BAB II
METODE STATISTICAL
STYLE ANALYSIS
Metode
statistik merupakan jembatan penghubung antara ilmu-ilmu sosial dengan
penelitian kuantitatif (Positivisme). Statistik
digunakan untuk mengukur fenomena-fenomena sosial ke dalam grafik-grafik angka untuk kemudian dijadikan parameter yang telah ditentukan yang diambil
dari sampel.
Berbeda
dengan kajian sosial lainnya, statistik
dalam analisis style tidak akan
menempatkan film sebagai sebuah fenomenologi. Statistik dalam analisis style pada penelitian ini digunakan untuk menghitung
parameter formal sutradara, dalam hal ini adalah shot.
Untuk itu
perlu kiranya penulis mengurai tentang teori Statistical Style Analysis atau
Stylometry yang ditawarkan
oleh Barry Salt, serta faktor apa saja yang melatar belakangi teori ini hadir
dan bagaimana bentuk praksis dari teori ini diterapkan.
II. 1. Perkembangan
Analisis Style
Setelah
perang dunia pertama, film mendapat ‘kekuasaan’ penuh sebagai media massa yang
berpengaruh. Kekuatan propaganda melalui medium film sangat efektif sehingga
banyak kelas-kelas tertentu menggunakannya sebagai alat penyampaian gagasan/ide
sampai mempertahankan kekuasaan.
Saat
itu style film tidak lagi dipahami
sebagai apa yang tampak dari visualisasi semata. Hal ini sejalan
dengan kritik Andre Bazin yang merupakan seorang tokoh Realisme dalam
tradisi klasik yang
menyebutkan bahwa kehadiran film bersuara pada masa itu memberi keleluasaan film-maker
membuat ciri khas dalam filmnya dengan melakukan eksperimen-eksperimen style. Seperti memberi stempel personal
dalam proyek film yang
disebut dengan style sutradara.
Teori ini yang selanjutnya berkembang menjadi Auteur/Author Theory. Dialektika
style film Bazin ini terdiri dari
ajaran estetika standar di mana esensi film tidak lagi dilihat melalui
kapasitas film bisu melalui kemampuannya yang hyper-style seperti yang terdapat pada Ekspresionisme Jerman (seperti; setting yang ruang yang dibuat
miring, tidak simetris, pencahayaanyang over-contrast,
contoh film The Cabinet of Dr.
Caligari) maupun
dinamisasi abstrak
seperti yang terdapat pada Soviet Montage,
(benturan dua shot menghasilkan atau memproduksi makna, seperti pada film The
Battleship Potemkin )
Bazin
juga berpendapat bahwa tahun 1950-an merupakan puncak dari perdebatan tentang style film. Perkembangan teknologi film
menguatkan kepercayaannya bahwa long
take, camera movement, depth of field dan istilah-istilah teknis lainnya
sudah tidak relevan lagi sebagai standarisasi style. Ia menyebutnya sebagai akhir dari evolusi style. Selanjutnya dialektika style akan menemukan versi barunya yang
lebih masuk akal pada estetika naratif
film
itu sendiri, sesuatu yang tidak ditemukan pada film-film bisu.
Tumbuh
kembangnya cultural studies juga
mempengaruhi kajian sinema diera
1960-an mempengaruhi cara pandang penelitian
tentang film terutama menyangkut style film.
Pada periode ini film dipandang secara sosial dan ideologis.
Modus yang digunakan selalu mencari tahu siapa atau apa yang berada di balik
semua produksi kultural termasuk sinema.
Cultural studies
sebagai bagian dari tradisi kritis Marxisme selalu mencurigai produk kultural
seperti film pasti digunakan oleh satu atau beberapa pihak dalam masyarakat
untuk meraih atau mempertahankan kepentingan politis-ekonomis tertentu.
Maka analisis style pada periode ini
hadir untuk membongkar ideologi dan agenda politis di balik sebuah film.
Seperti
yang diprediksi Andre Bazin, bahwa style film
akan dilihat melalui estetika narasinya bukan lagi pada penggunaan teknis pembuatan atau visualisasi film. Style film tidak lagi sebatas apa yang
tampil dalam visual sinema melainkan alat untuk mengungkap realitas yang berada
di balik
sinema tersebut.
Menurut
Bazin, film dengan bantuan teknis merupakan ‘fenomena idealis’. Baginya sinema
pada dasarnya adalah sebuah realita yang dimediasi oleh mekanik kamera.
Selanjutnya penelitian/kajian tentang film kemudian selalu dikaitkan dengan
realitas yang ditampilkannya. Sebagai contoh, teknik dissolve
dalam film sering didefinisikan sebagai perpindahan memori pemain atau gambar
pistol dalam film selalu diidentikkan sebagai sesuatu yang maskulin. Dari sini
analisis style berkembang menjadi
satu disiplin dalam kajian sinema dan mencakup beberapa teori-teori film yang
hingga kini masih digunakan dalam kajian sinema.
Bahasa sederhannya adalah Andre Bazin mengkritik apa yang dilakukan
tokoh-tokoh Formalisme klasik seperti Sergei Eisenstein, di mana mereka telah
menciptakan ‘realitas palsu’ dengan memanipulasi materi film, sehingga Bazin
menilai sisi teknis sudah ketinggalan jaman untuk membicarakan dan
menganalisis film, apalagi setelah masuknya film bersuara, yang
terpenting baginya adalah konsep naratif dan realitas atau cara bertutur dalam
menampilkan realitas.
