Lecturer: Dr. Seno.G.A.
Introduction;
Sinema Dunia Kontemporer
Persepsi yang mengatakan bahwa Hollywood merupakan titik episentrum dari kancah perfilman dunia mungkin dapat dibenarkan bila hal ini ditinjau dari sudut pandang Imprialisme, dan komersial. Pengaruh lintas budaya Amerika terhadap ‘world cinema’ melalui dominasi ekonomi dan sosio-kulturnya menyebabkan Hollywood menjelma menjadi kiblat perfilman dunia. Pesatnya arus globalisasi serta kemajuan teknologi dalam industri perfilman kian mempertajam dampak Amerikanisme kedalam sendi sendi infrastruktur ‘world cinema’ yang meliputi dataran Eropa, Timur Tengah, Asia Tenggara dan Amerika Latin. Namun seiring berjalannya waktu, industri perfilmana non-Hollywood ini mampu berkembang menciptakan identitas tersendiridan mempunyai ciri khas eksotisme yang tidak dimiliki film film Hollywood.
Istilah ‘world cinema’ atau sinema dunia itu sendiri masih memicu perdebatan tentang apakah Hollywood termasuk didalamnya atau tidak, namun hal ini tidak menyurutkan langkah para pemerhati film untuk mempelajari secara lebih mendalam pengetahuan tentang film baik melalui kajian kajian sinematik yang bersinggungan dengan unsur estetika dan etika maupun teknik spesifikasi industri semisal editing, sinematografi, dan lainnya. Latar belakang budaya suatu daerah yang mencakup aspek sosio-historis, letak geografis, agama serta linguistik memainkan peran sebagai indikator sinematik yang sering kali dirujuk untuk menelaah perkembangan pergerakan perfilman suatu daerah, konteks regional.
Produksi Film dan Distribusinya.
Kebijaksanaan suatu pemerintah sangat menetukan baik buruknya iklim dan kondisi industri perfilman suatu negara. Keterlibatannya pada sinema mencakup investasi negara (subsidi, organisasi film) undang undang perlindungan (contohnya penetapan quota atas jumlah produksi nasional atau pengenaan bea pajak), bantuan industrial (institusi pelatihan), Intervensi (badan sensor), serta penyelenggaraan festifal film secara berkala yang bisa memacu motivasi dalam penciptaan karya, juga kerjasama dengan negara lain.
Dalam sejarahnya, sistem kerjasam produksi film ini seringkali dilakukan oleh industri film non-Hollywood dan produksi ‘indie’ untuk bersaing dengan dominasi Hollywood, sehingga kemitraan ini mampu mengumpulkan dana serta asset lainnya untuk melahirkan karya berdaya tarik internasional sehingga dapat diterima masarakat luas.
Sistem kerjasama atau co-production ini terbagi atas dua kategori, yaitu: Full co-productions ketika dua negara atau lebih berpartisipasi secara aktif dalam proses kreatif film making-nya. Dan yang kedua adalah co-financing, yang mana peran serta partner asing terbatas hanya pada sektor investasi, pendanaan.
Diwilayah Eropa co-production utamanya adalah Prancis, Spanyol dan Jerman. (Inggris lebih sering berpartner dengan Amerika dan Kanada dibanding dengan negara eropa lainnya). Sedangkan di Asia, Hongkong dan Jepang merupakan co-producers yang dominan. Pembuat film Timur Tengah lebih berkiblat pada Eropa khususnya Prancis.
Di Inggris dan Amerika, penayangan bioskop untuk ‘world cinema’ biasanya hanya terbatas pada distribusi Art-house atau teater kecil, lain halnya dengan film film Hollywood yang membanjiri bursa pasar dunia. Realita inilah yang menyebabkan banyak distribusi gulung tikar atau memilih bergabung dengan merger perusahaan yang lebih besar atau dengan sesama distribusi kecil lainnya agar tetap bertahan. Aliansi seperti ini memungkinkan distributor independen untuk mendapatkan akses kedistribusi yang lebih luas untuk memasarkan filmnya, walaupun kebebasan ini dibatasi oleh struktur organisasi induk distribusi.
Festival Film
Selain menjembatani fasilitas pertukaran budaya antar berbagai negara, Festival film juga berperan aktif dalam menyediakan alternatif baru pada jaringan distribusi global. Ketika kemelut distribusi Internasional semakin ruwet dan bursa bioskop untuk penayangan ‘world cinema’ semakin sulit ditembus, festival film yang mengambil kendali penting dalam distribusi dan eksebisi tersebut. Bagi para filmaker khususnya dari pihak independen atau ‘world cinema’, festival merupakan sarana yang tepat untuk mempublikasikan karya mereka dan mencari pengakuan atas eksistensi mereka, yang pada akhirnya bertujuan untuk menarik perhatian para distributor untuk memasarkan film mereka.
‘Tiga besar’ dari kompetisi film dunia adalah, Cannes. Venice, dan Berlin, yang masing masing memberikan, the Palme d’or, Golden Lion dan Golden Bear. Adapun bentuk penghargaan lain seperti the Camera d’or sebagai film debutan terbaik pada festifal film Cannes. Penganugerahan seperti ini sangat berperan dalam memicu minat penonton dan distributor Internasional. Akan lain halnya dengan perayaan Academy Awards, Oscar tidak membidik secara khusus ‘world cinema’. Ajang glamor ini murni untuk mempersembahkan kedigdayaan industri film Hollywood.
Seni dan Estetika.
Semua film, baik yang tergolong ‘Art’ maupun hiburan populer, seyogyangnya mengikuti tata laksana estetika yang berlaku. Konsep yang ditawarkan ‘world cinema’ jelas berbeda secara karakteristikdan bentuk tekstural dengan Hollywood . Sebagi contoh film Hollywood identik dengan narasi linear yang mengacu cepat, tokoh utama yang bergulat dengan konflik, ending penyelesaian cerita, dan belakangan ini cerita Hollywood sarat berbudget besar, effek spesial dan aksi spektakuler. Para filmaker Hollywood berkeyakinan bahwa genre plot diatas memiliki daya tarik universal bagi seluruh penonton didunia. Namun tentu saja hal ini tersanggah oleh keberadaan ‘world cinema’ yang memiliki konsep dasar yang berbeda dari Hollywood, dimana aliran Neorealisme Italia, New Iranian serta Bollywood India sebagai bukti kekayaan aneka ragam budaya dan identitas regional.
World cinema’ sendiri terpengaruh unsur estetika dari gerakan modernisasi Eropa-Amerika pada awal abad 20 yang terus berkesinambungan hingga tahun 1960 hingga saat ini. Tokoh Modernis Eropa tersebut antara lain adalah, Michelangelo Antoniono (Italia), Ingmar Bergman (swedia), Rainer Werner Fassbinder (Jerman) dan Jean Luc Godard (Prancis). Sedangkan sutradara modernis non-Eropa meliputi Satyajit Ray (India), Youssef Chahine (Mesir), Akira Kurosawa (Jepang), Yilmaz Guney (Turki), dan Lester James Peries (Srilanka).
Menurut salah seorang penggagas teori film, Steve Neale, ‘world cinema’ merupakan sebuah instuisi dengan sumber pendanaan tertentu, style, sirkulasi produksi, distribusi dan eksebisi, serta berbagai bentuk publitas dan promosi, yang tak terlepas dari keterkaitan dengan pemerintah setempat dan industri film Internasional. Oleh karena itu Art cinema bisa dianggap sebagai sebuah bentuk diferensiasi produk- sarana marketing yang berguna menargetkan pada penonton yang menginginkan sesuatu yang berbeda dengan konsep Hollywood. Dengan defenisi diatas maka dikatakan film yang dianggap populer dinegara mereka begitu diekspor atau dieksebisi diluar negeri maka film tersebut sering diartikan ulang sebagai ‘art’ (film art).
Art cinema sendiri telah mengalami perubahan yang cukup signifikan semenjak masa kejayaannyadi tahun 60an, begitu juga Hollywood. Setelah berakhirnya era keemasan, sistem studio Hollywood mulai meremajakan organisasinya dengan mengadopsi konsep ‘art cinema’ ke dalam produksinya. Sutradara pelopor Hollywood yang mengadaptasi plot narasi dan style ‘art cinema’ kedalam karyanya adalah Francis Ford Coppola dan Martin Scorsese. Simbiosis antara Hollywood dengan ‘art cinema’ memberikan kontribusi yang cukup besar pada perkembangan karakter dan tekstur perfilman Hollywood pasca film klasik.
Pasca Modernism dan Pasca Kolonialisme
Pasca Modernism dan Pasca Kolonialisme tak bisa dipisahkan dari ‘world cinema’ dikarenakan adanya keterkaitan secara historiografi yang pada prosesnya membentuk karakter dan bentuk tekstural dari konsep sinema tersebut.
Pasca modernisme merupakan manifestasi, bukti nyata suatu budaya hasil dari suatu era yang disebut pasca modern yang mana ditandai dengan pergeseran dari ekonomi industri berkekuatan tenaga kerja manusia menuju ke ekonomi informatika oleh komputerisasi dan elektronik (yang merupakan dampak langsung dari globlalisasi). Aliran pasca modernisme ini cenderung bersifat merubah, mengganti gaya yang telah ada sebelumnya (deskontruksi), yang antara lain berfungsi memposisikan ulang unsur artistik dan estetika suatu konsep budaya. Walau media film menampilkan tayangan dari masarakat pasca modern mengadopsi teknik dan kian bergantung pada teknologi mutakhir pasca modern, disini TV-televisi lah yang dipandang sebagai media utama dari kebudayaan pasca modern. Produk terkenal dari media TV ini antara lain, MTV, TV kabel-swasta, bermaterikan musik non stop 24 jam, yang menargetkan pasar kawula muda untuk bergaya hidup metropolis yang identik dengan ideologi kapitalis dan konsumtif.
Sedangkan pasca kolonial terfokus pada mempelajari akibat dari sisa kejayaan suatu pemerintahan-kekaisaran, serta menyelidiki hubungan antara kekuasaan masa itu dengan kondisi sosial politik saat ini. Menurut Edward Said yang menuangkan gagasannya dalam teks ‘Orientalism’, dunia Barat memelihara sebuah fantasi tentang belahan dunia Timur yang dianggap sebagai tempat terbelakang dan berbahaya, serta penuh dengan sensualitas terpendam, eksotis, dan misterius. Hal ini dimaksudkan untuk membedakan pihak dunia Barat yang beradab dan superior dari pihak dunia Timur.
Teori ‘Eurocentrism’ meyakini bahwa Eropa adalah pusat dunia dan kebudayaannya jauh lebih unggul dari kebudayaan lainnya yang semakin memperkuat klaim pihak dunia Barat.
Dalam manifestonya ‘Towards a Third Cinema’, Sutradara dari Argentina, Fernando Solanos dan Octavio Getino mengklasifikasikan film menjadi tiga bagian, yaitu:
First cinema (bertujuan komersil dan disupport oleh studio studio besar Hollywood).
Second Cinema (Art cinema Eropa berikut dengan sinema Auteurs-nya).
Dan Third Cinema (sinema yang bernafaskan revolusioner dan anti Kolonial dan Imperialism).
Resume:
Dizaman sekarang ini, konsep kontemporer ‘world cinema’ dipergunakan untuk mengkaji dinamika produksi perfilman berikutdistribusinya beserta efeknya pada sosio-ekonomik baik Nasional, Regional maupun Global.
Referensi
Chaudhuri Shohini, Contemporary World Cinema, Edinburgh University Press, hal 1-12.
Teori Film
Sabtu, 10 Oktober 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar