Teori Film
Selasa, 13 April 2010
ideology, Hegemony, Power, Discourse, Interpretrasi
Pembahasan tentang politik kebudayaan pada tahun 1970 dan 1980an banyak menggunakan kerangka kosakata yang diambil dari Antonio Gramsci. Meskipun karya karya Gramsci ditulis sebelum karya karya Althusser namun alasan popularitas Gramsci menawarkan pendekatan yang lebih fleksibel dan praktis untuk memahami karakter dan cara kerja Kajian budaya. Pemikirannya bisa dibilang terpicu dari Marxist (bahwa gagasan gagasan yang dominan dalam masarakat manapun selalu merupakan gagasan gagasan kelas penguasa), pemikirannya selalu lebih mengajak berfikir diluar kelas penguasa atau politik, lebih tepatnya masuk kedalam budaya popular sebuagai situs pergulatan ideologis, bahwa tiap individu pemilik akal sehat yang dihadapkan pada budaya popular dimana setiap orang mengatur kehidupan dan pengalaman mereka. Hal ini merupakan salah satu pemikirannya ketika ia mengkaji mengapa para petani dan kaum buruh di Italia begitu cepat dan kuatnya memilih Fasisme.
Ideology
Konsep yang berkembang saat ini lebih mengacu pada gagasan Marxisme yang bertumpu pada kegalauan kaum proletariat atau pekerja yang meratapi kegagalannya dalam melengserkan secara revolusioner sistem kapitalis Barat. Eksploitasi yang terbungkus apik dalam jalinan sistem kapitalis ini dianggap telah mampu memperdayai nilai nilai soaial masarakat dan seyogyanya akan memperkokoh pilar pilar dominasi kaum kelas atas terhadap kaum ‘grass root’/ marginal.
Bagi Gramsci, ideology memberi kita aturan aturan perilaku praktis dan moral. Ideology adalah pengalaman sehari hari sekaligus juga sekumpulan ide sistematis yang berperan yuntuk mengatur dan mengikat suatu blok elemen sosial yang beragam dalam pembentukan blok blok hegemonik dan kontra-hegemonik. Bagi Gramsci akal sehat dan budaya populer dimana orang orang mengatur kehidupan dan pengalaman mereka menjadi situs krusial pertarungan ideologi.
Dalam perkembangannya Ideology sendiri telah mengalami berbagai macam mutasi dalam artian bahwa penggunannya telah mampu mengeksplorasi sendi sendi sosiokultural masarakat yang heterogen. Kemajemukan ini sekiranya telah meewakili nilai nilai serta norma norma sosial yang secara eksklusif dipergunakan untuk memfasilitasi berjalannya proses ketatanegaraan suatu kepemerintahan. Karakteristik ideologi yang bersifat mengikat dan mutlak menjadi acuan penting dalam perumusan serta pengkajian konsep kenegaraan suatu bangsa.
Hegemony
Lebih dari sekedar pengukuhan kekuasaan suatu negara atau kelompok tertentu atas negara atau kelompok lain, Hegemony mengisyaratkan adanya kecenderungan sosio politik yang bersifat mendominasi/ monopolis pada setiap negara atau kelompok yang lebih superior dibanding group marjinal lainnya. Hal ini memungkinkan, mengingat bebarapa fluktuatif dan rentannya kondisi sosiokultural dan geopolitik suatu negara terhadap asupan asupan pengaruh asing yang masuk, baik melalui secara invasi ataupun evolusioner. Ideology memainkan peranan penting dalam membentuk klasifikasi strata kelas serta mengendalikan kontrol sosial dimasarakat.
Lain halnya dengan prinsip kategorisasi kelas yang diusung oleh Gramsci, penggagas post-Marxist, Laclau dan Mouffe mengadopsi konsep Hegemony yang berbeda, dimana aspek perubahan sosial serta aliansi strategis lebih memiliki andil besar dalam pembentukan sistem ketatanegaraan ketimbang penggolongan kelas kelas dimasarakat. Analisis Gramscian adalah Hegemony selalu melibatkan pendidikan dan keberhasilan merebut persetujuan, yang tidak hanya menggunakan kekuatan kasar dan paksaaan semata. Konsep konsep Hegemony semula digunakan dalam kaitannya dengan kelas sosial, dalam perkembangannya ia mencakup pula relasi relasi gender, ras, ras, etnisitas, usia dan identitas nasional, selain juga cukup relevan bagi feminisme, teori pascakolonial, teori queer, dsb.
Power
Laksana pembuluh darah yang mendistribusikan oksigen kejantung, sirkulasi kekuasaan pada sebuah pemerintahan semestinya mengikuti koridor koridor administratif yang protokoler serta mampu menyerap aspirasi yang berkembang dimasarakat. Teori kekuasaan yang disuarakan oleh Foucault diatas seolah olah mengamini gagasan yang dikembangkan oleh Bennet, dan Stuart Hall sebelumnya, dimana penelaahan kebudayaan suatu masarakat tak lepas dari mekanisme dan konsekwensi dari sistem politik yang diimplementasikan sebuah negara.
Persfektif yang bervariasi atas pengertian kekuasaan itu sendiri menimbulkan riak wacana sosiopolitik yang mengalir kedalam sendi cakrawala budaya, kekuasaan sebagai kawah Chandradimuka para politikus diharapkan mampu menjadi motor penggerak stabilitas negara dan penyeimbang kebutuhan masyarakat atas kesejahteraan yang hakiki.
Foucault menekanakan bahwa kekuasaan/power membentuk kapiler yang saling terajut dalam serat serat tatanan sosial lebih jauh lagi kekuasaan tidak semata represif melainkan juga bersifat produktif dan memberdayakan kekuasaan untuk kepentingan tertentu, sehingga kekuasaan beredar disetiap level masarakat dan segala hubungan sosial (Power relation). Power relation memunculkan subjek subjek yang bisa menjadi sebuah discourse, power melahirkan force untuk bisa menjadi hegemony.
Discourse
Buah pemikiran dari Foucault menjadi acuan dasar bagi para peneliti budaya kontemporer dalam memberikan gagasan mereka tentang defenisi ‘Discourse’ (wacana ilmiah). Menurut pemahaman mereka Discourse’ ini tak lepas dari peran kondisi kebudayaan suatu masarakat serta latar belakang sejarah yang menjembatani bentuk bentuk serta konsep wacana ilmiah yang berkenaan dengan norma norma sosial dan perilaku suatu komunitas masarakat pada satu saat tertentu.
Pada hakikanya Discourse bertujuan untuk menumbuhkembangkan konsep, mendefinisikannya secara ilmiah dan melahirkan benih benih pemikiran baru yang dapat diuji dan dipertanggungjawabkan. Melalui perpindahan serta transformasi nilai nilai dan ilmu pengetahuan inilah, keberadaan objek material maupun tatanan kehidupan sosio politik mampu menyumbangkan arti serta dampak positif yang lebih luas pada sistem pemikiran ilmiah.
Interpretasi
Pembahasan mengenai Kajian Budaya akan selalu berujung pada muatan politis, suatu wilayah pendidikan yang multidisipliner atau bahkan pascadisipliner yang mengaburkan batasan batasan dirinya sendiri dengan disiplin ilmu lain. Meski demikian, oleh karena kajian budaya tidak ingin diberi cap sebagai ‘serba bisa apapun juga’ maka kajian budaya berusaha membedakan dirinya sendiri melalui politik yang dilakukannya.
Kajian budaya secara konsisten mengklaim memusatkan perhatiannya pada isu isu kekuasaan, politik, dan kebutuhan perubahan sosial. Dengan demikian Kajian budaya berisikan sekumpulan teori dan pendiriran politik, termasuk didalamnya penciptaan teori sebagai suatu praktik politik. Bagi kajian budaya, pengetahuan tidak pernah sebagai fenomena yang netral atau objektif. Pengetahuan adalah masalah posisionalitas yang diistilahkan Gray sebagai “siapa yang bisa mengetahui tentang siapa, dengan cara apa, dan untuk tujuan apa.
(materi obrolan sebelum ketemu Seno GA)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar