I.
1.
Sejarah Dan Perkembangan Style Film
Style
film dikenal sebagai teknik yang digunakan oleh sutradara dalam memberikan
makna atau nilai dalam filmnya. Hal ini
mencakup setiap aspek dalam pembuatan film seperti mise n scene, dialog/narasi, cinematography, sound, editing, dll. Style
film sendiri menjadi identititas sinema pada umumnya. Setiap era, sineas/film
maker bahkan gendre dapat dikenali lewat style-nya. Style film sendri merupakan
salah satu dari bentuk estetika film sama seperti gendre, mode, narasi, dll.
Perkembangan
film dunia dapat dilihat melalui perubahan style film dari masa-kemasa. Bahkan
setiap kemunculan style baru dalam film menandai perubahan periodeisasi jenis
film tertentu. Hal tersebut terlihat pada tahun 1908 dimana film fiksi drama
selalu menampilkan para pemain berada dalam satu baris jauh menghadap penonton
lengkap dengan seluruh latar dan dekor yang melengkapi film tersebut. Pada era
ini, film tidak mendapat interupsi close-up. Style semacam ini menandai kehadiran
sinema theaterikal. Saat ini style semacam
itu dianggap tidak lagi sinematik[1].
1919,
style film tampil dengan medium close up dimana style semacam ini dimulai pada
periode 1913 dengan menggunakan gambar yang lebih dalam dari tahun-tahun
sebelumnya. Pada periode ini anggel kamera berubah drastis menjadi lebih tajam (depth of field ) dalam beberapa shot dan
untuk mengimbangi hal itu digunakanlah long
shot. Pada periode ini penggunaan long shot dan close up sering digunakan secara bergantian.
Perubahan
yang signifikan style film juga menjadi ciri khas gendre film tertentu. Tahun
1940-1950an film-film terutama hollywood didominasi oleh film bergendre drama kriminal.
Gendre ini menggunakan gradasi visual dengan kontras tinggi yang dikendalikan
oleh pencahayaan redup yang menjadi ciri khas style film tahun pada era
tersebut. Style ini kemudian dikenal sebagai film noir[2].
Namun pada era yang sama 1941 hadir film berjudul Laura besutan
sutradara Otto Preminger yang menandakan kehadiran style baru dalam film noir. Laura merupakan film noir yang menggunakan
pencahayaan terang.
Menurut
David Bordwell Pada dasarnya terdapat perbedaan yang jelas antara para
sinematografer di Hollywood tahun 1930an dan 1940an yang mengarah pada
penggunaan pencahayaan tertentu pada subjek-subjek tertentu pula. Hal ini dapat
dilihat seperti pada adegan film kriminal tanpa bumbu komikal, maka pencahayaannya
menggunakan low key-lighting.
Sementara ketika tiba film dengan bumbu
banyolan atau romantika, maka pencahayaannya menjadi akan lebih terang, seperti
yang terjadi pada film Laura. Lalu, mengapa hal tersebut dapat terjadi?
Bordwell berpendapat bahwa pada masa itu ada
semacam ketidakleluasaan yang dikendalikan oleh konvensi genre dan itu
menentukan mana gambar yang boleh dan tidak boleh[3]
digunakan. Hal tersebut disebabkan karena
pada tahun 1940an, pembuatan film kriminal meningkat sangat tajam dan jumlahnya
menjadi sangat banyak. Film kriminal kemudian “naik derajat” menjadi lebih dari
sekedar drama dan tampak membentuk genre sendiri. Sejak saat itu style film
tidak sekedar mewakili jejak historis dalam perkembangan film namun telah
menjadi identitas dalam gendre film itu sendiri.
Para
ahli sejarah film menyatakan ketika era film bisu kita dapat melihat standar
style yang digunakan dalam film. Hadirnya film bersuara pada 1930-an juga
menyisakan perdebatan tentang style film, seperti yang terjadi pada film noir. Dalam
essay-nya “The Evolution of The Language of Cinema”Andre Bazin mempertanyakan
kembali dasar permasalahan style film yang berkembang tahun 1930an-1940an.
