tulisan ini adalah kelanjutan dari Analisa genre religi terhadap film film Chaerul Umam, dan untuk menganalisanya digunakan metode statistik Barry Salt. sebelum masuk kepada analisa film melalui statitistik ada perlunya jika diuraikan terlebih dahulu sejarah dan konsp konsep kritik dan analisa film yang berkembang hingga saat ini...
Perjalanan Teori Film
Meski masih terbilang baru sebagai kajian akademik, teori mengenai film
bisa dikatakan sama tuanya dengan medium film itu sendiri. Kajian film mulai terbentuk antara dekade tahun
1960 dan 1970, ketika itu cara menonton kritis menjadi perbincangan di Eropa
Barat dan Amerika Serikat. Teori film saat ini memiliki cakupan konsep yang
berbeda-beda dan saling melengkapi satu sama lain dalam rangka mendekati film
sebagai objek studi tersendiri.
Dalam mempelajari film baik
secara teoritis maupun metodelogis, ada tiga aktifitas penting yang
membingkainya, yaitu : (1) teori film, (2) kritisisme film, dan (3) sejarah
film. Namun secara garis besar kajian film dapat dipelajari melalui dua
pendekatan yang membentuk teori-teori film yang berkembang hingga saat ini.
Yang pertama adalah wacana formal-estetik yang menitikberatkan pada aspek
formal dari film sebagai sebuah art form dan yang kedua adalah wacana
kritik yang menitik-beratkan pada aspek sosio-kultural-ideologis yang
terkandung dalam sebuah film[1].
II.1.1. Teori Film Klasik : Wacana Film Sebagai Seni
Pendekatan yang pertama melahirkan apa yang kini dikenal sebagai teori
film klasik yang berkembang sejak
awal abad 20 (sekira tahun 1915-an hingga 1960-an). Teori ini menganggap penting dan mencoba membahas
tentang ontologi sinema. Bagi teori film klasik, pertanyaan tentang asal-muasal
sinema dan posisi sinema dalam bidang seni merupakan pertanyaan penting.
Teori film klasik mencoba untuk memberi nilai spesifik sinema[2].
Bagi teori film klasik, sinema harus dilihat ontologinya: apakah sinema/film
itu, apakah dia seni, apa yang membuatnya bisa disebut seni, dan apakah
tujuannya.
Gerakan ini merupakan bentuk
pembangkangan para teoritisi dari kelompok Rusia terhadap praktek
industrialisasi film ala pabrik seperti yang dilakukan studio-studio besar
seperti Hollywood. Kelompok ini ingin
memperlakukan film sebagai ‘lebih dari sekedar hiburan’. Mereka punya cara
pandang sendiri dalam melihat sinema, film dan segala macam kegiatan
produksinya bagi mereka adalah aktifitas seni.
Kelompok ini bukan hanya
terdiri dari para pembuat film tapi juga kritikus, filsuf, dan teoritis; pada
periode inilah teori film berkaitan erat dengan mazhab formalisme Rusia yang
juga mendedikasikan diri pada proses pembuatan sinema secara teknis (film
technique). Dalam wacana formalisme, film harus selalu dinilai dari
kegunaan artistiknya[3].
Teori film klasik melahirkan
dua tradisi besar, yaitu formalisme dan realisme. Tradisi formalis muncul
pertama kali melalui tulisan Hugo Munsterberg di tahun 1916 (The Photoplay:A
Psychological Study) dan mencapai kematangan dalam teori-teori Sergei Eisenstein
(1898-1948). Sebaliknya, tradisi realis dimulai oleh karya Siegfried
Kracauer di tahun 1947 (From Caligari to Hitler:A Psychological History of
the German Film) yang disusul oleh karya seminal, Theory of Film:The
Redemption of Physical Reality pada tahun 1960[4]
A. Formalisme :
film sebagai seni murni
Sergei Eisenstein, Lev
Kuleshov, Dziga Vertov, dan Rudolf Arnheim merupakan beberapa teoritisi yang intens mempromosikan
wacana ‘film sebagai seni’ dalam tradisi teori film klasik. Arnheim dan
Eisenstein adalah teoritis pertama yang menganalisa bagaimana film melahirkan
makna dan sekaligus hubungannya dengan bentuk-bentuk seni. Seni yang
dikatakan oleh Gotthold Lessing[5]
haruslah terbukti benar dan sesuai dengan sifat yang mendasarinya. Film bisa menjadi seni yang sejati
bilamana ia menemukan sifat dasarnya sendiri.
Rudolf Arnheim dalam bukunya Film as Art
yang diterbitkan tahun 1932 menyebutkan bahwa film bisa meraih statusnya
sebagai ‘seni’ ketika film punya esensinya sendiri dan terbukti berbeda dengan
esensi seni yang lain, seperti seni rupa dan teater. potensi estetis film
justru terletak pada keterbatasan mediumnya; ketika film terbukti tidak bisa
menghadirkan kenyataan sehari-hari sepersis aslinya, maka disitulah film bisa
menggali potensi kreatifnya sendiri.
Namun dengan ceroboh Arnheim menyimpulkan bahwa
keistimewaan yang dimiliki oleh film adalah bahwa ia tidak berwarna dan tidak
bersuara, juga tidak memiliki aspek tiga dimensi, namun bisa menggambarkan
kontinuitas ruang dan waktu terutama oleh macam film naratif. Tentu saat itu ia
luput mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan yang bisa dicapai film melalui
teknologi.
Berbeda dengan Arnheim yang bereaksi cukup keras
dengan hadirnya film berwarna dan bersuara karena menganggap film akan kehilangan
sisi artistiknya, teoritis macam Eisenstein dan Kuleshov lebih mendalami
kemungkinan dimana film bisa disusun oleh beberapa shot untuk
melahirkan makna tertentu, fenomena yang kemudian dikenal dengan teknik
montage.
Eisenstein mengeksploitasi kemungkinan editing sampai pada taraf yang
tidak terduga. Sementara Kuleshov mengembangkan kemungkinan montage
berupa konstruksi makna yang berbeda tergantung pada urutan shot yang
dihadirkan kepada pemirsa. Dalam istilah perfilman masa kini, konstruksi makna
ini akhirnya dikenal dengan sebutan “Efek Kuleshov”.
Terlepas dari bagaimana film dapat dilihat sebagai
seni murni, keberadaan formalisme sebagai pondasi awal dari teori film memberi
kesadaran bahwa keterbatasan film dalam menangkap realitas justru memungkinkan
film untuk memanipulasi fungsinya dari sekedar media perekam menjadi alat
pencerita yang kuasa menyedot penonton kedalam dimensi yang sama sekali
berbeda.
B. Realism : Menggugat
Keterbatasan Film
Masih pada era yang sama, estetika formalisme yang
terletak pada montage dan ketak-tercukupan film dalam merekam realitas dibantah
oleh tradisi realisme yang memperluas
pembahasan mengenai film pada topik-topik yang lebih luas seperti proses
representasi dan realitas sosial. Realisme pertama kali dicetuskan oleh
kritikus film Prancis André Bazin. Ia berpendapat bahwa kekuatan terbesar
sinema justru terletak pada kemampuannya menghadirkan kembali realitas
sebagaimana aslinya.
Tradisi intelektual Bazin dipengaruhi oleh tradisi
fenomenologi Bergson, eksistensialisme Jean Paul Sartre dan Personalisme[6]. Pada prakteknya Bazin lebih mengandalkan
direct recording process atas mise-en-scene sebagai teknik
pengambilan gambar sinematik sebuah film. Ia menganggap bahwa deep
focus dan long take marupakan cara untuk menggapai derajat realisme
tertinggi. Menurutnya film tidak memiliki keterbatasan dalam merekam realitas,
satu hal yang bertentangan dengan tradisi film sebelumnya.
Realism Bazin
berpandangan teknik montage merupakan bentuk pemaksaan sutradara dalam menyusun
sebuah totalitas shot-shot yang
bersifat fragmentaris. Dalam konteks ini, montage akan merusak realitas dengan
cara menyusun shot-shot hanya untuk menimbulkan efek atau ide tertentu.
Sementara, penganut realisme ingin menjaga kontinyuitas temporal dan kesatuan
spasial dimana hal ini merupakan posisi ontologis daripada estetis film.
Mazhab realis tidak pernah menggunakan montage
untuk merubah atau menambah realitas film[7],
bahkan Bazin selalu mengkritik montage karena mengkhianati kenyataan dan
membohongi penonton. Struktur naratif realisme menghormati durasi sebenarnya
dari peristiwa dan tidak memotong-motongnya. Konsep durasi Bazin diambil dari
terminologi Bergson tentang durée. Menurut Bergson, untuk mengalami
kenyataan dengan sebenar-benarnya, kita harus masuk ke dalam fluks (perubahan
terus-menerus) itu sendiri. Durasi adalah sesuatu yang kita tangkap dengan
kebebasan penuh, kesadaran diri, dan otentisitas[8].
Kajian Bazin terhadap film-film Orson Welles
kurang lebih menjadi manifestasi awal teori auteur dalam sejarah kajian
film. Ia mengadopsi tradisi kesenian lain (sastra) ke dalam film. Teori Auteur
mencari bentuk keselarasan dalam karya-karya seorang sutradara. Apabila
terdapat konsistensi keselarasan dalam karya-karya itu, maka si pembuat film
layak mendapat gelar ‘auteur’, sama derajatnya dengan seniman atau sastrawan.
Pada periode ini pula, muncul genre
theory, bentuk analisis sinematik yang diadaptasi dari pendekatan telaah
seni sastra. Para kritikus Cahiers du Cinema menggunakan genre theory
dalam mendefinisikan film kriminil gelap Amerika Serikat sehingga melahirkan
istilah film noir.
Selanjutnya artikel kritis di jurnal Cahiers
du Cinema menjadi pelopor dari aliran neorealisme
(1952) Italia. Di mana arus ini ikut ditandai dengan lahirnya sebuah
gerakan sineas muda di Prancis sekira tahun 1958 dan 1964. French new wave memperkenalkan
style film ala avant garde[9] yang beranggaran rendah.
Gerakan ini memiliki prinsip yang berbeda 180º
dari sinema klasik Prancis yang menitik beratkan film pada kekuatan narasi yang
ketat yang digambarkan oleh Godard sebagai estetika deterministik plot yang
menindas penonton. Mereka bahkan selalu mengingatkan bahwa film hanyalah urutan
gambar yang bergerak, bagaimanapun bagusnya cahaya dan bayangan yang
dihasilkan. Pada akhirnya french new wave
sebagai sinema Eropa modern memfokuskan diri pada teknik sebagai style film itu sendiri.[10]
II.2. Teori Film Modern ; ‘Mengorek‘ Kekuatan Sosial-Ideologis Film
Teori film modern populer
sepanjang tahun 1970-1980-an, tidak terlepas dari kuatnya pengaruh cultural studies pada dekade tersebut.
Mazhab ini memandang film sebagai sistem yang terstruktur dan tertutup.
