Style film dikenal sebagai teknik yang digunakan oleh sutradara dalam
memberikan makna atau nilai dalam filmnya.
Hal ini mencakup setiap aspek dalam pembuatan film seperti mise en scene, dialog/narasi, cinematography, sound, editing, dll. Style film sendiri menjadi identititas
sinema pada umumnya. Setiap era dalam sejarah film, filmaker dan gendre dapat
dikenali lewat style yang
dikembangkan, bisa diartikan bahwa style adalah kulit luar dari sebuah karya
film, yang dapat dicermati dan dianalisa dari sudut pandang yang berbeda. Oleh
karenanya Style film sendri merupakan
salah satu bentuk estetika film sama halnya
seperti gendre, narasi, mode atau trend
yang berkembang, dll.
Perkembangan film dunia dapat dilihat melalui perubahan style film dari masa-kemasa. Bahkan
setiap kemunculan style baru dalam
film menandai perubahan periodeisasi jenis film tertentu. Hal tersebut terlihat
pada tahun 1908 dimana film fiksi drama selalu menampilkan para pemain berada
dalam satu baris jauh menghadap penonton lengkap dengan seluruh latar dan dekor
yang melengkapi film tersebut. Pada era ini, film tidak mendapat interupsi close-up. Style semacam ini menandai kehadiran sinema theaterikal. Namun seiring pergeseran jaman, style
semacam itu sudah dianggap tidak sinematik[1].
Pada periode 1919, style
film tampil dengan dominasi penggunaan medium
close up, dimana style semacam
ini sudah dimulai sejak tahun 1913 dengan menggunakan gambar yang lebih dalam
dari tahun-tahun sebelumnya. Pada periode ini angle kamera berubah drastis menjadi lebih tajam (depth of field) dalam beberapa shot dan
untuk mengimbangi hal itu digunakanlah long
shot. Pada periode ini penggunaan long shot dan close up sering digunakan secara bergantian[2].
Perubahan yang signifikan style
film juga menjadi ciri khas gendre film tertentu. Tahun 1940-1950an
film-film terutama Hollywood didominasi oleh film bergendre drama kriminal.
Gendre ini menggunakan gradasi visual dengan kontras tinggi yang dikendalikan
oleh pencahayaan redup yang menjadi ciri khas style film tahun pada era tersebut. Style ini kemudian dikenal sebagai film noir[3].
Namun pada era yang sama hadir film berjudul Laura [Otto Preminger,
1941], sebuah film noir dengan
menggunakan pencahayaan terang.
Menurut David Bordwell Pada dasarnya terdapat perbedaan yang
jelas antara para sinematografer di Hollywood tahun 1930an dan 1940an yang
mengarah pada penggunaan pencahayaan tertentu pada subjek-subjek tertentu pula.
Hal ini dapat dilihat seperti pada adegan film kriminal tanpa bumbu komikal,
maka pencahayaannya menggunakan low
key-lighting. Sementara ketika tiba
film dengan bumbu banyolan atau romantika, maka pencahayaannya menjadi akan lebih terang, seperti
yang terjadi pada film Laura. Lalu, mengapa hal tersebut dapat terjadi?
Bordwell berpendapat bahwa pada masa itu ada semacam ketidakleluasaan yang dikendalikan oleh konvensi
genre dan itu menentukan mana gambar yang boleh dan tidak boleh[4] digunakan. Hal tersebut
disebabkan karena pada tahun 1940an,
pembuatan film kriminal meningkat sangat tajam dan jumlahnya menjadi sangat
banyak. Film kriminal kemudian “naik derajat” menjadi lebih dari sekedar drama
dan tampak membentuk genre sendiri. Sejak saat itu style film tidak sekedar mewakili jejak historis dalam perkembangan
film namun telah menjadi identitas dalam gendre film itu sendiri.
Para ahli sejarah film menyatakan ketika era film bisu kita
dapat melihat standar style yang
digunakan dalam film. Hadirnya film bersuara pada 1930-an juga menyisakan
perdebatan tentang style film,
seperti yang terjadi pada film noir. Dalam essay-nya “The Evolution of The Language of Cinema”Andre Bazin mempertanyakan
kembali dasar permasalahan style film
yang berkembang tahun 1930an-1940an.
Dalam hispotesanya, Bazin menyebutkan bahwa kehadiran film
bersuara memberi keleluasaan film maker membuat ciri khas dalam filmnya dengan
melakukan eksperimen-eksperimen style.
Seperti memberi stempel personal dalam proyek filmnya yang disebut dengan style sutradara[5]. Teori ini yang
selanjutnya berkembang menjadi Author
Theory.
Secara garis besar, kritik Bazin terhadap style film membagi dua kategori sutradara yaitu; Sutradara yang
menaruh keyakinannya dalam gambar dan Sutradara yang menaruh keyakinannya pada
realitas[6].
Dalam kritiknya, Bazin menegaskan bahwa realitas film terbangun
oleh sound, deep fokus, editing, dll,
membuat film sebagaimana mestinya tanpa harus memasukkan unsur sugesti
berlebihan seperti yang dilakukan Eisentstein dengan teknik montage-nya maupun set pencahayaan yang
dramatis seperti pada aliran ekspresionis Jerman. Menurutnya apa yang dilakukan
Eisentein dan ekspresionist Jerman telah menjauhkan sinema dari potensi
terbaiknya; realitas. Karena itu Bazin menyebut montage sebagai komposisi gambar plastic/palsu. Dialektika ini kemudian melahirkan tradisi film
modern, sebagai bentuk kritik atas tradisi film klasik
A.
Bergesernya Paradigma Style
Dialektika style film
Bazin ini terdiri dari ajaran estetika standar dimana esensi film tidak lagi
dilihat melalui kapasitas film bisu melalui kemampuannya yang hiper-stylisasi
yang terdapat pada Ekspresionime maupun Dynamized
abstraksi seperti yang terdapat pada Soviet
Montage.
Bazin juga berpendapat bahwa tahun 1950-an merupakan puncak
klimaks dari perdebatan tentang style film. Pengembangan teknologi layar
lebar (widescreen) menguatkan
kepercayaannya bahwa long take, camera
movement, depth of field dan istilah-istilah teknis lainnya sudah tidak
relevan lagi sebagai standarisasi style.
Ia menyebutnya sebagai akhir dari evolusi style.
Selanjutnya dialektika style akan
menemukan versi barunya yang lebih masuk akal pada estetika narasi film itu
sendiri, sesuatu yang tidak ditemukan pada film-film bisu.
Setelah perang dunia pertama, film mendapat ‘kekuasaan’ penuh
sebagai media massa yang berpengaruh. Kekuatan propaganda melalui medium film
sangat efektif sehingga banyak kelas-kelas tertentu menggunakannya sebagai alat
penyampaian gagasan/ide sampai mempertahankan kekuasaan. Saat itu style film tidak lagi dipahami sebagai
apa yang tampak dari visual film semata.
Terlebih ketika beberapa teori dari ranah ilmu sosial dan psikologi memasuki
wilayah kajian sinema, seperti semiotik,
postmodern, psikoanalisa, feminism, dll.
Kuatnya pengaruh cultural
studies dalam kajian sinema di tahun 1970-1980an mempengaruhi cara pandang
penelitian tentang film terutama menyangkut style
film. Pada periode ini film dipandang secara sosial dan ideologis. Modus
yang digunakan selalu mencari tahu siapa atau apa yang berada di balik semua
produksi kultural termasuk sinema.
Cultural studies yang notabene sebagai bagian dari tradisi kritis Marxisme
selalu mencurigai produk kultural seperti film pasti digunakan oleh satu atau
beberapa pihak dalam masyarakat untuk meraih atau mempertahankan kepentingan
politis-ekonomis tertentu[7]. Maka analisis style pada periode ini hadir untuk
membongkar ideologi dan agenda politis di balik sebuah film.
