Sebuah pertanyaan sederhana ketika dalam FFI 2006 ada kategori
kritikus film Terbaik. Dari moment ini saya berfikir ini adalah sebuah profesi
unik, khususnya dalam dunia sinema, karena ia memberikan bobot tersendiri
ketika film telah disajikan. Dari hal ini muncul pertanyaan, sepenting apakah
analisis dalam film? Lalu hal apakah
yang utama ketika sebuah film dianalisa?
Kata ‘analisa’ atau ‘menganalisa’ adalah sebuah pekerjaan yang
harus memiliki kerangka teori
sehingga kita tak mungkn luput dari teori film/ film theory, yang nantinya
akan menuntun kita menganalisa sebuah film. Meurut Dudley Andrew, teori film
adalah suatu pekerjaan dimana teoritikus film membuat dan menguji kembali
ucapan ucapannya memnganai film atau beberapa
elemen tentang film. Mereka bisa
melakukan bisa berdasarkan alasan teoritis atau hal hal yang bersifat praksis,
teknis. Dalam dunia praktis, teori film mampu menjawwab permasalahan
permasalahan dalam pembuatan film, seperti pemilihan jenis kamera, format bahan
baku, dsb. teori film telah mempertegas apa yang pembuat film pahami secara
intuitif.
Dalam sejarahnya, sejak media film lahir, teori film terus
berkembang seiring jamannya dan menyisakan tokoh tokoh perfilman akan sumbangan
pemikirannya. Singkatnya, ada dua teori film dikenal secara garis besar yakni
teori film Klasik (1916- 1958) dengan
tujuan menjadikan film sebagai seni. Dan
teori film kontemporer yang merupakan perkembangan eksplanasi teori
film Klasik dengan tujuan Film menjadi disiplin ilmu. Dari perkembangan teori
film inilah maka film bisa dibedah
kedalam kajian disiplin ilmu manapun.
Dalam media film memuat begitu banyak elemen yang saling
mendukung sebuah keutuhan film. Secara umum terdapat dua elemen center dalam
film yakni Form (bentuk) dan Style (gaya), jika pada form bermuatan
konsep naratif, teks, makna, dll. Maka pada style memiliki muatan yang lebih
bersifat teknis.
Dalam tulisan ini, penulis akan fokus pada analisa style sebuah
film, hal ini menjadi utama bagi penulis karena elemen style ini berbicara
tentang teknis dalam film yang nantinya akan mengemas teks sebuah film, sehingga elemen style ini sangat berkaitan
erat dengan sejarah dan teknologi yang
menjadi perangkat utama dalam film. bila film diibaratkan sebuah buah, maka
style merupakan tampak luar atau kulit dari sebuah film. Dan dari sinilah peran
atau cirikhas seorang sutradara bisa
terlihat, dari analisa style pula yang menghadirkan konsep genre, hingga gaya
film dari negara tertentu lahir dari analisa ini, seperti Ekspresionisme Jerman,
Montage Rusia, Neo-Realisme Italia, dll.
Telah disebutkan sebelumnya bahwa perkembangan teori film telah
menjadikan film sebagai disiplin ilmu, yang tentunya film dapat dianalisa dari berbagai persfektif
dan lintas disiplin ilmu yang lain, seperti Semiotika, Psikoanalisa, dll. Yang
bila dikategorikan disiplin ilmu tersebut merupakan bagian dari ilmu2 sosial
bukan dari materi film itu sendiri.
Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah ada analisa film yang
menerapkan materi film sebagai
epicentrum penilitiannya atau analisisnya? Karena disiplin ilmu yang
menganalisa film dan berkembang saat ini lebih bersifat subjektif dan
melahirkan hasil analisa yang subjektif pula.
Eisenstein mengungkapkan bahwa Style film adalah sesuatu yang
paling empiris oleh karena dia (style) itu empiris makanya ia bisa diukur
secarah ilmiah dan dimaknai.
Mempertanyakan Kaidah
Sains Dalam Teori Film
Meski terbilang baru dalam
ranah akademik, kajian tentang film nyaris sama tuanya dengan medium film itu
sendiri. Ini dimulai dari tradisi menonton kritis di Eropa Barat dan Amerika antara dekade
tahun 1960 dan 1970. Setidaknya dalam mempelajari film baik secara teoritis
maupun metodelogis, ada tiga aktifitas penting
yang membingkainya, yaitu :
1.
Teori film,
2.
Kritik film,
3.
Sejarah film.
Dalam teori film dewasa ini memiliki cakupan konsep yang berbeda-beda dan
saling melengkapi satu sama lain dalam rangka mendekati film sebagai objek
studi tersendiri. Setidaknya ada dua pendekatan yang membentuk teori-teori film
yang berkembang hingga saat ini.
1.
Wacana formal-estetik yang
menitikberatkan pada aspek formal film sebagai sebuah art form
2.
Wacana kritik yang
menitik-beratkan pada aspek sosio-kultural-ideologis yang terkandung dalam
sebuah film[1].
Kedua pendekatan tersebut
menghadirkan tradisi teori yang berbeda. Teori lama dalam hal
ini merujuk pada
teori film klasik dimana pada fase ini teori film mencoba untuk memberi nilai
spesifik pada sinema[2].
Bagi teori film klasik, sinema harus dilihat ontologinya: apakah sinema/film
itu, apakah dia seni, apa yang membuatnya bisa disebut seni, dan apakah
tujuannya.
Teori film klasik ini melahirkan dua tradisi besar yaitu formalisme dan
realisme. Keduanya beranggapan bahwa film harus selalu dinilai dari kegunaan
artistiknya[3] namun dengan sudut pandang dan argumentasi
yang berbeda.
Tradisi formalisme yang pertama kali mempromosikan wacana ‘film sebagai
seni’ dalam tradisi teori film klasik dengan Sergei Eisenstein, Lev
Kuleshov, dan Dziga Vertov, sebagai pelopor dalam tradisi tersebut. Rudolf
Arnheim dalam bukunya Film as Art (1932) menyebutkan bahwa film bisa
meraih statusnya sebagai ‘seni’ ketika film punya esensinya sendiri dan
terbukti berbeda dengan esensi seni yang lain, seperti seni rupa dan teater.
Potensi estetis film justru terletak pada keterbatasan mediumnya; ketika
film terbukti tidak bisa menghadirkan kenyataan sehari-hari sepersis aslinya,
maka disitulah film bisa menggali potensi kreatifnya sendiri. Berbeda dengan
Arnheim, Eisenstein dan Kuleshov lebih fokus terhadap material film itu
sendiri. Keduanya mendalami kemungkinan dimana film bisa disusun oleh beberapa shot
untuk melahirkan makna tertentu, fenomena yang kemudian dikenal dengan teknik montage.
Tradisi film klasik menunjukkan bahwa
keterbatasan film dalam menangkap realitas justru memungkinkan film untuk
memanipulasi fungsinya dari sekedar media perekam menjadi alat pencerita yang memiliki kuasa menyedot penonton kedalam dimensi yang sama sekali
berbeda.
Tradisi kedua dalam teori film klasik
adalah realisme yang membantah keterbatasan film dalam tradisi formalisme.
Realisme memperluas pembahasan mengenai film pada topik-topik yang lebih luas
seperti proses representasi dan realitas sosial. Realisme pertama kali
dicetuskan oleh kritikus film Prancis André Bazin. Ia berpendapat bahwa
kekuatan terbesar sinema justru terletak pada kemampuannya menghadirkan kembali
realitas sebagaimana aslinya.
Realisme Bazin berpandangan teknik montage merupakan bentuk
pemaksaan sutradara dalam menyusun sebuah totalitas shot-shot yang bersifat fragmentaris. Dalam konteks ini, montage akan merusak
realitas dengan cara menyusun shot-shot hanya untuk menimbulkan efek
atau ide tertentu. Sementara, penganut realisme ingin menjaga kontinyuitas
temporal dan kesatuan spasial dimana hal ini merupakan posisi ontologis
daripada estetis film.
Tradisi kedua adalah teori film baru dalam hal merujuk kepada teori film modern (1970-1980-an). Tradisi
yang muncul dari kuatnya pengaruh cultural
studies pada dekade tersebut. Mazhab ini memandang film sebagai sistem yang terstruktur dan tertutup. Juga sebagai ilusi dari
realitas.
Dari sudut epistemologi,
aliran ini memandang hidup secara ideologis. Estetikanya adalah bagaimana
sebuah film menciptakan makna yang tersembunyi. Sehingga tradisi ini tidak
menggunakan material film sebagai bahan analisisnya seperti yang dilakukan oleh
teori film klasik.
Pendekatan ini berupaya
untuk melihat film secara sosio-ideologis, menganalisa apa yang menjadi
representasi dalam film baik dari segi style maupun narasinya, lalu mencari
pola hubungannya dengan konsep sosial-politis (biasanya yang dianut oleh
peneliti film itu sendiri).