Juga sebagai ilusi dari realitas. Dari sudut epistemologi, aliran ini memandang
hidup secara ideologis. Estetikanya adalah: “bagaimana sebuah film menciptakan
makna yang tersembunyi.
Secara intrinsik mempelajari film memang penting dan mungkin, meskipun
terkadang harus dianalisis lewat wacana seni dan estetika yang lebih luas –
lintas teori –. Hal ini justru untuk menempatkan film sebagai objek kesenian
lengkap dengan karakteristik formalnya sendiri. Pendekatan ini berupaya untuk
melihat film secara sosial dan ideologis, menganalisa apa yang menjadi
representasi dalam film baik dari segi style maupun narasinya, lalu mencari
pola hubungannya dengan konsep sosial-politis (biasanya yang dianut oleh
peneliti film itu sendiri).
Modus yang digunakan selalu mencari tahu siapa atau apa yang berada di
balik semua produksi kultural. Cultural studies sebagai bagian dari tradisi
kritis marxisme selalu mencurigai produk kultural seperti film pasti digunakan
oleh satu atau beberapa pihak dalam masyarakat untuk meraih atau mempertahankan
kepentingan politis-ekonomis tertentu[11].
Tradisi ini banyak dipengaruhi oleh paham Gramscian dan Althusserian yang
dipadukan dengan konsepsi Adorno mengenai ‘industri. Sekali film dilihat
sebagai produk kultural, maka ia akan selalu tampak sebagai gejala modernitas,
yang tak pernah bisa lepas dari kapitalisme, industrialisme, budaya urban, dan massa
yang tersentralisasi[12].
Wacana film sebagai produk kultural-ideologis merupakan identifikasi
unsur politik representasi dalam film yang dipengaruhi oleh ilmu semiotika –
salah satu varian dari ilmu linguistik – yang muncul pada tahun 1970-an.
Peneliti film saat itu menyandarkan penelitiannya pada ajaran-ajaran linguistik
Ferdinand de Saussure dan konsepsi semiotika Charles Sanders Pierce.
Mereka berpendapat bahwa film lebih dari sekedar seni, film adalah
fenomena linguistik. Dengan demikian terbuka kemungkinan baru untuk menjawab
pertanyaan ‘Apa sebenarnya film itu?’ (dalam terminologi semiotika) dan
bagaimana ia bekerja dalam sistem secara keseluruhan. Pelopor pemikiran ini
yang paling berpengaruh adalah Christian Metz.
Pengaruh Marxis dalam periode ini sangat kental. Jika sebelumnya kajian
tentang film banyak meminjam teori dari bidang seni lain –terutama sastra dan
teater – maka pada periode ini paham marxis selalu melakukan ‘penetrasi’
terhadap teori-teori yang digunakan membahas film. Salah satu yang cukup
populer adalah psikoanalisa Freudian yang oleh Jacques Lacan digabungkan dengan
paham Marxisme[13].
Salah satu contoh dari hasil analisis berbasis psikoanalisis-Marxian ini
dapat dilihat pada teori aparatus yang salah salah satunya diprakarsai
oleh Jean-Louis Baudry. Baudry melihat bahwa cinematic apparatus (teknik
seperti editing, camerawork dan proyeksi ke layar) sebagai
perangkat ideologis semata. Ia bahkan menganalogikan film dengan mimpi seperti
halnya Freudian psikoanalisis yang memberikan perhatian pada mimpi sebagai
dobrakan dari represifitas alam bawah sadar kita (unconciousness). Namun
konsep ini segera dibantah oleh beberapa kritikus, yang paling getol adalah
Nöel Carroll.
Nöel Carroll menyebut Lacan –dengan teorinya – telah melakukan
mistifikasi film[14].
Menurutnya penggabungan teori – psikoanalisis dan marxis – tersebut hanya akan
menghambakan film pada ‘kekuatan sosial-ideologis yang tak kelihatan’ (unwitting
instructor of political ideology)[15].
Carroll memberikan contoh tentang film-film hollywood
dalam kacamata teori Lacan akan selalu dinilai mengusung nilai-nilai
kapitalistik yang tentunya negatif berdasarkan ukuran Marxisme. Ditambah teori
psikoanalisa yang digunakan akan segara mendiagnosa bahwa film-film tersebut
mencerminkan kondisi masyarakat yang sedang sakit.
Akhirnya, interpretasi film melalui teropong psikoanalis-Marxis bersifat
patologis dan negatif. Film akan terbaca sebagai bentuk hasrat yang direpresi
oleh kelas berkuasa sehingga memunculkan penyakit dalam bentuk sinema. Film
hanya akan dianggap sebagai pasien, lalu para teoritisi film bertindak sebagai
psikiater.[16]
Pada periode ini kritikus film cenderung ingin membongkar agenda setting
politik yang tersembunyi di balik sebuah medium film. Hal ini banyak diadopsi
oleh para feminis, poskolonialis, dan teoritisi queer cinema yang selanjutnya diamini oleh paradigma
posmodernisme sebagai gelombang teori yang datang belakangan.
Meskipun posmodernisme tidak punya kerangka teoritis yang baku,
tapi tetap memandang film merupakan penanda (signifier) ideologi yang sedang berkuasa. Para
posmodernis selalu berusaha mencari apa yang tersembunyi, melihat film dengan
seksama lalu membicarakan isinya.
II.3. Teori Film Kontemporer ; Neoformalisme
Dan Teori Kognitif
Dalam teori film kontemporer setidaknya ada 2 hal yang menjadi catatan
penting, yaitu kembalinya paham formalisme baru (neoformslism) dan masuknya pendekatan kognitif dalam teori film.