Seperti yang diprediksi Bazin, bahwa style film akan dilihat melalui estetika narasinya bukan lagi pada
penggunaan teknis pembuatan/pengambilan gambar atau visual film. Style film tidak lagi sebatas apa yang
tampil dalam visual sinema melainkan alat untuk mengungkap realitas yang berada
dibalik sinema tersebut. Menurut Bazin, film dengan bantuan teknis merupakan
‘fenomena idealis’. Baginya sinema pada dasarnya adalah sebuah relaita yang
dimediasi oleh mekanik kamera. Selanjutnya penelitian/kajian tentang film
kemudian selalu dikaitkan dengan realitas yang ditampilkannya. Sebagai contoh,
teknik disolve dalam film sering didefinisikan
sebagai perpindahan memori pemain atau pistol dalam film selalu diidentikkan
sebagai sesuatu yang maskulin. Dari sini analisis style berkembang menjadi satu disiplin dalam kajian sinema dan
mencakup beberapa teori-teori film yang hingga kini masih digunakan dalam
kajian sinema.
I.2. Teori-Teori Dalam Analisis Style
Analisis
style sendiri telah melewati banyak fase dalam dialektika keilmuan. Dalam
teori film, analisis style hadir
pasca wacana film sebagai seni atau lebih dikenal dengan teori film klasik.
Teori film modern hadir mewacanakan film sebagai sosio-ideologis, ciri yang
paling menonjol pada pendekatan ini adalah peneliti film berupaya menganalisa hal-hal yang terepresentasi
lewat film, baik dari segi gaya maupun naratifnya, lalu mencari pola
hubungannya dengan konsep-konsep sosial-politis yang dianut oleh si peneliti
sendiri[8].
Hadirnya pendekatan ini kuat dipengaruhi oleh cultural studies pada dekade 1980-an. Dimana segala macam isu representasi akan ditinjau secara
politis berdasarkan latar belakang kelompok sosial atau budaya tertentu,
serta selalu mencari tahu siapa yang berada dibalik semua produksi kultural.
Menurut perspektif ini, film sebagai produk kultural pastilah digunakan oleh
satu atau beberapa pihak dalam masyarakat untuk meraih atau mempertahankan
kepentingan politis-ekonomis tertentu[9].
Pada
era ini, kajian film kerap meminjam teori-teori seni dan estetika yang lebih
luas. Dalam kaitannya dengan analisis style
dan kajian film lainnya tidak terdapat perbedaan penggunaan teori, seperti
semiotika dapat digunakan untuk analisis style
maupun analisis narasi. Beberapa teori yang lazim digunakan dalam analisis
style dan kajian sinema pada umumnya antara lain sebagai berikut :
a.
Semiotika
Semiotika
merupakan varian dari ilmu linguistik yang mempelajari tanda. Teori ini muncul
pada dekade tahun1970-an dimana identifikasi unsur politik representasi dalam
film sebenarnya berawal dari kedekatan hubungan dengan semiotika, dimana para
peneliti beranggapan bahwa film lebih dari sekedar seni, film merupakan sebuah
fenomena linguistik.
Semiotika
dalam analisis style didasarkan pada
ajaran linguistik Ferdinand de Saussure dan konsepsi semiotika Charles Sanders
Pierce. Dalam kajian sinema Christian Metz merupakan pakar semiotika film yang
memandang film sebagai bahasa atau setidaknya fenomena menyerupai bahasa yang memungkinkan manusia
untuk menggali partikel-partikel di dalamnya. Akibatnya, terbuka kemungkinan
baru untuk menjawab pertanyaan ‘Apa sebenarnya film itu?’ (dalam terminologi
semiotika) dan bagaimana ia bekerja dalam sistem secara keseluruhan.
b.
Psikoanalisis Lacan
Salah satu teori yang berhasil menyingkirkan popularitas
semiotik adalah psikoanalisis. Psikoanalisis menekankan pada dimensi Psikologis sebagai aspek individual. Pendekatan psikologi
menekankan bagaimana pengaruh kognisi konsep kesadaran seseorang dalam
membentuk skema tentang diri, sesuatu ataupun gagasan teori. Bagaimana suatu
individu memahami dan melihat realitas dengan
skema tertentu yang tentunya banyak berhubungan dengan berbagai teori.