Pemahaman akan konsep naratif inilah yang terus berkembang di era 1950-an.
Pada era tersebut dua arus pemikiran pengetahuan kuat mempengaruhi hampir
seluruh sektor keilmuan termasuk kajian film. Aliran Structuralist dan Post-Structuralist
sedang gencar-gencarnya berdialektika. Apa yang kita pahami sebagai grand theory di kajian film merupakan
bagian dari kedua tradisi ilmu tersebut, termasuk cultural studies.
Sebelum masuk pada inti kritik dan pemikiran Barry
Salt, ada baiknya kita melakukan review kembali
terhadap perkembangan analisis film ke
belakang. Hal ini sebagai gambaran bagaimana posisi dan peta pemikiran Barry Salt dalam teori film.
II.1.1. Pengaruh
Structuralist.
Kuatnya pengaruh cultural studies pada era
1960-an membangkitkan studi tentang film dengan
ontologi yang jauh berbeda dari tradisi film klasik. Sejak saat itu film
dilihat sebagai industri budaya, dan didiskusikan sebagai situs penting bagi
produksi subjektifitas individu bahkan identitas nasional.
Tradisi
strukturalis dalam kajian film banyak
dipengaruhi oleh pemikiran dua tokoh utama yaitu Ferdinand de Saussure dan Claude Lévi-Strauss. Ferdinand de
Saussure (1857–1913) merupakan tokoh
linguistik. Structuralist,
sebagai
sebuah bentuk analisis sosial mengadaptasi dua ide dasar
dari karya Saussure.
1. Terfokus pada relasi
antara teks dan praktik kultural, di
mana
tata bahasa yang memungkinkan memproduksi
makna.
2. Pandangan bahwa makna
senantiasa merupakan hasil dari aksi resiprokal (perubahan yang saling mempengaruhi) antara
teks dan praktik kultural
dipelajari
sebagai analogi terhadap bahasa.
Dengan kata lain, teks dan praktik
kultural dipahami sebagai analogi terhadap bahasa. Strukturlah
yang memungkinkan hadirnya makna. Strukturalisme bertugas mengeksplisitkan
aturan dan konvensi
(langue) yang menentukan produksi
makna (parole).
Sementara Claude Lévi-Strauss (1908 – 2009) adalah seorang antropolog
berkebangsaan Prancis. Inti dari pemikiran Lévi-Strauss adalah mitos, ia
menyatakan bahwa di dalam luasnya heterogenitas mitos dapat ditemukan struktur yang homogen.
Dengan kata lain mitos bekerja seperti bahasa dan tugas antropologi menemukan ‘tata bahasa’ yang mendasari aturan dan
regulasi yang memungkinkan mitos terstruktur berdasarkan oposisi biner.
Menurut
Lévi-Strauss mitos mempunyai fungsi sosio-kultural yang sama dalam masyarakat.
Tujuannya adalah membuat dunia bisa dijelaskan, untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan dunia dan kontradiksi-kontradiksi, dengan kata lain, mitos menyediakan model logis
yang sanggup mengatasi kontradiksi.
Pemaparan keduanya dipublikasikan dalam buku Sixguns And Society karya Will Wright. Dalam buku Sixguns
And Society, Will Wright menggunakan metode strukturalisme dalam menganalisis
film Koboi Hollywood sebagai mitos untuk menunjukkan
bagaimana mitos bekerja dari sebuah
masyarakat. Secara khusus ia mencoba menunjukkan bagaimana film Koboi
menghadirkan konseptualisasi mengenai keyakinan sosial Amerika yang sederhana
secara simbolik.
II.1.2. Pengaruh Post-Structuralist.
Munculnya gerakan menonton film secara kritis
melahirkan sebuah studi baru dalam disiplin ilmu sosial, bersamaan dengan itu
berbagai pendekatan digunakan untuk mengkaji dan menganalisisi film. Post-Structuralist,
hadir hampir bersamaan dengan tradisi Structuralist
yang menjadi ‘rival’nya. Post-Structuralist menolak gagasan yang pada
akhirnya menentukan makna teks atau praktik budaya adalah struktur. Bagi para penganut Post-Structuralist,
makna
senantiasa berada dalam proses dan aliran kemungkinan-kemungkinan yang tidak
ada hentinya.
Arus utama pemikiran Post-Structuralist
berada pada teori dekonstruksi-Derrida. Jacques Derrida 1930–2004) adalah
seorang filsuf Prancis, pemikirannya
banyak dipengaruhi oleh Nietzshe dan
phenomenology Husserl dan Heidegger. Dekonstruksi-Derrida hadir untuk
membongkar oposisi biner-linguistik Saussure dalam Structuralist.
Oposisi
biner ini adalah inti dari sistem perbedaan, Oposisi biner dalam linguistik ini
berjalan seiring dengan hal yang sama dalam tradisi filsafat Barat, seperti:
makna/bentuk, jiwa/badan, transendental/imanen, benar/salah, maskulin/feminin,
idealisme/ materialisme, lisan/tulisan. Oposisi biner pada Structuralist
memiliki hirarki, di mana salah satu dari oposisi selalu
dianggap lebih superior dibandingkan yang lain. Hirarki inilah yang ditolak
oleh Derrida.