Teori film kontemporer melihat film sebagai suatu sistem terbuka, estetika film
kini mengarah pada cinematic poetics
sebagai ontologinya.
Munculnya kerangka neoformalisme dalam kajian film hadir nyaris bersamaan
dengan tenarnya semiotika strukturalis dalam kajian film tahun 1960-an.
Banyaknya karya-karya Viktor Skhlovsky serta beredarnya kembali esai-esai
Eisenstein memicu kegiatan kritik film untuk berjalan paralel dengan tradisi new
criticism
yang dimiliki kajian sastra. Hal ini juga menimbulkan ketertarikan untuk mengkaji kembali
formalisme Rusia muncul di Barat.
Neoformalisme sama sekali
tidak keluar dari ‘pakem’ sebelumnya, metode ini tetap dan masih tertarik pada
kajian artistik film itu sendiri; bahasa sinematik, aspek naratif, gaya
konstruksi, dan relasi antara konstruksi formal dari film dengan pengalaman
(psikologis) penonton film itu sendiri. Victor F. Perkins lewat bukunya Film
as Film (1972) yang pertama kali memperkenalkan neoformalisme meski ia
bersikeras menolak kaitan disiplin ilmu lain dalam membahas film. Ia mencari
celah agar kita bisa menganalisa film dari sudut pandang yang paling ontologis.
Selanjutnya neoformalisme dikembangkan oleh para ilmuwan film dari Universitas
Wisconsin-Madison, seperti David Bordwell dan istrinya Kristin Thompson pada
tahaun 1980-an.
Asumsi-asumi neoformalis berkerja didasari pada dua hal: cinematic
poetics dan historical poetics. Kedua konsep ini diadopsi kedalam
konteks dimana film diproduksi lewat sebuah mode praksis yang akhirnya
berpengaruh pada interaksi gaya
dan naratif dan berujung pada film secara keseluruhan. Dalam
pendekatannya, neoformalis menganggap bahwa ada kesenjangan antara sebuah
persepsi film dan semiotik, juga perbedaan antara bentuk alur dan konstruksi
cerita. Dua hal yang diabaikan oleh pendekatan terdahulu yang dikalaim sebagai ‘Grand Theory’ seperti semiotika, hermeneutika, psikoanalisa
Lacan dan poststrukturalisme.
Historical poetics/cinematic poetics/neoformalis dan
pendekatan film kognitif menghindari pencatutan a priori atas film.
Mereka senantiasa menggali bukti baik dari dalam film itu sendiri (unsur yang
terkandung dalam gaya penyampaian
dan naratif) atau konteks historis dimana film itu dibuat. Lewat pendekatan
kognitif, bukti-bukti empiris bisa mengiringi studi sinema menyangkut
hubungannya dengan alam pikiran dan respon penonton (seperti emosi, ketegangan,
identifikasi dan kenyamanan) selama menonton. Melalui perspektif ini, kita bisa
membangun pengetahuan yang lebih sehat, konstruktif, dan berguna mengenai
sinema yang hingga kini masih memesona para penontonnya dari semua belahan
dunia.
Menurut Bordwell menonton film bukanlah merupakan pengalaman yang komplet.
Penonton tidak akan disuapi secara otomatis oleh total keseluruhan cerita yang
disampaikan, atau disebut fabula[17]
dalam bahasa formalis Rusia, sehingga penonton menggunakan schemata untuk mengorganisir informasi lewat plot yang diberikan. Schemata
adalah konsep yang diadopsi Bordwell dari psikologi kognitif yang intinya
adalah sebuah sistem pengorganisiran informasi kedalam kategori-kategori yang
akan dipergunakan kembali ketika kita menemukan situasi baru dengan informasi
baru pula agar proses pemahaman kita terhadap situasi dan informasi baru
tersebut menjadi lebih mudah. Dalam konteks menonton film, schemata
berfungsi sebagai sebuah mekanisme psikologis yang berusaha menjelaskan proses
penarikan kesimpulan dan komprehensi cerita ketika kita menonton film-film
naratif.
Konsep yang ditawarkan Brodwell ternyata menjadi tonggak penting lahirnya
pendekatan baru dalam teori film yang dikenal dengan ‘pendekatan film
kognitif’. Dimensi yang ditawarkan Brodwell mengintegrasikan cara memahami
narasi yang terkandung dalam sebuah film atau karakteristik dari genre (movement)
film tertentu seperti Soviet Montage Cinema (Eisenstein dkk) atau French New
Wave (Godard, Truffaut dan Rohmer).
Bersama rekannya Noël Carroll,
mereka intens memperkenalkan pendekatan barunya. Noël Carroll dalam bukunya Mystifying
Movies: Fads and Fallacies in Contemporary Film Theory, menolak pendekatan psikoanalisa-Lacan karena
dianggap akan menjadikan film sekedar mitos. Meski teori psikoanalitik-marxis-semiotik
saat ini masih mendominasi kajian film, mereka menawarkan alternatif pendekatan
yang mereka sebut sebagai ‘Kognitivisme’.
Aliran kognitif tidak terlepas dari perkembangan ilmu psikologi yang
‘menyusup’ masuk kedalam kajian seni dan sastra sepanjang lima
belas tahun terakhir[18]
yang dikenal dengan ‘psikologi evolusioner’ (evolutionary psychology).
Psikologi revolusioner telah menjadi alat bantu para kritikus sastra maupun
film dalam memetakan pola aktifitas manusia ketika sedang bergumul dengan
pengalaman naratif. Psikologi dan biologi evolusioner membantu para ilmuwan
dalam memahami fungsi, meminjam istilah Terrence Deacon, ‘aesthetic faculty’
searah dengan sejarah kaum Homo sapiens.
