I. Latar Belakang
Dalam
kajian sinema, style film merupakan salah satu hal yang cukup menarik untuk
dibahas dan dikaji. Ini terbukti dengan sejarah dan perkembanga style yang
nyaris seumur dengan media film itu sendiri dan memiliki kaitan yang cukup erat
dengan perkembangan film itu sendiri baik dari segi keilmuan hingga teknologi.
Salah
satu buku yang mengulas analisis style secara komprehansif dan menurut penulis
cukup kompeten sebagai bahan kajian film kontemporee adalah Film Style and Technology: History and Analysis karya
Barry Salt. Dalam bukunya tersebut Salt memaparkan pandangannya mengenai kajian
film secara umum dan penelitian style secara khusus.
Barry Salt
sendiri hampir menghabiskan seperempat usianya melakukan penelitian style film ia
juga menemukan satu rumusan/metode alternatif lain selain cultural studies
dalam kajian style. Metodenya tersebut ia sebut sebagai Stylometry
yang lebih akrab disebut Statistical
Style Anlysis.
Salt sendiri memiliki latar belakang
sebagai praktisi sejarah film, namun sebelum bergelut di dunia film ia
merupakan sarjana fisika dalam bidang superfluida helium dan mendapat gelar
Ph.D dari universitas London dan sempat mengajar teori fisika pada kampus yang
sama. Latar belakang sains inilah yang menjadi opsesi Salt menemukan pendekatan
serupa dalam kajian sinema.
Selanjutnya tahun 1960an, pria kelahiran
15 December 1933 di Melbourne, Australia ini
mengambil kursus singkat pembuatan film didorong oleh kecintaannya pada
film. Lebih 60 tahun yang lalu ia bergabung dalam perkumpulan pecinta film
klasik. Ditahun yang sama ia bekerja sebagai freelance lighting cameramen.
Statistical
Style Anlysis sendiri merupakan
tesis diplomanya yang diajukan pada tahun 1968 ketika kuliah di London School
Of Film Technique dan dibukukan pada tahun 1992. Sebelum masuk pada
pendekatannya, dalam bukunya tersebut Salt memaparkan 4 hal yang menjadi point
pemikiran Salt dalam kaitannya dengan style film. Hal tersebut antara lain ;
·
Sejarah dan perkembangan style film
·
Hubungan teknologi dan style film
·
Problematika analisis style
·
Statistical
Style Anlysis
I.
1.
Sejarah Dan Perkembangan Style Film
Style
film dikenal sebagai teknik yang digunakan oleh sutradara dalam memberikan
makna atau nilai dalam filmnya. Hal ini
mencakup setiap aspek dalam pembuatan film seperti mise n scene, dialog/narasi, cinematography, sound, editing, dll.
Style film sendiri menjadi identititas sinema pada umumnya. Setiap era,
sineas/film maker bahkan gendre dapat dikenali lewat style-nya. Style film
sendri merupakan salah satu dari bentuk estetika film sama seperti gendre,
mode, narasi, dll.
Perkembangan
film dunia dapat dilihat melalui perubahan style film dari masa-kemasa. Bahkan
setiap kemunculan style baru dalam film menandai perubahan periodeisasi jenis
film tertentu. Hal tersebut terlihat pada tahun 1908 dimana film fiksi drama
selalu menampilkan para pemain berada dalam satu baris jauh menghadap penonton
lengkap dengan seluruh latar dan dekor yang melengkapi film tersebut. Pada era
ini, film tidak mendapat interupsi close-up. Style semacam ini menandai
kehadiran sinema theaterikal. Saat
ini style semacam itu dianggap tidak lagi sinematik.
1919,
style film tampil dengan medium close up dimana style semacam ini dimulai pada
periode 1913 dengan menggunakan gambar yang lebih dalam dari tahun-tahun
sebelumnya. Pada periode ini anggel kamera berubah drastis menjadi lebih tajam
(depth of field ) dalam beberapa shot
dan untuk mengimbangi hal itu digunakanlah long
shot. Pada periode ini penggunaan long shot dan close up sering digunakan secara bergantian.
Perubahan
yang signifikan style film juga menjadi ciri khas gendre film tertentu. Tahun
1940-1950an film-film terutama hollywood didominasi oleh film bergendre drama
kriminal. Gendre ini menggunakan gradasi visual dengan kontras tinggi yang
dikendalikan oleh pencahayaan redup yang menjadi ciri khas style film tahun pada
era tersebut. Style ini kemudian dikenal sebagai film noir.
Namun pada era yang sama 1941 hadir film berjudul Laura besutan
sutradara Otto Preminger yang menandakan kehadiran style baru dalam film noir. Laura merupakan film noir yang
menggunakan pencahayaan terang.