Teori
Dekonstruksi Derrida adalah sebuah metode pembacaan
teks. Dengan dekonstruksi ditunjukkan bahwa
dalam setiap teks selalu hadir anggapan-anggapan yang dianggap absolut.
Menurutnya
setiap anggapan selalu
kontekstual: anggapan-anggapan tersebut tidak mengacu
kepada makna final.
Jacques Derrida menunjukkan bahwa kita selalu
cenderung untuk melepaskan
teks dari
konteksnya.
Dengan metode dekonstruksi,
Derrida ingin membuat kita kritis terhadap teks
.
Inilah sebabnya mengapa filsafat Derrida
begitu berlandaskan pada teks, dan mengapa istilah-istilah
kuncinya selalu berubah, karena selalu tergantung pada siapa atau apa yang ia
cari untuk didekonstruksi.
Dalam kajian budaya,
dekonstruksi-Derrida memberi pengaruh penting. Berkat dekonstruksi Derrida, sebuah makna-meaning
tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang mutlak, tunggal, universal, dan
stabil, tetapi makna selalu berubah. Klaim-klaim kebenaran absolut, kebenaran
universal, dan kebenaran tunggal, yang biasa mewarnai gaya pemikiran filsafat
sebelumnya, semakin digugat, dipertanyakan, dan tidak lagi bisa diterima.
Dekonstruksi-Derrida juga mempengaruhi
teori film dan analisis film secara tidak langsung, melalui wacana
sosio-ideologis yang berkembang setelahnya termasuk analisis tekstual film atau
yang lebih dikenal dengan Semiotika film yang diprakarsai oleh Christian Metz,
serta beberapa analisis film populer lainnya seperti Psikoanalisis Lacan.
II.2. Kritik Analisis di Luar Konteks Film (Lahirnya Neo-Formalisme)
Masuknya teori-teori Structuralist dan
Post-Structuralist
dalam
kajian sinema menempatkan film sebagai bahasa atau setidaknya sebagai gejala
yang serupa dengan bahasa, karenanya analisis sinema memola film sebagai teks
untuk lebih jauh menemukan makna (meaning)
dari pola-pola tekstual hasil pembongkaran kemungkinan-kemungkinan wacana yang
ditawarkan dalam sinema. Dengan arti lain, sejak munculnya linguistik dan
semiotik film selalu dianalisis secara tekstual, setidaknya ini mulai terasa
sejak tahun 1970-an.
Kritik
atas analisis teks dalam kajian film pertama kali dicetuskan oleh Victor F
Perkins. Menurut Perkins sinematisasi
film sangat jauh berbeda dengan visualisasi yang dipahami dalam dunia sastra.
Karenanya dibutuhkan kajian yang melihat film melalui jendela yang paling
ontologis di mana
film harus dikaji tanpa ada kaitan dari disiplin ilmu dan seni yang lain.
Ia
kemudian kembali pada tradisi Formalis era klasik, di mana kajian analisisnya
lebih menitik beratkan pada konvensi teknis-Eisenstein dan kekuatan
naratif-Bazin. Bagi Perkins
kedua teori ‘ortodoks’ tersebut sebenarnya mampu menarik film sebagai sebuah
potensi seni menuju praktek ilmiah. Munculnya kritik Perkins dianggap sebagai
awal lahirnya aliran baru dalam teori film, aliran yang disebut sebagai Neo-Formalisme.
Setidaknya
ada tiga point utama kritik Neo-Formalisme terhadapa
teori analisis film sebelumnya atau lebih dikenal dengan grand theory. Hal ini diungkap oleh David Bordwell, Tiga point
tersebut adalah :
1. Teori
analisis film yang ada cenderung membangun doktrinasi terhadap hasil yang ditawarkan. Praktek kultur dalam kajian film
membatasi dirinya pada grand theory
yang hanya membahas ras/kelas/gender tertentu untuk
menemukan faktor kausalitas
dan secara sah menggunakan intuisi sebagai penjelasan fungsional.
2. Teori
analisis film yang ada cenderung menggunakan penalaran yang monoton. Analisis
film yang ada sesungguhnya bukan teori yang menawarkan metodelogi analisis melainkan
hanya berisi kebiasaan-kebiasaan berpikir atau penalaran
yang rutinitas, meski telah berlangsung selama tiga dekade.
3. Teori
analisis film yang dikemukakan dangkal
riset. Terkonsentarsi pada interpretasi dan konteks film, grand theory seperti yang telah disebut pada point pertama hanya
membahas mengenai sesuatu yang tidak empiris dan abstrak. Sesuatu yang sulit
untuk dilakukan riset secara mendalam.
Sehingga untuk
mengakomodir hal tersebut diperlukan adanya teori-teori
tertentu dalam konteks yang tepat
dibanding menggunakan teori yang sama dalam semua
konteks. Neo-Formalisme sendiri memiliki
dua arus besar pemikirin, yaitu: David
Bordwell dengan aliran cognitifism dan Barry Salt dengan aliran scientific realism.
a. Neo-Formalisme David
Bordwell
Asumsi-asumsi
Neo-Formalisme Bordwell berkerja dengan
didasarkan pada dua hal: cinematic poetics dan historical poetics.
Kedua konsep ini diadopsi ke
dalam
konteks di mana
film diproduksi lewat sebuah mode praksis yang akhirnya berpengaruh pada
interaksi gaya dan naratif serta berujung pada film secara keseluruhan.
Pada perkembangannya Bordwell kemudian
memperkenalkan pendekatan film kognitif yang ia adaptasi dari teori psikologi
kognitif . Ia
memperkenalkan konsep schemata
sebagai sebuah sistem pengorganisiran informasi ke dalam kategori-kategori
yang akan dipergunakan kembali . Ketika
kita menemukan situasi baru dengan informasi yang baru pula maka proses pemahaman kita terhadap situasi dan
informasi baru tersebut menjadi lebih mudah.
Dalam konteks menonton film, schemata
berfungsi sebagai sebuah mekanisme psikologis yang berusaha menjelaskan proses
penarikan kesimpulan dan komprehensi cerita ketika kita menonton film-film
naratif.
Prinsip schemata ini bertentangan dengan
psikoanalisa-Marxisme-Lacanian-Althusserian-Post-Structuralist
yang menganggap alam bawah sadarlah yang menggiring penonton film menemukan
makna. Schemata merupakan proses
berpikir sadar seseorang mengkomparasi pengetahuan-pengetahuan yang dimilikinya
dengan apa yang ditonton sehingga penarikan makna berlangsung tidak serumit seperti pada psikoanalisa.
Meski
tidak sepakat pada grand theory namun Bordwell masih mentolerir point ketiga
dari kritiknya sendiri. Point yang menyebutkan bahwa interpretrasi dalam
analisis film menjadikan kajian sinema hanya menerapkan riset yang dangkal.
Dalam bukunya Making Meaning (1989),
Bordwell menyebut bahwa post theory merupakan dasar perhatian dalam analisis dan pemaknaan meaning
ditemui melalui interpretasi. Menurut Bordwell interpretasi
dalam kritik film merupakan sugesti dan alternatif dalam program kajian sinema.
b.
Neo-Formalisme Barry Salt
Arus
kedua dalam Neo-Formalisme dimotori oleh
Barry Salt dengan aliran sciencetific
realism yang diperkenalkannya dalam buku Film Style and Technology : History and
Analysis. Berbeda dengan Bordwell yang masih mentolerir penggunaan
interpretasi dalam kajian film, Salt bahkan
menghindarinya demi
mendapatkan pendekatan yang seilmiah/objektif mungkin.
Dalam
teorinya, Salt menitik beratkan pada pentingnya menghormati kaidah-kaidah
ilmiah/sains ke dalam penelitian sinema. Pada pendekatannya, Salt memijakkan
dirinya pada paradigma Positivisme
(penelitian kuantitatif) sesuatu yang masih asing dalam kajian sinema, di mana sebelumnya kajian
sinema didominasi oleh paradigma kritis yang berada dalam ranah penelitian
kualitatif.
Teori
film yang muncul di era kontemporer sebagai sebuah disiplin ilmu, hanya berisi
motede-metode interpretasi yang erat kaitannya dengan konsep instuisi. Menurut
Salt teori film seharusnya masuk dalam teori praksis karenanya interpretasi
tidak cukup digunakan untuk memahami film.
Banyak yang menganggap
teori Barry Salt mengembalikan tradisi Formalisme
Eisentein, namun yang membedakannya adalah teori
Barry Salt memiliki persamaan ciri dengan
teori-teori yang lahir pada masa Post-Structuralist di
mana
estetika dan efektivitas phenomenologi diabaikan
untuk mengeksplorasi produksi
makna teks sebagai aset strategi diskursif.
Tetapi yang
membedakannya dengan Post-Structuralist adalah
tingkat validitas analisisnya
Oleh karena
skripsi ini mengadaptasi pemikiran Barry Salt maka lebih lanjut akan diuraikan
–siapa Barry Salt- dan seperti apa teori
yang ditawarkan serta kritik yang dilontarkan.
II.3. Biografi dan
Pemikiran Barry Salt
Sebelum
masuk lebih jauh membahas tentang bagaimana teori dan aplikasi Statistical
Style Analysis, ada baiknya penulis memaparkan
tentang biografi singkat Barry Salt sebagai pencetus teori tersebut. Hal ini
setidaknya akan memudahkan kita memahami mengapa teori tersebut hadir, sebab
bisa dikatakan pendekatan yang digunakan Barry Salt dalam teorinya merupakan
sesuatu yang tidak lazim di dunia kajian film, yakni metode pendekatan
kuantitatif. Pendekatan Salt dalam analisis filmnya juga terbilang baru dalam
ranah kajian akademis di Indonesia sehingga biografi ini menjadi awal perkenalan
kita pada Statistical Style Analysis.
Barry
Salt lahir pada 15 Desember
1933, di Melbourne, Australia.
Ia mendapatkan gelar Doktor di
bidang
fisika teoritis ditahun 1960-an di University
of London. Setelah mendapat gelar tersebut ia sempat mengajar fisika dan
mate-matika pada beberapa universitas di London. Pada tahun yang sama
ketertarikannya pada film membuatnya masuk ke London School of Film Technique. Sebelumnya sekitar tahun 1955 and
1956 Salt merupakan anggota klub film klasik sekaligus penari di Ballet Guild Company of Melbourne.
Salt
bekerja secara profesional sebagai cameraman
untuk beberapa film termasuk dokumenter sebelum akhirnya memutuskan untuk
mengajar teknik pembuatan film dan sejarah film di beberapa institusi di London
seperti Slade School di University
Collage
Londondan Royal
Collage of Art. Sampai sekarang ia masih mengajar di London Film School, di
antara
kesibukannya tersebut ia kini juga menjabat sebagai supervisi studio produksi
film 35mm dan menyutradarai beberapa film di studionya tersebut.
Metode
Statistical Style
Analysis yang
dikembangkan merupakan tesis yang diajukannya ketika masih di London School of Film Technique tahun
1968. Satu hal yang ia sinergiskan dengan latar belakang intelektualnya di bidang sains (fisika
dan mate-matika). Menurutnya, sains, pandangan realitas dan dunia nyata
merupakan hubungan pararel dengan teknologi.
Inilah yang menjadi dasar pikirannya dalam bukunya Film Style and Technology : History and Analysis. Baginya sulit
memisahkan pembahasan tentang sejarah perkembangan style-film
tanpa menghubungkannya dengan teknologi.
Pandangan
Barry Salt tersebut banyak mendapat kritikan sebab tidak memiliki pendekatan
teori yang tepat. Karena itu,
Salt berusaha menyusun kerangka konseptual yang jelas tentang teorinya,
dalam hal ini Ia menggunakan sains.
Sebelumnya ia menjelaskan bahwa dengan sains maka pendekatan yang ia gunakan
akan lebih stabil di mana peneliti harus memiliki kesepahaman konsep dan metode
umum yang digunakan dalam penelitian.
Hal yang esensial dalam sains adalah adanya
kesinambungan antara teori, praktek dan
observasi/pengamatan. Dengan kata lain sains merupakan paradigma pengetahuan
yang objektif sebab hasilnya akan selalu sama di manapun. Satu
hal yang luput dari sekian banyak teori yang membahas tentang film.
Salt
melihat, teori-teori film sebelumnya sangat sulit dipahami, tidak rasional,
tidak logis, dan penuh dengan manipulasi verbal. Ia merujuk pada psikologi,
linguistik, antropologi dan sosiologi yang diserap masuk ke dalam teori film. Meski
disebut sebagai ‘human science’ Salt
melihatnya sebagai lelucon yang
mengada-ada, sesuatu yang berbeda dengan sains murni.
Barry Salt mendudukan
pendekatan sainsnya tersebut ke
dalam
filsafat materialisme
–bukan merujuk pada marxist film theory
– namun lebih kepada physicalism minded. Karenanya Salt selalu
menggunakan material film sebagai objek penelitian. Untuk itu hanya diperlukan
satu syarat untuk teori yang ingin dicapainya, yaitu pada hasil penelitian yang
dilakukan harus menghasilkan informasi baru yang pasti tentang style film dan tidak akan berubah untuk
jangka waktu yang lama.
Meski
diakuinya bahwa studi tentang film tidak dapat menjadi sains murni, namun
pendekatan ilmiah secara umum dapat digunakan, di sinilah pentingnya melakukan
penelitian yang valid tentang film. Saat ini Barry Salt telah mengembangkan
program komputer sebagai alat database untuk mengukur style film dalam statistik semacam program SPSS (Statistical
Package for the Social Sciences)
yang
Ia beri nama Cinemetrics
Movie.
II.4. Lahirnya Statistical Style Analysis
Kritik
Salt terfokus pada teori-teori interpretasi film baik yang berada dalam ranah cultural studies bahkan konsep
kognitif Bordwell, bahwa kedua konsep tersebut sama saja menghasilkan interpretasi yang subjektif, sarat akan manipulasi verbal, dan
tidak teruji secara empiris. Kelemahan utamanya adalah persepsi atau
interpretasi yang digunakan sebagai alat dalam
menganalisa yang diragukan
objektifitasnya.
Dalam
pendekatan ilmiah (Positivisme)
interpretasi atau subjektifitas dalam penelitian tidak
memiliki bukti empirik yang dapat mendukung kebenaran hipotesis. Sehingga hasil yang
ditemukan hanyalah berupa asumsi-asumsi yang dapat sewaktu-waktu dibantahkan
bahkan dimentahkan kembali. Inilah yang
coba diklarifikasi oleh Salt dan membuat teorinya sangat berbeda dengan
Bordwell, meski keduanya sepakat bahwa pemaknaan bukan berasal dari intuisi. Salt
mengkritik analisis
yang bersifat interpretatif, bahwa teori teori tersebut :
·
Tidak Memiliki Metode/Rumusan Yang Pasti
Objek penelitian ilmu sosial pada dasarnya berhubungan
dengan interpretasi terhadap realitas. Bahwa
penemuan makna ditemukan melalui pengalaman karenanya setiap orang
memiliki interpretasi sendiri tentang realitas.
Ketika analisis film mengadaptasi ini, maka yang bermain
adalah intuisi, yang akan melibatkan pengalaman seseorang dari bentuk-bentuk seperti religius, moral,
estetis, konseptual, serta indrawi. Sehingga pendekatan ini tidak memiliki
sandaran yang tetap atau rumusan
yang pasti .
Hal tersebut sangat berpengaruh pada hasil penelitian yang tidak sama, bahwa satu objek akan berbeda dengan
menggunakan pendekatan yang sama.
·
Ketidak Konsistenan Interpretasi
Sekali lagi pemaknaan
yang mengandalkan intuisi dan pengalaman peneliti membuat kita terjebak pada
pandangan subjektif yang labil. Sebuah tanda maupun teks seringkali memiliki
makna yang ambigu. Beberapa bahkan terkekang
dalam faktor budaya yang sangat dinamis.
Ketika
seorang kritikus film menggunakan intuisi pribadinya ke dalam proses
interpretasi, maka yang terjadi adalah
kita sebagai penikmat film akan kian tersudut pada pengembangan wawasan dan terjebak sistem
analisa yang sangat subjektif. Ketidak konsistenan interpretasi dalam
penelitian film dapat dilihat dari dua hasil kajian mengenai film Young Mr. Linclon, karya John Ford.
Dalam
artikelnya di Cahiers du Cinema,
Jonathan Rosenbaum dan Bruce Kawin menyebutkan bahwa sorot tajam tatapan mata Mr. Linclon diartikan
sebagai ‘castrating’
(pengebirian) sementara bila dipandang dari sudut psikoanalisa
seperti yang dikutip oleh Peter Wollen dalam artikel lainnya, sorot mata
tajam tersebut dimakanai sebagai ‘phallus’ (penis) yang identik dengan
power (kekuasaan) dan dominasi pria,
serta mewakili simbol pemerkosaan.
Di
sini terlihat jelas kontras perbedaan interpretasi di mana satu sisi
visualisasi tatapan mata Mr. Linclon diartikan
sebagai bentuk ketidakberdayaan
(kelemahan karakter sang protagonis yang dikebiri) sedangkan sisi lain tatapan
mata tajam yang sama dimaknai sebagai
keangkuhan maskulinitas
·
Subjektif dan Tidak
Terukur
Penelitian kualitatif cenderung
menggunakan teks yang bersifat subyektif. Realitas yang dipelajari
dikonstruksikan sesuai dengan nilai sosial yang ada, oleh karenanya pemaknaan
realitas sesuai dengan pemahaman peneliti. Penelitian kualitatif memiliki jalinan variabel yang
kompleks dan sulit untuk diukur.
Hal ini pula yang
menyebabkan sulitnya menghitung tingkat validitas hasil penelitian kualitatif,
sebab hasil penelitian tersebut tergantung kuat atau lemahnya argumentasi yang digunakan peneliti
Faktor-faktor inilah yang
melatar belakangi
Barry Salt melontarkan kritikannya. Bahwa kelemahan paling
mendasar dalam menggunakan
persepsi dan interpretasi dalam menganalisis film
hanya akan memetakan film menjadi dua kelas; yang bagus
dan yang buruk seperti yang dilakukan oleh teori auteur yang dipopulerkan oleh Andrew Sarris. Sehingga, sutradara auteur pasti lebih unggul dibanding sutradara yang bukan auteur.
II.5. Statistical
Style Analysis;
Pendekatan Kuantitatif Dalam Analisis Film
Menurut Salt kajian film yang ideal harusnya meneladani aspek-aspek positif
yang ada pada sains yang lebih stabil
dan mapan, meski diakuinya bahwa kajian film sulit menjadi sains murni. Namun
hal ini akan menghindari para
peneliti terjebak dalam retorika spekulatif. Sebab masing-masing kritikus film,
sineas dan para pelaku film memiliki motif agenda, ekspektasi, maupun latar
belakang sosio ekonomi serta budaya
sendiri dalam mengambil sikap yang
berkenaan dengan proses interpretasi sinema.
Ketika
seorang kritikus film menggunakan intuisi pribadinya ke dalam proses
interpretasi, maka yang terjadi adalah
kita sebagai penikmat film kian tersudut
pada pengembangan wawasan dan terjebak sistem analisa yang sangat
subjektif.
Karena itu Barry Salt menyerukan
pentingnya seorang reviewer/ kritikus
film untuk lebih mempertimbangkan aspek teknis ke dalam rumusan
interpretasi filmnya. Hal ini yang
menurut Salt menjadi kekurangan yang menonjol dikalangan kritik akademis saat
ini.
Berpegangan pada
aspek konstruktif dalam
memformulasikan rumusan teori
filmnya, Salt kemudian menggunakan metode analisis dan evaluatif yang
seobjektif mungkin dalam menelaah lebih dalam tentang berbagai unsur dalam sinema. Metode analisis dipandang perlu demi menguji
seberapa tinggi tingkat akurasi rumusan
teori yang digunakan, demikian juga halnya dengan metode evaluatifnya.
