BAB 1
PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Diera kontemporer seperti ini, Eurocentrism menjadi perdebatan hangat dalam kurun dekade terakhir, topik ini menjadi hangat diperbincangkan dan diperdebatkan, baik dalam ruang lingkup media maupun institusi-akademisi, apakah pendekatan semacam Eurocentrism merupakan suatu keterkaitan yang selalu merujuk pada aspek historis Eropa, atau hanyalah pendekatan yang dangkal berdasarkan angan angan, mengingat konstribusi dan dominasi Eropa dalam hal ilmu pengetahuan.
Dalam buku Unthinking Eurocentrism (Robert Stam-Ella Shohat) yang berfokus pada Eurocentrism dalam budaya populer diuraikan bahwa ‘warisan Eurocentric’ sangat diperlukan yang tidak hanya untuk memahami representatif media kontemporer tetapi juga pada subjektif kontemporer. Hingga saat ini Eurocentrism menjadi semacam endemik diera kontemporer, termasuk dalam dunia pendidikan (cara berfikir) bahwa naturalnya Eurocentrism diartikan sebagai ‘common sense,’. Hingga tak bisa dipungkiri aspek dan efek dari konsep ini menjadikan Barat sebagai kiblat, karena pemahaman dalam subjek kontemporer (merujuk pada generasi muda) akan selalu mengasimilasikan politik Barat, baik secara produk, gaya hidup maupun ideologi, dan hal ini terlepas dari baik buruk akan penerjemahan Eurocentrism yang dihadapkan pada budaya dan ideologi non-Barat, dalam hal ini budaya Indonesia.
Arti Eurocentrism di era ini bukan hanya menjelaskan bagaimana sejarah menempatkan Eropa sebagai faktor dominan dalam kebudayaan yang mempengaruhi dunia, aspek ini bisa semakin luas, karena ia dominan dan hegemonik maka Eurocentrism menjadikan segala sesuatu berpatokan pada Eropa-Barat, dan merupakan ‘kebenaran’. Oleh karenanya arti pemikiran Eurocentrism sendiri bukan pada letak geo-politik eropa namun pada subjek yang berfikir Eurocentrism sebagai ukuran atau cara berfikir. Sekali lagi penulis memfokuskan subjek kontemporer sebagai generasi muda ataupun yang akan datang.
Eurocentrism adalah wacana yang sangat kompleks, kontradiktif, bahkan penuh ketimpangan historis. Namun dalam dinamika potret dan analisis kontemporer, Eurocentrism bisa dipandang sebagai cara berfikir dalam keterlibatan sejumlah tendensi kecenderungan intelektual yang saling terkait dalam cara membedahnya.
Karena Eurocentrism selalu dinilai serangan terhadap Eropa maka belakang hal ini disadari bahwa konsep seperti ini sudah tidak mungkin untuk diangkat lagi sehingga muncullah wacana untuk bagaimana menyikapi-mengkritik Eurocentrism. Bahwa konsep ini bukan serangan terhadap Eropa namun yang terpenting adalah bagaimana menyikapi sikap ideologi Eurocentrism yang menempatkan Eropa dalam suatu binaristik hirarkis. Dan fokus penulisan ini tidak merujuk pada ketidak-elokan Eropa atau sejarah Barat melihat Timur, namun bagaimana menyikapi sikap ideologis dari konsep ini, oleh karena realitas yang ada, kita (Timur) justru ‘menikmati’ suguhan Eurocentism khususnya di era kontemporer saat ini (Kapitalis, Konsumerism, Liberalism, dsb). Dan bahwa hal ini jelas terlihat dalam konstruksi dan dinamika sosial dalam subjek atau masarakat kontemporer. Studi kasusnya, penulis menampilkan film Virgin sebagai bahan kajiaannya.
Dalam makalah, penulis ingin menyorot dampak sosial dalam masyarakat Indonesia saat ini, yang banyak terjadi perubahan yang dratis, terutama pada generasi muda Indonesia. Dampak yang dihasilkan dari kebangkitan Indonesia, tidaklah selalu menggembirakan karena dapat kita lihat sendiri kondisi sosial masyarakat Indonesia terus mengalami penurunan.
Dapat kita lihat dari munculnya budaya instant atau budaya adaptasi yaitu budaya menginginkan segalanya didapat dengan cepat dan mudah. Kemudian karena Indonesia merupakan negara berkembang dimana kondisi ekonominya terus mengalami kemajuan, ini juga berdampak kepada masalah konsumerisme kemudian memuncullkan kehidupan hedonisme di kalangan generasi muda.