Menurut
David Bordwell Pada dasarnya terdapat perbedaan yang jelas antara para
sinematografer di Hollywood tahun 1930an dan 1940an yang mengarah pada
penggunaan pencahayaan tertentu pada subjek-subjek tertentu pula. Hal ini dapat
dilihat seperti pada adegan film kriminal tanpa bumbu komikal, maka
pencahayaannya menggunakan low
key-lighting. Sementara ketika tiba
film dengan bumbu banyolan atau romantika, maka pencahayaannya menjadi akan lebih terang, seperti yang
terjadi pada film Laura. Lalu, mengapa hal tersebut dapat terjadi?
Bordwell
berpendapat bahwa pada masa itu ada semacam ketidakleluasaan
yang dikendalikan oleh konvensi genre dan itu menentukan mana gambar yang boleh
dan tidak boleh digunakan. Hal tersebut
disebabkan karena pada tahun 1940an,
pembuatan film kriminal meningkat sangat tajam dan jumlahnya menjadi sangat
banyak. Film kriminal kemudian “naik derajat” menjadi lebih dari sekedar drama
dan tampak membentuk genre sendiri. Sejak saat itu style film tidak sekedar
mewakili jejak historis dalam perkembangan film namun telah menjadi identitas
dalam gendre film itu sendiri.
Para
ahli sejarah film menyatakan ketika era film bisu kita dapat melihat standar
style yang digunakan dalam film. Hadirnya film bersuara pada 1930-an juga
menyisakan perdebatan tentang style film, seperti yang terjadi pada film noir.
Dalam essay-nya “The Evolution of The Language of Cinema”Andre Bazin
mempertanyakan kembali dasar permasalahan style film yang berkembang tahun
1930an-1940an.
Dalam
hispotesanya, Bazin menyebutkan bahwa kehadiran film bersuara memberi
keleluasaan film maker membuat ciri khas dalam filmnya dengan melakukan
eksperimen-eksperimen style. Seperti memberi stempel personal dalam proyek
filmnya yang disebut dengan style sutradara.
Teori ini yang selanjutnya berkembang menjadi teori Author.
Secara
garis besar, kritik bazin terhadap style film membagi dua kategori sutradara
yaitu (1) sutradara yang menaruh keyakinannya dalam gambar dan (2) sutradara
yang menaruh keyakinannya pada realitas.
Dalam kritiknya, Bazin menegaskan bahwa realitas film terbangun oleh sound,
deep fokus, editing, dll, membuat film sebagaimana mestinya tanpa harus
memasukkan unsur sugesti berlebihan seperti yang dilakukan Eisentstein dengan
teknik montage-nya maupun set pencahayaan
yang dramatis seperti pada aliran ekspresionis Jerman. Menurutnya apa yang
dilakukan Eisentein dan ekspresionist Jerman telah menjauhkan sinema dari
potensi terbaiknya; realitas. Karena itu Bazin menyebut montage sebagai komposisi gambar plastic/palsu.
Dialektika
style film Bazin ini terdiri dari ajaran estetika standar dimana esensi film
tidak lagi dilihat melalui kapasitas film bisu melalui kemampuannya yang hiper-stylisasi yang terdapat pada Ekspresionisme
maupun dynamized abstraksi yang terdapat
pada aliran Soviet montage.
Bazin
juga berpendapat bahwa tahun 1950-an merupakan puncak klimaks dari perdebatan tentang style film. Pengembangan
teknologi layar lebar (widescreen) menguatkan kepercayaannya bahwa long take,
camera movement, depth of field dan istilah-istilah teknis lainnya sudah tidak
relevan lagi sebagai standarisasi style. Ia menyebutnya sebagai akhir dari
evolusi style. Selanjutnya dialektika style akan menemukan versi barunya yang
lebih masuk akal pada estetika narasi film itu sendiri, sesuatu yang tidak
ditemukan pada film-film bisu.
Setelah
perang dunia pertama, film mendapat ‘kekuasaan’ penuh sebagai media massa yang
berpengaruh. Kekuatan propaganda melalui medium film sangat efektif sehingga
banyak kelas-kelas tertentu menggunakannya sebagai alat penyampaian gagasan/ide
sampai mempertahankan kekuasaan. Saat itu style film tidak lagi dipahami
sebagai apa yang tampak dari visual film
semata. Terlebih ketika beberapa teori dari ranah ilmu sosial dan psikologi
memasuki wilayah kajian sinema, seperti
semiotik, postmodern, psikoanalisa, feminism, dll.