Sigmun Freud [10]menggunakan istilah psychoanalysis untuk pertama kali yang kemudian dikembang lebih
lanjut oleh Jacques Lacan[11] melalui
pendekatan lingusitik-semiotika khususnya didalam teori cinema. Ia meramu psikoanalisa Freud yang dikaitkan dengan
basis semiologi.
Fokus utama studinya adalah ketidaksadaran (unconscious), yang sebelumnya
diperkenalkan Freud. Lacan menggali kembali ketidaksadaran sebagai konsep
dengan bantuan metode linguistik Saussure dan memusatkan kajiannya pada beberapa
metode Freud sebelumnya, seperti percakapan antara psikiater/psikolog dan
pasien. Percakapan tersebut menurutnya, merupakan seuntai rantai
penanda-penanda.
Selain semiologi, psikoanalisis
Lacan juga meramu teorinya dengan paham marxis yang sangat kental. Salah satu contoh dari hasil analisis berbasis psikoanalisis ini
dapat diindera pada teori aparatus yang salah salah satunya
diprakarsai oleh Jean-Louis Baudry. Baudry bukan hanya melihat cinematic
apparatus (teknik seperti editing, camerawork dan proyeksi
ke layar) semata sebagai perangkat ideologis, meskipun pernah dalam salah satu
tulisannya ia menganalogikan film dengan mimpi (seperti halnya Freudian
psikoanalisis yang memberikan perhatian pada mimpi sebagai dobrakan dari
represifitas alam bawah sadar kita unconciousness).
c.
Postmodernisme
Meski postmodernisme tidak memiliki kerangka teoritis yang baku
dan hanya mengamati tingkah polah dan cara pandang masyarakat namun gelombang
paradigma ini cukup kuat dalam kajian-kajian ilmu sosial. Posmodernisme sering
didefinisikan sebagai “apa saja yang bukan bagian dari modernitas”.
Para posmodernis selalu berusaha mencari apa yang tersembunyi,
melihat film dengan seksama lalu membicarakan isinya. Lagi-lagi, umumnya para
posmodernis hanya tertarik untuk membicarakan film secara ideologis, seperti
juga yang dilakukan oleh para teoritisi yang karakternya sudah dijelaskan di
sebelumnya seperti psikoanalisa, Marxisme, semiotika dan tradisi berpikir lain
yang serupa.
d.
Neo-formalisme
Neo-formalisme yang
muncul pada dekade 1970-an sebenarnya tidak beranjak jauh dari formalisme
Eisenstein, Pudovkin, dan Arnheim yang hanya tertarik pada kajian artistik film
itu sendiri; bahasa sinematik, aspek naratif, style, dan relasi antara konstruksi formal dari film dengan
pengalaman (psikologis) penonton film itu sendiri.
Pencetus
neo-formalisme pertama kali adalah Victor F Perkins. Dalam bukunya film as film (1972), Perkins berpendapat
pentingnya mengkaji film tanpa mengaitkannya dengan teori dari disiplin ilmu
lain seperti ilmu sosial dan seni. Baginya, film dapat dikaji melalui sudut pandang yang
paling ontologis.
Tradisi noe-formalisme ini kemudian diteruskan oleh duet David
Bordwell dan Kristin Thompson. Dalam buku mereka yang berjudul Film Art menyebutkan bahwa asumsi-asumi
neoformalis berkerja didasari pada dua hal: cinematic poetics dan historical
poetics. Kedua konsep ini diadopsi kedalam konteks dimana film diproduksi
lewat sebuah mode praksis yang akhirnya berpengaruh pada interaksi style
dan naratif dan berujung pada film secara keseluruhan. Keduanya
kemudian menjadi pencetus lahirnya pendekatan film kognitif, sebuah pendekatan
psikologi baru dalam kajian cinema di tahun 1985.
Menurut Bordwel kognitifisme merupakan bentuk alternatif bagi
teori film kontemporer, yang mendasarkan dirinya pada eksplanasi psikologis
yang bersifat kognitif atas alam pikiran, emosi, dan tindakan, yang cenderung
berlawanan dengan psikoanalisa, Marxisme, dan posmodernisme dalam hal
interpretasi makna.
Selain mazhab kognitifisme yang diprakarsai Bordwel, tradisi
neo-formalisme kini mulai berdialektika dengan munculnya aliran scientific realism[12]
yang diperkenalkan oleh Barry Salt dalam bukunya Film Style and Technology : History and Analysis. Dalam teorinya,
Salt menitik beratkan pada pentingnya menghormati kaidah-kaidah ilmiah/sains ke
dalam penelitian sinema. Pada pendekatannya, Salt memijakkan dirinya pada
paradigma positivisme (penelitian kuantitatif) sesuatu yang masih asing dalam
kajian sinema, dimana sebelumnya kajian sinema didominasi oleh paradigma kritis
yang berada dalam ranah penelitian kualitatif.
Pendekatan teori film
Salt mengembalikan pengamatan kepada material film itu sendiri. Satu-satunya
dalam film yang dapat diukur melalui pendekatan sains. Merujuk
pada komentar Eisenstein dalam mise en
shot[13] bahwa hal yang
paling empiris dalam film adalah style terutama yang berada dalam kendali sutradara dan
dapat diidentifikasi dan
diukur melalui parameter shot.
Banyak yang menganggap teori Salt mengembalikan tradisi formalisme Eisentein, namun
yang membedakannya adalah teori Salt juga memiliki persamaan ciri
dengan teori-teori yang lahir pada masa
post strukturalism dimana estetika dan efektivitas phenomenologi diabaikan
untuk mengeksplorasi produksi makna
teks sebagai aset strategi diskursif. Salt bahkan memperlakukan teks secara ‘kasar’ dan
merubahnya manjadi averege shot lenghts (panjang rata-rata shot) , camera movements, shot types, dll.
Dalam pendekatannya, Salt menggunakan statistik untuk mengukur
parameter shot/style film yang menjadi objek penelitiannya. Hasil perhitungan
tersebut kemudian akan ditunjukkan melalui diagram batang. Salt
sendiri merujuk style kepada satu set
pola terukur yang signifikan dan menyimpang dari norma-norma kontekstual dimana style seorang
sutradara merupakan parameter formal mereka yang tersistematis dalam filmnya.[14]
Fungsi statistik sendiri adalah mengukur atau menjumlah
data kemudian merepresentasikan data tersebut sebagai aturan dasar yang
bersifat tetap atau final. Metode ini kemudian lebih dikenal sebagai stylistic atau Statistical style analysis.
I.3. Statistical
Style Analysis ; Pendekatan Alternatif dalam Analisis Style.
Teori-teori di atas merupakan teori yang umum digunakan dalam
analisis film termasuk analisis style
film. Kesemuanya merupakan teori yang di ‘pinjam’ dari ilmu sosial yang lebih
dulu ada seperti linguistik dan psikologi. Semuanya juga telah memberi
implikasi yang sangat signifikan terhadap kajian sinema sebagai sebuah
keilmuan.
Meski mengalami silang sengketa satu sama lain, kesemua teori
yang telah dibahas sebelumnya memiliki satu persamaan yaitu berfokus pada usaha
menginterpretasi film sebagai objek. Interpretasi sendiri merupakan bagian dari
mazhab study fenomenologi yang lebih menekankan pada pengalaman sensorial
dan pengetahuan perwujudan (knowledge).
Dimana objek penelitian pada dasarnya berhubungan dengan
interpretasi terhadap realitas. Menurut Edmund Husserl bahwa penemuan makna dan hakikat
realitas ditemukan melalui pengalaman karenanya setiap orang memiliki
interpretasi sendiri tentang realitas.
Fenomenologi sendiri merupakan satu dari sekian banyak mazhab
pemikiran dalam paradigma penelitian kualitatif. Penelitian film sendiri hingga
saat ini masih didominasi oleh penelitian kualitatif, tapi bukan berarti
pendekatan kuantitatif tidak pernah atau tidak bisa digunakan dalam kajian
sinema.
Barry Salt, seorang sejarawan dan praktisi cinema kebangsaan
Australia memperkenalkan pendekatan kuantitatif pada analisis style yang disebutnya sebagai Statistical style analysis[15]. Statistik sendiri dikenal sebagai jembatan penghubung antara
ilmu-ilmu sosial dengan penelitian kuantitatif (positivisme). Statistik
digunakan untuk mengukur fenomena-fenomena sosial kedalam grafik-grafik angka
untuk kemudian digeneralkan.
Alih-alih menggunakan
fenomena sosial, Statistical style
analysis Salt sama sekali tidak ditujukan untuk pengamatan polah laku dan
konstruksi sosial masyarakat. Salt malah kembali pada tradisi formalisme klasik
dimana objek penelitian terfokus pada material film itu sendiri. Di mana
statistik digunakan Salt untuk menghitung skala penggunaan teknis dan mise n scene film seperti camera movement, long shot, close up,
dll.
Meski masih dikategorikan sebagai pengikut neo-formalisme, Barry
Salt sebagai pencetus pendekatan statistik dalam analisis film style keras mengkritik teori-teori
sebelumnya termasuk teori kognitif Bordwell yang juga lahir pada dekade yang
sama dengan pendekatannya.
Kritik Salt terfokus pada teori-teori interpretasi film baik
yang berada dalam ranah cultural studies maupun
psikologi kognitifisme. Menurut Salt meski memiliki metodelogi dan pendekatan
teori yang cukup jelas dalam analisis film style-nya,
namun interpretasi –dalam penelitian- memiliki persoalan yang cukup kompleks.
Kelemahan utamanya terdapat pada persepsi yang digunakan sebagai alat dalam
menganalisa diragukan objektifitasnya. Dalam pendekatan ilmiah (positivisme)
interpretasi atau subjektifitas dalam penelitian tidak memiliki bukti empirik
yang dapat mendukung kebenaran hipotesisnya. Sehingga hasil yang ditemukan
hanyalah berupa asumsi-asumsi yang dapat sewaktu-waktu dibantahkan bahkan
dimentahkan kembali. Beberapa kritikan Salt terhadap interpretasi antara lain :
a. Tidak Memiliki Metode/Rumusan Yang Pasti
Sebagai bagian dari ilmu sosial,
kajian film merupakan studi fenomenologi yang lebih menekankan pada pengalaman
sensorial dan pengetahuan perwujudan (knowledge).
Dimana objek penelitian ilmu sosial pada dasarnya berhubungan degan
interpretasi terhadap realitas. Menurut Edmund Husserl bahwa penemuan makna dan hakikat
realitas ditemukan melalui pengalaman karenanya setiap orang memiliki
interpretasi sendiri tentang realitas.
Tidak terkecuali dalam ranah kajian film,
peneliti di’halal’kan menggunakan pendekatan masing-masing sesuai dengan bentuk
kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsung; religius, moral, estetis,
konseptual, serta indrawi. Sehingga pendekatan ini tidak memiliki metode atau
rumusan yang pasti dan tetap. Hal tersebut sangat berpengaruh pada hasil penelitian yang
tidak sama, meskipun menggunakan satu objek yang penelitian dengan menggunakan
pendekatan yang sama.
b. Ketidak Konsistenan Interpretasi
Sebagai bagian dari ilmu sosial, kajian sinema merupakan studi fenomenologi yang lebih menekankan pada pengalaman
sensorial dan pengetahuan perwujudan (knowledge), peneliti di’halal’kan menggunakan pendekatan masing-masing sesuai dengan
bentuk kesadaran dan pengalaman-pengalaman langsungnya seperti; religius, moral, estetis, konseptual, serta indrawi.
Sekali lagi
pemaknaan yang
mengandalkan intuisi dan pengalaman peneliti membuat kita terjebak pada
pandangan subjektif yang labil. Sebuah
tanda maupun teks seringkali memiliki makna yang ambigu. Beberapa bahkan
terpenjara dalam ruang, waktu dan budaya
yang sangat dinamis.
Ketika seorang kritikus film menggunakan intuisi pribadinya
kedalam proses interpretasi, maka yang trerjadi adalah kita sebagai penikmat film akan kian
tersudut pada pengembangan wawasan dan
terjebak sistem analisa yang sangat subjektif. Ketidak konsistenan interpretasi
dalam penelitian film dapat dilihat dari dua hasil kajian mengenai film ‘Young
Mr. Linclon, karya John Ford.