Kebanyakan generasi muda Indonesia mengininkan segala sesuatunya dengan mudah, maka dari itu mulailah bermunculan generasi muda yang menjajahkan dirinya hanya untuk mendapatkan kemewahan yang ia inginkan, Itulah yang menjadi alasan penulis mengangkat film Virgin menjadi topik makalah kami, karena kami menganggap bahwa film ini dapat menjadi cerminan kehidupan masyarakat Indonesia saat ini.
I.2 Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk:
1. Menambah pengetahuan penulis tentang masalah sosial yang ada di masyakat saat ini.
2. Menakar kemampuan penulis dalam bidang kajian film dengan studi kasus masyarakat Indonesia melalui refleksi Film, khususnya dalam masalah sosial masyarakat yang terjadi di Indonesia saat ini.
3. Dengan menulis makalah ini, penulis dapat membandingkan teori-teori yang penulis terima di kelas kajian film dengan keadaan sosial sebenarnya.
4. Untuk pembaca, penulis berharap membantu pembaca dalam memperluas wawasannya di bidang film yang berhubungan dengan keadaan masyarakat Indonesia
5. Untuk akademia, penulis berharap dapat membantu menambah pengetahuannya.
1.3 Ruang Lingkup
Ruang lingkup yang kami bahas dalam makalah adalah film Virgin sebagai cerminan generasi muda Indonesia saat ini -atau yang saya sebut sebagai generasi tanggung- khususnya dihubungkan dengan konsumerisme dan kehidupan hedonisme.
BAB II
ISI
II.1 Film Virgin Refleksi dari Eurocentrism Masyarakat Indonesia?
Telah disebutkan bahwa wacana mengenai Eurocentrisme sangatlah kompleks hingga mampu mempengaruhi lintas ekonomi, sosial dan budaya. Permulaan Eurocentrism muncul sebagai wacana nasionalitas dalam perbincangan kolonialisme. Kolonialisme bukan sekedar pada penjajahan geografi-politik, namun juga menjadi produk dari Eurocentrism sehingga dikenal dua pemahaman dalam istilah, yaitu; eurocentrism colonial discourses (colonial adalah produk eurocentrism) dan Eurocentric discourses (dianggap bertentangan dengan colonial discourses), artinya bahwa eurocentrisc discourses tidak merujuk pada kolonialisme (mengubur nilai ‘Eropa’) dan bukan sesuatu yang kontradiktif sehingga menyebabkan wacana tentang eurocentrism menjadi wacana yang sangat kompleks dalam lingkup media dan institusi-akademisi.
Point dari pembahasan ini adalah bergelut pada wacana eurocentrism discourses yang merupakan tendensi berfikir secara intelektual Eropa, artinya bahwa nilai historis dari konsep Eurocentrism ditiadakan dalam penulisan ini, karena hanya akan memunculkan binaristik baik dan buruk. Realitanya, rasionalitas konsep Eurocentrism discourses bertujuan perkembangan meskipun tidak bisa dipungkiri ada yang direduksi, disini penulis mengartikannya bukan sebagai binarisasi melainkan sebagai tendensi cara berfikir, contoh: Negara negara berkembang dinilai membaik dalam taraf sosial-ekonomi namun disisi lain nilai humanis dari kebudayaan luntur. Hal ini menjadi acuan penulis mengambil contoh film Virgin, yang memaparkan kaum muda untuk bisa mapan secara ekonomi namun disisi lain dianggap pengikisan nilai Timur. Dalam hal ini penulis beranggapan bahwa kita (Timur) ingin melawan, namun sikap perlawanan yang ditampilkan adalah ‘menikmati’- Konsumerisme.
Melihat Indonesia, salah satu perubahan sosial yang menyertai kemajuan ekonomi di Indonesia kurun terahir ini adalah berkembangnya berbagai gaya hidup sebagai fungsi dari diferensiasi sosial yang tercipta dari relasi konsumsi. Di dalam perubahan tersebut, konsumsi tidak lagi sekedar berkaitan dengan nilai guna dalam rangka memenuhi fungsi kegunaan atau kebutuhan dasar manusia, akan tetapi hal ini juga berkaitan dengan unsur simbolik untuk menandai kelas, status, atau simbol sosial tertentu.
Konsumsi mengekspresikan posisi sosial dan identitas kultural seorang didalam masyarakat. Yang dikonsumsi tidak lagi sekedar obyek, tetapi juga makna-makna sosial yang tersembunyi dibaliknya. Kecenderungan seperti ini, oleh para pemikir sosial dan budaya Eropa, pada umumnya disebut sebagai budaya Konsumerisme .