Dalam
hispotesanya, Bazin menyebutkan bahwa kehadiran film bersuara memberi
keleluasaan film maker membuat ciri khas dalam filmnya dengan melakukan
eksperimen-eksperimen style. Seperti memberi stempel personal dalam proyek filmnya
yang disebut dengan style sutradara[4].
Teori ini yang selanjutnya berkembang menjadi teori Author.
Secara
garis besar, kritik bazin terhadap style film membagi dua kategori sutradara
yaitu (1) sutradara yang menaruh keyakinannya dalam gambar dan (2) sutradara
yang menaruh keyakinannya pada realitas[5].
Dalam kritiknya, Bazin menegaskan bahwa realitas film terbangun oleh sound,
deep fokus, editing, dll, membuat film sebagaimana mestinya tanpa harus
memasukkan unsur sugesti berlebihan seperti yang dilakukan Eisentstein dengan
teknik montage-nya maupun set
pencahayaan yang dramatis seperti pada aliran ekspresionis Jerman. Menurutnya
apa yang dilakukan Eisentein dan ekspresionist Jerman telah menjauhkan sinema
dari potensi terbaiknya; realitas. Karena itu Bazin menyebut montage sebagai komposisi gambar plastic/palsu.
Dialektika
style film Bazin ini terdiri dari ajaran estetika standar dimana esensi film
tidak lagi dilihat melalui kapasitas film bisu melalui kemampuannya yang hiper-stylisasi yang terdapat pada Ekspresionisme
maupun dynamized abstraksi yang terdapat
pada aliran Soviet montage.
Bazin
juga berpendapat bahwa tahun 1950-an merupakan puncak klimaks dari perdebatan tentang style film. Pengembangan
teknologi layar lebar (widescreen) menguatkan kepercayaannya bahwa long take,
camera movement, depth of field dan istilah-istilah teknis lainnya sudah tidak
relevan lagi sebagai standarisasi style. Ia menyebutnya sebagai akhir dari
evolusi style. Selanjutnya dialektika style akan menemukan versi barunya yang
lebih masuk akal pada estetika narasi film itu sendiri, sesuatu yang tidak
ditemukan pada film-film bisu.
Setelah
perang dunia pertama, film mendapat ‘kekuasaan’ penuh sebagai media massa yang
berpengaruh. Kekuatan propaganda melalui medium film sangat efektif sehingga
banyak kelas-kelas tertentu menggunakannya sebagai alat penyampaian gagasan/ide
sampai mempertahankan kekuasaan. Saat itu style film tidak lagi dipahami
sebagai apa yang tampak dari visual film
semata. Terlebih ketika beberapa teori dari ranah ilmu sosial dan psikologi
memasuki wilayah kajian sinema, seperti semiotik,
postmodern, psikoanalisa, feminism, dll.
Kuatnya
pengaruh cultural studies dalam kajian sinema di tahun 1970-1980an mempengaruhi
cara pandang penelitian tentang film terutama menyangkut style film. Pada
periode ini film dipandang secara sosial dan ideologis. Modus yang digunakan
selalu mencari tahu siapa atau apa yang berada di balik semua produksi kultural
termasuk sinema.
Cultural
studies sebagai bagian dari tradisi kritis marxisme selalu mencurigai produk
kultural seperti film pasti digunakan oleh satu atau beberapa pihak dalam
masyarakat untuk meraih atau mempertahankan kepentingan politis-ekonomis
tertentu[6].
Maka analisis style pada periode ini hadir untuk membongkar ideologi dan agenda
politis di balik sebuah film.
Seperti
yang diprediksi Bazin, bahwa style film akan dilihat melalui estetika narasinya
bukan lagi pada penggunaan teknis pembuatan/pengambilan gambar atau visual
film. Style film tidak lagi sebatas apa yang tampil dalam visual sinema
melainkan alat untuk mengungkap realitas yang berada dibalik sinema tersebut. Menurut
Bazin, film dengan bantuan teknis merupakan ‘fenomena idealis’. Baginya sinema
pada dasarnya adalah sebuah relaita yang dimediasi oleh mekanik kamera.
Selanjutnya
penelitian/kajian tentang film kemudian selalu dikaitkan dengan realitas yang
ditampilkannya. Sebagai contoh, teknik disolve dalam film sering didefinisikan
sebagai perpindahan memori pemain atau pistol dalam film selalu diidentikkan sebagai
sesuatu yang maskulin. Dari sini analisis style berkembang menjadi satu
disiplin dalam kajian sinema.