Dalam artikelnya di Cahiers
du Cinema, Jonathan Rosenbaum dan Bruce Kawin menyebutkan bahwa sorot tajam
tatapan mata Linclon diartikan sebagai ‘Castrating’
(pengebirian) sementara bila dipandang dari sudut psikoanalisa
seperti yang dikutip oleh Peter Wollen dalam artikel lainnya, sorot mata
tajam tersebut dimakanai sebagai
‘phallus’ (penis) yang identik dengan power (kekuasaan) dan dominasi pria, serta mewakili simbol
pemerkosaan[16].
Disini terlihat jelas kontras perbedaan interpretasi dimana satu
sisi visualisasi tatapan mata Linclon
diartikan sebagai bentuk
ketidakberdayaan (kelemahan karakter sang protagonis yang dikebiri)
sedangkan sisi lain tatapan mata tajam
yang sama dimaknai sebagai keangkuhan
maskulinisme Linclon sebagai sosok pria dewasa dan tangguh. Situasi
disini, dimana kajian interpretasi jauh
berbeda antara satu dengan yang lain
cukup sering terjadi dan hal ini
dianggap wajar oleh pengikut paham
Psikoanalisa.
c.
Subjektif
Dan Tidak Terukur
Penelitian kualitatif
cenderung menggunakan data teks yang bersifat subyektif. Realitas yang
dipelajari dikonstruksikan sesuai dengan nilai sosial yang ada, oleh karenanya
pemaknaan realitas sesuai dengan pemahaman peneliti. Penelitian
kualitatif memiliki jalinan variabel yang kompleks dan sulit untuk diukur..
Hal
ini pula yang menyebabkan sulitnya menghitung tingkat validitas hasil
penelitian kualitatif, sebab hasil penelitian tersebut tergantung kuat atau lemahnya argumentasi yang digunakan peneliti
I.4. Aplikasi Statistical Style Analysis
Hal yang paling empiris dalam film adalah style, terutama yang berada dalam
kendali sutradara[17]. Ini
merujuk pada pernyataan Eisentein tentang style
yang merupakan sesuatu yang paling mudah
diidentifikasi dalam film. Oleh karena itu Style film sendiri dapat diukur melalui parameter shot dimana metode pengukuran style ini dikenal sebagai stylometry atau lebih akrab disebut Statistical Style Analysis yang
diperkenalkan oleh Barry Salt. Fungsi
dasar statistik sendiri adalah mengukur atau menjumlah data kemudian
merepresentasikan data tersebut sebagai aturan dasar yang bersifat tetap atau
final. Dalam analisis style,
statistik digunakan menganalisa atau lebih tepatnya mengukur-style
Metode statistik dalam kajian sinema menjadikan penelitian film
menjadi lebih sistematis, terukur dan lebih objektif. Analisis style kuantitatif di sini melibatkan statistik baik secara deskriptif dan inferensial. Tujuan utamanya adalah mengumpulkan jumlah dan frekuensi
data parameter formal sutradara kemudian
diwakilkan ke dalam grafik, persentase, dan rata-rata panjang tiap shot (Average Shot Lenght / ASL). Pendekatan statistik dalam penelitian
film memberikan hasil secara visual
angka-angka yang lebih jelas dan sistematis. Statistical style analysis sendiri secara spesifik memiliki 3
tujuan standar, yaitu:
1.
Menawarkan analisis style dengan menggunakan pendekatan kuantitatif.
2.
Menghindari
sengketa teks yang berkaitan dengan atribut kepenulisan
3.
Untuk mengidentifikasi kronologis film
ketika adegan atau urutan komposisi tidak jelas atau tidak runut.[18]
Dengan
memasukkan statistik sebagai alat analisanya, Salt berhasil
menghindari hubungannya antara style dan tema sebuah
film, sesuatu yang menjadi fokus pada teori sebelumnya yang ’mati-matian’ membantah
asumsi bahwa tampilan scene dalam sebuah film (gerakan kamera, tata
cahaya, dll) hanya keperluan estetika semata[19].