Salt
menggunakan statistik dalam perhitungan style, yang difungsikan sebagai alat dalam menjumlah
data kemudian merepresentasikan data tersebut sebagai aturan dasar yang
bersifat tetap atau final. Dalam analisis style, statistik digunakan
menganalisa atau lebih tepatnya mengukur-style. Statistical Style Analysis sendiri
secara spesifik memiliki tiga tujuan standar, yaitu:
1.
Menawarkan analisis style dengan menggunakan pendekatan
kuantitatif.
2
Menghindari
sengketa teks.
3
Untuk mengidentifikasi kronologis film ketika adegan atau
urutan komposisi tidak jelas atau tidak runut.
Dengan memasukkan statistik
sebagai alat analisanya, Salt berhasil menghindari hubungan style dan tema
sebuah film, bahwa style
dalam film lebih dari sekedar kepentingan estetika semata.
Statistik sendiri
dikenal sebagai jembatan penghubung antara ilmu-ilmu sosial dengan penelitian
kuantitatif (Positivisme). Statistik digunakan untuk mengukur
fenomena-fenomena sosial ke dalam grafik-grafik angka untuk kemudian
digeneralkan. Namun alih-alih menggunakan fenomena sosial, Statistical Style Analysis
sama sekali tidak ditujukan untuk pengamatan perilaku
dan konstruksi sosial masyarakat. Ia
malah kembali pada tradisi Formalisme
klasik di mana objek penelitiannya
terfokus pada material film itu sendiri. Dan
statistik digunakan Salt untuk menghitung aspek style sebuah film.
Salah
satu tujuan yang ditawarkan dalam Statistical Style Anlysis adalah
penggunaan pendekatan kuantitatif dalam analisis style. Seperti yang
diketahui, teori-teori film sebelumnya baik yang klasik maupun yang modern
sama-sama menggunakan pendekatan kualitatif dalam penelitiannya. Di mana Penelitian
kualitatif dimaksudkan untuk mengungkapkan gejala atau fenomena secara
kontekstual melalui pengumpulan data dari latar alami objek dengan memanfaatkan
diri peneliti sebagai instrumen kunci.
Karena
menempatkan penulis/peneliti sebagai instrumen utama, maka penelitian kualitatif bersifat deskriptif
dan cenderung menggunakan analisis dengan pendekatan induktif. Sayangnya hasil
penelitian kualitatif tidak dapat diterapkan secara holistik (menyeluruh) atau
tidak dapat digeneralisir untuk kepentingan penelitian yang lainnya sebab
metode ini tidak bertitik tolak dari sampel.
Kurangnya minat menggunakan pendekatan kuantitatif
dipengaruhi oleh stigma dehumanisasi yang dilakukan pada metode tersebut.
Stigma ini hadir dikarenakan metode penelitian kuantitatif mereduksi
pengalaman-pengalaman manusia ke dalam angka-angka statistik semata tanpa
melihat keunikan manusia sebagai individu yang memiliki perbedaan satu sama
lain.
Namun
hal tersebut dibantah Barry Salt, menurutnya penelitian film yang ideal harus
menempatkan film sebagai mana film adanya. Bukan melakukan manipulasi terhadap
hasil penelitian film tersebut. Hasil penelitian dengan
pendekatan kualitatif seperti, semiotik,
linguistik ataupun psikoanalisis
menurut Salt hanya menggambarkan film/dunia sebatas kata-kata sedangkan
kata sendiri memiliki banyak keterbatasan.
Ia
juga menganggap analisis style tidak
hadir untuk menghakimi siapa dan apa yang ada di balik sebuah film sebab style merupakan unsur empiris dalam film
yang dapat dihitung secara matematis dan sistematis tanpa harus melakukan
manipulasi baik verbal maupun psikis pada hasil akhirnya
Barry Salt menitik beratkan kajiannya pada kaidah ilmiah yang
logis, rasional dan objektif. Meski dianggap melakukan dehumanisasi, baginya penelitian film tidaklah semudah sekedar menonton film
lalu memindahkan pengalaman tersebut dengan dukungan teori-teori manipulatif.
Analisis style kuantitatif di sini melibatkan metode
statistik dengan
tujuan utamanya
adalah mengumpulkan jumlah dan frekuensi data parameter formal sutradara kemudian diwakilkan ke dalam grafik, dan
presentase variabel.
Menurut Salt menggunakan perasaan mungkin dengan mudah dapat
mengidentifikasi perbedaan style beberapa sutradara, namun bila diamati secara
detail, ide tersebut sangat meragukan. Dengan melakukan pengamatan dan
membandingkan secara statistik maka bisa
jadi kita
mendapatkan hasil yang berbeda
bisa pula menghasiklan hasil yang sama namun yang membedakannya adalah
akurasi data yang tentunya lebih pasti dan stabil.
II. 6.
Statistical
Style Analysis; Teori Praksis.
Teori Praksis yang dimaksud di sini adalah penerapan
sebuah metode ke dalam bentuk kongkrit yang diawali dari memilah sampel,
mengkonstruksinya menjadi sebuah data, menganalisa, lalu mengevaluasi data. Hal
ini bertujuan agar hasil analisis data yang didapatkan adalah hasil yang akurat, teruji dan
sistematis. Bentuk tindakannya dalam skripsi ini akan diurai
pada bab IV, di mana film sampel yang telah ditentukan yang akan diolah menjadi
sebuah variabel data yang berujung pada evaluasi data tersebut.