Konsumsi itu sendiri sebagai suatu proses menghabiskan atau mentransformasikan nilai-nilai yang tersimpan didalam sebuah obyek. Konsumsi adalah proses eksternalisasi dan internalisasi diri lewat obyek sebagai medianya. Dalam hal ini, obyek dapat menentukan status, prestise, dan simbol-simbol sosial tertentu bagi para pemakai. Obyek membentuk perbedaan-perbedaan sosial dan menaturalisasikannys melalui perbedaan-perbedaannya pada tingkat semiotik atau pertandaan .
Di Indonesia budaya konsumerisme dapat kita lihat pada kehidupan sehari-hari, semisal: munculnya banyak pusat-pusat belanja di kota-kota besar di Indonesia, kecintaan masyarakat terhadap produk-produk luar negeri yang menciptakan prestise bagi para pemakainya, membeli barang-barang yang tidak sesuai dengan kebutuhannya, bahkan melebihi dari penghasilannya. Kehidupan konsumerisme memang sering terjadi di negara berkembang, dimana masyarakatnya banyak bermunculan ”Orang Kaya Baru” (OKB), sehingga konsumerisme menjadi hal yang wajar di negara berkembang.
Selain itu keadaan generasi muda Indonesia juga mulai memprihatinkan, selain budaya konsumerisme, kehidupan seks bebas juga mewarnai ”budaya” di Indonesia, Kita ambil contoh hasil polling dari Lembaga Swadaya Masyarakat Sahabat Anak Dan Remaja Indonesia (Sahara Indonesia) menyimpulkan bahwa 44,8 persen mahasiswa dan remaja Bandung telah melakukan hubungan seks (Pikiran Rakyat, 26/5/04). Di Malang, penelitian yang dilakukan oleh dr Andi terhadap 202 remaja mendapati bahwa hampir 15 persennya telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah. Di Sulawesi Tenggara, pada tahun 2000 lalu, jumlah remaja yang pernah melakukan hubungan seks pranikah mencapai 29,9 persen (Gemari, September 2001). Sementara di Jakarta, pada tahun 1999 saja, hasil penelitian Dr. Boyke Dian Nugraha terhadap remaja yang datang ke Klinik Pasutri miliknya menunjukkan bahwa 18 persen diantara mereka pernah melakukan hubungan seksual pranikah. Beberapa diantaranya masih SMP. Besar kemungkinan, saat ini prosentasenya sudah bertambah.
Dalam film Virgin, kehidupan seks bebas juga ditonjolkan, dimana seks menjadi hal sangat mudah dilakukan kepada siapapun, seperti tokoh Ketie yang menjadi menjajakan tubuhnya demi uang, kemudian Stella yang menawarkan seks kepada siapapun yang dapat membantunya untuk menjadi artis. Dalam kehidupan nyata, memang ini benar-benar terjadi, kita belum melupakan VCD iklan sabun, dimana para calon modelnya, rela untuk telanjang bulat ketika diminta oleh para pencari talent, dan belum lagi seks yang dilakukan anak-anak SMA yang dapat kita cari dengan mudah melalui internet.
Tak bisa dipungkiri bahwa globalisasi yang membuat dunia menjadi tak berbatas serta meningkatnya konsumerisme di kalangan remaja (berusia 15-24 tahun), hal ini sangat berbahaya bagi remaja ketika kenginan untuk mengkonsumsi barang sangat tinggi, namun tidak dibarengi dengan keadaan ekonominya, mereka cenderung untuk melakukan apa saja untuk mendapatkan keinginannya.
Kita dapat lihat bagaimana dalam film Virgin kehidupan Stella ”si anak pejabat” yang kehidupannya sangat mapan, yang cendrung menyukai hidup berfoya-foya dan selalu ingin menjadi pusat perhatian. Kita dapat lihat dibeberapa adegan, seperti :
a. Di rumah yang super mewah, Stella hidup nyaman, dengan fasilitas yang lengkap dari orang tuanya, contohnya mobil pribadi untuk berpergian, handphone, dan kulkas yang selalu penuh berisi makanan.
b. Stella selalu ingin menjadi pusat perhatian, ketika ia memamerkan tato kepada teman-temannya.
c. Ketika Stella menghalakan segala cara untuk meraih cita-citanya sebagai artis terkenal. Ia mencoba menjajahkan diri kepada sutradara, sebagai jalan pintas menuju cita-citanya menjadi artis. Sebuah gambaran artis juga mencerminkan keinginan Stella menjadi pusat perhatian dan kehidupan yang mewah.