Joseph D. Anderson dalam bukunya The Reality of Illusion
menjelaskan bahwa proses mengakses film berbanding lurus dengan persepsi
ekologis manusia sebagai makhluk yang dipandang senantiasa bergerak oleh
lingkungannya[19]. Dimana
dengan memahami dan menggali psikologi dan biologi evolusioner tersebut,
fenomena alam pikiran seperti emosi, kenyamanan, metarepresentasi, dan
hubungannya dengan kajian film dan sastra seperti identifikasi, ketegangan dan
keterkejutan, bisa dijelaskan dengan cara menelusuri evolusi otak manusia[20]
Inti dari pemahaman Anderson
adalah bahwa pengalaman menonton film merupakan suatu ilusi dimana kerja otak
manusia –sebagai mamalia- telah mengalami tipuan sehingga apa yang tampak di
layar akan disangka sebagai realitas, disini letak ilusi film. Tipuan ini bekerja melalui sistem penginderaan
manusia yang dikontrol oleh satu prinsip organisasi yang disebut veridicality.
Prinsip veridicality kurang lebih menekankan bahwa persepsi manusia akan
dunia haruslah berada semirip mungkin dengan perkiraan manusia itu sendiri akan
dunia (yang dalam hubungannya dengan seni visual, tidak berdasar pada tujuan,
melainkan hasil)[21] bahkan seringkali manusia mengalami ilusi
dalam kondisi sadar[22].
Anderson merujuk pada
teknologi 3-D, dimana gambar diproyeksikan pada medium dua dimensi, lalu
ditayangkan di hadapan manusia. Manusia akan berkali-kali menerima ilusi bahwa
sesuatu tengah bergerak kearahnya dan sebagainya, padahal sebenarnya tidak.
Sinema bisa menghadirkan ilusi yang bersifat paradoksal terhadap prinsip
penginderaan manusia atas realitas.[23]
II.4. Statistik Dalam Teori Film : Objektif, Terukur Dan Sistematis
Sepanjang perjalanan teori film, kita dapat melihat bagaimana persepsi
dan interpretasi menjadi tujuan utama dalam menentukan apa sebenarnya film itu?
Baik secara ontologi maupun epistemologis. Seolah-olah, ketika film tidak mampu
dipersepsikan ataupun diinterpretasi oleh penonton maka film tersebut
kehilangan eksistensinya.
Hal inilah yang belakangan menjadi konsentrasi seorang sejarahwan yang
juga kritikus film berkebangsaan Australia, Barry Salt (1933) sejak tahun
1980-an. Film haruslah memiliki eksisitensi yang sama bagaimanapun bentuk
narasi, teknik maupun editing yang digunakannya sebab film merupakan satu
entitas yang empiris. Mengkaji film berdasarkan persepsi dan interpretasi hanya
akan memetakan film menjadi dua kelas; yang bagus/baik dan yang jelek/buruk
seperti yang dilakukan oleh teori auteur
yang dipopulerkan oleh Andrew Sarris[24].
Prinsip dasar teori Auteur
Sarris menggunakan tolak ukur dari seberapa besar peran/ pengaruh sutradara
dipandang dari sudut style, kreatifitas maupun psikologis dalam menyumbangkan
nilai estetik kedalam karya filmnya. Apabila peran/ pengaruh sutradara tersebut
sangat menonjol, maka ia layak disebut
sebagai seorang Auteur. Dan menurut Sarris, gelar Auteur yang disandang
sutradara tersebut akan cenderung melekat terus meskipun beberapa filmnya tidak
menampilkan kriteria tersebut. Teori ini akan menjadikan sebuah film Auteur lebih berharga dibanding dengan karya film Non-Auteur. Satu hal yang nilai Salt sangat subjektif
dan jauh dari kaidah ilmiah[25].
Sayangnya hal ini juga menimpa
teori-teori film yang sudah ada. Setidaknya ada 3 hal yang menjadi kelemahan
teori-teori tersebut menurut Salt : (1) ketidak-konsisten-an teori-teori
tersebut dalam menginterpretasi film, (2) Tidak adanya rumusan/ kriteria yang
pasti, (3) Subjektif / kriteria tergantung dari intepretasi sang kritikus.
Bagi Barry, memasukkan teori
dari disiplin ilmu lain kedalam kajian film seperti tidak menjadi masalah
selama teori tersebut dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah pada disiplin
ilmu dasarnya. Berbeda dengan Perkin yang menolak total teori lain dimasukkan
kedalam kajian film. Namun salt memberikan kecermatan dan ketelitian yang ketat
sebagai catatan dalam mengadopsi teori lain dalam mengkaji film sebab
memasukkan teori-teori yang terbukti gagal di disiplin ilmunya kedalam kajian
film merupakan hal yang sia-sia baginya.
Ia mencontohkan teori
psikoanalisa yang banyak diadaptasi dalam teori film yang secara nyata minim
tingkat kesuksesannya dalam penyembuhan pasien gangguan mental[26].
Sehingga tidak ada alasan baginya untuk mempercayai teori tersebut. Meski
dengan tegas ia nyatakan bahwa ia meyakini tentang keberadaan the Unconscious Mind (alam bawah sadar
manusia) yang dicetuskan oleh Sir Francis Galton, ilmuan pendahulu Sigmun
Freud, hanya saja Salt merasa teori Freud tidak memuaskan dan bukanlah medium
yang tepat mengkaji interpretasi film.
Meski harus diakui ketentuan
dasar kajian interpretasi film maupun media seni lain yang ’legal’ merupakan
polemik yang tidak berkesudahan disebabkan oleh
cara pandang para individu dalam
mengartikan makna atau simbol dalam
tampilan sebuah visual film atau karya seni lainnya. Masing-masing kritikus
film, sineas dan para pelaku film memiliki motif agenda, ekspektasi, maupun
latar belakang sosio ekonomi serta budaya
sendiri dalam mengambil sikap yang
berkenaan dengan proses interpretasi sinema.
Secara umum dapat digambarkan dua kutub yang saling berlawanan dalam
pengaplikasian interpretasi film.
·
Yang pertama adalah, pandangan ekstrim yang menolak sama sekali keberadaan kajian interpretasi film yang sah
(Barry Salt menganggap pandangan ini sebagai lelucon belaka, karena
dibalik penolakan mereka atas keabsahan
sebuah kajian interpretasi mereka tetap
memberikan analisa/ kritik pada film)
·
Kedua, merupakan pandangan konservatif yang jauh lebih toleran terhadap beraneka
ragam variasi dalam kajian film, dimana
unsur-unsur sinema seperti, konteks, narasi, visi dsb menjadi faktor
pertimbangan.
Dengan
berpatokan pada konsep konservatif ini, maka muatan religi yang terkandung
dalam sebuah film religius bila dikaji dari persfektif keagamaan oleh sosok
sutradara yang ‘tidak beragama’ akan dianggap tidak sah.
Ketika seorang kritikus film menggunakan intuisi
pribadinya kedalam proses interpretasi, maka yang terjadi adalah kita sebagai penikmat film akan kian
tersudut pada pengembangan wawasan dan
terjebak sistem analisa yang sangat subjektif.
Pada akhirnya Barry Salt menyerukan pentingnya seorang
reviewer/ kritikus film untuk lebih
mempertimbangkan aspek teknis, yang antara lain
melibatkan depth of field,
editing, shot selection, dsb kedalam rumusan interpretasi filmnya. Hal ini yang menurut Salt menjadi
kekurangan yang menonjol dikalangan kritik akademis saat ini.
Berpegangan
pada aspek konstruktif dalam memformulasikan rumusan teori filmnya, Salt
kemudian menggunakan metode analisis dan evaluatif yang seobjektif mungkin
dalam menelaah lebih dalam tentang berbagai unsur dalam cinema. Metode analisis
dipandang perlu demi menguji seberapa
tinggi tingkat akurasi rumusan teori yang digunakan, demikian juga
halnya dengan metode evaluatifnya.
Menurutnya
kajian sinema yang ideal harusnya meneladani aspek-aspek positif yang ada pada sains yang lebih stabil dan mapan
seperti biologi dan fisika, yang mana terdapat kesamaan baik dalam esensi
maupun metode pengajaran baik di
Inggris, Rusia, Amerika serta China. Bukannya malah terbuai dengan retorika
spekulatif.
Meski
menurutnya kajian film tidak memilki kapasitas untuk dapat tumbuh dan kemudian
berkembang menjadi sains murni dikarenakan sifat dasar dari kajian itu sendiri yang cenderung
bersifat eksperimental, inovatif, serta kental dengan aroma kompleksifitas.
Singkat kata, tidak ada aturan baku yang mengatur nilai nilai estetika yang
terkandung didalam medium sinema, sehingga bisa dikatakan estetika dalam sinema
seakan akan bersifat sebagai alat kosmetik belaka.
Analisa film versi Barry Salt terbagi atas tiga unsur,
yaitu :
1)
Berdasarkan Konstruksi teknisnya (jenis kamera yang
digunakan, ukuran lensa, angle, editing, art direction dan tata ruang)
2)
Style (executive and artistic decision) sang sutradara.
Dimana menurut Salt faktor kedua ini lebih banyak diabaikan dalam perumusan
teori film dewasa ini.
3)
Dan yang terahir dan relatif kurang signifikan dari dua
faktor diatas adalah film dapat dianalisa dengan mengukur seberapa besar
tingkat respon dari penonton.
Sedang dalam kriteria evaluasi film,
Barry mengklasifikasikan 3 aspek utama yaitu; (1) Originalitas, (2) Pengaruh
film tersebut dengan film lainnya dan (3) seberapa besar visi dan pengaruh
kreatif sang filmaker terpenuhi dalam film garapannya.
Sama seperti mereka yang membawa
strukturalisme, formalisme, psikoanalisa maupun semiotik ke dalam analisa film,
Barry memperkenalkan kepada kita suatu metodelogi yang cukup asing dalam dunia kajian
sinema, statistik. Sama seperti metode semiotik strukturalism, pendekatan yang
digunakan Barry mengabaikan pertanyaan mengenai estetika dan efektivitas
phenomenologi untuk mengeksplorasi produksi
makna teks sebagai Aset strategi
diskursif. Ia bahkan memperlakukan teks secara ‘kasar’
dengan merobeknya manjadi averege shot lenghts, camera movements, shot types, dll)[27].
II.5. Statistik ; Pendekatan Baru
Dalam Analisis Style
Obsesi Barry Salt untuk menggunakan
metode penelitian film yang lebih sistematis, terukur dan lebih objektif ia
temukan dalam penelitian kuantitatif. Analisis style kuantitatif di sini
melibatkan statistik baik secara deskriptif
dan inferensial[28]. Tujuan utamanya adalah mengumpulkan jumlah dan frekuensi data
parameter formal sutradara kemudian
diwakilkan ke dalam grafik, persentase, dan rata-rata panjang tiap shot (ASL).