I. 2. Problematika Analisis Style
Masuknya
ilmu-ilmu sosial dan psikologi dalam mengkaji karya seni tampaknya memiliki
pengaruh besar dalam kajian sinema. Film menjadi objek yang yang tampaknya
cukup menarik di jadikan penelitian. Setidaknya sejak
tahun1960an, antusiasme penelitian tentang film mulai berkembang. Sejak itu
teori-teori film baru mulai bermunculan. Prancis, saat itu menjadi kiblat dalam
analisis/kajian film dunia.
Beberapa
teori film yang berkembang di sana seperti Auteur, Linguistik, semiotika,
marxism, dan psikoanalisa merupakan teori-teori umum yang digunakan dalam
analisis film hingga kini merupakan adaptasi dari teori ilmu sosial dan psikologi.
Sekitar tahun 1970-an, antusiasme penelitian terhadap objek seni termasuk film berkembang sangat pesat.
Kuatnya pengaruh cultural studies menciptakan tradisi baru dalam kajian film, sebuah
tradisi yang dikenal sebagai teori film modern.
Pada
tradisi baru ini film dipandang sebagai sistem yang terstruktur dan
tertutup. Juga sebagai ilusi dari realitas. Dari sudut epistemologi, aliran ini
memandang hidup secara ideologis. Estetikanya adalah: “bagaimana sebuah film
menciptakan makna yang tersembunyi. Sehingga tradisi ini tidak menggunakan
material film sebagai bahan analisisnya seperti yang dilakukan oleh teori film
klasik.
Pendekatan
ini berupaya untuk melihat film secara sosial dan ideologis, menganalisa apa
yang menjadi representasi dalam film baik dari segi style maupun narasinya,
lalu mencari pola hubungannya dengan konsep sosial-politis (biasanya yang
dianut oleh peneliti film itu sendiri).
Loncatan
epistemologi sinema dari wacana film sebagai seni menjadi film sebagai produk
kultural ideologis merupakan pengaruh dari kuatnya studi semiotik ditahun
1970-an. Semiotik sendiri merupakan bagian atau varian dari linguistik yang
mempelajari mengenai tanda. Pada periode tersebut film dilihat sebagai salah
satu fenomena linguistik. Ajaran linguistik Ferdinand de Saussure dan konsepsi
semiotika Charles Sanders Pierce merupakan acuan utama dalam semiotika. Dalam
kajian sinema, Christian Metz merupakan pakar semiotika yang memandang bahwa
film adalah bahasa, sehingga kita dapat menggali partikel-partikel linguistik di
dalamnya.
Pada fase ini pengaruh Marxis juga
sangat kental. Jika sebelumnya kajian tentang film banyak
meminjam teori dari bidang seni lain –terutama sastra dan teater – maka pada
periode ini paham marxis selalu melakukan ‘penetrasi’ terhadap teori-teori yang
digunakan untuk membahas
film[7]. Maka lengkaplah sudah film dianggap sebagai
produk kultural yang berasal dari gejala modernitas, yang tak pernah bisa lepas
dari kapitalisme, industrialisme, budaya urban, dan massa yang tersentralisasi[8].
Pada
fase ini, style film dilihat sebagai struktur kesatuan yang mengikat seluruh
cerita. Dalam analisis style, mise n scene, dialog/narasi, dan
cinematography dijadikan objek analisis untuk mencari makna dan hubungan film
dengan pola realitas yang ada. Makna/meaning dari style tidak lain didapatkan
melalui interpretasi. Dalam bukunya making meaning (1989), David Bordwell menyebut
bahwa post theory merupakan dasar perhatian dalam analisis film style dan
dengan pasti dan significan pemaknaan/meaning ditemui melalui interpretasi.
Menurut Bordwell interpretasi dalam kritik film merupakan sugesti dan
alternatif dalam program kajian sinema.
Interpretasi
digunakan untuk mengungkap makna dibalik sebuah film, begitu juga dalam
analisis style sinema. Seperti membaca film, dalam interpretasi style film ada
empat jenis makna yang dapat ditemukan yaitu; (1) makna referensial, (2) makna
harfiah, (3) makna eksplisit dan inplisit, (4) makna simptomatik
(gejala/fenomena)[9]. Namun
dalam keseluruhan, kritik interpretasi lebih mengandalkan persepsi dan retorika
dibanding dengan pemahaman film itu sendiri.
Berbeda
dengan sejarah style film sebelumnya yang menganggap style film merupakan
bagian dari estetika film, Analisis style dengan landasan cultural studies
menghilangkan fungsi estetika film dalam prakteknya. Estetika dalam film diubah
menjadi text-text yang menjelaskan makna style, adegan, maupun narasi sebuah film
secara ideologis maupun politis.
Meski
memiliki metodelogi dan pendekatan teori yang cukup jelas dalam analisis style,
namun interpretasi –dalam penelitian- memiliki persoalan yang cukup kompleks.
Kelemahan utamanya terdapat pada persepsi yang digunakan sebagai alat dalam
menganalisa diragukan objektifitasnya. Dalam pendekatan ilmiah (positivisme)
interpretasi/subjektifitas dalam penelitian tidak memiliki bukti empirik yang
dapat mendukung kebenaran hipotesisnya. Sehingga hasil yang ditemukan hanyalah
berupa asumsi-asumsi yang dapat sewaktu-waktu dibantahkan bahkan dimentahkan
kembali.
Sepanjang
sejarah dialektika ilmu pengetahuan kedua pendekatan penelitian tersebut –kuantitatif
yang diwakili paradigma positivisme dan kualitatif yang diwakili paradigma
kritis– memang tidak pernah menemukan
titik kesepahaman. Namun dalam perjalanan kajian sinema sendiri, pendekatan
kualitatif lebih mendominasi termasuk dalam analisis style yang sebelumnya
telah dibahas. Pendekatan kualitatif yang digunakan pada akhirnya menyeret analisis
style kedalam problematika klasik kedua paradigma besar tersebut. Adapaun
kritik terhadap pendekatan tersebut dalam kajian film, menurut Barry Salt,
seorang praktisi sekaligus sejarawan film dalam bukunya Film Style and
Technology; History and Analysis sebagai berikut:
a. Tidak
Memiliki Metode/Rumusan Yang Pasti
Sebagai bagian dari ilmu humaniora/sosial, kajian film
merupakan studi fenomenologi yang lebih menekankan pada pengalaman sensorial
dan pengetahuan perwujudan (knowledge).
Dimana objek penelitian ilmu sosial pada dasarnya berhubungan degan
interpretasi terhadap realitas. Menurut Edmund Husserl bahwa penemuan makna dan hakikat
realitas ditemukan melalui pengalaman karenanya setiap orang memiliki
interpretasi sendiri tentang realitas.
Tidak terkecuali dalam ranah kajian film, peneliti
di’halal’kan menggunakan pendekatan masing-masing sesuai dengan bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung;
religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Sehingga pendekatan ini
tidak memiliki metode atau rumusan yang
pasti dan tetap. Hal tersebut sangat
berpengaruh pada hasil penelitian yang berbeda-beda, meskipun
penelitian/kajiannya menggunakan objek dan pendekatan yang sama.
b. Ketidak
Konsistenan Interpretasi
Sekali lagi pemaknaan yang mengandalkan intuisi dan pengalaman peneliti membuat
kita terjebak pada pandangan subjektif peneliti yang sifatnya labil. Sebuah tanda maupun teks seringkali
memiliki makna yang ambigu. Beberapa bahkan terpenjara dalam ruang, waktu dan budaya yang sangat dinamis.
Ketika
seorang kritikus film menggunakan intuisi pribadinya kedalam proses
interpretasi, maka yang trerjadi adalah
kita sebagai penikmat film akan kian tersudut pada pengembangan wawasan dan terjebak sistem
analisa yang sangat subjektif. Ketidak konsistenan interpretasi dalam
penelitian film dapat dilihat dari dua hasil kajian mengenai film Young Mr.
Linclon karya John Ford yang dimuat pada Cahiers du Cinema dalam
dua edisi yang berbeda.