Kuatnya
pengaruh cultural studies dalam kajian sinema di tahun 1970-1980an mempengaruhi
cara pandang penelitian tentang film terutama menyangkut style film. Pada
periode ini film dipandang secara sosial dan ideologis. Modus yang digunakan
selalu mencari tahu siapa atau apa yang berada di balik semua produksi kultural
termasuk sinema.
Cultural
studies sebagai bagian dari tradisi kritis marxisme selalu mencurigai produk
kultural seperti film pasti digunakan oleh satu atau beberapa pihak dalam
masyarakat untuk meraih atau mempertahankan kepentingan politis-ekonomis
tertentu.
Maka analisis style pada periode ini hadir untuk membongkar ideologi dan agenda
politis di balik sebuah film.
Seperti yang
diprediksi Bazin, bahwa style film akan dilihat melalui estetika narasinya
bukan lagi pada penggunaan teknis pembuatan/pengambilan gambar atau visual
film. Style film tidak lagi sebatas apa yang tampil dalam visual sinema
melainkan alat untuk mengungkap realitas yang berada dibalik sinema tersebut.
Menurut Bazin, film dengan bantuan teknis merupakan ‘fenomena idealis’. Baginya
sinema pada dasarnya adalah sebuah relaita yang dimediasi oleh mekanik kamera.
Selanjutnya
penelitian/kajian tentang film kemudian selalu dikaitkan dengan realitas yang
ditampilkannya. Sebagai contoh, teknik disolve dalam film sering didefinisikan
sebagai perpindahan memori pemain atau pistol dalam film selalu diidentikkan
sebagai sesuatu yang maskulin. Dari sini analisis style berkembang menjadi satu
disiplin dalam kajian sinema.
II.
2. Teknologi dan style film
Oleh karena itu, dalam setiap penelitian
film yang dilakukan, Salt selalu menelusuri teknologi apa saja yang digunakan
dalam pembuatan film tersebut. Mulai dari jenis dan merk kamera, lensa, lampu,
hingga fasilitas yang dimiliki studio editing. Dari penelusuran tersebut Salt
dapat memprediksikan teknis-teknis apa saja yang dapat digunakan dalam
pembuatan film dan kemungkinan style yang dapat ditampilkan.
Dalam bukunya tersebut, pemaparan kaitan antara
teknologi dan style film memakan separuh buku setebal 452 halaman itu. Salt
memuat hasil-hasil penelitiannya mengenai penggunakan teknologi film dan style
yang dihasilkan. Setidaknya ia meneliti film-film mulai era 1895 hingga 1990an.
Hasil penelitian Salt yang cukup mengejutkan tersebut
menyimpulkan bahwa semakin canggih teknologi film maka semakin banyak pilihan
teknis yang dapat digunakan dan semakin beragam pula style film yang
didapatkan. Hal ini tentu mempengaruhi unsur-unsur yang dapat diteliti dalam
analisis style film. Jika diawal pendekatannya Salt menggunakan tiga unsur
parameter formal style (ASL, skala shot, camera movement) kini seiring kemajuan
teknologi parameter yang ditelitipun semakin banyak dan beragam (anggel of
shot, camera effect, animasi, dll)
II. Problematika Analisis Style
Masuknya
ilmu-ilmu sosial dan psikologi dalam mengkaji karya seni tampaknya memiliki
pengaruh besar dalam kajian sinema. Film menjadi objek yang yang tampaknya
cukup menarik di jadikan penelitian. Setidaknya sejak
tahun1960an, antusiasme penelitian tentang film mulai berkembang. Sejak itu
teori-teori film baru mulai bermunculan. Prancis, saat itu menjadi kiblat dalam
analisis/kajian film dunia.
Beberapa
teori film yang berkembang di sana seperti Auteur, Linguistik, semiotika,
marxism, dan psikoanalisa merupakan teori-teori umum yang digunakan dalam
analisis film hingga kini merupakan adaptasi dari teori ilmu sosial dan
psikologi. Sekitar tahun 1970-an, antusiasme penelitian terhadap objek
seni termasuk film berkembang sangat
pesat. Kuatnya pengaruh cultural studies menciptakan tradisi baru dalam kajian
film, sebuah tradisi yang dikenal sebagai teori film modern.
Pada
tradisi baru ini film dipandang sebagai sistem yang terstruktur dan tertutup. Juga
sebagai ilusi dari realitas. Dari sudut epistemologi, aliran ini memandang
hidup secara ideologis. Estetikanya adalah: “bagaimana sebuah film menciptakan
makna yang tersembunyi. Sehingga tradisi ini tidak menggunakan material film
sebagai bahan analisisnya seperti yang dilakukan oleh teori film klasik.
Pendekatan
ini berupaya untuk melihat film secara sosial dan ideologis, menganalisa apa
yang menjadi representasi dalam film baik dari segi style maupun narasinya,
lalu mencari pola hubungannya dengan konsep sosial-politis (biasanya yang
dianut oleh peneliti film itu sendiri).
Loncatan
epistemologi sinema dari wacana film sebagai seni menjadi film sebagai produk
kultural ideologis merupakan pengaruh dari kuatnya studi semiotik ditahun
1970-an. Semiotik sendiri merupakan bagian atau varian dari linguistik yang mempelajari
mengenai tanda. Pada periode tersebut film dilihat sebagai salah satu fenomena
linguistik. Ajaran linguistik Ferdinand de Saussure dan konsepsi semiotika
Charles Sanders Pierce merupakan acuan utama dalam semiotika. Dalam kajian
sinema, Christian Metz merupakan pakar semiotika yang memandang bahwa film
adalah bahasa, sehingga kita dapat menggali partikel-partikel linguistik di
dalamnya.
Pada fase ini pengaruh Marxis juga sangat kental. Jika sebelumnya kajian tentang film banyak
meminjam teori dari bidang seni lain –terutama sastra dan teater – maka pada
periode ini paham marxis selalu melakukan ‘penetrasi’ terhadap teori-teori yang
digunakan untuk membahas film. Maka
lengkaplah sudah film dianggap sebagai produk kultural yang berasal dari gejala
modernitas, yang tak pernah bisa lepas dari kapitalisme, industrialisme, budaya
urban, dan massa yang tersentralisasi.
Pada
fase ini, style film dilihat sebagai struktur kesatuan yang mengikat seluruh
cerita. Dalam analisis style, mise n scene, dialog/narasi, dan
cinematography dijadikan objek analisis untuk mencari makna dan hubungan film
dengan pola realitas yang ada. Makna/meaning dari style tidak lain didapatkan
melalui interpretasi. Dalam bukunya making meaning (1989), David Bordwell
menyebut bahwa post theory merupakan dasar perhatian dalam analisis film style
dan dengan pasti dan significan pemaknaan/meaning ditemui melalui interpretasi.
Menurut Bordwell interpretasi dalam kritik film merupakan sugesti dan
alternatif dalam program kajian sinema.
Interpretasi
digunakan untuk mengungkap makna dibalik sebuah film, begitu juga dalam
analisis style sinema. Seperti membaca film, dalam interpretasi style film ada
empat jenis makna yang dapat ditemukan yaitu; (1) makna referensial, (2) makna
harfiah, (3) makna eksplisit dan inplisit, (4) makna simptomatik
(gejala/fenomena).
Namun dalam keseluruhan, kritik interpretasi lebih mengandalkan persepsi dan
retorika dibanding dengan pemahaman film itu sendiri.
Berbeda
dengan sejarah style film sebelumnya yang menganggap style film merupakan
bagian dari estetika film, Analisis style dengan landasan cultural studies
menghilangkan fungsi estetika film dalam prakteknya. Estetika dalam film diubah
menjadi text-text yang menjelaskan makna style, adegan, maupun narasi sebuah
film secara ideologis maupun politis.
Meski
memiliki metodelogi dan pendekatan teori yang cukup jelas dalam analisis style,
namun interpretasi –dalam penelitian- memiliki persoalan yang cukup kompleks.
Kelemahan utamanya terdapat pada persepsi yang digunakan sebagai alat dalam
menganalisa diragukan objektifitasnya. Dalam pendekatan ilmiah (positivisme)
interpretasi/subjektifitas dalam penelitian tidak memiliki bukti empirik yang
dapat mendukung kebenaran hipotesisnya. Sehingga hasil yang ditemukan hanyalah
berupa asumsi-asumsi yang dapat sewaktu-waktu dibantahkan bahkan dimentahkan
kembali.
Sepanjang
sejarah dialektika ilmu pengetahuan kedua pendekatan penelitian tersebut
–kuantitatif yang diwakili paradigma positivisme dan kualitatif yang diwakili
paradigma kritis– memang tidak pernah
menemukan titik kesepahaman. Namun dalam perjalanan kajian sinema sendiri,
pendekatan kualitatif lebih mendominasi termasuk dalam analisis style yang
sebelumnya telah dibahas. Pendekatan kualitatif yang digunakan pada akhirnya
menyeret analisis style kedalam problematika klasik kedua paradigma besar
tersebut. Adapaun kritik terhadap pendekatan tersebut dalam kajian film,
menurut Barry Salt, seorang praktisi sekaligus sejarawan film dalam bukunya
Film Style and Technology; History and Analysis sebagai berikut:
a. Tidak
Memiliki Metode/Rumusan Yang Pasti
Sebagai bagian dari ilmu humaniora/sosial, kajian film
merupakan studi fenomenologi yang lebih menekankan pada pengalaman sensorial
dan pengetahuan perwujudan (knowledge).