II.2 Hubungan teori Kapitalis dengan Konsumerisme
"GUE ingin ngelepasin virgin gue!" kata Ketie. ''Untuk seks, apa duit?" tanya Stella. "Ya duit, dong!" tegas Ketie, seorang remaja yang tergila-gila pada tren dan gaya hidup mewah. "Tuh kan, gue tau lo nggak bertahan lama," ujar Stella yang tampak gembira dengan jawaban Ketie. Bergegaslah tiga siswi SMA (Stella, Ketie dan Biyan), yang bersahabat tersebut sibuk mencari ‘calon pembeli’. Dan berhasil. Yaitu seorang ‘bapak’ seusia ayah Ketie dengan harga Rp 10 juta. Segeralah terjadi ‘jual-beli’, dimana…..di toilet sebuah mall !!!
Adegan tersebut diambil dari salah satu bagian plot dalam film Virgin, yang menandakan kehidupan konsumerisme mulai menjadi nyawa baru bagi identitas generasi muda Indonesia, untuk memenuhi strata kelas kehidupan mewah akibat dogma werstenisasi.
Alasan lain ketika Katie ditanya oleh kawan-kawannya digunakan untuk apa uang sepuluh juta rupiah. Ia menjawab uang tersebut akan digunakan untuk membeli sebuah hand phone seperti milik teman; stella yang memiliki fasilitas camera. Problem- problem anak remaja, anak lelaki dan perempuan mencapai kematangan seksual dan keintelektual pada permulaan masa remaja dan kematangan fisik pada akhir masa remaja, ketercuali apabila terdapat abnormalitas biologis yang serius. Masing-masing proses kematangan tersebut bebas dari pengendalian personal karena problem-problem anak remaja tidak terletak didaerah kematangan social, emosional, moral dan ekonomi.
II.3 Pandangan dari sudut psikologi dengan perilaku tokoh film Virgin.
UMUR KEMATANGAN SEKSUAL
Umur (dalam tahun ) Presentase
Anak laki-laki Anak perempuan
8 0 0
9 0 1
10 0 2
11 2 10
12 5 78
13 14 78
14 48 82
15 78 94
16 93 97
17 98 99
18 100 100
Dari table tersebut ternyata bahwa pada umumnya gadis telah matang terlebih dahulu daripada anak laki-laki dan anak lelaki tetap berada didalam presentasi yang lebih kecil kecuali pada akhir masa remaja. Seperti permasalahan – permasalahan remaja akan menghendaki dunia yang sempurna, bahkan kesempurnaan menjadi kekurangan yang tak terelakkan karena masa remaja memiliki kapasitasnya, seperti:
a. Kematangan social.
Anak remaja harus bergaul dan bekerja sama dengan baik dengan anak-anak lain, ia harus mengembangkan kepercayaan diri sendiri dan sikap toleransi. Anak-anak remaja itu peka sekali terhadap hubungan dan tekanan-tekanan social. Kepekaan ini menyebabkan mereka berkeinginan untuk menyelaraskan diri dengan selera kelompok. Reaksi mereka terhadap prestise didalam kelompok sendiri lebih cepat jika dibandingkan dengan reaksi mereka terhadap kebanyakan bentuk-bentuk pengakuan dan pembenaran orang dewasa. Oleh karena itu mereka setia sekali terhadap pihak-pihak diluar kelompok mereka.
b. Kematangan Emosional.
Anak remaja harus memiliki bentuk-bentuk ekspresi emosional orang dewasa, ia harus belajar unutk tidak lari dari kenyataan ; reaksi emosional harus digantinya dengan reaksi-reaksi rasional.Sementara ada orang yang tidak pernah menjadi dewasa. Orang yang sudah dewasa adalah orang yang tidak lari dari kenyataan, yang tidak memandang segala sesuatu dari sudut dirinya sendiri, dan yang menjadi marah menghadapi persoalan kecil-kecil yang ada disekelilingnya, kecuali itu tidak lagi menunjukkna perasaan marah dan takut yang sifatnya kekanak-kanakkan.
c. Kedewasaan Intelektual.
Minat-minat anak remaja seperti mengikuti olahraga, acara televisi dan film, mengkoleksi barang-barang, menulis, bermain musik dan berhubungan sosial dan kegiatan ekstrakulikuler. Minat ini menjadi dasar hidupnya kelak dan diantaranya akan berkembang menjadi pekerjaan, jika tidak kegiatan khas anak remaja itu tidak membangkitkan minat malahan memuaskan bagi orang dewasa yang intelektual. Pada saat minat seseorang mengalami perubahan, kemampuan mentalnya pun tumbuh. anak remaja cenderung meminta bukti-bukti nyata dan penjelasan-penjelasan kearah pengembangan kebebasan intelektual.
d. Falsafah Hidup yang Matang
Anak remaja dijaman modern ini ingin merasa aman dan menikmati kepuasan emosional. Ada yang menemikan kepusaan itu dalam kehidupan agama, tetapi ada pula yang mengalami kesukaran dalam menerima agama sebagai akibat dari berkembangnya ilmu pengetahuan.
Penyelidikan ilmiah terhadap rahasia-rahasia alam ini yang merupakan ekspresi yang dapat diterima dari dorongan ingin tahunya yang telah lama terhalangi, yaitu dorongan ingin mengetahui segi-segi seksual dan antomis. Ada pula anak-anak remaja yang menunjukkan sikap sosisl dan politik yang radikal. Nampaknya lebih mudah merubah dunia dari pada merubah diri sendiri. Karena belum diterima sederajat oleh orang tuanya, anak muda bersimpati bahkan meng identifikasi dirinya denagn mereka-mereka yang menjadi korban sikap tidak toleran.
Sementara anak remaja ada yang memperlihatkan sikap reaksioner dan konservatif, menginginkan agar dunia tetap saja seperti yang sudah-sudah. Ada pula anak-anak remaja yang menghadapi dunia yang kompleks ini dengan sikap bingung dan penuh keraguan, meskipun tidak yakin akan apa yang ia inginkan ia akan tetap berusaha memecahkan persoalan-persoalan yang bertubi-tubi didalam dirinya, lalu lahirlah jawaban-jawaban yang bernilai seperti kesusastraan, fisafat, teologi dan sebagainya.
Dilihat dari teori tersebut, kita dapat menghubungkan mengapa perilaku remaja dapat terjerumus kepada tindakan cenderung nekad untuk memenuhi kebutuhan konsumernya. Pada point (a) telah disebutkan bahwa Anak-anak remaja itu peka sekali terhadap hubungan dan tekanan-tekanan sosial. Kepekaan ini menyebabkan mereka berkeinginan untuk menyelaraskan diri dengan selera kelompok. Kita dapat melihatnya dari ikatan kelompok Biyan, Ketie, dan Stella ketika mereka mendapat tekanan dari lingkungannya, contoh: mereka harus menggantikan sebuah mobil yang mereka hilangkan kepada seorang mafia, mereka terus terikat dan melakukan hal-hal yang sebenarnya mereka tidak suka, seperti menjual diri namun uang dari “jasa”nya harus disetor untuk menggantikan mobil tersebut.
Selain itu adalah Perilaku Ketie yang demi untuk mengikuti gaya hidup Stella yang anak seorang pejabat, Ketie rela untuk menjual keperawanannya agar ia dapat membeli handphone dan mengendarai taksi untuk pergi ke sekolah (padahal biasanya ia pergi dengan bajaj).
Kemudian pada point (b) dijelaskan bahwa Pada saat minat seseorang mengalami perubahan, kemampuan mentalnya pun tumbuh. anak remaja cenderung meminta bukti-bukti nyata dan penjelasan-penjelasan kearah pengembangan kebebasan intelektual. Ini dibuktikan ketika Biyan yang memiliki obsesi tentang sastra dan menjadi penulis novel dan Stella yang terus berusaha keras dalam mencapai keinginan menjadi artis.
Terakhir pada point (c) disebutkan bahwa Ada pula anak-anak remaja yang menghadapi dunia yang kompleks ini dengan sikap bingung dan penuh keraguan, meskipun tidak yakin akan apa yang ia inginkan ia akan tetap berusaha memecahkan persoalan-persoalan yang bertubi-tubi didalam dirinya, Teori ini dapat kita lihat pada Biyan, dimana ia sering menulis buku harian di laptopnya, mengenai segala masalah hidupnya sendiri, keluarga, dan teman-temannya, Biyan penuh dengan pertanyaan-pertanyaan dasar tentang kehidupan, sehingga pada akhirnya cerita perjalanan hidupnya dijadikan sebuah novel (kesusastraan)
II.4. Hubungan Teori Marx dengan Kapitalisme dan Konsumerisme
Dalam teori Marx, menghubungkan proses objektifikasi dengan relasi produksi dan penciptaan obyek-obyek dalam masyarakat kapitalis, produksi kapitalis, obyek-obyeknya tidak diproduksi oleh subyek yang memiliki sarana dan prasarana produksi serta modal, akan tetapi oleh subyek sebagai pekerja yang memproduksi obyek untuk para pemilik modal. Sang subyek menempati posisi sebagai komoditi yang diperjualbelikan tenaganya sama seperti obyek yang diproduksi, Marx melihat suatu proses yang disebutnya perceraian dari hasil kerjanya.