Dalam
artikelnya di Cahiers du Cinema, Jonathan Rosenbaum dan Bruce Kawin menyebutkan
bahwa sorot tajam tatapan mata Linclon diartikan sebagai ‘Castrating’ (pengebirian) sementara bila dipandang dari sudut psikoanalisa
seperti yang dikutip oleh Peter Wollen dalam artikel lainnya, sorot mata
tajam tersebut dimakanai sebagai
‘phallus’ (penis) yang identik dengan power (kekuasaan) dan dominasi pria, serta mewakili simbol
pemerkosaan[10].
Disini
terlihat jelas kontras perbedaan interpretasi dimana satu sisi visualisasi
tatapan mata Linclon diartikan sebagai
bentuk ketidakberdayaan (kelemahan
karakter sang protagonis yang dikebiri) sedangkan sisi lain tatapan mata tajam yang sama dimaknai sebagai
keangkuhan maskulinisme Linclon sebagai
sosok pria dewasa dan tangguh. Situasi seperti ini, dimana kajian interpretasi memiliki
dua atau lebih makna yang jauh
berbeda antara satu dengan yang lain
cukup sering terjadi dan hal ini dianggap
wajar oleh pengikut paham Psikoanalisa.
c. Subjektif Dan Tidak Terukur
Penelitian kualitatif cenderung
menggunakan data teks yang bersifat subyektif. Realitas yang dipelajari
dikonstruksikan sesuai dengan nilai sosial yang ada, oleh karenanya pemaknaan
realitas sesuai dengan pemahaman peneliti. Penelitian kualitatif memiliki jalinan variabel yang
kompleks dan sulit untuk diukur.
Sebab sekali lagi interpretasi tidak memiliki data ataupun bukti empiris.
Hal ini pula
yang menyebabkan sulitnya menghitung tingkat validitas hasil penelitian
kualitatif, sebab hasil penelitian tersebut tergantung kuat atau lemahnya argumentasi yang digunakan peneliti.
II.
Pendekatan Alternatif Dalam Penelitian Film
Berdasarkan
pada kenyataan bahwa dalam penelitian film terutama pada bidang kajian film itu
sendiri, sangat sulit menemukan penelitian ilmiah secara kuantitatif menjadikan
ranah kajian film masih sangat monoton dengan teori-teori sosial budaya dan
psikologi yang juga banyak digunakan untuk kajian ilmu lainnya.
Meskipun
pada fase-fase awal kajian film berhasil menelurkan teori film yang spesifik
membahas film seperti yang diperkenalkan kaum formalisme pada era film klasik
tetap belum bisa memberi formula/rumusan pasti dalam kajian film itu sendiri. Formula
seperti sains dimana 1 + 1 = 2 di manapun dan kapanpun akan selalu sama.
Tidak
banyak peneliti film yang memfokuskan diri dalam kajian sains dalam film dan
berambisi menemukan rumusan ilmiah dalam kajian film, satu dari yang sedikit
itu adalah Barry Salt. Dalam bukunya Film Style and Technology: History and Analysis (1983), Salt menunjukkan
bahwa penelitian style film tidak memberikan formula yang sistematis meskipun
banyak buku-buku teori film yang mengklaim judulnya sebagai ‘Teori Film
Praktis’ dan sebagainya.
Menurutnya, style film merupakan hubungan relasional dan
perbandingan beberapa fenomena karenanya penelitian tentang style film harus
dapat merumuskan norma-norma dalam sebuah
fenomena beserta inovasi yang mengikutinya. Salt mengantisipasi hipotesisnya
dengan menggunakan paradigma positifisme agar hasil penelitian stylenya dapat
digeneralisir.
Paradigma ini dapat menghindarkan peneliti dari
perdebatan interpretatif mengenai fitur-fitur film yang sering ditemui dalam
metode penelitian film yang umum digunakan[11].
Dengan demikian maka penelitian film pun akan semakin dekat dengan kajian
ilmiah.
Dalam hal ini Salt menyerukan pentingnya
seorang reviewer/ kritikus film untuk
lebih mempertimbangkan aspek teknis, yang antara lain melibatkan depth of field, editing, shot selection, dsb kedalam rumusan
penelitian filmnya. Hal ini yang
menurut Salt menjadi kekurangan yang menonjol dikalangan kritik akademis saat
ini.