Pada fase ini pengaruh Marxis sangat kental. Jika sebelumnya kajian tentang
film banyak meminjam teori dari bidang seni lain –terutama sastra dan teater –
maka pada periode ini paham marxis selalu melakukan ‘penetrasi’ terhadap
teori-teori yang digunakan membahas film[4].
Modus yang digunakan selalu mencari tahu siapa atau apa yang berada di
balik semua produksi kultural. Cultural
studies sebagai bagian dari tradisi kritis marxisme selalu mencurigai
produk kultural seperti film pasti digunakan oleh satu atau beberapa pihak
dalam masyarakat untuk meraih atau mempertahankan kepentingan politis-ekonomis
tertentu[5].
Teori yang berkembang pada fase ini antara lain semiotika,
psikoanalisis-Marxian, feminisme, postmodernisme, Auteur, dll. Dari keseluruhan
teori yang berkembang tersebut dapat dilihat bahwa analisis film pada tradisi ini
menjadikan persepsi dan interpretasi menjadi tujuan utama dalam menentukan apa
sebenarnya film itu.
Kelemahan paling mendasar
dalam menggunakan
persepsi dan interpretasi dalam menganalisis
film hanya akan
memetakan film menjadi dua kelas; yang bagus/baik dan yang jelek/buruk seperti
yang dilakukan oleh teori auteur yang
dipopulerkan oleh Andrew Sarris[6]. Dimana menurut Sarris, sudradara Auteur
pasti lebih unggunl dibanding sutradara yang bukan Auteur.
Kelemahan dalam teori film
modern inilah yang melatarbelakangi seorang praktisi dan sejarawan film
berkebangsaan Australia bernama Barry Salt melontarkan kritikannya[7].
Setidaknya menurut Salt ada 3 hal yang
menjadi kelemahan dalam teori film modern :
(1) ketidak-konsisten-an dalam menginterpretasi film,
(2) Tidak adanya rumusan/ kriteria yang pasti,
(3) Subjektif / kriteria tergantung dari intepretasi sang kritikus. Secara garis besar kritik Salt menyebutkan bahwa teori-teori
film yang ada jauh dari kaidah-kaidah sains/ilmiah.
Menurut Salt kajian film yang ideal harusnya
meneladani aspek-aspek positif yang ada
pada sains yang lebih stabil dan mapan,
meski diakuinya bahwa kajian film sulit menjadi sains murni. Namun hal ini akan menghindari para peneliti
terjebak dalam retorika spekulatif. Sebab masing-masing kritikus film, sineas
dan para pelaku film memiliki motif agenda, ekspektasi, maupun latar
belakang sosio ekonomi serta budaya
sendiri dalam mengambil sikap yang
berkenaan dengan proses interpretasi sinema. Belum
lagi muncul pertanyaan siapakah yang pantas memberikan interpretasi terhadap
film? Yang menimbulkan polemik berkepanjangan.
Pada
akhirnya ketika seorang kritikus film menggunakan intuisi pribadinya kedalam
proses interpretasi, maka yang terjadi adalah
kita sebagai penikmat film akan kian tersudut pada pengembangan wawasan dan terjebak sistem
analisa yang sangat subjektif.
Karena
itu Salt menyerukan pentingnya seorang reviewer/
kritikus film untuk lebih mempertimbangkan aspek teknis, yang antara lain melibatkan depth of field, editing, shot selection, dsb kedalam rumusan
interpretasi filmnya. Hal ini yang menurut Salt menjadi kekurangan yang menonjol dikalangan
kritik akademis saat ini.
Berpegangan pada aspek konstruktif dalam memformulasikan
rumusan teori filmnya, Salt kemudian menggunakan metode analisis dan evaluatif
yang seobjektif mungkin dalam menelaah lebih dalam tentang berbagai unsur dalam
cinema. Metode analisis dipandang perlu demi menguji seberapa tinggi tingkat akurasi rumusan teori yang
digunakan, demikian juga halnya dengan metode evaluatifnya.
Analisa
film versi Barry Salt terbagi atas tiga unsur, yaitu :
1)
Berdasarkan Konstruksi
teknisnya (jenis kamera yang digunakan, ukuran lensa, angle, editing, art
direction dan tata ruang)
2)
Style (executive and
artistic decision) sang sutradara. Dimana menurut Salt faktor kedua ini lebih
banyak diabaikan dalam perumusan teori film dewasa ini.
3)
Dan yang terahir dan
relatif kurang signifikan dari dua faktor diatas adalah film dapat dianalisa
dengan mengukur seberapa besar tingkat respon dari penonton.
Sedang
dalam kriteria evaluasi film, Barry mengklasifikasikan 3 aspek utama yaitu; (1)
Originalitas, (2) Pengaruh film tersebut dengan film lainnya dan (3) seberapa
besar visi dan pengaruh kreatif sang filmaker terpenuhi dalam film garapannya.
. Mencari Satuan Matematis Analisis Film
Ketidakpuasan Salt terhadap metodelogi yang tawarkan teori film yang ada
disebabkan teori-teori tersebut jauh dari paradigma ilmiah dimana objektif, rasional (terukur) dan sistematis merupakan syarat mutlak dalam penelitian.
Setidaknya, menurut Salt kajian film harus menghormati kaidah-kaidah ilmiah
jika ingin dikategorikan sebagai sebuah Ilmu.
Hal ini menuntut
pendekatan Salt menemukan objek yang paling empiris dalam sebuah film, sehingga
memudahkannya untuk melakukan perhitungan. Salt kemudian merujuk pada
pernyataan Eisentein, dimana ia menyebut style merupakan sesuatu yang paling
mudah diidentifikasi dalam film. Jika film diibaratkan sebuah buah, maka style
merupakan tampak luar atau kulit dari sebuah film.
Style film sendiri dikenal
sebagai teknik film maker atau sutradara dalam memberi makna atau nilai
tertentu dalam filmnya. Hal ini dapat mencakup semua aspek dalam pembuatan film
seperti sound, mise-en-scene, dialog, sinematografi,
ekspresi, dll.
Style terutama yang berada
dalam kendali sutradara merupakan hal yang paling empiris dalam film dan dapat diukur melalui parameter shot. Pada pendekatannya Salt merujuk style kepada satu set pola terukur
yang signifikan dan menyimpang dari norma-norma kontekstual.
Metode pengukuran style ini dikenal sebagai stylometry dengan shot
sebagai satuannya. Metode yang diperkenalkan Salt ini kemudian lebih akrab
disebut Statistical Style Analysis.
Pada pendekatannya tersebut Salt menggunakan fungsi dasar
statistik untuk mengukur atau menjumlah data kemudian merepresentasikan
data tersebut sebagai aturan dasar yang bersifat tetap atau final. Dalam metode ini statistik
digunakan untuk menganalisa atau lebih tepatnya mengukur-style.
Metode statistik dalam kajian sinema
menjadikan penelitian film menjadi lebih sistematis, terukur dan lebih objektif. Tujuan utamanya adalah mengumpulkan jumlah dan
frekuensi data parameter formal sutradara
kemudian diwakilkan ke dalam grafik, persentase, dan rata-rata panjang
tiap shot (Average Shot Lenght / ASL).
Pendekatan statistik dalam penelitian film memberikan hasil secara visual angka-angka
yang lebih jelas dan sistematis. Statistical style analysis sendiri secara spesifik
memiliki 3 tujuan standar, yaitu:
1.
Menawarkan analisis style dengan
menggunakan pendekatan kuantitatif.
2.
Menghindari
sengketa teks yang berkaitan dengan atribut kepenulisan
3.
Untuk mengidentifikasi kronologis film
ketika adegan atau urutan komposisi tidak jelas atau tidak runut.[8]
Dengan memasukkan statistik sebagai alat
analisanya, Salt berhasil menghindari hubungannya antara style dan tema sebuah film, sesuatu yang
menjadi fokus pada teori sebelumnya
yang ’mati-matian’ membantah asumsi bahwa tampilan scene dalam
sebuah film (gerakan kamera, tata cahaya, dll) hanya keperluan estetika semata[9].
Analisis style dalam pendekatan statistik menunjuk satu set pola terukur yang
secara signifikan menyimpang dari norma kontekstual film. Tujuannya
adalah mengindetifikasi style
individu sutradara dengan mengumpulkan data parameter formal secara sistematis
terutama yang berada dalam kendali langsung sutradara seperti Duration of the shot (termasuk panjang rata-rata per-shot, atau Average shot length/ASL), Shot scale, Camera movement.[10]
Dalam teorinya, Salt merujuk style
kepada satu set pola terukur yang signifikan dan menyimpang dari norma-norma kontekstual. Ia menggambarkan style seorang sutradara merupakan
parameter formal mereka yang tersistematis dalam filmnya. Ia kemudian
merepresentasekan parameter formal ini ke dalam grafik batang dan persentase[11].
