Teori Film
Kamis, 29 April 2010
Sesi ke 7
Wacana/ discourse itu ideologis.
Kita-subjek yang memberi makna terhadap sebuah discourse.
Contoh: morse bermakna bagi seorang subjek, kita yang memberi makna, tetapi morse tersebut ada maknanya buat kita karena kita mengenal sesuatu tentang morse tersebut dalam konteks sebuah wacana. Jadi kita memberi makna dan itu berdasarkan apapun yang kita kenal dari morse tersebut. Wacana ini bisa dikenal oleh setiap orang bisa tidak.
Makna itu akan bicara kalau kita mengenal sistemnya, seperti film bagi seorang akademisi, ia akan mampu menerima berbagai makna karena para akademisi mengenal sistemnya, dan hal ini akan berbeda bagi penonton awam dalam memaknai bentuk film. Hal inilah yang disebut makna/ meaning, namun tidak ada meaning/ makna yang tetap (fix meaning), hal ini dikarenakan oleh meaning dari tiap wacana akan selalu terbentuk menjadi wacana dominan dan wacana perlawanan, dan wacana dominan tersebut akan selalu bernegoisasi dengan wacana perlawanan sehingga makna/ meaning akan selalu berubah ubah.
Seperti contoh: hegemoni film horor dan film remaja, dalam film horor bagi wacana film remaja adalah sebuah perlawanan (film horor adalah perlawanan bagi film remaja), bahwa remaja bukan hanya harus dipautkan dengan segala sesuatu kesenangan muda. Artinya bahwa film horor bisa menjadi dominan dan film remaja yang telah dominan akan mendapat wacana perlawanan, begitupun sebaliknya, sehingga tidak ada fix meaning dalam setiap wacana, karena wacana antara dominan dan perlawanan akan terus bersirkulasi.
Ideologi
1)Mengacu kepada gagasan gagasan sistematis yang diartikulasikan oleh sejumlah kelompok, contoh ideologi partai, dsb.
2) Ideologi untuk mengindikasikan teks teks dan fraksis budaya yang merupakan atas gambaran yang dibesar besarkan (fals consiesnes), ex: Kapitalis, dimana kelas dominan tidak pernah melihat dirinya sebagai penindas dan kelas bawah tidak pernah merasa tertindas. Contoh; Raja dan Abdi dalam.
3) Masih berkait dengan point 2, bahwa teks seperti yang terdapat pada cerita novel, tv, lagu, film dll, menunjukkan suatu gambaran tentang dunia yang memperlihatkan masarakat sebagai sesuatu yang bertentangan-konfliktual. Dalam pertentangan tersebut, teks akan berpihak, karena kebudayaan adalah situs pembermaknaan politik, tempat pemahaman sosial kolektif diciptakan.
4) Melihat ideologi bukan sebagai sosok gagasan, melainkan sebagai fraksis material. Karena ideologi terdapat dalam praktisi kehidupan sehari hari, dan bukan sekedar (cara fikir) gagasan mengenai sehari hari, contoh kaos oblong itu sudah ideologis tanpa harus dipikir lagi karena hal tersebut mereproduksi kondisi dan hubungan sosial yang berhubungan kondis ekonomi (kapitalisme dalam hal ini).
5) Berhubungan dengan Barth, ideologi beroperasi dalam level konotasi (secondary), meskipun itu secar tak sadar terbentuk, tetapi itulah yang dibawa oleh fraksis ataupun teks, jadi membuat sebuah konotasi tetap adalah membuat konotasi baru.
Barth (tanda apapun termasuk bahasa merujuk sesuatu-ideologis dibaliknya).
Althusser: ideologi itu bukan tentang berfikir sehari hari, ideologi itu yang sehari hari.
Marx: kesadaran kita dibentuk oleh keadaan sosial kita, kita miskin maka cara fikir kita miskin, kita kaya cara fikir kita orang kaya. Bahwa ide ini tidak berdiri dengan sendiri, ideologi berpindah dari abstrak menuju konkrit. Sedangkan Barth dari hal konkrit yang diabstraksikan. Contoh, daun itu hijau (nature), tapi ketika masuk kewilayah (culture) hijau itu berideologi anak muda, kesegaran dsb.
Ideologi itu tafsiran kita (Seno).kitra tidak melihat esensi dalam cultural studies.
Meaning itu dibentuk oleh perbendaharaan wacana kita dan makna itu tidak tetap karena berubah pengetahuan kita maka berubah pula maknanya.
Penonton adalah produsen-penerjemah makna, kalau setiap konsep bisa menganalisa meaning apapun, lantas untuk apa teori film kontemporer? Art-estetika adalah sebuah ideologi yang membentuk makna dan tidak ada makna tetap (fix meaning).
Dicontohkan: film horor adalah korban mei 98, didalam film hantu dibaratkan antagonist, dicaci, dihina, diintimidasi, dibunuh diperkosa, dll (semasa hidup) dia tidak bisa membalas, dia akan kalah.
Dalam cultural studies oposisi biner tidak ada, yang ada hanya makna, kitalah-subjek yang memberi makna, dan sekali lagi tidak ada makna yang tetap.Cultural Studies adalah lintas disiplin, semua digunakan namun ada satu cirinya: berpihak pada emansipasi.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar