Style
film dikenal sebagai teknik yang digunakan oleh sutradara dalam memberikan
makna atau nilai dalam filmnya. Hal ini
mencakup setiap aspek dalam pembuatan film seperti mise en scene, dialog/narasi, cinematography,
sound, editing, dll. Style film
sendiri menjadi identititas sinema pada umumnya. Setiap era, sineas/film maker
bahkan gendre dapat dikenali lewat style-nya.
Style film sendri merupakan salah
satu bentuk estetika film sama seperti gendre, mode, narasi, dll.
Perkembangan
film dunia dapat dilihat melalui perubahan style
film dari masa-kemasa. Bahkan setiap kemunculan style baru dalam film menandai perubahan periodeisasi jenis film
tertentu. Hal tersebut terlihat pada tahun 1908 dimana film fiksi drama selalu
menampilkan para pemain berada dalam satu baris jauh menghadap penonton lengkap
dengan seluruh latar dan dekor yang melengkapi film tersebut. Pada era ini,
film tidak mendapat interupsi close-up.
Style semacam ini menandai kehadiran
sinema theaterikal. Saat ini style
semacam itu dianggap tidak sinematik[1].
1919,
style film tampil dengan medium close up dimana style semacam ini dimulai pada periode
1913 dengan menggunakan gambar yang lebih dalam dari tahun-tahun sebelumnya.
Pada periode ini angle kamera berubah
drastis menjadi lebih tajam (depth of field ) dalam beberapa shot dan untuk
mengimbangi hal itu digunakanlah long
shot. Pada periode ini penggunaan long shot dan close up sering digunakan secara bergantian.
Perubahan
yang signifikan style film juga
menjadi ciri khas gendre film tertentu. Tahun 1940-1950an film-film terutama Hollywood
didominasi oleh film bergendre drama kriminal. Gendre ini menggunakan gradasi
visual dengan kontras tinggi yang dikendalikan oleh pencahayaan redup yang
menjadi ciri khas style film tahun
pada era tersebut. Style ini kemudian
dikenal sebagai film noir[2].
Namun pada era yang sama hadir film berjudul Laura [Otto Preminger,
1941], sebuah film noir dengan
menggunakan pencahayaan terang.
Menurut
David Bordwell Pada dasarnya terdapat perbedaan yang jelas antara para
sinematografer di Hollywood tahun 1930an dan 1940an yang mengarah pada
penggunaan pencahayaan tertentu pada subjek-subjek tertentu pula. Hal ini dapat
dilihat seperti pada adegan film kriminal tanpa bumbu komikal, maka
pencahayaannya menggunakan low
key-lighting. Sementara ketika tiba
film dengan bumbu banyolan atau romantika, maka pencahayaannya menjadi akan lebih terang, seperti
yang terjadi pada film Laura. Lalu, mengapa hal tersebut dapat terjadi?
Bordwell berpendapat bahwa pada masa
itu ada semacam ketidakleluasaan yang dikendalikan oleh
konvensi genre dan itu menentukan mana gambar yang boleh dan tidak boleh[3]
digunakan. Hal tersebut disebabkan
karena pada tahun 1940an, pembuatan film kriminal meningkat sangat tajam
dan jumlahnya menjadi sangat banyak. Film kriminal kemudian “naik derajat”
menjadi lebih dari sekedar drama dan tampak membentuk genre sendiri. Sejak saat
itu style film tidak sekedar mewakili
jejak historis dalam perkembangan film namun telah menjadi identitas dalam
gendre film itu sendiri.
Para
ahli sejarah film menyatakan ketika era film bisu kita dapat melihat standar style yang digunakan dalam film.
Hadirnya film bersuara pada 1930-an juga menyisakan perdebatan tentang style film, seperti yang terjadi pada
film noir. Dalam essay-nya “The Evolution
of The Language of Cinema”Andre Bazin mempertanyakan kembali dasar
permasalahan style film yang
berkembang tahun 1930an-1940an.
Dalam
hispotesanya, Bazin menyebutkan bahwa kehadiran film bersuara memberi
keleluasaan film maker membuat ciri khas dalam filmnya dengan melakukan
eksperimen-eksperimen style. Seperti
memberi stempel personal dalam proyek filmnya yang disebut dengan style sutradara[4].