Menurut Marx, subyek tidak mungkin berkembang melalui obyektifitas karena cenderung menghalangi, ketimbang meningkatkan perkembangan subyek. Hal ini menjadi sebuah arena pembuatan obyek yang dijauhkan dari tindakan penciptaan mandiri sang subyek. Dalam keterpisahan dari obyek hasil kerjanya sang subyek kehilangan unsure-unsur kemanusiaannya, dan ia menjadi lebih sebagai obyek, Max melihatnya didalam kondisi dan relasi yang palsu, di dalam masyarakat post industri atau masyarakat konsumer.
Celakanya masyarakat konsumer tidak saja berfungsi sebagai konsumsi tetapi posisinya menjadi lebih kompleks dikarenakan tata nilai yang ditawarkan semakin beraneka ragam, akan tetapi siklus perputaran dan tempo pergantiannya semakin cepat. Dalam keanekaragaman dan eprcepatan produksi, proses pengendapan menjadi lepas kendali sehingga masyarakat mengkonsumsi melalui sublasi kehilangan makna.
Kelompok masyarakat tertentu yang memiliki kebudayaan konsumsi berlebihan seperti kaum selebriti, jet set, remaja menengah ke atas perkotaan yang sudah mencapai tahap belanja gaya hidup, karena apa yang dicari bukan lagi makna-makna ideologis, melainkan kegairahan dan ekstasi dalam pergantian obyek-obyek konsumsi. Sekali hasrat dicoba, dipenuhi lewat subtitusi obyek-obyek hasrat, maka yang muncul hanya hasrat yang lebih tinggi dan lebih sempurna lagi. Kita mempunyai hasrat akan sebuah obyek tidak disebabkan kekurangan alamiah terhadap obyek tersebut, akan tetapi perasaan kekurangan yang kita produksi dan reproduksi sendiri.
Mesin hasrat akan selalu membawa resiko dengan menenggelamkan subyek yang dikuasainya kedalam kawasan, tanda, symbol, atau nilai yang tumpang tindih, simpang siur, atau kontradiktif. Produk, gaya, citraan yang dating dan pergi silih berganti, hanya menciptakan hutan rimba, tanda-tanda yang silang menyilang.
Deleuze menyebutkan masyarakat kapitalis akhir sebagai skizofrenia, seperti yang dikutip sebagai berikut:
“hal ini menggoreskan pada tubuhnya doa-doa keterputusan, dan menciptakan bagi dirinya dunia tangkis-tangkisan, dimana setiap perpindahan tempat dianggap sebagai tanggapan terhadap situasi baru, jawaban terhadap pertanyaan iseng. “
Didalam masyarakat consumer, tidak saja cara dan model konsumsi yang bersifat skizofrenik, akan tetapi obyek-obyek sendiri dengan gaya-gaya mengalir mengikuti model skizofrenia. Dalam masyarakat postmodern yang skizofrenik, tidak jelas makna-makna apa yang dikatakannya tentang pemiliknya. Terlalu banyak gaya, terlalu banyak pilihan, terlalu banyak lakon. Terlalu banyak tanda, terlalu banyak peran, artinya terlalu banyak cermin tempat orang berkaca dan menemukan citra cermin dirinya. Namun, apa yang ditemukan sebagai refleksi diri adaah pergantian tanpa akhir. Dalam proses identifikasi diri, di hadapan cermin, apa yang dipantulkan bukan lagi rangkaian makna-makna, akan tetapi pergantian citra diri dan gaya hidup itu sendiri.
Gaya visual merupakan bagian yang tidak terpisahkan yang membentuk gaya hidup, di masa kini istilah gaya hidup tidak bisa dipisahkan dari iklan, dan tidak saja mempresentasikan gaya hidup akan tetapi juga mengaktualisasikannya. Kontroversi virgin ketika oleh berbagai pihak yang tidak setuju dengan pemutaran film virgin, film ini ditakutkan akan menjadi pengaruh yang buruk bagi masyarakat tertentu khususnya remaja. Masalah ini dapat dihubungkan dengan teori peniruan dari media masa, yaitu:
a. Efek negative yang dikhawatirkan dari media massa, khususnya yang menyangkut delinkuensi dan kejahatan yang bertolak dari besarnya kemungkinan / potensi pada pihak masyarakat untuk meniru apa-apa yang disaksikan / diperoleh dari media massa.
b. Pengenaan / eksplosure terhadap isi media massa memungkinkan khalayak untuk mengetahui isi media massa dan kemudian dipengaruhi oleh isi media tersebut. Hal ini terlihat bahwa prilaku kita sering dipengaruhi oleh pengenaan terhadap prilaku lain.
c. Kebanyakan para penonton dirumah mengidentifikasikan dirinya dengan para tokoh idola dimedia massa, dalam tingkah laku atau penampilannya, sehingga ia tampak identik dengan sitokoh.
Konsep identifikasi mempunyai tiga pengertian yang khas, yaitu :
a. Menurut analisa Bronfenbrenner tahun 1960,identifikasi menunjukkan kepada prilaku ketika seorang bertindak atau merasa seperti orang lain (yang disebut “model”).
b. Identifikasi juga berarti suatu motif dalam bentuk suatu keinginan umum untuk berbuat atau menjadi sperti orang lain. Motif ini biasanya mengacu kepada kecenderungan untuk menyamai standar ideal dan prilaku orang tua.
c. Istilah identifikasi mengacu kepada proses atau mekanisme dimanan anak-anak menyamai suatu model dan menjadikan diri seperti model itu. Konsep mengenai mekanisme ini telah dikemukakan oleh berbagai teoritis, dimulai oleh Freud yang mengatakan bahwa akibat dari penyesuaian diri / identifikasi yang tidak berhasik akan membentuk akstrim mekanisme penyesuaian diri, malahan sifatnya tidak menjangkau sebab tetapi dengan menarik kompensasi. Kebiasaan seperti itu dapat menjauhkan dan embatasi kepribadian orang yang membentuknya sehingga merusak hubungan –hubungan manusia. Kalau mekanisme ini tidak bisa membawa hasil , mengapa orang mempertahankannya/ bukankah menurut law of effect kalau orang belajar karena adanya pengaruh kesuksean yang berulang kali.
Metode-metode ini merupakan kiasan akan kemajemukkan nilai-nilai budaya eksport yang hanya memikirkan komoditas kaum elite, tanpa memiliki sisi edukasi serta memberikan ruang untuk kita bisa menetralisirkan kecenderungan masyarakat, terutama kaum remaja yang mengataskan nama “pergaulan”. Kehidupan hura-hura menjadi “nama tengah” para remaja untuk menunjukkan keeksisan keberadaan mereka, mencoba menyamai kehidupan selebritis yang mereka lihat, dengar dan dijadikan panutan. Identifikasi berlanjut kearah yang lebih bawah lagi, bahwa hal tersebut menjadi mutlak bagi gaya hidup mereka, terutama rantai hitam masyarakat yang masih mencari identitas tidak bisa direntangkan sehingga dapat mengikat pemikiran para remaja agar terus bisa merasionalkan pikiran serta tetap menjaga nilai-nilai masyarakat.
II.5 Budaya pop dan Konsumerisme
Pertumbuhan media massa memang seiring dengan perkembangan industrialisasi. Dengan membesarnya jumlah penduduk. Tumbuhnya kota-kota yang penduduknya sudah tak terhitung lagi dengan jari tangan, maka diperlukan saluran komunikasi yang dapat menjangkau setiap orang. Komunikasi pribadi menjadi renggang. Maing-masing mempunyai kesibukan sendiri-sendiri. Tempat tinggal berjauhan. Seiring dengan Mass production. Kegiatan bisnis, kesempatan untuk berpartisipasi dan menarik manfaat, untuk sales, dan sebagainya.
Terjadilah intervensi media massa ke dalam kehidupan seseorang. Media menajadi bagian dari perangkat rumah tangga. Kepemilikan media. Di kota readership surat kabar/ majalah menjadi tinggi. Karakteristik khalayak masing-masing media memang lebih mungkin terpenuhi warga kota.
Melalui saluran teknologi komunikasi yang ada dewasa ini, dalam sekejap saja sajian-sajian yang berasal dari negara maju telah sampai di negara berkembang. Di layar televisi kita sekarang dapat disaksikan berbagai iklan. Didalamnya tanpa disadari terselip falsafah masyarakat yang sudah berkelimpahan yaitu fasafah konsumen.
Kebudayaan popular atau kebudayaan komoditi adalah satu cara dalam memanipulasi masyrakat melalui satu bentuk yang disebut sabagai administrasi total. Bentuk administrasi total ini cenderung bersifat total menyerupai sifat totalitariam fasisme, dikarenakan adanya unsur pengaturan massa (consumer) dari atas sembilan produser sehingga menjadikan merala pasif. Selera masyarakt diatur oleh produser melalui standarisasi tertentu sehingga menjadikan mereka massa yang bisu dan sebaliknya mengukuhkan orde produkasi dan ideologo dominant (ideology borjouis).