Walaupun
terkesan masih asing bagi dunia kajian sinema namun pendekatan Salt sangat
menarik perhatian penulis dan patut untuk diaplikasikan dalam film-film
Indonesia. Karena itu, pada penelitian kali
ini, penulis ingin mengaplikasikan Statistical style analysis-Barry
Salt untuk menganalisis film-film Indonesia.
Buah Pemikiran para tokoh Film
Rudolph Arnheim, salah satu tokoh
pemikir, mengacu kepada adanya potensi perubahan dari pembuatan film dari
aslinya, dikarenakan adanya pilihan framing, sudut kamera, dan pencahayaan.
Maka, proses pengeditan menjadi akar dari teori ini.
Lev Kuleshov melakukan eksperimen
dengan mengedit rekaman bersama-sama dengan cara yang berbeda untuk menentukan
dampak pada penonton. Hal itu menunjukkan bahwa penonton menjadi penentu
hubungan dari bidikan satu ke bidikan lainnya.
Sergei Eisenstein berpendapat bahwa
potensi tertinggi dalam pengeditan terletak pada tabrakan gambar yang berbeda
untuk menghasilkan ide-ide baru.
André Bazin dan Siegfried Kracauer
menjelaskan bahwa film tidak memproduksi dunia yang telah dikenal oleh
penonton, tetapi mengungkapkan apa yang tidak diketahui sebelumnya oleh
penonton. Dalam hal pengeditan, teori realis juga tidak sepaham dengan teori
formatif. Bazin percaya bahwa jika sebuah film harus diedit, maka harus
mengalami pengeditan yang berkelanjutan, di mana tindakan pengeditan dibagi
persusunannya, lalu kemudian disusun kembali. Oleh karena itu, Bazin menyukai
pendekatan sinematik yang mengambil take panjang, yaitu membidik seluruh adegan
dalam satu bidikan yang terus-menerus dengan fokus yang nampak sama. Bazin
menekankan bahwa para pembuat film harus bebas saat membuat film dengan
melakukan berbagai pendekatan sinematik, bukan menenakankan pengeditan.
Setelah itu, banyak teori bermunculan,
teori ini dikembangkan dari ilmu sosial, misalnya teori lingusitik oleh
Ferdinand de Saussure dan teori psikoanalisis oleh Jacques Lacan. Teori ini
juga harus dipahami dalam konteks sejarah, bahwa film diproduksi sesuai
lingkungan sosialnya, misalnya tentang hak-hak sipil, hak perempuan, dan
gerakan antiperang pada zaman tersebut. Ide-ide tradisional tentang gender dan
seksualitas juga menjadi tantangan dalam film.
Hingga muncul teori baru, Teori
Marxis dan Teori Film Feminis. Marxisme merupakan tantangan kapitalisme,
sedangkan feminisme merupakan tantangan patriarki, yang sama-sama menjadi
ideologi dominan dalam budaya pada saat itu. Marxisme mendukung untuk
mengakhiri penindasan kaum miskin dan kelas pekerja, sementara feminisme
mendukung untuk mengakhiri penindasan perempuan. Kedua perspektif tersebut
digunakan dalam berbagai kritik pada film. Teori ini dianggap dapat mendorong
kelanjutan ideologi penindasan dalam struktur-struktur lainnya, sehingga mereka
hanya dianggap sebagai koreksi dalam perfilman.
Setelahnya, Teori Film sekali lagi
berubah arah. Teori baru menolak asumsi dasar dari teori materialis, namun
secara implisit mengakui kekakuan sistematis yang mereka bawa ke studi tentang
film. Teori baru ini dicontohkan pada karya Gilles Deleuze. Film sebagai bahasa
sistem atau kode yang harus dipecahkan untuk menemukan makna yang tersembunyi
di dalamnya. Deleuze berpendapat bahwa film sebagai gambar dan suara yang
kompleks.
Perkembangan Teori
1930-an, Teori Formatif, yaitu:
film bukan sekedar rekaman gambar, karena adanya
potensi perubahan dari pembuatan film dari aslinya, dikarenakan adanya pilihan
framing, sudut kamera, dan pencahayaan, maka, proses pengeditan menjadi akar
dari teori ini.
meskipun Teori Film dari masa pergantian abad melalui tahun
1930-an berbeda-beda sesuai fokus dari tokoh pemikir masing-masing, tetapi
mereka menekankan pada perubahan sebuah film dikarenakan alat-alat yang ada.