Pendekatan statistik dalam penelitian film memberikan hasil secara visual angka-angka
yang lebih jelas dan sistematis, dalam hal ini Barry Salt dengan berani menyebut
metode penelitian film dengan pendekatan statistik merupakan Scientific
realism[29]. Statistical style analysis
sendiri secara spesifik memiliki 3 tujuan standar, yaitu:
1.
Menawarkan analisis style dengan menggunakan pendekatan
kuantitatif.
2. Menghindari
sengketa teks yang berkaitan dengan atribut kepenulisan
3.
Untuk mengidentifikasi kronologis film ketika adegan atau
urutan komposisi tidak jelas atau tidak runut.[30]
Menggunakan
perasaan mungkin dengan mudah dapat mengidentifikasi perbedaan style beberapa sutradara seperti ’Fritz
Lang cenderung menggunakan long shot
seperti film Renoir’ dengan asumsi bahwa sang sutradara lebih menyukai long
shot., Namun bila diamati secara detail idea tersebut sangat meragukan, dengan
melakukan pengamatan dan membandingkan secara statistik menunjukkan bahwa hal
itu tidak semudah menonton satu atau dua film yang dianggap bagus[31].
Statistical style analysis sendiri merupakan kritik terhadap teori mise-en-scene, di mana keduanya
sama-sama menggunakan material film sebagai bahan atau objek analisisnya. Dengan memasukkan statistik sebagai alat
analisa, Statistical style analysis
berhasil menghindari hubungannya antara style dan tema sebuah
film, sesuatu yang menjadi fokus pada teori mise-en-scene yang
’mati-matian’ membantah asumsi bahwa tampilan scene dalam sebuah film
(gerakan kamera, tata cahaya, dll) hanya keperluan estetika semata[32].
Analisis style dalam pendekatan statistik menunjuk satu set pola
terukur yang secara signifikan menyimpang dari norma kontekstual
film.
Tujuannya adalah
mengindetifikasi style individu
sutradara dengan mengumpulkan data parameter formal secara sistematis terutama
yang berada dalam kendali langsung sutradara seperti :
• Duration of the shot (termasuk
panjang rata-rata per-shot, atau
Average shot length/ASL)
• Shot scale
• Camera movement.[33]
Penghitungan dapat dilakukan dengan mengukur panjang pita
film atau durasi pada film yang menggunakan cakram digital (CD) selang satu
menit atau 100-ft pada film 35mm. pada kenyataannya Barry hanya mengumpulkan shot yang muncul dalam 30 menit film
yang dianalisanya. Menurutnya shot-shot yang
muncul 30 menit awal film merupakan repsentasi sampel film tersebut. Namun
belakangan, keputusan menghitung shot seluruh film dilakukan agar skala shot
lebih akurat.
II.6. Metode
Analisis
A. Average shot length/ASL
Konsep ASL merupakan panjang dari film dibagi dengan
jumlah shot di dalam film, yang dapat dinyatakan sebagai panjang fisik yang sebenarnya dari film atau
lebih dikenal sebagai durasi. Sebelumya untuk film yang menggunakan
celluloid/film bisu dimana kecepatan proyektor mempengaruhi durasi Salt menggunakan satuan feet yang diambil dari panjang pita. Namun hal ini menimbulkan
persoalan ketika perbandingan dilakukan dengan film-film yang dibuat pada masa
yang berbeda. Untuk itu Salt mengganti satuan ASL menjadi detik, mengingat
akurasi persentase kecepatan proyektor pada film bisu hanya memiliki perbedaan
yang sangat kecil.
Dalam penghitungan statistiknya, Salt merekomendasikan
beberapa cara untuk memilih interval waktu yang digunakan dalam menghitung ASL,
yaitu :
1.
Gunakan interval waktu per satu
menit atau 60 detik pada film dalam cakram digital (CD) atau 100-ft pada film
35mm.
2.
Lakukan perhitungan jumlah tipe
shot dalam angka (misalnya 50 tipe shot) kemudian hitunglah jumlah shot dari
keseluruhan tipe shot yang ada.
3.
ASL atau panjang rata-rata shot
didapat dari perhitungan interval waktu keseluruhan scene dalam film. Kemudian
hitunglah jumlah shot seluruhnya. Jika
scene berlangsung 2 menit (120 detik) dan jumlah shot setiap scene adalah 12
maka ASLnya adalah 10detik (ASL = durasi scene : jumlah shot)
B.Scale
Shot
Pada mulanya Salt mendapatkan skala shot kebanyakan
dari data-data untuk ASL (scene dan jumlah shot) dan hasil persentase terbalik
dari potongan angle yang diambil dari 30 menit panjang film atau setidaknya 200
shot. Namun kriteria tersebut tidak memuaskan dengan range error mencapai lebih 10%. Karenanya distribusi skala shot sekarang diambil dari keseluruhan panjang
film. Adapun tipe shot yang dihitung adalah :
1.
Extreme Close Up (ECU)
2.
Close Up (CU)
3.
Medium Close Up (MCU)
4.
Medium Shot (MS)
5.
Medium Long Shot (MLS)
6.
Long Shot (LS)
7.
Very Long Shot (VLS)
C. Camera
Movement
Tren menggunakan gerak kamera yang luas munChaerul Umaml pada akhir abad
ke-12 dan masih berlangsung hingga memasuki periode film bersuara. Hal ini
memunChaerul Umamlkan perbedaan antara jumlah shot dengan gerak kamera (Camera Movement). Perdebatanpun muncul
tentang apakah gerak kamera merupakan salah satu bagian dari style sutradara
dimana gerak kamera tidak menampakkan kerja-kerja sutradara didalamnya melain
kerja cameraman.