Penerus mahzab Fankfurt yang lainnya adalah Hebermas mempunyai penekanan yang agak berbeda dalam kritiknya terhadap kapitalisme. Didalam menyoroti secara kritis system kepitalisme, konsep rasionalitas Weber digunakan oleh hebermas untuk menjelaskna keputusaan ekonomi – politik kapitalime. Rasionalisasi dalam kapitalisme , menurut Hebermas berkaitan dengan proses pelembagaan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, sehingga ia meresapi dan mentrasformasikan lembaga social yang ada untuk membentuk pandangan hidup yang berorientasi aksi rasional dan pada akhoirnya mengahncurkan legalitas tradisional (agama, adat dan kepercayaan).
Apa yang disoroti Hebermas adalah masalah rasionalisasi masyarakat melalui ekonomi dan perkembangan teknologi kapitasme. Model pertumbuhan ekonomi dan perkembangan tekhnologi dijadikan sebagai paradigma perkembangan social. Persoalan yang kemudian muncul adalah bahwa untuk menjaga tidak terjadinya konflik social didalam proses rasionalisasi tersebut aparat negara bekerja sama dengan para borjouis menjalankan kebijakan depolitisasi massa, sekaligus membentuk loyalitas massa terhadap kebudayaan dengan cara mengalihkan perhatian pada orientasi karir, kegiatan waktu senggang, hiburan dan konsumsi.
BAB III
KESIMPULAN
Terlepas dari segala kontroversi, Film Virgin sebenarnya menjadi sebuah refleksi kehidupan yang ada di Indonesia saat ini, khususnya kota-kota besar, dimana konsumerisme telah merasuki setiap masyarakatnya dan rela melakukan apapun demi untuk mendapat apapun yang diinginkannya.
Selain itu, Budaya instan juga melatarbelakangi tingkat konsumerisme yang tinggi tanpa dibarengi usaha yang keras. Budaya instan ingin cepat mendapatkan hasil, dibentuk atau membentuk rasa malas untuk berusaha secara maksimal, sehingga jalan pintas pun sering dilakukan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan, seperti yang terjadi pada tokoh film Virgin.
Kita tidak bisa menyalahkan 100 persen kepada para pelaku konsumerisme, ini terjadi juga dikarenakan media massa dan para manusia-manusia kapitalis yang terus menyebarkan budaya-budaya pop, instan, sehingga pada akhirnya melahirkan budaya konsumerisme.
Para kapitalis terus akan menyodorkan produk-produk yang menggoda para konsumennya, dan mereka pun tidak peduli bagaimana orang tersebut mendapatkan uang untuk membeli produk mereka. Yang terpenting adalah produk laku di pasaran dan mereka menjadi kaya. Belum lagi media massa yang terus menghipnotis para konsumen untuk membeli suatu produk, ataupun menawarkan sebuah gaya hidup mewah dengan mobil mewah, pakaian mewah, serta rumah mewah selalu menghiasi tontonan masyarakat Indonesia.
Apabila melihat keadaan sebenarnya pada situasi masyarakat Indonesia, tentunya gaya hidup tersebut jauh dari kenyataan. Dan inilah yang membuat masyarakat Indonesia terlena, dan mereka hanya berpikir untuk menikmati gaya hidup seperti itu, tanpa dibarengi dengan usaha yang panjang dan keras, dan pada akhirnya mereka selalu mencari jalan singkat untuk mejadi kaya.
Bagaimana cara penanggulangannya? Masalah ini sangat sulit untuk ditanggulangi, karena sudah menjadi budaya di masyarakat, yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan masalah ini adalah, kesadaran sendiri dari masyarakatnya. Globalisasi telah melingkupi semua sendi masyarakat, sehingga masalah seperti konsumerisme pasti selalu ada, globalisasi telah menjadikan dunia menjadi satu market yang besar, tanpa adanya batasan-batasan yang jelas. Manusia terus diberondong dengan barang dan jasa kemudian iklan-iklan yang terus merasuki pikiran manusia untuk membeli, dan untuk mencegah ini tidak akan pernah bisa, kecuali dari manusianya itu sendiri.
Saat ini bukanlah menjadi masalah bagaimana cara pencegahannya, karena masalah ini sudah terjadi, namun bagaimana cara menyadarkan masyarakat konsumerime dan menolak menjadi masyarakat konsumerisme.
DAFTAR PUSTAKA
Ella Rohat, Robert Stam, Unthinking Eurocentrism.’ p.Introduction, London 1994
Chaer, Abdul. 2003. Psikolinguistik: Kajian Teoritik. Jakarta: Rineka Cipta
Mahmud, M. Dimiati. 1990. Psikologi: Suatu Pengantar. Yogyakarta: BPSE
Nasution, Zulkarimien. 1993. Sosiologi Komunikasi Massa. Jakarta: Universitas terbuka.
Piliang, Yasraf Amir. 1999. Sebuah Dunia yang Dilipat. Bandung:Mizan.
0 komentar:
Posting Komentar