Teori Film
Selasa, 15 Desember 2009
Unthinking Eurocentrism
Diera kontemporer seperti ini, Eurocentrism menjadi perdebatan hangat dalam kurun dekade terakhir, topik ini menjadi hangat diperbincangkan dan diperdebatkan, baik dalam ruang lingkup media maupun institusi-akademisi, apakah pendekatan semacam Eurocentrism, colonialism, multiculturalism merupakan suatu keterkaitan yang selalu merujuk pada aspek historis Eropa, atau hanyalah pendekatan yang dangkal berdasarkan angan angan, mengingat konstribusi dan dominasi Eropa dalam hal ilmu pengetahuan.
Dalam buku Unthinking Eurocentrism (Robert Stam-Ella Shohat) yang berfokus pada Eurocentrism, multiculturalism dalam budaya populer diuraikan bahwa ‘gairah kepercayaan’ yang merupakan efek kesadaran intelektual melemahkan konsep Eurocentrism, bahwa warisan Eurocenrtic sangat diperlukan yang tidak hanya untuk memahami representatif media kontemporer tetapi juga pada subjektif kontemporer. Hingga saat ini Eurocentrism menjadi semacam endemik diera kontemporer, termasuk dalam dunia pendidikan (cara berfikir,) bahwa naturalnya Eurocentrism diartikan sebagai ‘common sense,’ dalam aspek filosofi dan sastra diartikan bahwa filsafat dan literature adalah asumsi yang lahir karena Eropa, filsafat Eropa dan sastra Eropa. The ‘best that is thought and written’ is assumed to have been thought and written by Europeans.
Sejarah diasumsikan milik Eropa, dan segala hal yang tidak relevan, tidak menguntungkan adalah rendah, primitif, dalam hal ini Eropa melihat non-Eropa seperti mutilasi kelamin perempuan (Afrika utara), pembakaran janda (sati-India) atau -mengikat kaki (Cina) adalah hal yang primitiv. Lebih jauh, Eurocentrism di abad kelima SM, sejarawan Yunani Herodotus menyebutkan "barbar" adalah gerombolan Asia brutal, tidak bermartabat. Hal ini semakin komplex bila kita melihat sejarah Columbus. Dalam artian kebudayaan non-Eropa adalah pembodohan dan bukan suatu kekayaan.
Eurocentrism menjelaskan bagaimana sejarah menempatkan Eropa sebagai faktor dominan dalam kebudayaan yang mempengaruhi dunia, karena ia dominan dan hegemonik maka Eurocentrism menjadikan segala sesuatu berpatokan pada Eropa, dan merupakan ‘kebenaran’. Arti pemikiran Eurocentrism sendiri bukan pada letak geo-politik eropa namun pada subjek yang berfikir Eurocentrism sebagai ukuran atau cara berfikir.
Karena Eurocentrism selalu dinilai serangan terhadap Eropa maka belakang hal ini disadari bahwa konsep seperti ini sudah tidak mungkin untuk diangkat lagi sehingga muncullah Multiculturalism (bagaimana menyikapi-mengkritik Eurocentrism), konsep ini bukan serangan terhadap Eropa namun yang terpenting adalah bagaimana menyikapi sikap ideologi Eurocentrism yang menempatkan Eropa dalam suatu binaristik hirarkis.
Permulaan Eurocentrism muncul sebagai wacana nasionalitas dalam perbincangan kolonialisme. Kolonialisme bukan sekedar pada penjajahan geografi-politik, namun juga menjadi produk dari Eurocentrism sehingga dikenal dua pemahaman dalam istilah, yaitu; eurocentrism colonial discourses (colonial adalah produk eurocentrism) dan Eurocentric discourses (dianggap bertentangan dengan colonial discourses), artinya bahwa eurocentrisc discourses tidak merujuk pada kolonialisme (seakan mengubur nilai ‘eropa’) dan bukan sesuatu yang kontradiktif sehingga wacana tentang eurocentrism menjadi wacana yang sangat kompleks dalam lingkup media dan institusi-akademisi.