Teori ini yang selanjutnya berkembang menjadi teori Author.
Secara
garis besar, kritik bazin terhadap style film membagi dua kategori sutradara
yaitu (1) sutradara yang menaruh keyakinannya dalam gambar dan (2) sutradara
yang menaruh keyakinannya pada realitas[5].
Dalam kritiknya, Bazin menegaskan bahwa realitas film terbangun oleh sound, deep fokus, editing, dll, membuat
film sebagaimana mestinya tanpa harus memasukkan unsur sugesti berlebihan
seperti yang dilakukan Eisentstein dengan teknik montage-nya maupun set pencahayaan yang dramatis seperti pada
aliran ekspresionis Jerman. Menurutnya apa yang dilakukan Eisentein dan
ekspresionist Jerman telah menjauhkan sinema dari potensi terbaiknya; realitas.
Karena itu Bazin menyebut montage
sebagai komposisi gambar plastic/palsu.
Dialektika
style film Bazin ini terdiri dari
ajaran estetika standar dimana esensi film tidak lagi dilihat melalui kapasitas
film bisu melalui kemampuannya yang hiper-stylisasi yang terdapat pada Ekspresionisme maupun dynamized
abstraksi yang terdapat pada Soviet montage.
Bazin
juga berpendapat bahwa tahun 1950-an merupakan puncak klimaks dari perdebatan tentang style film. Pengembangan teknologi layar lebar (widescreen) menguatkan kepercayaannya
bahwa long take, camera movement, depth
of field dan istilah-istilah teknis lainnya sudah tidak relevan lagi
sebagai standarisasi style. Ia
menyebutnya sebagai akhir dari evolusi style.
Selanjutnya dialektika style akan menemukan versi barunya yang lebih masuk akal
pada estetika narasi film itu sendiri, sesuatu yang tidak ditemukan pada
film-film bisu.
Setelah
perang dunia pertama, film mendapat ‘kekuasaan’ penuh sebagai media massa yang
berpengaruh. Kekuatan propaganda melalui medium film sangat efektif sehingga
banyak kelas-kelas tertentu menggunakannya sebagai alat penyampaian gagasan/ide
sampai mempertahankan kekuasaan. Saat itu style
film tidak lagi dipahami sebagai apa yang tampak dari visual film semata. Terlebih ketika beberapa
teori dari ranah ilmu sosial dan psikologi memasuki wilayah kajian sinema,
seperti semiotik, postmodern,
psikoanalisa, feminism, dll.
Kuatnya
pengaruh cultural studies dalam
kajian sinema di tahun 1970-1980an mempengaruhi cara pandang penelitian tentang
film terutama menyangkut style film. Pada periode ini film dipandang secara
sosial dan ideologis. Modus yang digunakan selalu mencari tahu siapa atau apa
yang berada di balik semua produksi kultural termasuk sinema.
Cultural studies
sebagai bagian dari tradisi kritis Marxisme selalu mencurigai produk kultural
seperti film pasti digunakan oleh satu atau beberapa pihak dalam masyarakat
untuk meraih atau mempertahankan kepentingan politis-ekonomis tertentu[6].
Maka analisis style pada periode ini
hadir untuk membongkar ideologi dan agenda politis di balik sebuah film.
Seperti
yang diprediksi Bazin, bahwa style film
akan dilihat melalui estetika narasinya bukan lagi pada penggunaan teknis
pembuatan/pengambilan gambar atau visual film. Style film tidak lagi sebatas apa yang tampil dalam visual sinema
melainkan alat untuk mengungkap realitas yang berada dibalik sinema tersebut.
Menurut Bazin, film dengan bantuan teknis merupakan ‘fenomena idealis’. Baginya
sinema pada dasarnya adalah sebuah relaita yang dimediasi oleh mekanik kamera.
Selanjutnya penelitian/kajian tentang film kemudian selalu dikaitkan dengan
realitas yang ditampilkannya. Sebagai contoh, teknik disolve dalam film sering didefinisikan sebagai perpindahan memori
pemain atau pistol dalam film selalu diidentikkan sebagai sesuatu yang
maskulin. Dari sini analisis style berkembang
menjadi satu disiplin dalam kajian sinema.
Analisis style
sendiri telah melewati banyak fase dalam dialektika keilmuan. Dalam teori film,
analisis style hadir pasca wacana
film sebagai seni atau lebih dikenal dengan teori film klasik. Teori film
modern hadir mewacanakan film sebagai sosio-ideologis, ciri yang paling
menonjol pada pendekatan ini adalah peneliti film berupaya
menganalisa hal-hal yang terepresentasi lewat film, baik dari segi gaya maupun
naratifnya, lalu mencari pola hubungannya dengan konsep-konsep sosial-politis
yang dianut oleh si peneliti sendiri[7].
Hadirnya pendekatan ini kuat dipengaruhi oleh cultural studies pada dekade 1980-an. Dimana
segala macam isu representasi akan ditinjau secara politis berdasarkan latar
belakang kelompok sosial atau budaya tertentu, serta selalu mencari tahu
siapa yang berada dibalik semua produksi kultural. Menurut perspektif ini, film
sebagai produk kultural pastilah digunakan oleh satu atau beberapa pihak dalam
masyarakat untuk meraih atau mempertahankan kepentingan politis-ekonomis
tertentu[8].
Pada era ini, kajian film kerap
meminjam teori-teori seni dan estetika yang lebih luas. Dalam kaitannya dengan
analisis style dan kajian film
lainnya tidak terdapat perbedaan penggunaan teori, seperti semiotika dapat
digunakan untuk analisis style maupun
analisis narasi. Beberapa teori yang lazim digunakan dalam analisis style dan kajian-kajian
film pada umumnya antara lain sebagai berikut :
a.
Semiotika
Semiotika merupakan varian dari
ilmu linguistik yang mempelajari tanda. Teori ini muncul pada dekade
tahun1970-an dimana identifikasi unsur politik representasi dalam film
sebenarnya berawal dari kedekatan hubungan dengan semiotika, dimana para
peneliti beranggapan bahwa film lebih dari sekedar seni, film merupakan sebuah
fenomena linguistik.
Semiotika dalam analisis style
didasarkan pada ajaran linguistik Ferdinand de Saussure dan konsepsi semiotika
Charles Sanders Pierce. Dalam kajian sinema Christian Metz merupakan pakar
semiotika film yang memandang film sebagai bahasa atau setidaknya
fenomena menyerupai bahasa yang memungkinkan manusia untuk menggali
partikel-partikel di dalamnya. Akibatnya, terbuka kemungkinan baru untuk
menjawab pertanyaan ‘Apa sebenarnya film itu?’ (dalam terminologi semiotika)
dan bagaimana ia bekerja dalam sistem secara keseluruhan.
b.
Psikoanalisis
Lacan
Salah satu teori
yang berhasil menyingkirkan popularitas semiotik adalah psikoanalisis.
Psikoanalisis menekankan pada dimensi
Psikologis sebagai aspek individual.
Pendekatan psikologi menekankan bagaimana pengaruh kognisi konsep kesadaran
seseorang dalam membentuk skema tentang diri, sesuatu ataupun gagasan teori.
Bagaimana suatu individu memahami dan melihat realitas dengan skema tertentu
yang tentunya banyak berhubungan dengan berbagai teori.
Sigmun Freud [9]menggunakan istilah psychoanalysis
untuk pertama kali yang kemudian dikembang lebih lanjut oleh Jacques Lacan[10] melalui pendekatan lingusitik-semiotika khususnya didalam teori cinema. Ia meramu
psikoanalisa Freud yang dikaitkan dengan basis semiologi.
Fokus utama studinya adalah ketidaksadaran (unconscious), yang sebelumnya diperkenalkan Freud. Lacan menggali kembali ketidaksadaran
sebagai konsep dengan bantuan metode linguistik Saussure dan memusatkan
kajiannya pada beberapa metode Freud sebelumnya, seperti percakapan antara
psikiater/psikolog dan pasien. Percakapan tersebut menurutnya, merupakan
seuntai rantai penanda-penanda.
Selain semiologi, psikoanalisis Lacan juga meramu teorinya
dengan paham marxis yang sangat kental. Salah satu contoh dari
hasil analisis berbasis psikoanalisis ini dapat diindera pada teori aparatus
yang salah salah satunya diprakarsai oleh Jean-Louis Baudry. Baudry bukan hanya
melihat cinematic apparatus (teknik seperti editing, camerawork
dan proyeksi ke layar) semata sebagai perangkat ideologis, meskipun pernah
dalam salah satu tulisannya ia menganalogikan film dengan mimpi (seperti halnya
Freudian psikoanalisis yang memberikan perhatian pada mimpi sebagai dobrakan
dari represifitas alam bawah sadar kita unconciousness).
c.
Postmodernisme
Meski
postmodernisme tidak memiliki kerangka teoritis yang baku dan hanya mengamati
tingkah polah dan cara pandang masyarakat namun gelombang paradigma ini cukup
kuat dalam kajian-kajian ilmu sosial. Posmodernisme sering didefinisikan
sebagai “apa saja yang bukan bagian dari modernitas”.
Para posmodernis
selalu berusaha mencari apa yang tersembunyi, melihat film dengan seksama lalu
membicarakan isinya. Lagi-lagi, umumnya para posmodernis hanya tertarik untuk
membicarakan film secara ideologis, seperti juga yang dilakukan oleh para
teoritisi yang karakternya sudah dijelaskan di sebelumnya seperti psikoanalisa,
Marxisme, semiotika dan tradisi berpikir lain yang serupa.
d.
Neo-formalisme
Neo-formalisme yang muncul pada dekade 1970-an
sebenarnya tidak beranjak jauh dari formalisme Eisenstein, Pudovkin, dan
Arnheim yang hanya tertarik pada kajian artistik film itu sendiri; bahasa
sinematik, aspek naratif, style, dan relasi antara konstruksi formal dari film
dengan pengalaman (psikologis) penonton film itu sendiri.
Pencetus neo-formalisme pertama kali adalah
Victor F Perkins. Dalam bukunya film as
film (1972), Perkins berpendapat pentingnya mengkaji film tanpa mengaitkannya
dengan teori dari disiplin ilmu lain seperti ilmu sosial dan seni. Baginya,
film dapat dikaji melalui sudut pandang
yang paling ontologis.
Tradisi
noe-formalisme ini kemudian diteruskan oleh duet David Bordwell dan Kristin
Thompson. Dalam buku mereka yang berjudul Film
Art menyebutkan bahwa asumsi-asumi neoformalis berkerja didasari pada dua
hal: cinematic poetics dan historical poetics. Kedua konsep
ini diadopsi kedalam konteks dimana film diproduksi lewat sebuah mode praksis
yang akhirnya berpengaruh pada interaksi style dan naratif
dan berujung pada film secara keseluruhan. Keduanya kemudian menjadi pencetus
lahirnya pendekatan film kognitif, sebuah pendekatan psikologi baru dalam
kajian cinema di tahun 1985.
Menurut Bordwel
kognitifisme merupakan bentuk alternatif bagi teori film kontemporer, yang
mendasarkan dirinya pada eksplanasi psikologis yang bersifat kognitif atas alam
pikiran, emosi, dan tindakan, yang cenderung berlawanan dengan psikoanalisa,
Marxisme, dan posmodernisme dalam hal interpretasi makna.
I.2. Statistical
Style Analysis ; Pendekatan Baru Analisis Style
Teori-teori di atas
merupakan teori yang umum digunakan dalam analisis film termasuk analisis style film. Kesemuanya merupakan teori
yang di ‘pinjam’ dari ilmu sosial yang lebih dulu ada seperti linguistik dan
psikologi. Semuanya juga telah memberi implikasi yang sangat signifikan
terhadap kajian sinema sebagai sebuah keilmuan.
Meski
mengalami silang sengketa satu sama lain, kesemua teori yang telah dibahas
sebelumnya memiliki satu persamaan yaitu berfokus pada usaha menginterpretasi
film sebagai objek. Interpretasi sendiri merupakan bagian dari mazhab study fenomenologi
yang lebih menekankan pada
pengalaman sensorial dan pengetahuan perwujudan (knowledge). Dimana objek penelitian pada dasarnya berhubungan dengan interpretasi terhadap realitas. Menurut Edmund
Husserl bahwa penemuan
makna dan hakikat realitas ditemukan melalui pengalaman karenanya setiap orang
memiliki interpretasi sendiri tentang realitas.