1945-an (Setelah Perang Dunia II), Teori Realis,
yaitu:
kualitas film terletak pada kemampuannya menangkap
hal-hal yang nyata dan realis
film tidak memproduksi dunia yang telah dikenal oleh
penonton, tetapi mengungkapkan apa yang tidak diketahui sebelumnya oleh
penonton.
pembuat film harus bebas saat membuat film dengan
melakukan berbagai pendekatan sinematik, bukan menenakankan pengeditan.
1960-an, Teori Materialis, yaitu:
tindakan dan kesadaran manusia dibentuk oleh materi
sebagai kekuatan pokok yang ada di luar kendali individu. eori dikembangkan
dari ilmu sosial, misalnya teori lingusitik oleh Ferdinand de Saussure dan
teori psikoanalisis oleh Jacques Lacan.
film diproduksi sesuai lingkungan sosialnya, misalnya
tentang hak-hak sipil, hak perempuan, dan gerakan antiperang pada zaman
tersebut
Setelah 1970-an, Teori Marxis dan Teori Film Feminis,
marxisme merupakan tantangan kapitalisme, sedangkan feminisme merupakan
tantangan patriarki, yang sama-sama menjadi ideologi dominan dalam budaya pada
saat itu
teori ini dianggap mendorong kelanjutan ideologi
penindasan dalam struktur-struktur lainnya, sehingga mereka hanya dianggap
sebagai koreksi dalam perfilman.
1980-an, Teori Film kembali berubah arah, yaitu:
menolak asumsi dasar dari teori materialis, namun
mengakui kekakuan sistematis film.
film sebagai bahasa sistem atau kode yang harus
dipecahkan untuk menemukan makna yang tersembunyi di dalamnya. film
sebagai gambar dan suara yang kompleks.
Asumsi Dasar
Tahapan pertama pemikiran teoritis tentang film
merupakan respon dari orang-orang yang menolak bahwa gambar bergerak (kata lain
dari sinema pada zamannya) hanyalah rekaman tanpa nilai intrinsik. Pada
mulanya, Teori Film berpendapat bahwa film merupakan sebuah seni baru, maka
mereka menganalogikan film dengan seni tradisional. Gerakan dalam bingkai dan
pemotongan beberapa rangkaian membentuk ritme visualisasi gambar dan musik,
yang menjadi estetika baru. Teori ini membantah bahwa film merupakan rekaman
belaka, karena bahan baku atau subjek harus melalui kamera yang kemudian
diubah, dimanipulasi, dan dibentuk oleh proses sinematik.
Pengaplikasian Teori
Teori ini biasa digunakan untuk pengamat perfilman,
terutama bagi kritikus film yang mengkonsentrasikan penelitiannya kepada dunia
perfilman. Teori ini merupakan teori film yang ada di Barat, akan tetapi karena
film Barat telah dibawa oleh arus globalisasi, maka film non-Barat juga kurang
lebih mengikuti teori tersebut
(sumber
http://catatankomunikasi.blogspot.com/2012/07/teori-komunikasi-teori-film.html)
[1] Richard Dryer, “Introduction to Fim Studies,”
dalam The Oxford Guide to Film Studies
[2] John Hill dan Pamela Church Gibson (ed.), The
Oxford Guide to Film Studies, Oxford University Press, 1998.
[3] Ibid 3
[4] Joseph D. Anderson, The Reality of Illusion: An
Ecological Approach to Cognitive Film Theory, Carbondale: Southern Illinois
University Press, 1996
[5] Richard Dryer, ibid
hal 6
[6] Andrew Sarris merupakan kritikus film yang mempopulerkan teori Auteur di USA melalui
bukunya The American Cinema: Directors and Directions 1929-1968 (1968).
[7] Barry Salt sengaja tidak melakukan kritik terhadap tradisi film klasik,
sebab menurutnya teori-teori yang sudah ada telah mewakili pemikirannya. Teori
film modern juga hadir sebagai kritik terhadap teori film klasik.
[8] Thomas Elsaesser & Warren B, Studying Contamporary American Film; A Guide
To Movie Analysis Oxford University Press, 2002
[9] ibid 13
[10] Ibid13
[11] Thomas Elsaesser &
Warren Buckland. Studying Contemporary American Film. Oxford
University Press Inc : 2002
0 komentar:
Posting Komentar