Wacana eurocentrism discourses merupakan tendensi berfikir secara intelektual Eropa, baik sendiri atau bersama yang membentuk Eurocentrism, meskipun Eropa sebenarnya terpisah pisah seperti Eropa Timur, Eropa Barat, dsb, namun ada kesatuan yang membentuk ‘kesatuan Eropa’ seperti contoh pusat waktu atau titik nol dari geografi dan waktu dunia berpusat di Eropa. Dan Artiya ada pemikiran didalam wacana eurocentrism discourses yang dianggap menyimpang dalam pemikiran intelektual Eropa seperti misi Hitler, Mussolini, Tarquemada dsb yang dianggap kekeliruan Eropa, namun dalam hal ini (kolonial, imperial) tidak menjadikan Eropa buruk sama sekali. Dengan demikian, Eurocentrism adalah pembersihan sejarah Barat dengan menggurui dan bahkan mengutuk non-Barat, seperti itulah pemikiran mereka dengan mengatasnamakan kemuliaan ilmu pengetahuan, prestasi, kemajuan, humanisme. Tetapi bagi non-Barat, ini adalah bentuk dari segala kekurangan mereka dalam bentuk nyata maupun khayal. Mengutuk dalam hal ini diibaratkan mengutuk secara halus melalui rasionalitas dalam ilmu pengetahuan, sehingga binaristik seperti Timur adalah mitos merupakan kekayaan budaya namun bagi Barat adalah pembodohan, Timur adalah demonstrasi, bagi Barat adalah riot, Timur adalah pembelaan diri, bagi Barat adalah teror, dsb, sehingga dengan halus, Eropa seakan mengajarkan kebudayaan Timur bukanlah suatu kebudayaan yang membodohi, kebudayaan merupakan pengetahuan yang rasional dan Timur selalu melihat kebudayaan sebagai sesuatu yang tidak rasional. Permasalahan semacam ini belakangan mendapat macam kritikan, tanggapan dan paradoks baik para teoritis (the other minoritis) Barat dan non-Barat, pemikiran inilah yang mentriger munculnya konsep multiculturalism bahwa bukan ‘Eropa’ yang dihilangkan tetapi pemikiran Eurocentric colonial discourses, oleh karena tidak bisa dipungkiri bahwa sejarah sastra Barat lah yang menjadikan wacana ini menjadi menarik.
Dengan munculnya multiculturalism dalam perkembangan unthinking Eurocentrism, Eurocentrism dipandang sebagai sains kritik dalam sebuah selebrasi ilmiah, artinya setiap pergerakan-selabrasi mengundang kritikan, sehingga dalam konsep multiculturalism memiliki banyak pusat dari berbagai pusat atau polycentric multiculturalism sebagai tanggapan dari selebrasi eurocentrism yang mengatasnamakan Eropa (Barat) sebagai titik pusat, seperti contoh bagaimana dunia ke-tiga membentuk gaya dan cirik khas film dunia ke-tiga untuk kepentingan tersendiri yang sangat bertolakbelakang dengan Hollywood yang dianggap sebagai titik pusat cinema, dimana didalam dunia ke-tiga itu sendiri memiliki dunia multikultur yang sangat beragam. Permasalahan yang muncul dalam unthinking Eurocentrisme adalah non-Eropa tidak mampu mengingkari kelebihan dari Eropa. Dan dalam buku unthinking eurocentrisme dikemukakan beberapa point untuk mengkritik eurocentrisme sekaligus merayakan-celebrate multiculturalism yaitu; tidak takut pada ‘kata kesalahan’, berhenti mencari yang sempurna (kesempurnaan Eropa), oleh karena kebudayaan adalah bentuk yang sangat beragam dan Eropa merupakan bagian dari multiculturalism.
Kesimpulan
Eurocentrism adalah wacana yang sangat kompleks, kontradiktif, bahkan ketimpangan historis. Namun dalam dinamika potret dan analisis, Eurocentrism bisa dipandang sebagai cara berfikir dalam keterlibatan sejumlah tendensi kecenderungan intelektual yang saling terkait dalam cara membedahnya.
1) Eurocentric merupakan wacana linear atas lintasan peradaban sejarah terkemuka dari Yunani klasik, kekaisaran Roma hingga metropolitan Eropa. Dalam semua kasus, Eropa dipandang sebagai 'motor' untuk progresif perubahan sejarah: ia menciptakan demokrasi, masyarakat kelas, feodalisme, kapitalisme, revolusi industri, dsb.
2) Eurocentrism adalah atribut terhadap 'Barat' yang melekat untuk kemajuan lembaga-lembaga demokratis. Dan segala hal dari kekeliruan demokratis Eropa dinilai sebagai ‘Eropa yang menyimpang,’ seperti misi Hitler, dsb.
3) Eurocentrisme adalah elides, mendengungkan tradisi demokratis non-Eropa, sementara mereka menutupi, memanipulasi, bahkan menghilangkan nilai demokrasi formal Barat dengan merongrong demokrasi diluar Eropa, bukri konkrit dari hal ini adalah Imperialisme
4) Eurocentrism Eropa meminimalkan praktik menindas Barat dengan memandang mereka sebagai kontingen, sekutu. Kolonialisme, perdagangan budak dan imperialisme tidak dilihat sebagai katalisator mendasar dari ketidak proporsionalnya Barat, namun lebih kepada kritik terhadap sebuah selebrasi bertajuk ‘kepentingan manusia’.
5) Eurocentrism mengambil dengan layak budaya dan produksi material non Eropa, lalu mereka menyangkal dengan kedok prestasi perambahan antropologi .
Eurocentrism adalah pembersihan sejarah Barat dengan menggurui dan bahkan mengutuk non-Barat, seperti itulah pemikiran mereka dengan mengatasnamakan kemuliaan ilmu pengetahuan, prestasi, kemajuan, humanisme. Tetapi bagi non-Barat, ini adalah bentuk dari segala kekurangan mereka dalam bentuk nyata maupun khayal.
Konsep Eurocentrism melahirkan Colonialism, penafsiran dari buku ‘Unthinking Eurocentrism’ menjabarkan bahwa pandangan Barat sebagai titik pusat dimentahkan, meskipun sejarah kolonial terkadang berbenturan dengan hal ini, namun dalam konteks wacana ini, nilai historical dianggap telah lampau, masa kontemporer dihadapkan dengan membicarakan konteks kedepan sehingga memunculkan Multiculturalism yang dinilai lebih berpihak dalam konteks apapun termasuk non-Barat. Multiculturalism lahir sebagai wacana kritik atas selebrasi Eurocentrism dengan menampik Barat-Eropa adalah pusat. Dalam Multiculturalism segala hal memiliki pusatnya sendiri didalam keberagaman termasuk Barat-Eropa, dan Eropa sendiri merupakan bagian dari multikulturalisme itu sendiri, sehingga pemikiran multikulturalisme melihat wacana Eurocentrism sebagai selebrasi atau perayaan yang sekaligus mengkritik sesuatu hal yang lebih baik dan bukan merujuk pada historis masa lampau, dengan demikian Unthinking Eurocentrism merupakan wacana pesfektif dan sikap dengan ilmu pengetahuan dan etika sebagai tonggaknya
References
Ella Rohat, Robert Stam, Unthinking Eurocentrism.’ p.Introduction, London 1994
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Salam,... saya peneliti arsitektur di UB. Juga pernah menulis tantang "eurocentrism" untuk menyoroti rusaknya arsitektur di Indonesia. Jika berkenan, mohon saran-saran atas tulisan itu di http://issuu.com/eurocentrism/docs/eurocentrism_e_article?
BalasHapusmaaf, saya masih mahasiswa....ini salah satu perkuliahan (Seno G.A) .. jalurnya lebih ke film.. senang berkenalan dng anda
BalasHapus