalam rangka
festival film, bebeebbehh.. gak usah sebut nama deh, pokoknya tokoh nasional
perempuan muda dibidang film.. Akhirny saya pun dan rombongan nonton disalah satu bioskop di kawasan TIM, tiket masuk 25.000. Film Soekarno ada di studio 3 dan studio 4.
Lanjut ke film Soekarno, Sebelum film dimulai penonton disuruh berdiri
untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya,, gw gak ikut berdiri, tengsin, kaget,
aneh aja, giliran mau berdiri eh lagunya dah abis. Baru kali ini mau
nonton film disuruh nyanyi Indonesia Raya kaya mau nonton bola, jadi ingat
piala Asia 2007, Indonesia vs Korsel.
Kira kira 30 menit awal menonton
film ini, saya sempat meng-amini dan setuju akan kutipan status FB nya si Mawar "My
founding father like to fuck chicks", Kita mulai
membahas ini kenapa.
Soekarno digambarkan ‘playboy’, kita ambil
sisi positifnya saja, mungkin lebih tepat dia adalah sosok yang mampu memikat,
jangankan perempuan, rakyat Indonesia bahkan mampu dipikat, hal ini diamini
oleh Bung Hatta dan Sjahrir.
Jadi saya berpendapat bahwa kentalnya adegan Bung
Karno yang digambarkan memikat-mempesona banyak perempuan bahkan pelacur, tidak
berhenti hanya sebatas gender, seiring berjalannya film pesona Bung Karno ini
semakin meluas dan berkesinambungan hingga ia digambarkan dan didialogkan mampu memikat hati bangsa Indonesia.
Sederhananya mungkin seperti ini;
kalau anda disuruh menyutradarai satu adegan saja tanpa dialog; Bung Karno memikat hati
bangsa Indonesia, mungkin durasi 2 jam tidak cukup untuk bisa merepresentasikan Soekarno memikat hati bangsanya, dicintai rakyatnya. Nah kentalnya aspek rumah tangga
Soekarno didalam film, dengan berbagai problematikanya sudah cukup untuk
memberikan dan mempertegas point tersebut (bahwa Soekarno mampu memikat dan
dicintai rakyatnya). Hal ini bisa saja terbantahkan bila dianalisis lebih dengan
teori lain, seperti teori Feminis, Psikologi, atau mungkin persfektif syariat
Islam. Tentunya hal ini akan memperkaya apresiasi film ini
dalam bentuk tulisan.
Dan saya ingin menyimpulkan
sekaligus beralibi bahwa dari seluruh film yang disutradarai Hanung
Bramantyo, Karakter dari Tokoh Utamanya bukanlah ‘malaikat’, Nabi atau manusia suci, tak ada manusia suci dalam karakter utama pada filmnya,
semuanya dikemas semanusiawi mungkin, bahwa manusia pernah bersalah, ada nafsu,
ada emosi, ada kompromi, silang pendapat, yang akan marah jika cobaan tak kunjung selesai, silahkan anda
amati sendiri, Perempuan Berkalung Sorban,
Doa yang Mengancam, Sang Pencerah Bahkan Ayat
Ayat Cinta dimana karakter Fahri dalam novelnya bagaikan malikat, tetapi tidak pada
filmnya.
Teks yang menarik film Soekarno
Obor
Ingat adegan Jendral Shizou Sakaguchi
yang dimainkan Ferry Salim ketika Bung
Karno (Ario Bayu) menyetujui dan membawa para pelacur untuk menghibur tentara
jepang.
Adegan waktu itu Bung Karno
membawa obor, setelah para pelacur masuk dibarak para tentara Jepang, Bung
Karno (dengan obor ditangan) menghampiri Jendral Shizou Sakaguchi yang sedang berdiri
didekat mobilnya, lalu terjadilah pembicaraan diantara mereka. Setelah
pembicaraan selesai Jendral Shizou mengambil obor ditangan Bung Karno lalu
beranjak pergi dari tempat tersebut.
Adegan diatas cukup emosional,
dibenak saya terbayang dilema Soekarno,
memberikan pelacur ke tentara jepang atau perempuan perempuan muda
diculik, intinya jangan ada yang tertembak mati, dan jalan yang terbaik adalah
berikan tentara Jepang pelacur, makanan, apapun yang ia inginkan, asal jangan
ada yang mati.
Dan simbol Obor dalam adegan
tersebut saya kira cukup jelas, (Pencerahan dalam genggaman Soekarno diambil
Oleh Jendral Shizou), atau silahkan ditafsir sendiri.
Di adegan ini saya teringat perkataan Ayah
saya yang juga pengagum Soekarno, Ayah saya pernah mendengarkan Soekarno
berpidato, kata kata yang ia ingat dari pidato Soekarno adalah (kira2 seperti
ini kalau di bahasa Indonesiakan)
‘jangankan dengan Jepang, dengan Iblis dan Setan saya akan bersekutu
jika memang bangsa ini bisa merdeka’.
Semoga
pembaca memahami maknanya
Adegan Bebek
Cukup banyak adegan yang menampilkan sekelompok bebek difilm ini,
sejak awal film bebek selalu melintas. Ingat adegan adegan awal ketika kereta kuda yang ditumpangi Bung Karno
kecil (kalau gak salah bersama Cokroaminoto) sewaktu mereka hendak berkampanye (masih Sarikat Dagang Islam),
dalam adegan tersebut ada 1 shot yang agak risih buat saya. Karena hanya
mengambil gambar gerombolan bebek saja
dari atas kereta kuda. Pertanyaan ini tersimpan seiring berjalannya
cerita, satu shot tersebut cukup memberikan penegasan kepada saya, bahwa Bebek
dalam film ini cukup penting., lalu saya menunggu adegan apa lagi yang berkaitan dengan Bebek, yang ada
hubungannya dengan bebek???
Setelah beberapa adegan saya tunggu,
bebek masih sering dimunculkan sebagai pembuka adegan saja, bagi saya ini gak terlalu vital. Bagian yang menjadi penting ketika Fatmawati sambil menggendong Guntur meberi makan bebek-bebek dibelakang rumah Bung
Karno, alibi saya semakin menguat bahwa
bebek ini penting, tetapi dalam bentuk
apa bebek ini penting?? Apakah betul Bung Karno memelihara Bebek dirumahnya di Pegangsaan Timur?? Atau ini
kekuatan mise en scene dari imajinasi sutradara untuk memberi hal yang lebih dalam premis filmnya?? Saya
lebih setuju pada pendapat terahir, dari pada membayangkan Soekarno memelihara
bebek dirumahnya.
Lanjut ke bebek, akhirnya seiring
film berjalan saya mendapatkan jawaban tentang pertanyaan pertanyaan diotak saya
tentang bebek.
Jawababnya sangat simple, Ingat ketika Fatmawati berkata kepada
Bung Karno “ Bebek jalan beriringan, Elang terbang sendirian’’ dialog ini
sangat cerdas, secerdas penempatannnya diadegan.
Disaat
Bung Karno mendapat tekanan oleh karena banyak dari orang orang dekatnya
mempertanyakan Nasionalisme-nya (termasuk
saya sebagai penonton), maka Dialog yang diucapkan Fatmawati seakan menetralisir
semua itu, dan saya merasa adegan inilah yang tersave dimemory saya hingga
keluar dari bioskop… Cheers buat Pak Hanung, angkat gelasnya. Mari Kita minum teh..
Apakah text Soekarno semuanya menarik???
Teh 2 Tang, cukup merusak imaginasi saya menonton film
ini, ingatkan ketika Bung Karno
dibuatkan teh, kita diperlihatkan sejelas jelas nya Close UP produk teh 2 Tang (maaf kalo salah merk, atau saya salah
persepsi terhadap adegan tersebut).
Saya
sih percaya adegan itu menyiratkan iklan produk, tanpa mengurangi rasa hormat
saya dengan sistem pasar dan diproduksinya film ini. Dalam konteks saya
sebagai penonton film hal tersebut sedikit menganggu, membuyarkan imajinasi. Lalu timbul pertanyaan yang gak
penting; Apa iya Bung Karno meminum teh 2
Tang? Kalaupun iya, gak ada gunanya
secara estetik didalam film. Tapi kan gak mungkin di Close UP (CU) kalau gak
ada kepentingan lain, Saya kembali teringat film Ainun Habibie dan Chocolatos.
Mengapa hal yang saya maksud mengganggu??? Dalam konteks berbicara film (bukan berbicara
produksi), kita sebagai penonton akan merekam seluruh adegan dalam film ke
memori kita dan tersimpan secara sadar,
sehingga ketika keluar dari bioskop akan ada beberapa adegan yang akan ter save dalam jangka waktu
yang lama di ingatan kita (saya lupa bahasa akademisnya). Contohnya;
ingat film
G30 S/PKI?? ‘’darah itu merah Jendral;
film AADC , maka yang teringat
kebanyakan orang adalah ‘pecahkan saja gelasnya’ atau ‘adegan ‘salah gue?salah
temen2 gue?..
.Film Ayat Ayat Cinta, saya masih mengingat adegan ‘saya ingin
menjadi halal bagimu’
mungkin anda punya pengalaman film tersendiri… semacam
film Si Buta Dari Gua Hantu ‘ku tunggu
kau di Bukit Tengkorak, (bukan bukit belakang sekolah ya).
Lalu bagaimana jadinya setelah
sekian tahun atau puluhan tahun, memory yang teringat difilm Soekarno adalah 2 Tang, memori film Ainun Habibie
adalah chocolatos, memori difilm Dibawah Lindungan Ka’bah adalah kacang garuda,
dsb. Lama kelamaan, film menjadi propaganda produk.
Namun tak bisa dipungkiri juga
ketika kita berbicara produksi film, hal semacam ini sangat dibutuhkan. (males
bahas sistem produksi film, kasih ke pakarnya aja).
Untuk membahas lebih jauh film Soekarno, saya kira tidak cukup hanya dengan
menonton selama 90 menit. Maka untuk itu saya akhiri dulu sambil menuggu DVD
originalnya keluar.
Wasalam
nb: kalau ada kesalahan tokoh, atau adegan hingga penafsiran, mohon dikoreksi
Memorable
‘’Gerombolan Bebek jalan
beriringan, Elang terbang sendiri’’
Jadi ingat film Sagarmatha ‘“Orang yang besar adalah orang yang bisa sampai di
puncak tanpa bantuan orang lain!”
lau emang lau nuy.
BalasHapusSayang gak ada bebek di gunung Lokon
BalasHapus