Analisis style
dalam pendekatan statistik menunjuk satu set pola terukur yang
secara signifikan menyimpang dari norma kontekstual film. Tujuannya adalah mengindetifikasi style individu sutradara dengan
mengumpulkan data parameter formal secara sistematis terutama yang berada dalam
kendali langsung sutradara seperti Duration of the shot (termasuk panjang rata-rata per-shot, atau Average shot length/ASL), Shot
scale, Camera movement.[20]
Dalam teorinya, Salt merujuk style kepada satu
set pola terukur yang signifikan dan menyimpang dari
norma-norma kontekstual. Ia menggambarkan style
seorang sutradara merupakan parameter formal mereka yang tersistematis dalam
filmnya. Ia kemudian merepresentasekan parameter formal ini ke dalam grafik
batang dan persentase[21].
Walaupun
terkesan masih asing bagi dunia kajian sinema namun pendekatan Salt sangat
menarik perhatian penulis dan patut untuk diaplikasikan dalam film-film
Indonesia. Karena itu, pada penelitian kali
ini, penulis ingin mengaplikasikan Statistical style analysis-Barry Salt untuk menganalisis film-film
Indonesia.
[1] David
Bordwell, On The History of Style film, Harvard
University Pres: 1997 (hal 1)
[2] Ibid 1
[3] Istilah untuk film
yang menggunakan teknik pencahayaan low-key dan visual hitam-putih. Istilah
film noir banyak digunakan untuk mendeskripsikan film-film drama kriminal
hollywood (The Visual Story: Seeing the Structure of Film, TV, and New Media,
2001)
[4] Ari Ernesto Purnama Ke Gombrich Lewat Bordwell: Catatan dari Zomerfilmcollege 2011, Antwerpen, Belgia (http://cinemapoetica.com/)
[5] Ibid, David
Bordwell, On The History of Style film
(hal 47)
[6] Andre Bazin, The
Evolution of Language of Cinema” dalam Leo Brudy and Marshall, Film Theory and
Criticism, 1999 (hal 43)
[7] Richard Dryer, “Introduction
to Fim Studies,” dalam The Oxford Guide to Film Studies
(hal 6)
[8] Film
Studies and Film Theory: Mapping Out the Complex Terrain From Russian Formalism
to the Cognitive Approaches.
[9] Richard Dryer, The
Oxford Guide to Film Studies
[10] Sigismund Schlomo Freud (Sigmund
Freud)
6 May 1856 – 23September
1939, berprofesi dokter jiwa dan ahli saraf, Ia mendefenisikan ulang
konsep sexual desire sebagai suatu
bentuk yang terus bergerak dan mengarah kepada objek yang luas. Ia terkenal
dengan teori ‘the unconscious mind’ , the mechanism of repression, serta tehnik terapinya pengobatannya yang berkaitan
dengan value of dreams
[11] Jacques Marie-Émile Lacan (13 April 1901
- 9 September 1981) adalah psikoanalis Prancis artikelnya, Ecrits
(1966), berpengaruh banyak di bidang linguistik teori film, dan kritik
sastra. Ia mengembangkan psikoanalisa
dari metode unconscious Freud dan metode linguistic
Saussure.
[12] Scientific
realisme dalam istilah yang diperkenalkan oleh Stanley Kubrick merujuk pada
istilah suatu kondisi yang di dalamnya benanr-benar terdapat sesuatu yang bisa
diteliti secara empiris.
[13] Thomas Elsaesser & Warren
Buckland. Studying Contemporary
American Film. Oxford University Press Inc : 2002 (hal. 81-82)
[14] Thomas
Elsaesser & Warren Buckland. Studying
Contemporary American Film. Oxford University Press Inc : 2002 (hal. 81-82)
[15] Film Style and
Technology : History and Analysis, Barry Salt, 2003
[16] Barry Salt,The Interpretation of Films
[17] Studying Contemporary American
Film, 2002
[18] Thomas Elsaesser &
Warren B, Studying Contamporary American
Film; A Guide To Movie Analysis Oxford University Press, 2002
[19] ibid
13
[20] Ibid13
[21] Thomas
Elsaesser & Warren Buckland. Studying Contemporary American
Film. Oxford University Press Inc : 2002