Berpegangan
pada aspek konstruktif dalam memformulasikan rumusan teori filmnya, Salt kemudian
menggunakan metode analisis dan evaluatif yang seobjektif mungkin dalam
menelaah lebih dalam tentang berbagai unsur dalam cinema. Metode analisis
dipandang perlu demi menguji seberapa
tinggi tingkat akurasi rumusan teori yang digunakan, demikian juga
halnya dengan metode evaluatifnya.
Analisa film versi Barry Salt terbagi
atas tiga unsur, yaitu :
1) Berdasarkan
Konstruksi teknisnya (jenis kamera yang digunakan, ukuran lensa, angle,
editing, art direction dan tata ruang)
2) Style
(executive and artistic decision) sang sutradara. Dimana menurut Salt faktor
kedua ini lebih banyak diabaikan dalam perumusan teori film dewasa ini.
3) Dan
yang terahir dan relatif kurang signifikan dari dua faktor diatas adalah film
dapat dianalisa dengan mengukur seberapa besar tingkat respon dari penonton.
Sedang dalam kriteria evaluasi film,
Barry mengklasifikasikan 3 aspek utama yaitu; (1) Originalitas, (2) Pengaruh
film tersebut dengan film lainnya dan (3) seberapa besar visi dan pengaruh
kreatif sang filmaker terpenuhi dalam film garapannya.
Dalam
kritiknya, Salt menitik beratkan kepada metodelogi dalam penelitian film dimana
teori-teori film yang ada jauh dari paradigma objektif, rasional (terukur) dan
sistematis. Sesuatu yang menjadi syarat mutlak dalam kajian ilmiah.
Oleh karena itu pendekatan Salt mengharuskan peneliti untuk kembali kepada material film, satu-satunya yang empiris dan dapat diukur.
Dalam hal ini Salt menggunakan mise-en-scene sebagai objek kajiannya. Dimana secara umum mise-en-scene merupakan segala sesuatu
yang nampak dalam layar (scene). Studi
atas mise-en-scene merupakan relasi
antara persoalan Subjek film dan film
style [12].
Merujuk pada komentar Eisenstein dalam mise en shot[13] bahwa
hal yang paling empiris dalam film adalah style terutama yang berada
dalam kendali sutradara[14] dan
dapat diidentifikasi dan
diukur melalui parameter shot.
Maka dalam pendekatannya Salt memperkenalkan metode pengukuran style yang disebutnya sebagai stylometry. Metode yang ditawarkan Salt
bagi beberapa kritikus cinema seolah mengembalikan tradisi formalisme dalam
kajian cinema, karenanya ia dianggap sebagai neoformalism dalam beberapa
kritik.
Dalam bukunya Film Style and Technology: History and Analysis yang
terbit pertamakali pada tahun 1983, Salt menyempurnakan pendekatan ilmiahnya dalan
penelitian film. Jika Eisentein menggunakan mise
en scene sebagai bahan eksperimennya maka Salt menghitungnya menggunakan
skala statistik. Selanjutnya Stylometry lebih akrab disebut Statistical Style Anlysis [15].
Yang membedakannya dengan Eisentein adalah,
teori Salt juga memiliki persamaan ciri dengan
teori-teori yang lahir pada masa post strukturalism dimana estetika dan
efektivitas phenomenologi diabaikan untuk mengeksplorasi
produksi makna teks sebagai Aset strategi diskursif. Ia bahkan
memperlakukan teks secara ‘kasar’ dengan merobeknya manjadi averege shot lenghts, camera movements, shot types, dll.
Dalam Statistical Style Anlysis /stylometry , Salt merujuk style kepada satu set pola terukur yang signifikan dan menyimpang dari norma-norma kontekstual.
Ia menggambarkan style seorang
sutradara merupakan parameter formal mereka yang tersistematis dalam filmnya.
Ia kemudian merepresentasekan parameter formal ini ke dalam grafik dan
persentase.[16]
Fungsi dasar statistik dalam pendekatan
Salt adalah mengukur atau menjumlah data kemudian merepresentasikan data
tersebut sebagai aturan dasar yang bersifat tetap atau final. Dalam analisis
style, statistik digunakan menganalisa atau lebih tepatnya mengukur-style.
Pendekatan statistik dalam penelitian
film memberikan hasil secara visual
angka-angka yang lebih jelas dan sistematis. Statistical style analysis sendiri secara spesifik memiliki 3
tujuan standar, yaitu :
1.
Menawarkan analisis style dengan menggunakan pendekatan
kuantitatif.
2. Menghindari
sengketa teks yang berkaitan dengan atribut kepenulisan
3.
Untuk mengidentifikasi kronologis film ketika adegan atau
urutan komposisi tidak jelas atau tidak runut[17].
Memasukkan statistik sebagai
alat analisa, Statistical style analysis
berhasil menghindari hubungannya antara style dan tema sebuah
film, sesuatu yang menjadi fokus pada teori mise-en-scene terdahulu yang
’mati-matian’ membantah asumsi bahwa tampilan scene dalam sebuah film
(gerakan kamera, tata cahaya, dll) hanya keperluan estetika semata[18].
Analisis style dalam pendekatan statistik menunjuk satu set pola terukur yang secara signifikan menyimpang dari norma kontekstual
film.
Tujuannya adalah mengindetifikasi style individu sutradara dengan mengumpulkan data parameter formal
secara sistematis terutama yang berada dalam kendali langsung sutradara seperti
:
• Duration
of the shot (termasuk panjang
rata-rata per-shot, atau Average shot length/ASL)
• Shot
scale
• Camera
movement.[19]
·
Average shot length/ASL
Konsep
ASL merupakan
panjang
dari film
dibagi
dengan jumlah
shot
di dalam film,
yang
dapat dinyatakan
sebagai
panjang
fisik yang sebenarnya
dari film
atau lebih dikenal sebagai
durasi. Sebelumya untuk film yang menggunakan
celluloid/film bisu dimana kecepatan proyektor mempengaruhi durasi Barry menggunakan satuan feet yang diambil dari panjang pita. Namun hal ini menimbulkan
persoalan ketika perbandingan dilakukan dengan film-film yang dibuat pada masa
yang berbeda. Untuk itu Barry mengganti satuan ASL menjadi detik, mengingat
akurasi persentase kecepatan proyektor pada film bisu hanya memiliki perbedaan
yang sangat kecil.
Dalam penghitungan statistiknya, Barry
merekomendasikan beberapa cara untuk memilih interval waktu yang digunakan
dalam menghitung ASL, yaitu :
1. Gunakan
interval waktu per satu menit atau 60 detik pada film dalam cakram digital (CD)
atau 100-ft pada film 35mm.
2. Lakukan
perhitungan jumlah tipe shot dalam angka (misalnya 50 tipe shot) kemudian
hitunglah jumlah shot dari keseluruhan tipe shot yang ada.
3. ASL
atau panjang rata-rata shot didapat dari perhitungan interval waktu keseluruhan
scene dalam film. Kemudian hitunglah jumlah shot seluruhnya. Jika scene berlangsung 2 menit (120 detik)
dan jumlah shot setiap scene adalah 12 maka ASLnya adalah 10detik (ASL = durasi
scene : jumlah shot)
·
2. Skala
Shot
Pada mulanya Barry mendapatkan skala
shot kebanyakan dari data-data untuk ASL (scene dan jumlah shot) dan hasil
persentase terbalik dari potongan angle yang diambil dari 30 menit panjang film
atau setidaknya 200 shot. Namun kriteria tersebut tidak memuaskan dengan range
error mencapai lebih 10%. Karenanya
distribusi skala shot sekarang diambil dari keseluruhan panjang film. Adapun
tipe shot yang dihitung adalah :
1. BCU
2. Close
Up (CU)
3. Medium
Close Up (MCU)
4. Medium
Shot (MS)
5. Medium
Long Shot (MLS)
6. Long
Shot (LS)
7. Very
Long Shot (VLS)
·
3.
Camera Movement
Tren
menggunakan gerak kamera yang luas muncul pada akhir abad ke-12 dan masih
berlangsung hingga memasuki periode film bersuara. Hal ini memunculkan
perbedaan antara jumlah shot dengan gerak kamera (Camera Movement). Perdebatanpun muncul tentang apakah gerak kamera
merupakan salah satu bagian dari style sutradara dimana gerak kamera tidak
menampakkan kerja-kerja sutradara didalamnya melain kerja cameraman.
