Bila kita melihat ke belakang sebentar,
dunia film kita pada era 90-an sempat lesu bahkan mati suri . film-film yang
diproduksi pada masa itu ga ada yang menarik, genre-nya semua sama, yakni tak
jauh soal Seks , padahal sebelum tahun ‘90 film Indonesia menarik perhatian
masyarakat… masih ingat peran Rano Karno dengan Meriam Bellina dalam film
Taksi, trus film fenomenal kita, Catatan Si Boy, belum lagi Babad Tanah Leluhu,
Ramadhan dan Ramona (Jamal Mirdad & Lidya Kandou), Kejar Daku Kau Ku Tangkap
(Dedy Mizwar & Lidya Kandou), yang bagi orang saat itu termasuk film
terbaik kita dan pada tahun ‘90 film film
yang diproduksi berubah aliran semua dan banyak bintang bintanf film yang tidak dikenal menjadi pemeran
utamanya, seperti Reynaldi, Ibra Azhari, Ayu Azhari dll .
Berbicara mengenai jenis film dan perkembangannya,
banyak hal yang dapat kita soroti sesuai dengan kondisi dan fenomena yang
terjadi di masyarakat pada saat ini. Di titik ini, kalau kemudian kita ditanya
sehubungan dengan berbagai jenis tayangan film Nasional hingga saat ini, apa
yang telah kita dapatkan dari sajiannya tersebut?
Seringkali kita
simak berbagai film yang kini sedang menuai reaksi keras dari banyak kalangan,
baik dari ormas Islam, kalangan pendidikan maupun kalangan masyarakat lainnya.
Tayangan dengan berbagai kemasan tersebut antara lain berupa tayangan-tayangan
yang bernuansa mistik, pornografi, kekerasan, dan tema remaja terutama yang
direpresentasikan dalam dunia sekolah. Hal ini bisa dimaklumi karena
tayangan-tayangan tersebut memang sudah sangat mengkhawatirkan bahkan boleh
dibilang keterlaluan.
Tayangan mistik
misalnya, betapa telah mendistorsi pola pikir masyarakat tentang keberadaan
dunia lain. Ihwal dunia gaib diekploitasi sedemikian rupa secara terus menerus.
Sehingga istilah penampakan sudah
sedemikian familier di benak penonton Keadaan ini tentunya dikhawatirkan akan
menyesatkan, bahkan lebih fatal lagi bisa mengarah kepada kemusyrikan. Sangat
ironis bahwa di tengah upaya mengajar berbagai ketertinggalan oleh
bangsa-bangsa lain di dunia, secara sistematis masyarakat kita diracuni oleh
hal-hal yang irasional, diajak melanglang ke batas antara ada dan tiada.
Keadaan ini dalam banyak hal jelas bisa mengakibatkan kontraproduktif.
Akan halnya
tayangan yang mengandung unsur pornografi, sudah sejak lama mengundang
keresahan, simaklah beberapa tayangan film yang
mengekploitasi unsur seksualitas. Atau acara yang mengupas tentang dunia
malam dengan gambar dan bahasa yang sangat gamblang. Ada juga acara yang menelusuri liku-liku
wilayah seksualitas. ketika
mengilustrasikan kasus perkosaan, perdagangan wanita dan sebagainya. Bukankah
untuk mengilustrasikan kasus-kasus serupa itu bisa ditampilkan dengan bahasa
gambar yang lebih santun, lebih filmis
, dan mengarah pada substansinya, bukan mengeksploitasi kekerasannya
atau eroitsnya.
Dari fakta yang ada maka kita akan
menyadari begitu besarnya pengaruh film ataupun tayangan lainnya, kalau orang
dewasa saja masih banyak yang terpengaruh oleh ekses negatif tayangannya, maka
apa yang dapat kita bayangkan ketika tanpa disadari anak-anak turut menonton tayangan-tayangan yang
seharusnya tak boleh mereka saksikan? Padahal mereka relaif belum mampu
memaknai sebuah tayangan dengan seutuhnya. Mereka masih berada dalam tahap
pencarian objek identifikasi dan belum mempunyai saringan yang cukup kuat dalam
jiwanya. Lalu bagaimana kalau mereka salah memilih objek identifikasinya dan
kemudian mengikuti perilakunya?
Dalam paper ini penulis menoba mengangkat
euphoria film film erotic di era 90-an awal , dimana jenis film film tersebut
begitu laku dan diminati serta bisa dibilang tidak mempunyai saingan di jenis
film yang lain. keterkaitan pemerintahpun pada saat itu tidak seketat saat ini,
melihat banyak film film sekarang yang dicekal karena dianggap terlalu porno,
meskipun kita tahu film film era 90-an lebih gawat dari film film yang ada saat
ini.
Dimulai tahun 80-an ketika banyak beredar film barat termasuk film film erotis yang mengeksploitasi tema seks di
Indonesia. Para insan perfilman yang kehabisan ide (dan memang budaya Indonesia
untuk meniru), mencoba-coba memproduksi film film erotis. Pada awalnya
ceritanya berbobot. Lama-kelamaan yang diekspos bukan ceritanya, melainkan
gambar dan adegan yang diperberat. (Misalnya adegan mandi kembang 7 rupa di
telaga. Dan saat itu memang terlihat betulan bentuk tubuhnya, tanpa sensor.)
Saat era kejayaan film erotis ,Orang-orang-para lelaki mulai berduyun-duyun ke
bioskop yang karcisnya murah hanya untuk melihat tubuh wanita dalam film saja.
Sampai Era kejayaan sinetron dimulai tahun 1990 dan merubuhkan film erotis
Walaupun begitu, masih terlampau banyak film film sejenis yang beredar lewat
jalan alternatif .Meski tumbuh sebagai barang dagangan, film Indonesia
hingga kini belum berhasil membangun arah dan fondasi industri yang stabil.
Barangkali ini gejala umum dalam sebuah negeri dengan rancang kebudayaan dan
rancang ekonomi yang berantakan.
Film film mengenai seks erotica sempat marak menghiasi
wajah perfilman kita. tema tentang eksploitasi dan pelecehan seksual tersebut
memang banyak menarik perhatian masyarakat. Pemberitaan tentang seks banyak
diminati karena dapatmenimbukan rangsangan tersendiri. Seks disini tidak
terbatas pada perilakunya saja, melainkan juga pelakunya.
Sejak pergaulan metropolis sekitar 90an film
film indonesia mulai memasuki “genre”
baru, , karena waktu itu film dengan jenis seperti itu mulai muncul karena
kesuksesan dari pergaulan metropolis.
Pada masa '80an genre film indonesia
bermacam macam namun film indonesia tetap kurang laku. pada periode '90an muncullah hanya satu genre yang
membuat tidak habis untuk membahasnya Sementara pada proses pertumbuhan film Indonesia tidak
mengalami proses kelahiran kembali, yang awalnya dicap rendahan menjadi sesuai
dengan nilai-nilai seluruh lapisan masyarakat, termasuk kelas menengah ke atas,
juga intelektual dan budayawan.
Fakta bahwa film
adalah benda hiburan oleh sebagian orang disebut sebagai dosa asal film Indonesia .
Barangkali istilah watak sejarah lebih tepat ketimbang dosa asal yang mengacu
pada cacat bawaan yang tak dapat diubah. Yang jelas, film adalah produk budaya
sekaligus produk industri. Meski tumbuh sebagai barang dagangan, film Indonesia
ternyata hingga kini belum juga berhasil membangun arah dan fondasi industri yang
stabil. Barangkali ini gejala umum dalam sebuah negeri dengan rancang
kebudayaan dan rancang ekonomi yang berantakan sehingga film cenderung turut berantakan.
Artinya, baik secara budaya maupun secara ekonomis film Indonesia
memang memerlukan "pemberdayaan".
Melihat situasi obyektif perfilman kita
sekarang ini, pemberdayaan semacam apa yang dapat dilakukan? Untuk menjawab
pertanyaan ini, kita harus mengidentifikasi berbagai problem mendasar perfilman
kita. Berikut beberapa problem mendasar yang dapat ditambahkan, selain watak
sejarah yang disebut di atas
Dalam penelitian ini penulis tidak menjelaskan hubungan.
Tidak juga melakukan pengujian hipotesis atau membuat sebuah prediksi.
Melainkan penulis berusaha mencoba mamaparkan situasi atau peristiwa. Maka dapat
dikatakan penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian dengan metode
deskriptif. Penelitian deskriptif memberikan gambaran dari suatu keadaan yang
ada pada waktu penelitian dilakukan dan menjelajah penyebab dari gejala-gejala
tertentu
Pendekatan yang dipakai dalam metodologi analisis ini
adalah pendekatan kualitatifDengan demikian, pendekatan kualitatif yang
bersifat deskriptif yang dipakai penulis dalam penelitian ini hanya memaparkan
situasi atau peristiwa, membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara
sistematis.
Penulis
mengangkat tema ini dengan melihat kondisi perfilman kita, Film seolah
berada di luar hiruk pikuk pemikiran sosialm politik kebudayaan pada masanya
dan dibuat semata-mata sebagai hiburan,pelipur lara. seperti muncul dan sempat
berjayanya film film bertemakan
eksploitasi sex di era 80-90an. keterbatasan ruang lingkup dalam berkreasi
didalam film masih menjadi pergulatan pemerintah (dept Penerangan saat itu)
untuk membatasi setiap bentuk bentuk yang bisa menjadi propaganda massa seakan
akan masarakat kita tidak perlu mengetahui apa yang seharusnya mereka ketahui
seperti keadaan politik dan ekonomi bahkan sejarah bangsa ini sendiri, sehingga
ruang lingkup untuk berkretifitas menjadi sempit dan intelektualitas masarakat
tidak berkembang, anggap saja pembodohan massal melalui sejarah film G30
sebagai sebuah kasus keterlibatan orde baru. sehingga munculnya euphoria sesaat
dengan bermunculannya film film erotis dei era 90 an merupakan semacam anti
klimaks jika melihat dari budaya metropolis telah menyebar ditandai dengan
tingginya Urbanisasi di kota kota besar , yang tidak disertai dengan
perkembangan dibidang lain, tehnologi media misalnya, kita Cuma bisa terhibur
oleh sajian berita dari TVRI membuktikan bahwa
masarakat membutuhkan hiburan
yang lain selain informasi yang belum tentu bisa diterima banyak
kalangan.
Budaya metropolis khususnya
dikota kota
besar sangat mempengaruhi industri perfilman saat itu, film adalah barang
dagangan dimata produser, mungkin mereka tidak mau terlalu ribet bila harus
mengangkat tema yang bentrok dan tidak sesuai dengan budaya orde baru yang
belum tentu juga menguntungkan dari sisi penjualan. dan bisa jadi tema erotism
menjadi sebuah jalan tengah yang baik dalam meraih keuntungan dalam bisnis
film. karena di tahun 80 - 90an awal ini film dianggap mati suri, dengan
melihat jumlah produksi film dibanding dengan tahun tahun sebelumnya yang terus
menurun, sehingga wajar jika produser Film tidak ingin merugi dengan
memunculkan hiburan yang benar benar dianggap menguntungkan, sehingga banyak
film ditahun ini meskipun berbeda tema namun secara benang merah memunculkan
dan menjual nilai erotis didalam film tersebut, sebut contoh film film warkop
yang sangat identik dengan wanita wanita cantik, film kolosal semacam Saur
Sepuh dsb tak terlepas dari unsure erotis yang sangat dilebih lebihkan dalam
meraih pasar. apalagi jika kita melirik film film yang dari judulnya saja sudah
menggelitik birahi.
PEMBAHASAN
Film merupakan
media komunal dan cangkokan dari berbagai teknologi dan unsur-unsur kesenian.
Ia cangkokan dari perkembangan teknologi fotografi dan rekaman suara. Juga
komunal berbagai kesenian baik seni rupa, teater, sastra, arsitektur hingga
musik. Maka kemampuan bertumbuh film sangatlah bergantung pada tradisi bagaimana
unsur-unsur cangkokan teknologi dan unsur seni dari film -yang dalam masyarakat
masing-masing berkembang pesat- dicangkok dan dihimpun. Dengan demikian tidak
tertinggal dan mampu bersaing dengan teknilogi media, dan seni lainnya. tema
yang diangkat pada tulisam ini adalah film erotis Indonesia di era 80 an akhir – 90
an awal, disini penulis mencoba membahas dari sisi sejarahnya terlenih dahulu
.dibawah ini saya memulainya dari sejarah / produksi perfilman sebelumnya.
Sejarah film Indonesia
menunjukkan unsur-unsur cangkokan dan komunal dari film tak mengalami
pertumbuhan berarti. Akibatnya ketika masyarakat dimanjakan unsur visual dan
audio, dari perkembangan teknologi media dan seni lainnya seperti televisi,
seni rupa, dan lain-lain, masyarakat Indonesia tak mendapatkannya dalam
film.
- Film dilahirkan sebagai tontonan umum (awal 1900-an), karena semata-mata menjadi alternatif bisnis besar jasa hiburan
di masa depan manusia kota .
- Film dicap 'hiburan rendahan' orang kota . namun
sejarah membuktikan bahwa film mampu melakukan kelahiran kembali untuk kemudian
mampu menembus seluruh lapisan masyarakat, juga lapisan menengah dan atas,
termasuk lapisan intelektual dan budayawan. bahkan kemudian seiring dengan
kuatnya dominasi sistem Industri Hollywood, lahir film-film perlawanan yang
ingin lepas dari wajah seragam Hollywood yang
kemudian melahirkan film-film Auteur. Yakni film-film personal sutradara yang
sering disebut sebagai film seni.
Kata Pornografi dan erotis
secara harfia memang berbeda arti namun menjurus pada sebuah persamaan makna
Belakangan kedua istilah ini digunakan untuk publikasi segala sesuatu yang
bersifat seksual, khususnya yang dianggap berselera rendah atau tidak bermoral,
konsumsi bahan tersebut dimaksudkan hanya untuk membangkitkan rangsangan
seksual. Sekarang istilah ini digunakan untuk merujuk secara seksual segala
jenis bahan tertulis maupun grafis. Istilah "pornografi" seringkali
mengandung konotasi negatif dan bernilai seni yang rendahan, dibandingkan
dengan erotica yang sifatnya lebih terhormat.
Erotisme-Pornografi di
Indonesia
Pornografi di Indonesia adalah
ilegal, namun penegakan hukum sangat lemah dan interpretasinya pun tidak sama
dari zaman ke zaman. Pada 1929 diputar
di Jakarta film
Resia Boroboedoer yang menampilkan untuk pertama kalinya adegan ciuman dan
kostum renang. Film ini dikecam oleh pengamat budaya Kwee Tek Hoay yang menganggapnya tidak pantas ditonton.
Pada 1954 Nurnaningsih
menimbulkan kehebohan di masyarakat umum karena berani tampil berani dalam
beberapa filmnya yang antara lain disutradarai oleh Usmar Ismail (Krisis) dan Djadug
Djayakusuma (Harimau Tjampa).Pada 1955, adegan ciuman antara Frieda dan S. Bono
dalam film Antara Bumi dengan Langit disensor karena reaksi berat dari
masyarakat.
Pada awal 1970-an, perfilman Indonesia
berhasil untuk pertama kalinya menggunakan teknik film berwarna. Dunia film Indonesia
bangkit dari kelesuan yang panjang. Pada 1974, Rahayu Effendy menjadi simbol
seks ketika tampil bugil dengan Dicky Soeprapto dalam Tante Girang. Suzanna
tampil sebagai bintang film berani dalam adegan ranjang seperti misalnya dalam
film Bernapas Dalam Lumpur (1970) yang diarahkan oleh Turino Djunaedy dan Bumi
Makin Panas karya Ali Shahab Meskipun demikian penampilan adegan bugil dalam
sebagian dari film-film yang bertema panas itu bukan sekadar eksploitasi
murahan. Suzanna, misalnya, meraih penghargaan sebagai Aktris Terbaik se-Asia
pada Festival Film Asia Pasifik di Seoul 1972
Di pihak lain, pada tahun 1980-an
ini juga muncul film-film yang menampilkan aktris-aktris cantik dan seksi,
dengan pakaian minim, seperti yang terdapat dalam film-film Warkop, namun
semuanya lolos sensor, meskipun muncul berbagai protes dari masyarakat.
Sejumlah film muncul dengan judul-judul yang menjurus ke pornografi, juga
merajalela pada masa itu, seperti Bernafas di Atas Ranjang, Satu Ranjang Dua
Cinta Wanita Simpanan. Nafsu Birahi, Nafsu Liar, dll. Sejumlah pemain yang muncul
dalam film seperti itu, antara lain Inneke Koesherawaty, Ibra Azhari, Lisa
Chaniago, Febby Lawrence Teguh Yulianto, Reynaldi, Kiki Fatmala, dll.
TVRI yang merupakan satu-satunya
saluran televisi hingga akhir 1980-an, menampilkan sensor yang sangat ketat
terhadap film-film yang disiarkannya. Misalnya, adegan ciuman sama sekali
diharamkan sehingga seringkali muncul adegan yang menggelikan, ketika -- karena
gunting sensor -- sebuah pasangan ditampilkan seolah-olah menghindari tabrakan
bibir. Sementara itu, kehadiran teknologi video telah semakin mempermudah akses
terhadap film-film asing yang tidak disensor. Acapkali diberitakan di surat kabar tentang
masyarakat pedesaan yang menayangkan film-film biru pada acara-acara
perhelatannya dengan menyewa video. Begitu pula bus-bus malam dan hotel-hotel
seringkali menyiarkan video-video panas, sementara Badan Sensor Film tampak tidak berdaya.
Konseptual Film
Konseptual jenis film ini merupakan
suatu kemasan cerita yang memiliki tujuan yang mengeksplore atau menjual
sesuatu yang “tak lazim” didapatkan dalam keseharian, jelas untuk memberikan
suatu tontonan berdasarkan sisi lain yang banyak diminati. Film erotis merupakan
suatu tayangan yang bertujuan untuk menghibur dengan memberikan fantasi
tertentu kepada seseorang baik itu kognitif, afektif, maupun psikomotor, dan
bersifat profit oriented. .mulanya adalah sebuah eufemisme dan secara
harafiah berarti porno grafi '(sesuatu
yang) dijual.' Kata ini berkaitan dengan kata kerja yang artinya menjual. Kata ini berasal
dari dari istilah Yunani untuk orang-orang yang mencatat "pornoai",
atau pelacur-pelacur terkenal atau yang mempunyai kecakapan tertentu dari Yunani
kuno Pada masa modern, istilah ini
diambil oleh para ilmuwan sosial untuk menggambarkan pekerjaan orang-orang
seperti Nicholas Restif dan William Acton, yang pada abad ke-18 dan 19
menerbitkan risalat-risalat yang mempelajari pelacuran dan mengajukan usul-usul
untuk mengaturnya. Istilah ini tetap digunakan dengan makna ini dalam Oxford
English Dictionaryhingga 1905
Hal ini berarti bahwa tokoh yang sangat
berperan kuat dalam genre film ini adalah wanita dimana setiap bentuk dan liuk
tubuh wanita mampu dijadikan sesuatu yang komersil, hal ini tak luput dari
Emansipasi dan Feminism yang telah berkembang di Indonesia , dimana wanita sama
hak dan kewajibannya dengan pria dalam pencapaiannya. namun terkadang salah
difungsikan oleh para wanita itu sendiri dalam melihat konsep yang lebih luas
dari sebuah Emansipasi , yang menurut saya pemikiran wanita wanita tersebut dalam
kaitan dengan tema penulisan ini hanya sebatas bisa hebat dari Pria, bisa lebih
kaya , terkenal dan berkarir melebihi kaum Pria, sehingga dari beberapa analisa
menjadikan wanita sebagai sebuah Media Kapital. Di era 90-an ini perempuan hadir sebagai objek seksual.
banyak yang merasa “kehilangan” jika perempuan tidak lagi tampilkan sebagai
objek seksual. Tanpa ada perempuan seksi dalamfilm, tidak ada proses
desakralisasi seks yang dI butuhkan untuk menciptakan masyarakat konsumtif yang
boros dan mengejar kepuasan saja ,Tanpa menjadikan perempuan sebagai objek
seksual, objek hiburan, dan korban kehidupan, film akan kurang diminati oleh
penonton.
Objek Tontonan
Maraknya
tayangan yang mengusung erotisme tubuh wanita tak bisa dipisahkan dari budaya
masyarakat patriarki yang memosisikan peranan wanita secara marjinal dalam
bidang produksi, tetapi dominan sebagai objek konsumsi atau objek tontonan.
Posisi ini menempatkan wanita sebagai “komoditi” di dalam ekonomi seperti
industri hiburan, tontonan dan citraan. Dominasi wanita sebagai objek tontonan
inilah yang kini menjadi ideologi utama banyak media di Indonesia termasuk media film.
Kemajuan
teknologi informasi telah memfasilitasi terbentuknya masyarakat tontonan
(society of spectacle) di negeri kita. masyarakat tontonan adalah masyarakat
yang di dalamnya setiap sisi kehidupan menjadi komoditi, dan setiap komoditi
itu menjadi tontonan. Dalam masyarakat
tontonan, wanita mempunyai fungsi dominan sebagai pembentuk citra (image) dan
tanda (sign) berbagai komoditi. Tubuh wanita sebagai objek tontonan dalam
rangka menjual komoditi, atau tubuh itu sendiri sebagai satu komoditi tontonan,
mempunyai peran sangat sentral dalam masyarakat tontonan.
Di sini kita
bisa memahami kenapa jenis jenis film yang beredar pada era tersebut menayangkan
adegan yang berpusat pada erotisme, goyangan tubuh sebagai komoditi yang tangguh untuk menjerat
pemirsa (pria). Tujuannya tak lain, mengejar keuntungan besar dari sebuah
penjualan dimana pada saat itu bisa dibilang tidak adanya persaingan yang
berarti di dunia film hingga bermunculannya stasiun TV swasta, dengan tayangan
tayangan sinetron yang lebih bervariasi dan menandai luruhnya euphoria genre
film semacam ini. goyang yang erotis
ditambah kostum ketat nanseksi, menjadikan tubuh sebagai tontonan. Untuk apa?
Tak lain, sebagai jalan pintas untuk memasuki pintu dunia budaya populer,
mencari popularitas, mengejar gaya
hidup, dan memenuhi kepuasan material, tanpa menyadari bahwa mereka sebetulnya
telah dikonstruksi secara sosial untuk berada di dunia marjinal, yakni dunia
objek, dunia citra, dunia komoditi. Hal yang sama pernah dilakukan para artis
bintang film panas di tengah meredupnya dunia perfilman Indonesia beberapa tahun lalu.
Kapitalisasi Tubuh
Dalam ekonomi kapitalisme, tubuh wanita dipenjara sebagai
tanda atau fragmen-fragmen tanda. Kapitalisme telah membebaskan tubuh wanita
dari tanda-tanda dan identitas tradisionalnya (tabu, adat, moral, etika,
spiritual) serta memenjarakannya di dalam “hutan rimba tanda-tanda” yang
diciptakannya sendiri. Karena itu, jangan heran jika masyarakat berpolemik ,
semisal soal goyang dangdut Inul, yang sebenarnya jelas-jelas berada di luar
koridor etika, adat, moral dan spiritual, karena mengobral pantat pada
sembarang orang.
Ekploitasi
tubuh oleh Tokoh dalam berbagai varian goyang merupakan erotisasi tubuh wanita
dalam media film. Erotisasi dilakukan dengan mengambil segmen – segmen tubuh
sebagai penanda (signifier) dengan berbagai pose dan model goyang, lengkap
dengan asumsi maknanya. “Penelanjangan” melalui ragam atraksi goyang telah
mengkonstruksi tubuh wanita secara sosial dan kultural sebagai objek fetish,
yaitu objek yang dipuja penonton karena dianggap mempunyai kekuatan pesona,
rangsangan, hasrat atau citra tertentu. Dalam hal ini, diposisikan bukan
sebagai subjek pengguna bahasa, tetapi sebagai obyek tanda (sign object) yang
dimasukkan ke dalam sistem tanda (sign system) di dalam sistem komunikasi
ekonomi kapitalisme. Semua anggota tubuh , khususnya wilayah tubuh seputar
pinggul dan dada yang menjadi tumpuan identitas goyang, menjadi fragmen-fragmen
tanda yang menjadi objek fetish. Di sini, nilai tubuh dikembangkan ke dua arah:
sebagai “nilai guna” (erotisme) dan “nilai tukar” (tubuh sebagai tanda).
Emansipasi Wanita
Erotisme
goyangan tubuh ini mengingatkan kita
pada apa yang dilakukan pemain film yang juga penyanyi pop dunia Madonna di
tahun 90-an . Lewat penampilan erotisnya yang agresif di atas panggung,
ditunjang pakaian dan asesoris yang vulgar, Madonna ingin menjadikan dirinya
sebagai “subjek yang berbicara” melalui bahasa seksual.
Namun di mata
para feminis , aksi Madonna ini justru dinilai merusak citra feminis dan
seksualitas wanita yang natural. Meskipun dalam setiap pertunjukannya, Madonna
bersikap aktif (menantang tatapan penonton) ketimbang pasif (menerima tatapan),
tetapi keaktifan tatapan ini di mata kapitalisme merupakan bagian strategi yang
menjadikan dia sebagai objek tanda, sehingga kekuasaannya di panggung
kehilangan maknanya.
Bagi kaum
feminis, Madonna dan Bintang bintang film
hot Indonesia
sendiri bisa dianggap menyalahgunakan konsep emansipasi wanita. Shelag Young,
salah seorang feminis , dalam bukunya Feminism and the Politics of Power
menegaskan, kaum feminis berjuang mewujudkan persamaan hak dan peran dalam
bidang sosial, ekonomi dan kebudayaan, bukan mencari kekuasaan dan keliaran
dalam seksualitas. Emansipasi, persamaan hak dan peran sosial wanita inilah
yang sesungguhnya diperjuangkan oleh Kartini, pahlawan emansipasi wanita Indonesia .
Apa yang dicita-citakan Kartini adalah mencapai kesejajaran hak dan peran
sosial dengan kaum pria, namun tetap berpegang teguh pada tata susila dan
kodrat kewanitaannya .
Dalam kasus
ini film film erotis di tahun 90 an awal tidak berkembang seiring munculnya
pluralis media sehingga sampai sekarang hanya dianggap sebagai film di era
“mati suri” sebab jika mau jujur film
film ini sama sekali tidak mendidik , tidak ada pendalaman konsep yang lebih
mendalam , semuanya dikesampingkan dalam segi keuntungan saja dan wajar bila
kita sering ” menertawakan “ film film di era ini. ada dua point proses yang penulis anggap sebagai pokok bahan penulisan dengan tema film ini
menurut pencarian analisa bahan tulisan ini antara lain.
Proses
Representasi Teks (Hermeneutik)
Tiap orang memmpunyai cara berfikir
masing masing dalam melihat sebuah tontonan atau kasus , seorang pembuat film
memutuskan untuk mengangkat tema tertentu dan bukan tema lainnya, ini jelas
merupakan kemutlakan pribadi dari filmaker itu sendiri. Mari kita berangkat
dari asumsi bahwa film-film Indonesia
belakangan memang lebih banyak tak perpersoalkan konteks masyarakat tempat
mereka berada. Masyarakat tidak ditampilkan sebagai masyarakat yang bermasalah,
dan tema film hanya bersentuhan dengan persoalan-persoalan pinggiran saja. Hal
ini tak terlepas dari kecenderungan para pembuat film untuk semata-mata mencari
keuntungan dari kegiatan membuat film. Hal ini bukanlah sesuatu yang tak wajar,
tetapi kecenderungan seperti ini mengandung implikasi bahwa film melakukan
misrepresentasi terhadap masarakat
Hermeneutik adalah penafsiran teks. Lantas, teks
ini dapat diperluas atau diasumsikan sebagai struktur dan objek-objek sosial
yang simbolis. Ini merupakan produksi dari si pengarang, yang tak lain dalam,
dan atau atas pengaruh, dari suatu konteks sosial saat itu.Sementara, pengarang
teks dapat diperlebar pengertiannya sebagai aktor sosial, yang jejaknya dapat
ditemukan dalam teks. Sedang di sisi lain, ada penafsir atau peneliti, yang
“terbuka” dan dinamis, yang siap dan leluasa dalam ‘mengemudikan’ teks. Ini
berbeda dengan posisi pengarang yang
mandek dalam teks-teksnya, meski secara maknawi masih dalam bentuk yang
Dinamis. Maka, dalam suatu telaah hermeneutik ada tiga hal mendasar; teks,
pengarang sebagai produsen teks, dan peneliti selaku penafsir teks. Ketiganya,
dalam uraian ini mustahil untuk dipilah – pilah.
Tafsiran dalam pengertian Dilthey, perlu menangkap
tiga unsur dalam teks: pengalaman, ekspresi, dan pemahaman. Pengalaman
berkenaan dengan aspek internal pengarang, yang melibatkan subjektivitas pelaku
sosial. Implementasinya ada dalam perilaku, karya budaya, pranata, dan relasi
sosial, segala sesuatu yang disebut ekspresi, yang tersurat dalam teks itu.
Ekspresi inilah yang diselami peneliti intuk mencapai pengalaman pengarang.
Kaitan keduanya muncul bila ada pemahaman, baik dari produsen teks lewat
peneliti dan juga dari pra-paham peneliti—kondisi yang memungkinkan pemahaman,
yang terlebih dulu dibawa peneliti sebelum masuk dalam teks. Di sini lantas
terjadi dialog, dialektika, konfrontasi, hingga tercapainya konsensus antara
dua pemahaman
Sejak DW Griffith
membuat Intolerance pada tahun 1915, orang melihat potensi film yang
besar untuk menyajikan muatan lebih dari sekadar cerita. Media film kemudian
dipenuhi diskusi mengenai hubungan muatan film dengan konteks masyarakat yang
menghasilkannya. Uni Soviet pernah menggunakan media film sebagai media
propaganda yang sangat efektif dengan pendekatan formalisme mereka. Italia
pernah mengenal neo-realisme yang mendekati problem-problem stuktural
kemiskinan pasca Perang Dunia Pertama. Perancis misalnya pernah mengenal
realisme puitis yang merespon kegelisahan pasca Perang Dunia Kedua. Amerika
tahun 1950-an dipenuhi oleh kisah fiksi ilmiah yang menggadang ketakutan
terhadap perang bintang akibat peluncuran SputnikolehUniSoviet.
Contoh-contoh di atas sekadar gambaran bahwa pembuat film di berbagai belahan dunia terus mencari muatan dan cara tutur yang mampu menangkap selera masyarakatnya. Hal ini tak mudah dan berangkat dari tradisi yang panjang, baik dalam berkesenian secara umum maupun dalam bertutur lewat media film. Negeri ini belum memiliki keduanya. Paling tidak, cara tutur media film di negeri ini sama sekali belum ajeg dan belum memiliki tradisi yang panjang. Faktor lainnya, media film kaprah dipandang sebagai sebuah kegiatan ekonomi yang tak perlu repot dengan pengungkapan muatan dan pencarian cara tutur yang mampu menangkap selera masyarakat tersebut.
Kedua faktor ini menjadikan media film di Indonesia dipandang sebelah mata dalam menyumbang pertukaran wacana kemasyarakatan yang penting, apatah lagi dalam melakukan kritik sosial. Namun persoalan bangsa ini sedemikian banyak dan para pembuat film tak seharusnya menutup mata begitu saja terhadapnya. Tak banyak filmIndonesia yang
mampu menangkap persoalan di balik permukaan, apalagi mengangkat kritik yang
tajam.Dari sisi ini, film Indonesia
sempat berada pada titik terendah ketika film-film yang diproduksi adalah film
dengan tema seks seperti Ranjang Ternoda, Gairah Malam, Limbah Asmara,
yang pada dasarnya meniru film-film porno komersial. Peniruan itu tampak pada
dua ciri: miskinnya plot dan hubungan seks antar tokoh untuk mengakhiri adegan.
Selanjutnya setelah gairah membuat film bangkit lagi lima tahun terakhir, film-film yang
diandalkan adalah film horor dan percintaan remaja yang tak mempersoalkan
kenyataan yang mereka hadapi.
Contoh-contoh di atas sekadar gambaran bahwa pembuat film di berbagai belahan dunia terus mencari muatan dan cara tutur yang mampu menangkap selera masyarakatnya. Hal ini tak mudah dan berangkat dari tradisi yang panjang, baik dalam berkesenian secara umum maupun dalam bertutur lewat media film. Negeri ini belum memiliki keduanya. Paling tidak, cara tutur media film di negeri ini sama sekali belum ajeg dan belum memiliki tradisi yang panjang. Faktor lainnya, media film kaprah dipandang sebagai sebuah kegiatan ekonomi yang tak perlu repot dengan pengungkapan muatan dan pencarian cara tutur yang mampu menangkap selera masyarakat tersebut.
Kedua faktor ini menjadikan media film di Indonesia dipandang sebelah mata dalam menyumbang pertukaran wacana kemasyarakatan yang penting, apatah lagi dalam melakukan kritik sosial. Namun persoalan bangsa ini sedemikian banyak dan para pembuat film tak seharusnya menutup mata begitu saja terhadapnya. Tak banyak film
Proses Seleksi dan rekonstruksi
Salah satu Problem dalam menafsirkan teks adalah
jarak waktu antara teks itu dibuat dengan masa ketika teks itu ditafsirkan.
Pasti ada perbedaan dari segi konteks historis, budaya, dan bahkan sruktur
pemahaman antara pengarang dengan penafsir. Entah dengan cara re-produktif atau
kreatif, upaya identifikasi terhadap kondisi yang tak terpahami itu memang tak
sampai final. Namun tugas filmaker adalah mencoba menghadirkan kembali
“atmosfer”saat teks itu ditafsirkan mereka melihat penonton
yang akan mereka gambarkan dalam film, Apakah penonton itu memiliki masalah
atau tidak . Di titik ini yang saya anggap filmaker film erotika saat itu mengesampingkan
hal semacam ini.. Dimana seorang filmaker tidak hanya harus memiliki wawasan
yang luas terhadap masyarakat tetapi juga harus memiliki keresahan akan
masyarakat tersebut. Ia harus mampu melihat kenyataan dan tidak menerimanya
begitu saja, melainkan mencoba untuk melihat apa yang di bawah permukaan.
Seorang pembuat film harus memiliki perspektif. untuk bisa mengenali masyarakatnya. dalam Artian Sex itu
memang tabu digenerasi kita, namun
filmaker bisa lebih melihat tema apa yang bisa di tampilkan ,menghibur dan
mendidik. satu contoh film yang saya anggap bisa menampik pemikiran pemikiran
filmaker “Erotis” sebelumnya. cotoh film Virgin yang disutradarai Oleh Hany R
Saputra, film ini memang dianggap terlalu erotis di kalangan remaja namun yang
dijual bukan dari sebuah eksplorasi tubuh semata , ada point point yang
memberikan pelajaran bagi penontonnya terutama remaja dalam menanggapi Sex dan
pergaulan itu bagi mereka, Persoalan seksualitas remaja perempuan dan keperawanan
mereka diangkat dengan sangat berani dan kontrovresial pada film ini. Para tokoh remaja dalam film ini kebanyakan adalah para
remaja perempuan yang tak ragu menjual keperawanan mereka untuk mendapatkan
uang. Proses transaksi bahkan dilakukan di sebuah toilet umum di sebuah pusat
perbelanjaan. Selanjutnya seksualitas juga ditampilkan berhadapan dengan
kegandrungan para remaja perempuan ini untuk berhasil memasuki kehidupan dunia
industri audio visual. namun dengan sangat cerdas keberanian Virgin menabrak
tabu seksualitas dan keperawanan yang merupakan sebuah gugatan yang sangat
serius yang seharusnya mendapat perhatian lebih besar dimata masarakat.
Sebuah proses
selektif tentang apa yang menjadi point positif yang akan ditampilkan ke
penonton merupakan sebuah perbedaan gaya piker filmaker film erotis 90 an
awal dengan film film yang bertema sama
di era 2000 sekarang, bisa dibandingkan dengan film film seperti Virgin,Jakarta
Undercover dsb. pembuat
film membuat rangkaian seleksi yang memisahkan hal-hal yang dianggap relevan
dan tidak relevan untuk kebutuhan ceritanya. Proses seleksi ini sangat
tergantung pada perspektif apa yang dimiliki oleh sang pembuat film. Hasil
seleksi akan tergantung pada perspektif tersebut.
Kedua proses sebelumnya yaitu
perspektif dalam melihat masyarakat dan seleksi akan diwujudkan ke dalam bentuk
film, sebuah tiruan terhadap kenyataan. Dalam proses rekonstruksi ini
terkandung sebuah hal penting yang bernama reka-percaya (make believe). Sang
pembuat film harus mampu membuat filmnya mampu dipercaya oleh para penonton. Ia
harus membuat gambaran yang adekuat terhadap perspektif dan proses seleksinya.
Dan hal ini penuh dengan hal-hal teknis yang sangat detil..
Dengan melihat film sebagai proses
representasi, kita bisa melihat bahwa banyak persoalan yang melanda para pembuat
film Indonesia .
Sejak dari proses memandang masyarakat, banyak pembuat film yang tidak berani
atau luput melihat masyarakat sebagai sesuatu yang bermasalah. Mereka menerima
masyarakat begitu saja seakan segala sesuatunya berjalan dengan normal.
KESIMPULAN
Dari penjelasan tersebut di atas,melalu proses persfektip
seleksi dan representasi maka dapat ditarik kesimpulan mengenai karakteristik
film Erotis 90 an, diantaranya sebagai berikut :
• Belum mampu menyajikan
pesan-pesan yang jelas kepada pemirsa tentang hal-hal yang pantas atau patut
ditiru.
• Dilihat dari sisi
konseptual , tidak mempunyai tujuan yang jelas sehingga tidak mampu membentuk
karakter masyarakat yang lebih beradab. kedangkalan konsep sangat terlihat dari
semua b
•
Sasarannya tepat dalam segi penjualan pada saat itu , karena tidak adanya
persaingan sehingga meskipun kemasan pesan
terlihat baik namun citra yang tersaji tetap saja Negatif . karena niat
penonton untuk datang ke bioskop adalah untuk melihat eksploitasi tubuh desahan
,dsb.sesuatu yang dianggap tabu dan illegal pada saat itu namun masih bisa
beredar.
Beberapa masalah sosial dan budaya berada dalam masyarakat,
berjalan di atas masalah tersebut tanpa pernah mempersoalkannya. Film Indonesia
belakangan ini juga merepresentasikan kecenderungan tak mempersoalkan
masalah-masalah itu. Masyarakat dianggap tak bermasalah dan film hanya
menyentuh tema-tema pinggiran saja . Film Indonesia juga sedikit yang
menyinggung tema-tema yang mengomentari kehidupan sosial dan kehidupan budaya Padahal kehidupan sosial dan kehidupan budaya,
ketika dipotret dengan baik dalam film, akan mampu untuk memberi sumbangan
penting bagi kehidupan kita sebagai sebuah bangsa.
Sebut saja misalnya dimana keseluruhan tema film Erotis
90an mengangkat sosok perempuan selalu menjadi
objek eksploitasi, sehingga terkadang memunculkan keinginan seperti apa potret
social budaya negeri ini bila ditampilkan dalam film .Seks dan kota memang tak pernah lepas dari persoalan
akumulasi modal. tetapi mestukah Seks, uang, dan kekuasaan menjadi rajutan yang
membangun sebuah peradaban.
0 komentar:
Posting Komentar