Namun menyadari bahwa gerak kamera berada dalam kewenangan sutradara
dalam hal ini kamera bergerak sesuai keinginan sutradara dan lebih jauh melihat
kedekatan kerja antara sutradara dan cameraman yang lebih dibanding kru
lainnya, dalam hal ini jika sutradaramemutuskan untuk tracking shot maka eksekusi berada pada operator kamera dibanding lighting cameraman.
Alasan tersebutlah yang membuat Salt menyimpulkan bahwa camera movement
merupakan bagian dari style sutradara. Adapun penghitungan skala camera
movement mencakup:
1.
Pan
2.
Tilt
3.
Pan With Tilt
4.
Track
5.
Track With Pan
6.
Crane
DAFTAR PUSTAKA
Salt, Barry, Film
Style and Technology : History and Analysis, London:
Starword Publishing, 2003
Salt, Barry, Moving Into
Pictures. London : Starword Publishing, 2006
Thomas Elsaesser & Warren Buckland, Studying Contemporary American Film, London
: rnoldpublishers, 2002
Kristanto,
JB, Katalog Film Indonesia 1926-2005,
Jakarta : Penerbit Nalar, 2005
David Bordwell & Kristin thompson, Film Art : An
Introduction. Mc Graw-Hill: 1993 Fourth edition.
Salim,
Agus, Teori dan Paradigma Penelitian
Sosial, Yogyakarta : Tiara Wacana, 2006
Gibbs, John. Mise-en-scène. United
Kingdom: Wallflower Press, 2002.
Arikunto,
Suharsimi, Manajemen Penelitian, Jakarta : PT. Rineka
Cipta, 2009
Bungin,
Burhan, Metodologi Penelitian
Kuantitatif, Jakarta : Kencana,2010
Surakhmad, Winarno, Dasar dan Teknik Research; Pengantar
Metodologi Ilmiah, Bandung : Tarsito, 1978
Jurnal ‘Jejak Film Bihari’, Bandung : PPDP-FFI 2008
Biran, H. Misbach Yusa, Apa-Siapa Orang Film Indonesia, Jakarta : Depertemen Penerangan Republik Indonesia & Sinematek,
1979
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke Tiga, Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional & Balai Pustaka, 2005
[1] Richard
Dryer, “Introduction to Fim Studies,” dalam The Oxford Guide to Film
Studies
[2] John
Hill dan Pamela Church Gibson (ed.), The Oxford Guide to Film Studies,
Oxford University Press, 1998.
[3] Ibid 1
[4] J.
Dudley Andrew, The Major Film Theories:An Introduction, Oxford University
Press, 1976, bagian Bibliografi.
[5] Gotthold
Ephraim Lessing (1729 –1781), seorang filsuf, kritikus seni dan
penulis kebangsaan Jerman. Ia dikenal sebagai sejarawan teater yang pertamakali
memperkenalkan dramaturgi.
[6] Ian
Aitken, European Film Theory and Cinema:A Critical Introduction, Edinburg
University Press, 2001
[8] Ian
Aitken, ibid
[9] A.O.
Scott, Living for Cinema, and Through It,
New York Times, June 25, 2025,
[10] Pier Paolo Pasolini, Heretical
Empiricism, Garzanti : 1972
[11] Richard
Dryer, ibid hal 6
[12] Ibid hal 8
[13] Joseph
D. Anderson, The Reality of Illusion: An Ecological Approach to Cognitive
Film Theory, Carbondale:
Southern Illinois University
Press, 1996
[14] Nöel
Carroll, Mystififying Movies: Fads and Fallacies in Contemporary Film
Theory, New York: Columbia
University Press, 1988.
[15] Joseph
D. Anderson, ibid
[16] Joseph
D. Anderson, ibid
[17] Fabula adalah istilah yang berasal dari Formalisme Rusia sebagai narratology atau
yang menggambarkan konstruksi narasi
[18] Brian
Boyd, Joseph Carroll, dan Jonathan Gottschall, Evoluton, Literature and
Film: A Reader, New York:
Columbia University Press, 2010
[19] Joseph
D. Anderson, The Reality of Illusion
[20] Ibid Joseph D. Anderson
[21]Ibid Joseph D. Anderson
[22] Anderson
membedakan ilusi dengan bermimpi (pengalaman kontra-veridikal yang terjadi saat
tidak sadar) atau halusinasi (pengalaman kontra-veridikal yang dipengaruhi
obat-obatan), ilusi muncul ketika manusia tepat berada pada titik kesadarannya
[23] Ibid Joseph D. Anderson
[24] Andrew
Sarris merupakan kritikus film yang
mempopulerkan teori Auteur di USA
melalui bukunya The American Cinema: Directors and Directions 1929-1968
(1968).
[25] Barry
Salt, London, Film Style and Technology : History and Analysis,: 2003
[26] The Effects
of Psychotherapy, S. Rachmann, Pergamon Press : 1971
[27] ????
[28] ibid????
[29] Scientific
realism merujuk pada pengertian Stanley Kubric; sesuatu yang di dalamnya
benar-benar terdapat sesuatu yang bisa diteliti/diukur.
[30] Thomas Elsaesser & Warren B, Studying Contamporary American Film; A Guide To Movie Analysis Oxford University Press, 2002
[31] Dolozel
and Bailey, Statistics and Style, Elsevier,
1969
[32] ibid 21
[33] ibid21