Namun
menyadari bahwa gerak kamera berada dalam kewenangan sutradara dalam hal ini
kamera bergerak sesuai keinginan sutradara dan lebih jauh melihat kedekatan
kerja antara sutradara dan cameraman yang lebih dibanding kru lainnya, dalam
hal ini jika sutradaramemutuskan untuk tracking
shot maka eksekusi berada pada operator kamera dibanding lighting cameraman.
Alasan
tersebutlah yang membuat Barry menyimpulkan bahwa camera movement merupakan
bagian dari style sutradara. Adapun penghitungan skala camera movement mencakup
:
1. Pan
2. Tilt
3. Pan
With Tilt
4. Track
5. Track
With Pan
6. Crane
Penghitungan dapat dilakukan dengan
mengukur panjang pita film atau durasi pada film yang menggunakan cakram
digital (CD) selang satu menit atau per
100-ft pada film 35mm. Pada kenyataannya
Salt hanya mengumpulkan shot yang
muncul dalam 30menit film yang dianalisanya. Menurutnya shot-shot yang muncul 30menit awal film merupakan repsentasi sampel
film tersebut. Namun belakangan, keputusan menghitung shot seluruh film
dilakukan agar skala shot lebih akurat.
Analisis style yang digunakan Salt
melibatkan statistik baik secara deskriptif dan inferensial[20]. Tujuan utamanya adalah mengumpulkan
jumlah dan frekuensi data parameter formal sutradara kemudian diwakilkan ke dalam grafik, dan
presentase variable.
Dalam pengambilan
sampel film yang diteliti, salt menggunakan penarikan sampel secara acak
(simple random sampling)atau disesuaikan dengan kemampuan peneliti dalam
mengumpulkan film-film yang diinginkan. Sebab diakui lembaga-lembaga yang
mendokumentasikan film memiliki keterbatasan dalam menyediakan film-film yang
di inginkan.
[1] David Bordwell, On The History of Style film, Harvard
University Pres: 1997 (hal 1)
[2] Istilah untuk film yang
menggunakan teknik pencahayaan low-key dan visual hitam-putih. Istilah film
noir banyak digunakan untuk mendeskripsikan film-film drama kriminal hollywood
(The Visual Story: Seeing the Structure of Film, TV, and New Media,
2001)
[3] Ari Ernesto Purnama, Ke Gombrich Lewat Bordwell: Catatan dari Zomerfilmcollege 2011, Antwerpen, Belgia (http://cinemapoetica.com/)
[4] Ibid, David Bordwell, On The
History of Style film (hal 47)
[5] Andre Bazin, The Evolution of
Language of Cinema” dalam Leo Brudy and Marshall, Film Theory and Criticism,
1999 (hal 43)
[6] Richard Dryer, “Introduction
to Fim Studies,” dalam The Oxford Guide to Film Studies
(hal
6)
[7] Joseph D. Anderson, The
Reality of Illusion: An Ecological Approach to Cognitive Film Theory, Carbondale:
Southern Illinois University Press, 1996
[8] Richard Dryer, The Oxford
Guide to Film Studies
[9]
John Gibbs and Douglas Pye, Style and Meaning; Studies In The Detailed Analysis
Film, Manchester University Perss, 2005
[10]
Barry Salt,The Interpretation of Films
[11]
Barry Salt, Film Style and Technology:
History and Analysis (hal 36)
[12]
John Gibbs. Mise-en-scène. United Kingdom: Wallflower Press,
2002.
[14] Thomas
Elsaesser & Warren Buckland, Studying Contemporary
American Film, London: 2002
[15]
Michael Rabiger, Metode And Analysis
[16] Thomas
Elsaesser & Warren Buckland. Studying Contemporary American
Film. Oxford University Press Inc : 2002
[17] Thomas Elsaesser & Warren B, Studying Contamporary American Film; A Guide To Movie Analysis Oxford University Press, 2002
[18] ibid
21
[19]
ibid21
[20]
ibid????
0 komentar:
Posting Komentar