Fenomenologi
sendiri merupakan satu dari sekian banyak mazhab pemikiran dalam paradigma penelitian
kualitatif. Penelitian film sendiri hingga saat ini masih didominasi oleh
penelitian kualitatif, tapi bukan berarti pendekatan kuantitatif tidak pernah
atau tidak bisa digunakan dalam kajian sinema.
Barry
Salt, seorang sejarawan dan praktisi cinema kebangsaan Australia memperkenalkan
pendekatan kuantitatif pada analisis style
yang disebutnya sebagai Statistical style analysis[11].
Statistik sendiri dikenal sebagai jembatan penghubung antara ilmu-ilmu sosial dengan
penelitian kuantitatif (positivisme). Statistik digunakan untuk mengukur
fenomena-fenomena sosial kedalam grafik-grafik angka untuk kemudian
digeneralkan.
Alih-alih menggunakan
fenomena sosial, Statistical style analysis Salt sama sekali tidak ditujukan untuk
pengamatan polah laku dan konstruksi sosial masyarakat. Salt malah kembali pada
tradisi formalisme klasik dimana objek penelitian terfokus pada material film
itu sendiri. Di mana statistik digunakan Salt untuk menghitung skala penggunaan
teknis dan mise n scene film seperti
camera movement, long shot, close up,
dll.
Meski masih
dikategorikan sebagai pengikut neo-formalisme, Barry Salt sebagai pencetus
pendekatan statistik dalam analisis film style keras mengkritik teori-teori
sebelumnya termasuk teori kognitif Bordwell yang juga lahir pada dekade yang
sama dengan pendekatannya.
Kritik
Salt terfokus pada teori-teori interpretasi film baik yang berada dalam ranah cultural studies maupun psikologi kognitifisme.
Menurut Salt meski memiliki
metodelogi dan pendekatan teori yang cukup jelas dalam analisis film stylenya,
namun interpretasi –dalam penelitian- memiliki persoalan yang cukup kompleks.
Kelemahan utamanya terdapat pada persepsi yang digunakan sebagai alat dalam
menganalisa diragukan objektifitasnya. Dalam pendekatan ilmiah (positivisme)
interpretasi atau subjektifitas dalam penelitian tidak memiliki bukti empirik
yang dapat mendukung kebenaran hipotesisnya. Sehingga hasil yang ditemukan
hanyalah berupa asumsi-asumsi yang dapat sewaktu-waktu dibantahkan bahkan
dimentahkan kembali. Beberapa kritikan Salt terhadap interpretasi antara lain :
a. Tidak
Memiliki Metode/Rumusan Yang Pasti
Sebagai bagian dari ilmu
sosial, kajian film merupakan studi fenomenologi yang
lebih menekankan pada pengalaman sensorial dan pengetahuan perwujudan (knowledge). Dimana objek penelitian ilmu
sosial pada dasarnya berhubungan degan interpretasi terhadap realitas. Menurut Edmund
Husserl bahwa penemuan
makna dan hakikat realitas ditemukan melalui pengalaman karenanya setiap orang
memiliki interpretasi sendiri tentang realitas.
Tidak terkecuali dalam ranah kajian film, peneliti
di’halal’kan menggunakan pendekatan masing-masing sesuai dengan bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung;
religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Sehingga pendekatan ini
tidak memiliki metode atau rumusan yang
pasti dan tetap. Hal tersebut sangat
berpengaruh pada hasil penelitian yang tidak sama, meskipun menggunakan satu
objek yang penelitian dengan menggunakan pendekatan yang sama.
b. Ketidak Konsistenan Interpretasi
Sebagai bagian dari ilmu sosial, kajian sinema merupakan studi fenomenologi yang lebih menekankan pada
pengalaman sensorial dan pengetahuan perwujudan (knowledge), peneliti di’halal’kan menggunakan pendekatan
masing-masing sesuai dengan bentuk kesadaran dan
pengalaman-pengalaman langsungnya seperti; religius, moral, estetis, konseptual, serta
indrawi.