Dimana objek penelitian ilmu sosial pada dasarnya berhubungan degan
interpretasi terhadap realitas. Menurut Edmund Husserl bahwa penemuan makna dan hakikat
realitas ditemukan melalui pengalaman karenanya setiap orang memiliki
interpretasi sendiri tentang realitas.
Tidak terkecuali dalam ranah kajian film, peneliti
di’halal’kan menggunakan pendekatan masing-masing sesuai dengan bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung;
religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi. Sehingga pendekatan ini
tidak memiliki metode atau rumusan yang
pasti dan tetap. Hal tersebut sangat berpengaruh
pada hasil penelitian yang berbeda-beda, meskipun penelitian/kajiannya
menggunakan objek dan pendekatan yang
sama.
b. Ketidak
Konsistenan Interpretasi
Sekali lagi pemaknaan yang mengandalkan intuisi dan pengalaman peneliti membuat
kita terjebak pada pandangan subjektif peneliti yang sifatnya labil. Sebuah
tanda maupun teks seringkali memiliki makna yang ambigu. Beberapa bahkan
terpenjara dalam ruang, waktu dan budaya
yang sangat dinamis.
Ketika
seorang kritikus film menggunakan intuisi pribadinya kedalam proses
interpretasi, maka yang trerjadi adalah
kita sebagai penikmat film akan kian tersudut pada pengembangan wawasan dan terjebak sistem
analisa yang sangat subjektif. Ketidak konsistenan interpretasi dalam
penelitian film dapat dilihat dari dua hasil kajian mengenai film Young Mr.
Linclon karya John Ford yang dimuat pada Cahiers du Cinema dalam
dua edisi yang berbeda.
Dalam
artikelnya di Cahiers du Cinema, Jonathan Rosenbaum dan Bruce Kawin menyebutkan
bahwa sorot tajam tatapan mata Linclon diartikan sebagai ‘Castrating’ (pengebirian) sementara bila dipandang dari sudut psikoanalisa
seperti yang dikutip oleh Peter Wollen dalam artikel lainnya, sorot mata
tajam tersebut dimakanai sebagai
‘phallus’ (penis) yang identik dengan power (kekuasaan) dan dominasi pria, serta mewakili simbol
pemerkosaan.
Disini
terlihat jelas kontras perbedaan interpretasi dimana satu sisi visualisasi
tatapan mata Linclon diartikan sebagai
bentuk ketidakberdayaan (kelemahan
karakter sang protagonis yang dikebiri) sedangkan sisi lain tatapan mata tajam yang sama dimaknai sebagai keangkuhan maskulinisme Linclon sebagai sosok pria
dewasa dan tangguh. Situasi seperti ini, dimana kajian interpretasi memiliki
dua atau lebih makna yang jauh
berbeda antara satu dengan yang lain
cukup sering terjadi dan hal ini
dianggap wajar oleh pengikut paham
Psikoanalisa.
c. Subjektif Dan Tidak Terukur
Penelitian kualitatif cenderung menggunakan data
teks yang bersifat subyektif. Realitas yang dipelajari dikonstruksikan sesuai
dengan nilai sosial yang ada, oleh karenanya pemaknaan realitas sesuai dengan
pemahaman peneliti. Penelitian kualitatif memiliki jalinan variabel yang
kompleks dan sulit untuk diukur. Sebab
sekali lagi interpretasi tidak memiliki data ataupun bukti empiris.
Hal ini pula yang
menyebabkan sulitnya menghitung tingkat validitas hasil penelitian kualitatif,
sebab hasil penelitian tersebut tergantung kuat atau lemahnya argumentasi yang digunakan peneliti.
III.
Statistical Style
Anlysis
Berdasarkan
pada kenyataan bahwa dalam penelitian film terutama pada bidang kajian film itu
sendiri, sangat sulit menemukan penelitian ilmiah secara kuantitatif menjadikan
ranah kajian film masih sangat monoton dengan teori-teori sosial budaya dan
psikologi yang juga banyak digunakan untuk kajian ilmu lainnya.
Meskipun
pada fase-fase awal kajian film berhasil menelurkan teori film yang spesifik
membahas film seperti yang diperkenalkan kaum formalisme pada era film klasik
tetap belum bisa memberi formula/rumusan pasti dalam kajian film itu sendiri.
Formula seperti sains dimana 1 + 1 = 2 di manapun dan kapanpun akan selalu
sama.
Tidak
banyak peneliti film yang memfokuskan diri dalam kajian sains dalam film dan
berambisi menemukan rumusan ilmiah dalam kajian film, satu dari yang sedikit
itu adalah Barry Salt. Dalam bukunya Film
Style and Technology: History and Analysis (1983), Salt menunjukkan bahwa
penelitian style film tidak memberikan formula yang sistematis meskipun banyak
buku-buku teori film yang mengklaim judulnya sebagai ‘Teori Film Praktis’ dan
sebagainya.
Menurutnya, style film merupakan hubungan relasional
dan perbandingan beberapa fenomena karenanya penelitian tentang style film
harus dapat merumuskan norma-norma dalam
sebuah fenomena beserta inovasi yang mengikutinya. Salt mengantisipasi
hipotesisnya dengan menggunakan paradigma positifisme agar hasil penelitian
stylenya dapat digeneralisir.
Paradigma ini dapat menghindarkan peneliti dari
perdebatan interpretatif mengenai fitur-fitur film yang sering ditemui dalam
metode penelitian film yang umum digunakan.
Dengan demikian maka penelitian film pun akan semakin dekat dengan kajian
ilmiah.
Dalam hal ini Salt menyerukan pentingnya
seorang reviewer/ kritikus film untuk
lebih mempertimbangkan aspek teknis, yang antara lain melibatkan depth of field, editing, shot selection, dsb kedalam rumusan
penelitian filmnya. Hal ini yang menurut Salt menjadi kekurangan yang menonjol
dikalangan kritik akademis saat ini.
Berpegangan pada aspek
konstruktif dalam memformulasikan rumusan teori filmnya, Salt kemudian menggunakan
metode analisis dan evaluatif yang seobjektif mungkin dalam menelaah lebih
dalam tentang berbagai unsur dalam cinema. Metode analisis dipandang perlu demi
menguji seberapa tinggi tingkat akurasi
rumusan teori yang digunakan, demikian juga halnya dengan metode evaluatifnya.
Analisa film versi Barry Salt terbagi atas tiga
unsur, yaitu :
1) Berdasarkan
Konstruksi teknisnya (jenis kamera yang digunakan, ukuran lensa, angle,
editing, art direction dan tata ruang)
2) Style
(executive and artistic decision) sang sutradara. Dimana menurut Salt faktor
kedua ini lebih banyak diabaikan dalam perumusan teori film dewasa ini.
3) Dan yang
terahir dan relatif kurang signifikan dari dua faktor diatas adalah film dapat
dianalisa dengan mengukur seberapa besar tingkat respon dari penonton.
Sedang dalam kriteria evaluasi film, Barry
mengklasifikasikan 3 aspek utama yaitu; (1) Originalitas, (2) Pengaruh film
tersebut dengan film lainnya dan (3) seberapa besar visi dan pengaruh kreatif
sang filmaker terpenuhi dalam film garapannya.
Dalam
kritiknya, Salt menitik beratkan kepada metodelogi dalam penelitian film dimana
teori-teori film yang ada jauh dari paradigma objektif, rasional (terukur) dan
sistematis. Sesuatu yang menjadi syarat mutlak dalam kajian ilmiah. Oleh
karena itu pendekatan Salt mengharuskan peneliti untuk kembali kepada material film, satu-satunya yang empiris dan dapat diukur. Dalam
hal ini Salt menggunakan mise-en-scene
sebagai objek kajiannya. Dimana secara umum mise-en-scene
merupakan segala sesuatu yang nampak dalam layar (scene). Studi atas mise-en-scene
merupakan relasi antara persoalan Subjek film dan film style .
Merujuk pada komentar Eisenstein dalam mise en shot bahwa
hal yang paling empiris dalam film adalah style terutama yang berada dalam kendali
sutradara dan
dapat diidentifikasi dan
diukur melalui parameter shot.
Maka dalam pendekatannya Salt memperkenalkan metode pengukuran style yang disebutnya sebagai stylometry. Metode yang ditawarkan Salt
bagi beberapa kritikus cinema seolah mengembalikan tradisi formalisme dalam
kajian cinema, karenanya ia dianggap sebagai neoformalism dalam beberapa
kritik.
Dalam bukunya Film Style and Technology: History and Analysis yang
terbit pertamakali pada tahun 1983, Salt menyempurnakan pendekatan ilmiahnya
dalan penelitian film. Jika Eisentein menggunakan mise en scene sebagai bahan eksperimennya maka Salt menghitungnya
menggunakan skala statistik. Selanjutnya Stylometry lebih akrab disebut Statistical Style Anlysis.
Yang membedakannya dengan Eisentein adalah,
teori Salt juga memiliki persamaan ciri dengan
teori-teori yang lahir pada masa post strukturalism dimana estetika dan
efektivitas phenomenologi diabaikan untuk mengeksplorasi
produksi makna teks sebagai Aset strategi diskursif. Ia bahkan
memperlakukan teks secara ‘kasar’ dengan merobeknya manjadi averege shot lenghts, camera movements, shot types, dll.
Dalam Statistical
Style Anlysis/stylometry , Salt merujuk style kepada satu set pola terukur yang signifikan dan menyimpang dari norma-norma kontekstual.
Ia menggambarkan style seorang
sutradara merupakan parameter formal mereka yang tersistematis dalam filmnya.
Ia kemudian merepresentasekan parameter formal ini ke dalam grafik dan
persentase.
Fungsi dasar statistik dalam pendekatan Salt
adalah mengukur atau menjumlah data kemudian merepresentasikan data tersebut
sebagai aturan dasar yang bersifat tetap atau final. Dalam analisis style,
statistik digunakan menganalisa atau lebih tepatnya mengukur-style.
Pendekatan statistik dalam penelitian film memberikan hasil secara visual angka-angka
yang lebih jelas dan sistematis. Statistical
style analysis sendiri secara spesifik memiliki 3 tujuan standar, yaitu :
1.
Menawarkan analisis style dengan menggunakan pendekatan
kuantitatif.
2. Menghindari
sengketa teks yang berkaitan dengan atribut kepenulisan
3.
Untuk mengidentifikasi kronologis film ketika adegan atau
urutan komposisi tidak jelas atau tidak runut.
Memasukkan statistik sebagai alat analisa, Statistical style analysis berhasil
menghindari hubungannya
antara style dan tema sebuah film, sesuatu yang menjadi fokus pada teori
mise-en-scene terdahulu yang ’mati-matian’ membantah asumsi bahwa
tampilan scene dalam sebuah film (gerakan kamera, tata cahaya, dll)
hanya keperluan estetika semata.
Analisis style dalam pendekatan statistik menunjuk satu set pola terukur
yang secara signifikan menyimpang dari
norma kontekstual film.
Tujuannya adalah mengindetifikasi style individu sutradara dengan mengumpulkan data parameter formal
secara sistematis terutama yang berada dalam kendali langsung sutradara seperti
:
• Duration
of the shot (termasuk panjang
rata-rata per-shot, atau Average shot length/ASL)
• Shot
scale
A. Average shot length/ASL
Konsep ASL
merupakan panjang dari
film dibagi dengan
jumlah shot di dalam
film, yang dapat
dinyatakan sebagai panjang fisik
yang sebenarnya dari
film atau
lebih dikenal sebagai durasi. Sebelumya untuk film yang menggunakan
celluloid/film bisu dimana kecepatan proyektor mempengaruhi durasi Barry menggunakan satuan feet yang diambil dari panjang pita. Namun hal ini menimbulkan
persoalan ketika perbandingan dilakukan dengan film-film yang dibuat pada masa
yang berbeda. Untuk itu Barry mengganti satuan ASL menjadi detik, mengingat
akurasi persentase kecepatan proyektor pada film bisu hanya memiliki perbedaan
yang sangat kecil.
Dalam penghitungan statistiknya, Barry
merekomendasikan beberapa cara untuk memilih interval waktu yang digunakan
dalam menghitung ASL, yaitu :
1. Gunakan
interval waktu per satu menit atau 60 detik pada film dalam cakram digital (CD)
atau 100-ft pada film 35mm.
2. Lakukan
perhitungan jumlah tipe shot dalam angka (misalnya 50 tipe shot) kemudian
hitunglah jumlah shot dari keseluruhan tipe shot yang ada.
3. ASL atau
panjang rata-rata shot didapat dari perhitungan interval waktu keseluruhan
scene dalam film. Kemudian hitunglah jumlah shot seluruhnya. Jika scene berlangsung 2 menit (120 detik)
dan jumlah shot setiap scene adalah 12 maka ASLnya adalah 10detik (ASL = durasi
scene : jumlah shot)
B. Skala Shot
Pada mulanya Barry mendapatkan skala shot
kebanyakan dari data-data untuk ASL (scene dan jumlah shot) dan hasil
persentase terbalik dari potongan angle yang diambil dari 30 menit panjang film
atau setidaknya 200 shot. Namun kriteria tersebut tidak memuaskan dengan range
error mencapai lebih 10%. Karenanya
distribusi skala shot sekarang diambil dari keseluruhan panjang film. Adapun
tipe shot yang dihitung adalah :
1. BCU
2. Close Up
(CU)
3. Medium
Close Up (MCU)
4. Medium
Shot (MS)
5. Medium
Long Shot (MLS)
6. Long
Shot (LS)
7. Very
Long Shot (VLS)
C. Camera
Movement
Tren
menggunakan gerak kamera yang luas muncul pada akhir abad ke-12 dan masih
berlangsung hingga memasuki periode film bersuara. Hal ini memunculkan
perbedaan antara jumlah shot dengan gerak kamera (Camera Movement). Perdebatanpun muncul tentang apakah gerak kamera
merupakan salah satu bagian dari style sutradara dimana gerak kamera tidak
menampakkan kerja-kerja sutradara didalamnya melain kerja cameraman.
Namun
menyadari bahwa gerak kamera berada dalam kewenangan sutradara dalam hal ini
kamera bergerak sesuai keinginan sutradara dan lebih jauh melihat kedekatan
kerja antara sutradara dan cameraman yang lebih dibanding kru lainnya, dalam
hal ini jika sutradaramemutuskan untuk tracking
shot maka eksekusi berada pada operator kamera dibanding lighting cameraman.
Alasan
tersebutlah yang membuat Barry menyimpulkan bahwa camera movement merupakan
bagian dari style sutradara. Adapun penghitungan skala camera movement mencakup
:
1. Pan
2. Tilt
3. Pan With
Tilt
4. Track
5. Track
With Pan
6. Crane
Penghitungan dapat dilakukan dengan mengukur
panjang pita film atau durasi pada film yang menggunakan cakram digital (CD)
selang satu menit atau per 100-ft pada film 35mm. Pada kenyataannya Salt hanya
mengumpulkan shot yang muncul dalam
30menit film yang dianalisanya. Menurutnya shot-shot
yang muncul 30menit awal film merupakan repsentasi sampel film tersebut.
Namun belakangan, keputusan menghitung shot seluruh film dilakukan agar skala
shot lebih akurat.
Analisis style yang digunakan Salt melibatkan statistik baik secara deskriptif dan inferensial. Tujuan utamanya adalah mengumpulkan jumlah dan frekuensi data
parameter formal sutradara kemudian
diwakilkan ke dalam grafik, dan presentase variable.
Dalam pengambilan sampel film
yang diteliti, salt menggunakan penarikan sampel secara acak (simple random
sampling)atau disesuaikan dengan kemampuan peneliti dalam mengumpulkan
film-film yang diinginkan. Sebab diakui lembaga-lembaga yang mendokumentasikan
film memiliki keterbatasan dalam menyediakan film-film yang di inginkan.
IV.
Kesimpulan
Dari
pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa, style film bukan sekedar
kepentingan estetika belaka. Jika dengan kajian cultural studies, bahkan style
film dicurigai merupakan bagian produk budaya yang memiliki agenda politik
kelas tertentu, kini saatnya melihat film secara objektif dan netral. Tentu
saja tanpa harus mencurigai secara sinis ideologi orang-orang yang berada
dibelakang pembuatan film.
Pendekatan
yang diperkenalkan Barry Salt, statistik, meski bukan metode baru dalam penelitian
sosial namun memberi alternatif baru dalam
kajian sinema yang selama ini didominasi oleh pendekatan kualitatif.
Selain memberi pandangan baru dalam kajian film yang lebih rasional, objektif,
dan sistematis. Pendekatan ini pula dapat menghindarkan perdebatan
interpretatif pada hasil akhir penelitian.
Lebih
lanjut, penelitian style film
menggunakan metode statistik atau Statistical style analysis memberi
kesempatan lebih banyak mengeksplorasi objek yang diteliti mengingat hubungan
erat antara teknologi pembuatan film dan style film. Karena semakin berkembang
teknologi film maka semakin banyak pula parameter formal yang bisa digunakan
sutradara dalam menciptakan stylenya sendiri.
note: masih ada perbaikan pada beberapa poin ditulisan ini.. next week ya..
Ari Ernesto Purnama,
Ke Gombrich Lewat Bordwell: Catatan dari
Zomerfilmcollege 2011, Antwerpen, Belgia (http://cinemapoetica.com/)
Thomas Elsaesser & Warren Buckland, Studying Contemporary American Film, London: 2002
Thomas Elsaesser & Warren Buckland. Studying
Contemporary American Film. Oxford University Press Inc : 2002
Thomas Elsaesser & Warren B, Studying Contamporary American Film; A Guide
To Movie Analysis Oxford University Press, 2002