Barry Salt menilai
bahwa melalui suatu konstruksi pola yang terukur, style seorang sutradara dapat
terdeteksi melalui parameter formal yang diterapkan ke dalam filmnya. Ia merepresentasekan parameter
formal
tersebut ke dalam grafik batang dan persentase. Parameter formal yang dimaksud di sini adalah
wilayah kerja dari sutradara yang bisa diuji secara empiris.
Seperti yang dikemukakan Eisenstein
sebelumnya bahwa style adalah yang paling empiris dalam film dengan shot
sebagai satuannya maka elemen dari shot inilah yang kemudian diolah menjadi
data mentah, Salt menkonstruksi data-data ini ke dalam bentuk diagram, grafik,
dan persentase, dan dari hasil pembacaan atas parameter tersebut bisa
memberikan gambaran tentang style
seorang sutradara.
Metode teori
praksis ini akan digunakan oleh penulis untuk menganalisa empat sampel dari film Chaerul Umam seperti
yang telah dijelaskan sebelumnya. Namun lebih lanjut penulis akan mengurai
elemen apa saja yang nantinya akan dianalisa.
Dengan mengaplikasi Stylometry dari Barry Salt, maka penulis memilih elemen shot sebagai parameter yang digunakan.
Adapun elemen shot yang dimaksud
adalah;
A.
Average Shot Length
Konsep Averege Shot Length (ASL)
merupakan
panjang dari film dibagi dengan jumlah shot didalam film, yang dapat
dinyatakan
sebagai panjang fisik
yang sebenarnya dari film atau lebih dikenal sebagai durasi. Sebelumya untuk film yang menggunakan bahan baku celluloid dan film bisu, digunakan
satuan feet
yang diambil dari panjang pita celluloid, namun hal ini
menimbulkan persoalan di mana kecepatan proyektor film mempengaruhi durasi film. Untuk itu Barry
mengganti satuan ASL menjadi detik,
ketika
perbandingan dilakukan dengan film-film yang dibuat pada masa yang berbeda atau format yang berbeda seperti format video ataupun
digital.
Dalam penghitungan statistiknya, Barry
merekomendasikan beberapa cara untuk memilih interval waktu yang digunakan
dalam menghitung ASL, yaitu :
1.
Gunakan
interval waktu per satu menit atau 60 detik pada film dalam cakram digital (CD)
atau 100-feet pada film 35mm.
2.
Lakukan
perhitungan jumlah tipe shot dalam angka (misalnya 50 tipe shot) kemudian
hitunglah jumlah shot dari keseluruhan tipe shot yang ada.
3.
ASL
atau panjang rata-rata shot didapat dari perhitungan interval waktu keseluruhan
scene dalam film. Kemudian hitunglah jumlah shot seluruhnya. Jika scene berlangsung 2 menit (120 detik)
dan jumlah shot setiap scene adalah
12 maka ASLnya
adalah 10 detik.
Jumlah
Durasi
Jumlah
Shot
|
Secara
sederhana ASL didapatkan melalui rumus berikut :
B.
Shot
Scale atau Type of Shot
Pada mulanya Barry mendapatkan skala shot kebanyakan dari data-data untuk ASL
(scene dan jumlah shot) dan hasil persentase terbalik dari
potongan angle yang diambil dari 30 menit panjang film atau setidaknya 200 shot. Namun kriteria tersebut tidak
memuaskan dengan range error mencapai
lebih 10%. Karenanya
distribusi skala shot sekarang
diambil dari keseluruhan panjang film. Adapun tipe shot yang dihitung adalah :
1. Big Close Up
(BCU)
2. Close Up
(CU)
3. Medium Close Up
(MCU)
4. Medium Shot
(MS)
5. Medium Long Shot (MLS)
6. Full Shot (FS)
7. Long Shot
(LS)
C.
Camera Work-Movement
Tren
menggunakan gerak kamera yang luas muncul pada penghujung era film bisu hingga memasuki
periode film bersuara. Hal ini memunculkan perbedaan antara jumlah shot dengan gerak kamera (camera movement).
Perdebatanpun muncul tentang apakah gerak kamera merupakan salah satu bagian
dari style sutradara di mana gerak
kamera tidak menampakkan kerja-kerja sutradara didalamnya melain kerja Cameraman.
Namun
menyadari bahwa gerak kamera berada dalam kewenangan sutradara dalam hal ini
kamera bergerak sesuai keinginan sutradara,
maka bahwa camera
movement merupakan bagian dari style
sutradara.
Adapun
penghitungan skala camera movement mencakup
:
1.
Pan
2.
Tilt
3.
Track
4.
Crane
5.
Zoom
Dengan
menerapkan ketiga elemen tersebut, diharapkan nantinya bisa memberikan hasil
yang konkrit melalui data yang diperoleh, untuk lebih lanjut pemaparan
tentang pengaplikasian serta analisis
dari parameter tersebut akan diurai pada bab III.
Elsaesser, Thomas
& Warren B, Studying Contamporary
American Film; A Guide To Movie Analysis, Hal. 103
Salim, Agus, Teori
dan Paradigma Penelitian Sosial, Hal. 85