Sekali lagi
pemaknaan yang mengandalkan intuisi dan pengalaman peneliti membuat
kita terjebak pada pandangan subjektif yang labil. Sebuah
tanda maupun teks seringkali memiliki makna yang ambigu. Beberapa bahkan
terpenjara dalam ruang, waktu dan budaya
yang sangat dinamis.
Ketika
seorang kritikus film menggunakan intuisi pribadinya kedalam proses
interpretasi, maka yang trerjadi adalah
kita sebagai penikmat film akan kian tersudut pada pengembangan wawasan dan terjebak sistem
analisa yang sangat subjektif. Ketidak konsistenan interpretasi dalam
penelitian film dapat dilihat dari dua hasil kajian mengenai film ‘Young Mr.
Linclon, karya John Ford.
Dalam
artikelnya di Cahiers du Cinema, Jonathan Rosenbaum dan Bruce Kawin menyebutkan
bahwa sorot tajam tatapan mata Linclon diartikan sebagai ‘Castrating’
(pengebirian) sementara bila dipandang dari sudut psikoanalisa
seperti yang dikutip oleh Peter Wollen dalam artikel lainnya, sorot mata
tajam tersebut dimakanai sebagai
‘phallus’ (penis) yang identik dengan power (kekuasaan) dan dominasi pria, serta mewakili simbol
pemerkosaan[12].
Disini
terlihat jelas kontras perbedaan interpretasi dimana satu sisi visualisasi
tatapan mata Linclon diartikan sebagai
bentuk ketidakberdayaan (kelemahan
karakter sang protagonis yang dikebiri) sedangkan sisi lain tatapan mata tajam yang sama dimaknai sebagai
keangkuhan maskulinisme Linclon sebagai
sosok pria dewasa dan tangguh. Situasi disini, dimana kajian interpretasi jauh berbeda
antara satu dengan yang lain cukup sering terjadi dan hal ini dianggap wajar oleh pengikut paham Psikoanalisa.
c. Subjektif Dan Tidak Terukur
Penelitian kualitatif cenderung
menggunakan data teks yang bersifat subyektif. Realitas yang dipelajari
dikonstruksikan sesuai dengan nilai sosial yang ada, oleh karenanya pemaknaan
realitas sesuai dengan pemahaman peneliti. Penelitian kualitatif memiliki jalinan variabel yang
kompleks dan sulit untuk diukur..
Hal ini pula yang
menyebabkan sulitnya menghitung tingkat validitas hasil penelitian kualitatif,
sebab hasil penelitian tersebut tergantung kuat atau lemahnya argumentasi yang digunakan peneliti
I.3. Aplikasi Statistical Style Analysis
Hal yang paling empiris dalam film adalah style terutama yang berada
dalam kendali sutradara[13].
Ini merujuk
pada pernyataan Eisentein tentang style yang
merupakan
sesuatu yang paling mudah diidentifikasi
dalam film. Oleh karena itu Style film sendiri dapat diukur melalui parameter shot dimana metode pengukuran style
ini dikenal sebagai stylometry atau lebih akrab disebut Statistical Style Analysis yang
diperkenalkan oleh Barry Salt. Fungsi
dasar statistik sendiri adalah mengukur atau menjumlah data kemudian
merepresentasikan data tersebut sebagai aturan dasar yang bersifat tetap atau
final. Dalam analisis style,
statistik digunakan menganalisa atau lebih tepatnya mengukur-style
Metode statistik dalam kajian sinema menjadikan
penelitian film menjadi lebih
sistematis, terukur dan lebih objektif. Analisis style kuantitatif di sini melibatkan
statistik baik secara deskriptif dan
inferensial. Tujuan utamanya adalah mengumpulkan jumlah dan
frekuensi data parameter formal sutradara
kemudian diwakilkan ke dalam grafik, persentase, dan rata-rata panjang
tiap shot (Average Shot Lenght / ASL).
Pendekatan
statistik dalam penelitian film
memberikan hasil secara visual angka-angka yang lebih jelas dan
sistematis. Statistical style analysis sendiri secara spesifik memiliki 3 tujuan
standar, yaitu:
1.
Menawarkan analisis style dengan menggunakan pendekatan
kuantitatif.
2. Menghindari
sengketa teks yang berkaitan dengan atribut kepenulisan
3.
Untuk mengidentifikasi kronologis film ketika adegan atau
urutan komposisi tidak jelas atau tidak runut.[14]
Dengan memasukkan statistik sebagai alat analisanya, Salt berhasil menghindari hubungannya
antara style dan tema sebuah film, sesuatu yang menjadi fokus pada teori
sebelumnya yang ’mati-matian’
membantah asumsi bahwa tampilan scene dalam sebuah film (gerakan kamera,
tata cahaya, dll) hanya keperluan estetika semata[15].
Analisis style dalam
pendekatan statistik menunjuk satu set
pola terukur yang
secara signifikan menyimpang dari norma kontekstual film. Tujuannya adalah mengindetifikasi style individu sutradara dengan
mengumpulkan data parameter formal secara sistematis terutama yang berada dalam
kendali langsung sutradara seperti Duration
of the shot
(termasuk panjang rata-rata per-shot, atau Average shot length/ASL),
Shot scale,
Camera movement.[16]
Dalam teorinya, Salt merujuk style kepada satu set pola terukur yang signifikan dan menyimpang dari norma-norma kontekstual. Ia menggambarkan style seorang sutradara merupakan parameter formal mereka yang
tersistematis dalam filmnya. Ia kemudian merepresentasekan parameter formal ini
ke dalam grafik batang dan persentase[17].
Walaupun terkesan masih asing
bagi dunia kajian sinema namun pendekatan Salt sangat menarik perhatian penulis
dan patut untuk diaplikasikan dalam film-film Indonesia. Karena itu, pada
penelitian kali ini, penulis ingin mengaplikasikan Statistical
style analysis-Barry Salt untuk menganalisis film-film Indonesia.
[1] David Bordwell, On The History of Style film, Harvard University
Pres: 1997 (hal 1)
[2] Istilah untuk film yang
menggunakan teknik pencahayaan low-key dan visual hitam-putih. Istilah film
noir banyak digunakan untuk mendeskripsikan film-film drama kriminal hollywood
(The Visual Story: Seeing the Structure of Film, TV, and New Media,
2001)
[3] Ari Ernesto Purnama, Ke Gombrich Lewat Bordwell: Catatan dari Zomerfilmcollege 2011, Antwerpen, Belgia (http://cinemapoetica.com/)
[4] Ibid, David Bordwell, On The
History of Style film (hal 47)
[5] Andre Bazin, The Evolution of
Language of Cinema” dalam Leo Brudy and Marshall, Film Theory and Criticism,
1999 (hal 43)
[6] Richard Dryer, “Introduction
to Fim Studies,” dalam The Oxford Guide to Film Studies
(hal
6)
[7] Film Studies and Film
Theory: Mapping Out the Complex Terrain From Russian Formalism to the Cognitive
Approaches.
[8] Richard Dryer, The Oxford
Guide to Film Studies
[9]
Sigismund
Schlomo Freud (Sigmund Freud)
6 May 1856 – 23September
1939, berprofesi dokter jiwa dan ahli saraf, Ia mendefenisikan ulang
konsep sexual desire sebagai suatu
bentuk yang terus bergerak dan mengarah kepada objek yang luas. Ia terkenal
dengan teori ‘the unconscious mind’ , the mechanism of repression, serta tehnik terapinya pengobatannya yang berkaitan
dengan value of dreams
[10] Jacques Marie-Émile Lacan (13 April 1901 - 9 September 1981) adalah
psikoanalis Prancis artikelnya, Ecrits (1966), berpengaruh banyak di
bidang linguistik teori film, dan kritik sastra. Ia mengembangkan psikoanalisa dari
metode unconscious Freud dan metode linguistic
Saussure.
[11] Film Style and Technology : History and Analysis, Barry
Salt, 2003
[12] Barry
Salt,The Interpretation of Films
[13] Studying Contemporary American Film, 2002
[14] Thomas Elsaesser & Warren B, Studying Contamporary American Film; A Guide To Movie Analysis
Oxford University Press, 2002
[16]
Ibid13
[17] Thomas Elsaesser & Warren Buckland. Studying
Contemporary American Film. Oxford University Press Inc : 2002
0 komentar:
Posting Komentar